kejahatan kemanusiaan (5)

20 Desember 2010
Siapa Minta Pelicin Rp 100 Miliar?


AZAN isya baru saja selesai berkumandang dari Masjid Baiturrahman di kompleks Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta, ketika dua puluhan anggota Komisi XI berkumpul di ruang pimpinan, Selasa pekan lalu. Malam itu, Komisi yang membidangi soal keuangan dan perbankan itu akan melakukan rapat bersama Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk membahas anggaran tahunan bank sentral.

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dan anggota Dewan Gubernur Budi Rochadi, Hartadi A. Sarwono, dan Budi Mulia telah menunggu di luar ruang Komisi XI. Tapi, setengah jam berlalu pimpinan Komisi tak juga memulai rapat. Rupanya, mereka masih membahas perkara lain: isu permintaan uang oleh anggota Komisi XI kepada pejabat Bank Indonesia. "Anggota Komisi tak mau memulai rapat pembahasan anggaran tahunan BI sebelum ada klarifikasi," kata Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis kepada Tempo di Jakarta, pekan lalu.

Dua pekan terakhir, kabar tak sedap itu semakin nyaring terdengar di Senayan. Salah seorang anggota Komisi dikabarkan meminta uang untuk memuluskan pembahasan sejumlah rancangan undang-undang. Nilainya tak tanggung-tanggung, Rp 100 miliar. Si penyebar bau amis tak lain Agus Santoso, Ketua Umum Ikatan Pegawai Bank Indonesia. Anggota Komisi XI geram mendengar isu itu. Nusron Wahid, Ketua Panitia Khusus Pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, mencak-mencak. "Bawa ke sini yang nyebarin isu," katanya emosional.

Seusai rapat internal, mereka meminta Darmin Nasution dan anggota Dewan Gubernur BI masuk ke ruang pimpinan Komisi XI. Suasana di dalam ruangan sangat panas. Darah anggota parlemen seperti mendidih. Mereka menuding Bank Indonesia sengaja mengeluarkan isu pemerasan untuk mengganggu proses pembahasan sejumlah regulasi. Tapi, menurut Harry, Darmin membantah tudingan itu. Anggota Komisi XI tak mau menerima penjelasan bekas Direktur Jenderal Pajak itu. Pimpinan Komisi meminta Darmin menghadirkan Agus Santoso.

Agus, yang sejak awal ada di luar mendampingi dewan gubernur, dipanggil ke dalam ruang pimpinan. Hawa pertemuan semakin panas karena Agus mengaku telah menyebarkan kabar bahwa seorang anggota Dewan telah meminta uang pelicin. Anggota Komisi mencecar Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia itu. Diberondong pertanyaan bertubi-tubi, Agus minta maaf telah menyebarkan isu. "Tapi Agus tetap berkukuh ada anggota Komisi XI meminta uang," ujar Harry.

Suasana semakin hiruk-pikuk. Anggota Komisi meminta Agus menunjuk hidung langsung anggota Dewan yang telah meminta uang. Awalnya Agus menolak. Tapi akhirnya dia buka suara juga. Agus menunjuk Muhammad Hatta dari Fraksi Partai Amanat Nasional yang telah mencoba merayunya memberi pelicin. Hatta yang ada di dalam ruangan kontan berdiri. Dengan emosional dia membantah pengakuan Agus. "Fitnah. Bohong," ujar Harry menirukan Hatta.

Nusron Wahid, yang sejak awal sudah jengkel, ikut pula mencecar. Anggota fraksi dari Partai Golkar itu meminta Agus membuktikan tudingannya. "Saya tanya buktinya, dia jawab hanya bukti perbincangan," kata Nusron kepada Tempo mengisahkan pertemuan malam tersebut.

Menjelang dini hari, "pengadilan" terhadap Agus berakhir. Darmin dan pimpinan Komisi XI sepakat akan menyelesaikan masalah sensitif itu secara musyawarah dan kekeluargaan. "Sudah selesai masalahnya," ujar Darmin. Pertemuan bubar. Rencana semula membahas anggaran tahunan Bank Indonesia malam itu akhirnya dibatalkan.
Siapa Minta Pelicin Rp 100 Miliar? (2)


KAMIS siang, 21 Oktober. Agus Santoso bergegas menuju ruangan nomor 19 di pojok lantai 20 Gedung Nusantara I, kompleks DPR Senayan. Saat itu Agus usai menjadi pembicara mewakili Deputi Gubernur Budi Rochadi dalam seminar mata uang yang diselenggarakan Partai Amanat Nasional, di ruang rapat fraksi di gedung dan lantai yang sama.

