kejahatan kemanusiaan (4)

Hakim MK Mundur, DPR Akan Panggil Mahfud MD
Demokrat mengapresiasi keputusan Arsyad Sanusi.
Jum'at, 17 Desember 2010, 18:27 WIB
Ismoko Widjaya, Dedy Priatmojo, Suryanta Bakti Susila

VIVAnews - Arsyad Sanusi mundur dari jabatanya sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Saan Mustofa, anggota Komisi III Bidang Hukum DPR dari Fraksi Demokrat mengapresiasi keputusan Arsyad Sanusi. Komisi III akan tanya Ketua MK Mahfud MD soal mengunduran diri Arsyad.

"Itu menjadi contoh yang baik soal etika profesi. Meskipun belum tentu dia melakukan seperti yang dituduhkan orang," kata Saan Mustofa di sela workshop Fraksi Demokrat, Jakarta, Jumat 17 Desember 2010.

Meski demikian, Saan mengatakan, DPR perlu menanyakan alasan sebenarnya pengunduran diri itu. Dia akan mengusulkan agar Komisi Hukum DPR mengklarifikasi hal itu kepada MK. "Pasti, itu perlu ditanyakan," ujarnya.

Pilihan Arsyad mundur dinilainya tepat, terlebih posisinya di Mahkamah Konstitusi yang keputusannya final dan mengikat, tidak ada ruang untuk banding. Sehingga celah sedikit bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk mendiskreditkan.

"Pertanggungjawabannya kan langsung ke Tuhan, daripada menjadi persoalan ke depan itu pilihan tepat daripada nanti disoal kredibilitasnya," jelas dia.

Sementara itu, Ketua Komisi Hukum DPR Benny K Harman enggan menaggapi hal itu. "Tidak tahu saya. Mungkin ada kode etik internal MK," kata anggota Fraksi demokrat itu.

Namun demikian, Benny merasa perlu tahu alasan pengunduran Arsyad Sanusi dari MK. "Kami harus tahu. Nanti coba (kami) ditanyakan ke Ketua MK," ujar dia.
• VIVAnews
Ini Hasil Investigasi Suap MK
Diduga ada keterlibatan anggota keluarga salah satu hakim. Juga panitera pengganti MK.
Kamis, 9 Desember 2010, 10:17 WIB
Elin Yunita Kristanti, Desy Afrianti


VIVAnews -- Tim investigasi dugaan suap di Mahkamah Konstitusi mengumumkan hasil kerjanya. Anggota tim, Bambang Widjojanto, mengungkapkan ada dua kasus yang didalami tim.

Kasus pertama, tim mengecek pernyataan opini praktisi Hukum Tata Negara, Refly Harun, yang mengaku pernah ditunjukkan uang yang diklaim digunakan untuk kepentingan di MK.

Menurut Bambang Widjajanto, memang benar ada orang yang mengklaim. "Namun saat akan dikonfirmasi langsung, orang tersebut tidak bisa dikontak, jadi pertanyaan apakah terjadi pertemuan, tidak bisa kami lanjuti," kata Bambang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis 9 Desember 2010.

Pertanyaan apakah benar terjadi pertemuan, juga belum terjawab. Meski demikian, tim menyediakan sejumlah petunjuk. Juga rekomendasi. "Untuk pelanggaran kode etik, perlu dibentuk dewan kehormatan. Jika ditemukan tindak pidana direkomendasikan dibawa ke KPK," tambah Bambang.

Kasus kedua, tim menemukan titik terang. Pihak yang mengaku menyerahkan uang bersedia diperiksa. Demikian pula orang yang dituduh menyerahkan uang.

"Tidak dibantah, bahwa betul terjadi penyerahan uang dalam jumlah tertentu. Tidak hanya uang yang diserahkan, sertifikat, tapi dikembalikan," tambah dia.

Dalam kasus kedua ini, diduga ada keterlibatan anggota keluarga dari salah seorang hakim. Juga keterlibatan staf atau karyawan MK dan panitera pengganti.

"Rekomendasinya, kami minta ditindaklanjuti prosedur hukum berlaku, apa motifnya, penyuapan atau pemerasan, kita belum bisa melihatnya," ungkap Bambang.

Isu suap di MK mengemuka pertama kali dari tulisan opini praktisi Hukum Tata Negara Refly Harun dalam media massa yang berjudul "MK Masih Bersih?"

Dalam tulisan edisi 25 Oktober 2010, Refly menyebutkan bahwa pernah mendengar langsung di Papua ada orang yang mengatakan telah menyediakan uang bermiliar-miliar rupiah untuk berperkara di MK, termasuk menyuap hakim MK dalam menangani pemilukada.