Menurut sumber Tempo, Agus hendak menemui Muhammad Hatta, anggota Komisi XI dari Fraksi Amanat Nasional. Hatta mengundang Agus mampir ke ruang kerjanya. Kebetulan Agus juga ingin berkenalan dengan politikus yang baru duduk di parlemen pada Mei lalu itu, menggantikan anggota Dewan Marwoto yang meninggal pada Januari lalu.

Di dalam ruangan, menurut si sumber, sudah ada lelaki bersorban duduk di ruang kerja Hatta. Lelaki itu bernama Ustad Rahmat Syukur dari Pesantren Al-Islam Solo, Jawa Tengah. "Saat itulah Hatta menyampaikan niatnya," bisiknya. Hatta, sumber ini menuturkan, meminta uang Rp 100 miliar. Fulus itu untuk biaya pembahasan rancangan undang-undang dan kepentingan Kebon Sirih-sebutan Bank Indonesia. Duit yang diminta Hatta masing-masing Rp 25 miliar untuk Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Rancangan Undang-Undang Mata Uang, Rancangan Undang-Undang Transfer Dana, dan Anggaran Tahunan Bank Indonesia.

Agus kaget. Menurut sumber tadi, Agus bertanya kepada Hatta dari mana Bank Indonesia bisa memperoleh duit sebanyak itu. Hatta tak hilang akal. Disebutlah proyek pengadaan teknologi informasi yang kini sedang diperjuangkan bank sentral. Proyek ini ada dalam rencana anggaran tahunan Bank Indonesia 2011. Jika jatah Rp 100 miliar disetujui, tak sulit memasukkannya menjadi bagian anggaran.

Ketua serikat karyawan Bank Indonesia itu menolak. Agus, kata si sumber, mengadukan ulah Hatta kepada Ustad Rahmat, yang selama pertemuan duduk diam di sebelahnya. "Pak Ustad malah bilang, itu dibolehkan karena bisa dianggap sebagai harta pampasan perang," kata sumber Tempo tadi menirukan cerita Agus. Hingga akhir pertemuan, Agus tak meladeni permintaan Hatta. Ia pamit pulang meninggalkan Hatta dan ustadnya.

Rupanya, Agus tak menyimpan kisahnya sendiri. Dia menceritakan pengalamannya dimintai duit itu ke sejumlah orang. Salah satunya ke Yunus Husein. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan itu membenarkannya. Bulan lalu, kata Yunus, Agus menemui dirinya dan mengeluh lantaran dimintai duit oleh Hatta. "Informasi ini saya teruskan ke Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Yunus kepada Setri Yasra dari Tempo pekan lalu.

Ketua KPK Hayono Umar telah mengetahui kasus Agus-Hatta yang sudah ramai di media massa. Tapi sejauh ini lembaga antikorupsi belum menerima laporan resmi dari Agus atau Bank Indonesia. Jika ada laporan resmi, katanya, "Menarik juga didalami."

Agus menolak berkomentar ketika Tempo meminta konfirmasi. "No comment deh," ujarnya. Sedangkan Hatta membantah semua tudingan. Hatta punya versi lain. Dalam seminar, Hatta menggantikan rekannya dari Fraksi Partai Amanat Nasional Laurens Bahang Dama menjadi pembicara. Dia mengaku baru pertama kali bertemu dengan Agus dalam acara itu. Menurut Hatta, justru Agus yang membuntutinya ke ruang kerja usai seminar. "Katanya ingin kenalan," ujarnya. Ia bersumpah tak ada satu kalimat pun meminta duit kepada Agus, apalagi hingga Rp 100 miliar. "Saya ini orang baru, logikanya di mana. Ustad saya saksinya."

Ustad Rahmat Syukur kepada Tempo mengakui bahwa dirinya memang berada di dalam ruang kerja Hatta tatkala Agus datang. "Saya sudah di dalam ruang Hatta lebih dulu," katanya. Tapi, selama pertemuan, Rahmat mengaku sama sekali tak mendengar obrolan tentang duit apalagi upaya Hatta memeras Agus. "Yang ada, Agus curhat mengenai Bank Indonesia."

Hatta yakin, ada skenario Bank Indonesia di balik pengakuan Agus. Dia menduga, Bank Indonesia kesal kepada Partai Amanat Nasional yang akhir-akhir ini keras, terutama terhadap anggaran. "Saya siap kalau masalah ini dilanjutkan ke proses hukum," katanya (lihat wawancara Hatta, "Ada Skenario Bank Indonesia").

Siapa Minta Pelicin Rp 100 Miliar? (3)


MUNCULNYA permintaan pelicin, menurut sumber Tempo, tak lepas dari kepentingan Bank Indonesia dalam sejumlah pembahasan rancangan undang-undang dan anggaran. Kondisi itu pernah terjadi enam tahun lalu dalam kasus Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Untuk memuluskan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia dan menunda terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, pejabat bank sentral terpancing memberikan uang pelicin kepada anggota Dewan.

Dana YPPI senilai Rp 100 miliar akhirnya dipakai untuk menyuap sejumlah anggota Dewan. Gara-gara kasus itu, mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Deputi Gubernur Aulia Pohan, dan pejabat lainnya, Maman Soemantri, masuk penjara. Kini, kata sumber Tempo, peristiwa yang mirip YPPI hampir terjadi lagi dalam kasus Agus-Hatta. "Apalagi, banyak orang tahu, posisi BI sekarang lemah dalam sejumlah pembahasan undang-undang," bisiknya.

Dalam anggaran tahunan, posisi Bank Indonesia terjepit gara-gara defisit anggarannya menembus Rp 20 triliun. Sialnya, sebagian anggota Dewan salah persepsi bahwa defisit anggaran besar menunjukkan kinerja Bank Indonesia buruk. Padahal defisit bank sentral biasa saja.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Mata Uang juga masih terkatung-katung. BI sangat berkepentingan dalam regulasi ini. Tapi posisinya kurang menguntungkan karena berbenturan dengan pemerintah dalam hal wewenang mencetak dan meneken uang kertas. Bank sentral ingin masalah uang kertas tetap menjadi wewenangnya, tapi pemerintah ingin terlibat. BI juga ingin redenominasi atau perampingan nominal rupiah diatur dalam rancangan undang-undang. "Tapi DPR dan pemerintah belum sepakat."

Setali tiga uang dengan Rancangan Undang-Undang Transfer Dana. BI, bisik sumber Tempo lainnya, tak sejalan dengan anggota Dewan. Kebon Sirih menginginkan hanya perbankan yang boleh melakukan transfer uang. Tapi Dewan akan mengizinkan lembaga lain, seperti Pegadaian atau Kantor Pos, melakukan transaksi itu. "Harusnya regulasi ini bisa diketuk tahun ini. Tapi sampai sekarang DPR belum mengambil keputusan," ujarnya. Bank Indonesia juga bisa kehilangan wewenang mengawasi transfer dana bila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbentuk.

Dalam pembahasan pembentukan OJK, posisi Bank Indonesia juga lemah. Anggota Dewan tak mengindahkan keinginan mereka agar lembaga pengawas perbankan itu tetap menjadi bagian dari bank sentral. Meski pembahasan OJK terhenti, posisi Bank Indonesia belum di atas angin. Kecuali, bisik sumber Tempo, jika mereka bisa mengamendemen Undang-Undang Bank Indonesia atas persetujuan DPR (lihat "Mentok di Pasal Komisioner").

Menurut sumber Tempo ini, tiga rancangan undang-undang dan anggaran tahunan sangat krusial bagi bank sentral. Tapi kurang kuatnya posisi BI membuat lembaga ini gampang dipermainkan. "Bisa jadi malah didagangkan oleh pihak-pihak tertentu," tuturnya. "Dan bukan mustahil kasus suap-menyuap itu terjadi lagi."

Namun Nusron menampik kemungkinan bakal berulangnya kasus suap-menyuap-semodel kasus YPPI-dalam penyusunan undang-undang, termasuk OJK. "Saya jamin tidak ada suap-menyuap," ujarnya.

Terlepas dari ada atau tidaknya rasuah, Komisi XI sudah kadung merasa dirugikan. Mereka merasa permintaan maaf Agus saja tak cukup. Komisi meminta jaminan dari BI bahwa kasus itu bukan bagian dari skenario bank sentral untuk merusak citra Dewan. Menurut Harry, permintaan Komisi ini untuk memperbaiki hubungan antarlembaga. "Mana yang benar dan salah itu urusan mereka (Agus dan Hatta), tapi yang penting jangan menuding Komisi," ujarnya.
Agoeng Wijaya, Febriana Firdaus, Iqbal Muhtarom, Padjar Iswara
Mentok di Pasal Komisioner


TUARRR! Kencang sekali Nusron Wahid mengetukkan palu ke meja hingga mengejutkan para peserta rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK), Jumat dinihari dua pekan lalu. Jarum jam saat itu baru saja bergeser dua menit dari pukul 01.30. "Saya tak bisa berunding dengan orang yang mencla-mencle," ucap Ketua Panitia Khusus RUU Otoritas Jasa Keuangan ini.

Tokoh yang dimaksud Nusron adalah Agus Martowardojo, Menteri Keuangan. Ruang Flores di Hotel Borobudur, Jakarta, tempat rapat itu berlangsung, hening seketika. Agenda rapat panitia khusus dengan para pejabat tinggi Departemen Keuangan sejak Kamis 9 Desember itu membahas satu pasal yang masih mengganjal: ihwal struktur Otoritas Jasa Keuangan. "Ini soal krusial," ujar Nusron, politikus dari Fraksi Partai Golkar, kepada Tempo pekan lalu.