Selain itu, dia mengaku pernah mendengar langsung dari seseorang yang pernah diminta oleh hakim MK untuk mentransfer uang Rp1 miliar sebelum putusan MK. Tapi orang itu tidak punya uang sampai waktu yang ditentukan.

Ketua MK, Mahfud MD, lalu meminta Refly untuk menginvestigasi atas apa yang telah diungkapkannya. Refly kemudian menjadi ketua tim investigasi, dengan anggota tim, Bambang Widjajanto, Adnan Buyung Nasution, Bambang Harymurti, dan Saldi Isra.
• VIVAnews
Setelah Anak Buah, Kini Giliran Mahfud MD Laporkan Refly Harun ke KPK
Jum'at, 10 Desember 2010 , 15:41:00 WIB
Laporan: Ade Mulyana



RMOL. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD kembali menegaskan, bahwa tidak ada penyuapan terhadap hakim konstitusi dalam sengketa pemilihan kepala daerah.

Yang ada, terang Mahfud, telah terjadi upaya percobaan penyuapan terhadap salah satu hakim. Hal ini berdasarkan temuan tim investigasi dugaan suap di MK yang dipimpin Refly Harun.

"Ada tiga orang yang mengetahui percobaan penyuapan kepada hakim. Yaitu (JR) Saragih, Bupati Simalungun, Refly Harun dan Maheswara Prabandono (pengacara Saragih)," ujar Mahfud kepada wartawan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan petang ini (Jumat, 10/12).

Mahfud didampingi hakim konstitusi Akil Muchtar dan Sekjen MK Janedjri M. Gaffar. Karena itu, Mahfud MD melaporkan ketiga orang itu ke KPK.

"Kami melaporkan ketiganya. Ini sebagai sikap, tanggung jawab, dan konsisten saya yang pernah katakan, akan dibawa ke ranah hukum apa pun yang ditemukan oleh tim investgasi," ujarnya.

Akil Muchtar berharap kasus upaya penyuapan ini menjadi terang benderang di tangan KPK. "Kami berharap ini agar terang benderanglah," harap mantan politisi Golkar ini.

Beberapa saat sebelumnya, panitera pengganti Mahkamah Konstitusi Makhfud juga melaporkan Refly ke KPK. [zul]

13 Desember 2010
Serangan Balik Sang Tangan Kanan


Hujan lebat mengguyur Perumahan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu, 22 September lalu. Siang itu, bersama rekannya sesama ahli hukum, Maheswara Prabandono, pengamat hukum tata negara Refly Harun bergegas memasuki sebuah rumah besar di kompleks itu. Sang tuan rumah, Bupati Simalungun Sumatera Utara Jopinus Ramli Saragih, sudah menunggu. Mempersilakan tamunya masuk, sahi bulbait menghidangkan teh panas dan penganan kecil. Sekretaris Jopinus, Jumadiah Wardati, duduk di ruang tengah.

Pekan-pekan itu kemenangan Jopi nus dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Simalungun tengah diuji di Mahkamah Konstitusi. Ini lantar an tiga pasangan lainnya, yang kalah dalam pemilihan pada 30 Agustus lalu, memperkarakan perolehan suara yang diraup pasangan Jopinus Saragih dan Nuriaty Damanik. Siang itu, kepada Refly dan Maheswara, kuasa hukum yang mewakilinya menghadapi gugat an pesaingnya yang kalah itu, Jopinus mengaku sudah bertemu dengan hakim konstitusi Akil Mochtar. Akil adalah ketua panel hakim yang menangani gugatan itu. "Saya kaget mendengarnya," kata Refly.

Jopinus tak membuka informasi di mana dan kapan pertemuan itu terjadi. Dia hanya menyatakan telah menemui Acil-demikian, menurut Refly, Jopinus memanggil Akil Mochtar bersama dua kerabatnya. Adapun Akil ditemani seseorang.

Saat Refly menebak bahwa orang yang menemani Akil adalah T.M. Nurlif anggota Badan Pemeriksa Keuangan, kini tersangka dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Jopinus mengangguk. Refly mafhum karena sebelumnya ia mendapat informasi dari kliennya yang lain, yang juga beperkara di Mahkamah Konstitusi, bahwa Nurlif adalah penghubung Akil.

Menurut Jopinus, saat bertemu dengan Akil, ia dimintai duit oleh sang hakim Rp 1 miliar agar posisinya aman. Jika tidak, permohonan salah satu calon akan dikabulkan dan pemilihan kepala daerah Simalungun digelar ulang. Skenarionya, perolehan suara kandidat urutan kedua (Kabel Saragih dan Mulyono) akan digugurkan dengan dalil penggunaan ijazah palsu (lihat "Petunjuk Saksi Itu"). Tak mau ambil risiko, Jopinus menyetujui permintaan tersebut. Semula, Jopinus mengaku, Akil minta Rp 3 miliar.