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang akan bertugas mengawasi perbankan, pasal modal, dan institusi keuangan nonbank. Lembaga ini, mengacu pada pasal 34 Undang-Undang Nomor 3/2004 tentang Bank Indonesia, harus terbentuk selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. Akibat pembentukan lembaga ini, Bank Indonesia tak akan lagi mengawasi perbankan.

Nah, lantaran tak ada kata sepakat di antara kedua pihak, rapat yang ditutup pada Minggu siang dua pekan lalu itu berakhir buntu alias deadlock. Alasannya sederhana, menurut Harry Azhar Azis, anggota panitia khusus dari Fraksi Golkar. Pemerintah dan DPR belum sepakat soal tafsir sifat dan posisi Otoritas Jasa Keuangan yang independen dan di luar pemerintah. Pemerintah, menurut Harry, tetap ingin punya "tangan" dalam Dewan Komisioner lewat dua anggota ex-officio.

Buntutnya sampai pula ke Senayan. Rapat Paripurna DPR pada Jumat pekan lalu itu akhirnya memutuskan, RUU Otoritas Jasa Keuangan masuk ke 21 rancangan undang-undang yang menjadi prioritas tahun depan. Menurut Harry, yang kelak dibahas hanyalah soal Dewan Komisioner, tidak ada lagi perdebatan bahwa OJK perlu dibentuk atau tidak. "Pasal lain sudah disepakati semua," katanya.

Otoritas akan dipimpin Dewan Komisioner. Dalam draf versi pemerintah, formasi Dewan Komisioner diusulkan dua-dua-tiga. Dua orang akan masuk karena jabatannya, ex officio, dari Bank Indonesia, dan pemerintah dengan hak suara. Dua orang lainnya dari unsur masyarakat yang ditunjuk pemerintah dan dimintakan konfirmasi kepada DPR untuk posisi ketua dan anggota. Lalu, tiga orang diangkat pemerintah sebagai anggota, merangkap kepala eksekutif pengawas perbankan, pasar modal, dan institusi keuangan nonbank.

Menurut Nusron, dari awal usul itu ditolak mentah-mentah karena tak sejalan dengan prinsip Otoritas sebagai lembaga independen. Sebab itulah, panitia khusus meminta ketujuh orang itu dipilih oleh DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan. "Pemerintah sudah tentu tidak menyukai usul ini," ujar seorang pejabat di Departemen Keuangan kepada Tempo.

Panitia lalu menawarkan formasi dua-lima: dua ex officio dari BI dan Departemen Keuangan, tanpa hak suara, dan lima dipilih Dewan. Pemerintah juga menolak. Panitia khusus lantas mengusulkan ketujuh anggota diseleksi Dewan, termasuk dua calon komisioner ex-officio tadi tanpa hak suara. Namun pemerintah ngotot: dua wakilnya harus punya suara. Berikutnya pemerintah melunak. Ketujuh anggota dipilih Dewan. Masing-masing posisi bisa diisi maksimal tiga calon. Pemerintah menolak desakan panitia khusus yang juga berkeras agar satu posisi minimal berisikan dua calon.
Mentok di Pasal Komisioner (2)


Belum sepakat juga, panitia khusus mengajukan formasi lain, yakni sembilan anggota dengan dua ex-officio yang berhak memiliki suara. Tapi itu diimbangi dengan empat anggota dipilih DPR, sehingga hanya tiga yang ditetapkan pemerintah. "Imbang dong," kata Nusron. Satu wakil dari BI, empat orang ditetapkan pemerintah, dan empat sisanya dipilih Senayan. Komposisi ini bisa memecahkan masalah jika terjadi perbedaan pendapat. "Wasitnya yang satu dari Bank Indonesia itu," ujar Nusron.

Rapat diskors, bisik-bisik dan canda tawa terdengar di sela-sela rehat. Nusron yakin, usul terakhir ini diterima Agus Martowardojo. "Saya sudah salaman segala, kok, sama dia," kata dia. Namun, bagi bekas Direktur Utama Bank Mandiri itu, ramah-tamah rupanya bukan berarti setuju. Saat kembali ke ruang rapat, Menteri Agus meminta yang dipilih DPR hanya tiga orang, bukan empat. Padahal, di awal pembukaan rapat, Nusron sudah kadung menyatakan "telah ada kesepakatan setelah lobi". "Saya marah betul, pemerintah maunya menang sendiri," tuturnya.

Kepala Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan Fuad Rahmany, yang selalu mendampingi Agus dalam pembahasan regulasi itu, mengatakan bahwa Menteri Keuangan sebetulnya belum menyetujui apa pun. Salaman pada saat lobi itu, kata dia, mengartikan bahwa usul panitia khusus bisa dibahas. "Menteri juga harus berkonsultasi dulu dengan Presiden sebelum setuju betul," katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Menurut Fuad, karena OJK dibentuk dan bertanggung jawab pada presiden, seharusnya Dewan tidak perlu ikut memilih anggota komisioner. Mereka cukup mengkonfirmasi soal rekam jejak para kandidat. Soal hak suara ex-officio, Fuad menekankan akan berjuang mati-matian. "Wakil BI dan pemerintah harus punya hak suara," kata Ketua Panitia Penyusunan RUU Otoritas Jasa Keuangan ini.

Rapat Jumat siang dua pekan lalu, pemerintah mengajukan usul: tujuh anggota Dewan Komisioner termasuk dua ex officio berhak memiliki suara. Empat orang di antaranya ditunjuk pemerintah dan tiga diusulkan Presiden untuk dipilih DPR dengan masing-masing posisi maksimal tiga calon. Usul tambahannya, Ketua Dewan Komisioner dipilih Presiden. "Ya, sudahlah, ke laut saja, ambil saja semua," kata Nusron kesal.

Lagi-lagi mentok, Agus Martowardojo baru kembali lagi ke rapat keesokan harinya, Sabtu sore. Panitia mengusulkan lagi kepada Menteri Keuangan, formasi dua-lima-dua, yakni dua ex-officio berhak memiliki suara, lima diusulkan pemerintah dengan minimal dua calon setiap posisi, dan dua dipilih parlemen. Lagi-lagi Agus menolak.

Sebaliknya, dengan alasan menjaga independensi, Dewan juga ingin ikut memilih anggota Dewan Komisioner. Seperti selama ini, parlemenlah yang memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Harry Azhar Azis membantah ajang pemilihan itu menjadi "arena dagang". "Orang yang bicara begitu tidak paham pemikiran DPR," ucapnya.

Mentok di Pasal Komisioner (3)


Keriuhan sebelumnya menyangkut pengawasan perbankan yang bakal dicabut dari BI. Meski sudah diamanatkan undang-undang, penolakan Kebon Sirih-sebutan kantor pusat Bank Indonesia-cukup terang. Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia, Agus Santoso, tegas menolak bergabung dengan lembaga khusus pengawas perbankan itu. "Pemusatan pengawasan semua lembaga keuangan pada OJK berpotensi menimbulkan kejahatan pencucian uang, korupsi, dan rekayasa keuangan," katanya.

Lepasnya pengawasan bank juga dipandang bisa mengganggu operasi pengendalian moneter. Ini lantaran bank sentral tak bisa otomatis mengakses data perbankan tanpa persetujuan pimpinan Otoritas Jasa Keuangan. "Harus koordinasi dulu," kata Kepala Humas Bank Indonesia, Difi Johansyah. Padahal, "Koordinasi itu sulit sekali di negeri ini."

Kegagalan badan serupa di negara lain juga selalu ditekankan pejabat BI dalam setiap kesempatan. Inggris dijadikan contoh soal. Akibat krisis global yang menjatuhkan Northern Rock, pengawasan bank akhirnya dikembalikan dari Financial Services Authority-OJK-nya negeri Ratu Elizabeth-kepada bank sentral, Bank of England. "Ini bukti pembentukan Otoritas Jasa Keuangan tidak relevan lagi saat ini," peneliti utama BI Bidang Pengawasan dan Risiko Perbankan, Sukarela Batunanggar, menambahkan.

Bank Indonesia tampaknya terbelenggu pasal 34. Menurut sumber Tempo, bank sentral harusnya tegas, menolak Otoritas Jasa Keuangan atau sebaliknya, menerima badan pengawas baru itu. Kalau menolak, Kebon Sirih bisa mengajukan amendemen Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 3/2004, khususnya pasal 34. Persoalannya, kata dia, apakah berani BI mengajukan hal itu. "Mereka bisa dibilang melanggar undang-undang," tutur sumber ini.

Difi menolak mengomentari Dewan Komisioner. "Itu kan bukan konsep kami," ujarnya beralasan. Sebaliknya, Fuad Rahmany menilai kekhawatiran BI terlalu berlebihan. Soal koordinasi dan akses data bank, menurut dia, tak akan ada masalah karena yang duduk di pengawasan perbankan dalam Otoritas tak lain orang-orang BI. "Data-data bank itu berikut para pengawasnya tetap di Bank Indonesia," katanya.

Kegagalan otoritas jasa keuangan di negara lain, menurut Fuad, juga tidak bisa dijadikan alasan. Dalam kasus di Inggris, Financial Services Authority secara total terpisah dan tidak ada garis koordinasi dengan Bank of England. "Dalam Otoritas Jasa Keuangan nanti, ada ex-officio dari Bank Indonesia dan pemerintah. Lalu kenapa koordinasi dibilang sulit?" ujarnya.

Pembentukan Otoritas, kata Fuad, untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah yang muncul akibat semakin beragamnya produk investasi di bisnis bank, pasar modal, asuransi, maupun lembaga keuangan. Ada kalanya produk-produk itu bermain di wilayah abu-abu, sehingga mengaburkan risiko yang mengancam nasabah atau investor. "Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab mendeteksi dan menghilangkan risiko kerugian itu," tuturnya.

Sayangnya, OJK masih jauh panggang dari api.

Anne L. Handayani, Agoeng Wijaya, Fery Firmansyah
Muhammad Hatta: Ada Skenario Bank Indonesia


BARU tujuh bulan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Muhammad Hatta, 37 tahun, sudah menjadi berita. Dia baru dilantik menjadi penghuni Senayan pada Mei lalu, menggantikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Marwoto Mitrohardjono yang meninggal dunia. Sampai pekan lalu, tak banyak orang tahu siapa dia.

Namun, sejak Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia Agus Santoso menceritakan dugaan pemerasan Rp 100 miliar oleh anggota Komisi Keuangan dan Perbankan, Selasa malam pekan lalu, namanya kini jadi pembicaraan di mana-mana. Maklum, anggota yang dimaksud Agus tak lain adalah Muhammad Hatta.

Rabu pekan lalu, Hatta membantah tudingan Agus. Di hadapan sejumlah jurnalis, pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, ini mengaku siap jika tudingan pemerasan ini dibawa ke aparat penegak hukum.


Anda dituding meminta Bank Indonesia menyediakan dana Rp 100 miliar untuk memuluskan pembahasan empat rancangan undang-undang?
Demi Allah dan Rasulullah, saya tak pernah mengatakan hal itu. Ini tidak masuk akal. Saya anggota baru di Dewan Perwakilan Rakyat.


Benarkah Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia Agus Santoso datang ke ruang kerja Anda pada Oktober lalu?
Benar. Pada saat itu Fraksi Partai Amanat Nasional mengadakan diskusi tentang RUU Mata Uang. Setelah acara selesai, saya bergegas masuk ruang kerja karena ditunggu seseorang. Lha, Agus ini membuntuti dan juga masuk ke ruang kerja saya. Tapi kami hanya bicara sebentar dan bertukar kartu nama. Setelah itu selesai.


Siapa yang memberi tahu Anda soal tuduhan itu?
Saya pertama kali mendengar tuduhan itu dari Edwin Kawilarang (anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR dari Fraksi Golkar), November lalu. Ketika itu pembahasan RUU Transfer Dana macet. Edwin dan sejumlah anggota Komisi Keuangan menemui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar di ruang komisi. Di sana ternyata ada Agus Santoso. Dia langsung menuding bahwa kebuntuan pembahasan RUU ini adalah skenario Komisi Keuangan dan Perbankan.


Lalu apa yang terjadi?
Edwin kontan bertanya, "Skenario apa?" Pada saat itulah Agus lantas bicara bahwa ada anggota Komisi Keuangan yang meminta uang dari Bank Indonesia. Mendengar itu, Edwin marah dan menyampaikan tuduhan itu kepada saya dan Emir Moeis (anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Waktu itu saya hanya bilang, "Bikin ramai saja."


Kapan nama Anda mulai disebut sebagai oknum yang memeras bank sentral?
Saya baru tahu pada Selasa malam pekan lalu. Ketika itu kami dijadwalkan menggelar Rapat Anggaran Tahunan Bank Indonesia. Sebelum rapat dimulai, Agung Rai Wirajaya (anggota Komisi dari Fraksi PDI Perjuangan) memberi tahu saya soal ini. Namun Agus sudah bicara tentang hal ini ketika Ikatan Pegawai Bank Indonesia menemui Panitia Khusus RUU Otoritas Jasa Keuangan di Hotel Aryaduta.


Apa tanggapan Komisi Keuangan mendengar tuduhan itu?
Komisi lalu meminta klarifikasi kepada Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution. Kata Darmin, Agus tak pernah menyebut nama saya. Lha, ini kan beda dengan pernyataan Agung Rai. Setelah keduanya dikonfrontasi, barulah Agus mengaku pernah melontarkan tuduhan suap ini. Tapi, kata dia, ini sekadar keseleo lidah..., slip of the tongue.


Anda menerima penjelasan Agus Santoso itu?
Tidak. Menurut saya ini disengaja, by design, tak sekadar slip of the tongue. Saya menduga ada skenario Bank Indonesia. Mereka bisa jadi berbuat begini agar Komisi Keuangan dan Perbankan tidak mengambil jatah atau wilayah kerja bank sentral. Sebelumnya, kami memang cukup keras kepada Bank Indonesia, terutama dalam pembahasan RUU Otoritas Jasa Keuangan.


Akhirnya apa keputusan Komisi Keuangan?
Kami minta Bank Indonesia memberikan surat klarifikasi. Selama tak ada surat itu, kami menolak menggelar rapat dengan Bank Indonesia.


Anda siap jika perkara ini berlanjut ke ranah hukum?
Saya siap. Saya memang tak melakukan apa-apa. Ini fitnah luar biasa.



Jumat, 17/12/2010 12:50 WIB
Gubernur BI Emosi Saat Dicecar Soal Isu Suap Rp 100 Miliar
Herdaru Purnomo - detikFinance


Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menunjukkan emosinya saat dicecar dengan pertanyaan seputar isu suap Rp 100 miliar. Darmin emosi saat ditanya apakah isu tersebut dilontarkan Ketua IPEBI Agus Santoso merupakan arahan institusi untuk menjegal pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Kamu itu dari tadi ngomong by design dari BI, siapa yang ngomong itu," ujar Darmin dengan nada emosi ketika ditemui wartawan di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (17/12/2010).

"Bapak Muhammad Hatta pak yang bilang," tambah wartawan.

"Enak saja kamu bicara," ujar Darmin lagi.

Darmin menyatakan masalah isu suap tersebut adalah masalah perorangan antara Agus Santoso sebagai Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia dan salah seorang anggota Komisi XI DPR-RI. Seperti diketahui, IPEBI merupakan salah satu pihak yang menentang keras kehadiran OJK.

Mantan Dirjen Pajak ini menegaskan, dirinya sebagai pemimpin BI tidak tahu sama sekali munculnya isu penyuapan Rp 100 miliar yang dihembuskan salah seorang pegawainya tersebut. Menurutnya, isu penyuapan yang dilontarkan Ketua IPEBI oleh anggota Komisi XI tersebut sebetulnya sudah diselesaikan antara kedua pihak.

"Soal substansi berita (suap Rp 100 miliar) itu sendiri tadinya sebenarnya sudah lebih awal diselesaikan. Waktu itu berkumpul, selain sejumlah anggota Komisi XI juga ada dari BI dimana ada saudara Agus Santoso yang kemudian ada juga orang yang terkait dari Komisi XI. Itu sudah dibicarakan dan memang berbeda pendapat. Tapi sudah dicari penyelesaiannya dimana mereka saling bermaafan. Ini namanya, hal-hal yang kalau mau dilabar-lebarkan bisa menjadi masalah tapi kalau disederhanakan bisa selesai," papar Darmin.

Tetapi, sambung Darmin karena diharapkan supaya kasus ini segera selesai maka bank sentral secara institusi akan membuat penjelasan dan klarifikasi resmi kepada Komisi XI.

"Ya kita juga mengatakan oke, kita akan buat penjelasan bahwa BI tidak pernah melakukan atau meminta orang melakukan itu," tukasnya.

Pada Selasa (14/12/2010) malam, rapat antara Bank Indonesia dan Komisi XI DPR RI yang sedianya membahas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) akhirnya berbelok membahas isu suap Rp 100 miliar. Rapat yang dilaksanakan diruang pimpinan Komisi XI DPR tersebut ternyata membahas mengenai isu suap Rp 100 miliar yang dituduhkan kepada Komisi XI terkait pelaksanaan beberapa Rancangan Undang-Undang yang berhubungan terkait BI.

"Jadi ada isu yang melemparkan itu, orang BI namanya tidak diketahui, bahwa ada isu suap di mana DPR minta Rp 100 miliar terkait 3 UU. Yakni Mata Uang, OJK dan ATBI," ujar Anggota DPR Laurens Bahang Dama.

Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menyebut nama Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) Agus Santoso sebagai pihak yang menyebarkan isu tersebut. Komisi XI berpandangan bahwa Agus Santoso telah melakukan fitnah karena tuduhan tersebut tidak bisa dibuktikan.

"Agus (Ketua IPEBI) telah menyebarkan kesana kemari yang kemudian kita anggap ini jadi fitnah.Dia menyampaikan ada anggota Komisi XI yang meminta dana Rp 100 miliar, karena kita tidak mau nama baik kita dirusak makanya kita klarifikasi," ujar Harry.

Harry menceritakan, Agus Santoso mengungkapkan salah seorang anggota Komisi XI meminta dana Rp 100 miliar untuk melancarkan RUU yang sedang digodok antara Komisi XI dan BI. Kemudian, lanjut Harry ketika di konfrontir dengan anggota Komisi XI ternyata tidak benar.

(dru/qom)

Hmm... Isu BI Suap DPR 100 M Kok Diselesaikan Secara Adat
Kamis, 16 Desember 2010 , 05:41:00 WIB



RMOL. Raker antara Komisi XI DPR dan BI tiba-tiba diwarnai isu suap senilai Rp 100 miliar. Namun, isu yang sempat bikin rapat panas itu sudah diselesaikan secara “adat”. DPR ingin semuanya clear dan kembali ‘mesra’ dengan bank sentral.

Pada Selasa (14/12) malam, ra­pat kerja (raker) antara Bank In­do­nesia (BI) dan Ko­misi XI DPR yang sedianya membahas Ang­garan Tahunan Bank Indonesia (ATBI), eh malah ber­belok mem­bahas isu suap Rp 100 miliar yang dituduhkan ke­pada Komisi XI DPR terkait pelaks­a­na­an be­be­rapa Rancangan Un­dang-un­dang (RUU) yang terkait BI.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menyebut na­ma Ke­tua Ikatan Pegawai Bank Indo­nesia (IPEBI) Agus Santoso seba­gai pihak yang menyebarkan isu ter­sebut. Komisi XI berpanda­ng­an bahwa Agus Santoso telah me­lakukan fitnah karena tuduhan suap itu tidak bisa dibuktikan.

“Agus (Ketua IPEBI) telah me­nyebarkan ke sana ke mari yang kemudian kita anggap ini jadi fit­nah. Dia menyampaikan ada ang­gota Komisi XI yang meminta dana Rp 100 miliar. Karena kita ti­dak mau nama baik kita dirusak, makanya kita klarifikasi,” ujar Harry di Jakarta, kemarin.

Harry menceritakan, Agus San­toso mengungkapkan salah se­orang anggota Komisi XI memin­ta dana Rp 100 miliar untuk me­lancarkan RUU yang sedang di­godok antara Komisi XI dan BI. Ke­mudian, lanjut Harry, ketika di­konfrontir dengan anggota Ko­misi XI, ternyata isu suap itu tidak benar.

“Memang dia sebut satu ang­gota Komisi XI dan dalam perte­muan ini sudah di konfrontasi dimana ang­gota Komisi XI sudah bersum­pah tidak pernah (meminta uang Rp 100 miliar-red),” jelas Harry.

Meski begitu, Harry bilang se­mua masalah sudah diselesaikan secara kekeluargaan pada perte­muan Selasa malam yang diha­diri Gubernur BI Darmin Nasu­tion, jajaran Deputi Gubernur BI, serta perwakilan IPEBI.

“Secara umum kita selesaikan se­cara kekeluargaan, bahwa ma­sing-masing pihak bertahan pada posisi masing-masing itu kenya­taannya memang gitu,” ujarnya.

Ketua Pansus RUU OJK, Nus­ron Wahid menambahkan, isu suap sudah diselesaikan secara ke­keluargaan. Yang terpenting, si pe­nye­bar isu juga sudah meminta maaf kepada Komisi XI DPR. “Saya sebenarnya marah dengan isu itu. Namun, sebagai orang Is­lam, kami maafkan,” ujarnya

Nusron mengklaim se­luruh anak buahnya yang ter­gabung dalam Anggota Panitia Khusus (Pansus) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersih dari prak­tik suap dan memiliki integritas tinggi.

“Kalau Pansus OJK saya jamin tidak ada serupiah pun (terima uang-red) dari pe­me­rintah, BI, atau pihak mana pun, saya jamin seru­piah pun. Kalau ada, saya perta­ruhkan jaba­tan saya,” tegasnya.

Meski sudah diselesaikan, Har­ry Azhar rela dugaan suap di­bawa ke ranah hukum apabila ada pihak yang masih memper­soal­kannya. “Jadi silakan diba­wa ke ranah hukum,” cetusnya.

Agus Santoso sendiri saat di­minta tanggapan, menolak ber­ko­mentar. Agus menyatakan, kasus isu suap ini sudah selesai dan ti­dak akan diperpanjang.

“Saya no comment lah, ya itu biarkan saja lah,” ujar pengamat kebijakan publik ini kepada war­tawan di Gedung BI, kemarin.

Dia menegaskan tidak akan me­ngungkapkan apapun menge­nai masalah tersebut. “Kalau soal Rp 100 miliar saya tidak mau. Ta­nya saja Pak Harry (Wakil Ketua Komisi XI),” jelas Agus.

Menurutnya, semua sudah di­se­lesaikan oleh politisi Partai Gol­kar yang memimpin pertemuan in­ternal membahas isu suap Rp 100 miliar pada Selasa malam itu.

“Saya kira sudah selesai, stop sam­pai di sini saja. Semua tanya pak Harry saja,” tukasnya. [RM]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02