Membuktikan dirinya tak membual, Jopinus lantas menunjukkan amplop besar berlogo salah satu bank pemerintah kepada dua tamunya. Isinya, dolar Amerika Serikat senilai Rp 1 miliar. Menurut Jopinus, uang itu bakal diserahkan kepada Akil. Jopinus juga membocorkan putusan uji materi bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Susno Duadji serta bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra yang, menurut dia, didapat dari Akil. Perkara Susno bakal ditolak dan Yusril diterima. "Sepekan berselang, dua perkara itu diputus dan bocoran itu benar," kata Maheswara kepada Tempo.

Lantaran ada permintaan Akil, kepada tamunya, Jopinus mengaku kantongnya kini kempis. Kepada Refly, ia minta diskon untuk biaya pengacara. Refly, yang mengaku kaget mendengar cerita Jopinus, langsung melontarkan gagasan untuk melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi. "Tapi Jopinus melarang," kata Refly.

Sebulan kemudian, Refly meradang saat mendengar konferensi pers Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. Jumpa wartawan itu digelar Mahfud untuk membantah desas-desus yang menyebutkan hakim MK bisa "dibeli". "Mahkamah Konstitusi bersih seratus persen," kata Mahfud. Sepekan setelah pernyataan itu, Refly menulis opini di harian Kompas dengan judul "MK Masih Bersih?".

Tak hanya menyinggung kasus Si malungun, Refly juga menyebut dua contoh lain perihal kebobrokan Mahkamah Konstitusi: kisah seorang gubernur yang gagal "bernegosiasi" dengan seorang hakim. Juga pengakuan sejumlah orang yang ditemuinya di Papua, yang menyatakan sudah habis belasan miliar rupiah untuk disetor ke hakim Mahkamah.

Serangan Balik Sang Tangan Kanan (2)


Tulisan ini membuat Mahkamah Konstitusi meradang. Mahfud meminta pakar hukum tata negara itu menjadi ketua tim investigasi untuk membuktikan kebenaran tulisannya. Mahfud mengancam akan memperkarakan Refly jika tidak bisa membuktikan tulisannya. "Kalau terbukti, saya yang akan mundur," kata Mahfud.

Refly lantas menunjuk pengacara Adnan Buyung Nasution dan wartawan senior Bambang Harymurti sebagai anggota tim. Mahkamah menunjuk pengacara Bambang Widjojanto dan guru besar hukum Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, untuk bergabung dengan tim itu. "Saya bersedia karena keterlibatan saya bermanfaat untuk penegakan hukum kita," kata Saldi. Dibentuk 8 November, tim diberi waktu sebulan untuk membuktikan tuduhan Refly.

KETEGANGAN meningkat di ruang rapat Mahfud Md. di lantai 15 gedung Mahkamah Konstitusi, Senin, 8 November lalu. Hari itu digelar pertemuan antara tim investigasi dan sejumlah hakim konstitusi. Beberapa hakim misuh-misuh perihal tulisan Refly. Mereka meminta Refly membuktikan tiga hal yang dituduhkan kepada mereka. "Tulisan itu merusak kredibilitas institusi," kata Mahfud. Tim menolak permintaan itu. Mereka memilih hanya akan mendalami satu kasus, yakni pengakuan Jopinus. "Karena ada bukti permulaan dan petunjuk yang kuat," kata Bambang Widjojanto.

Digelar 26 Agustus lalu, pemilihan kepala daerah Simalungun diikuti lima pasangan calon. Ketika Jopinus dan Nuriaty ditetapkan sebagai pemenang, tiga pasangan yang kalah menuding kemenangan itu sarat kecurangan. Awal September, tiga pasangan yang keok membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim yang menangani sengketa pemilihan kepala daerah Si malungun ini diketuai Akil Mochtar dengan anggota Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim.

Refly menuliskan pengakuan Jopinus saat bertemu dengan dirinya September lalu dalam bentuk testimoni. Inilah bahan awal tim investigasi. Bambang Widjojanto ditunjuk jadi pemimpin harian karena Refly dianggap punya konflik kepentingan. Tim menyepakati beberapa prosedur: setiap anggota yang menemui saksi wajib didampingi satu anggota lain. Setiap pemeriksaan minimal dilakukan tiga anggota. "Ini karena anggota tim terdiri atas dua kelompok: mereka yang ditunjuk Refly dan mereka yang ditunjuk Mahkamah Konstitusi," kata Bambang.

Baru pada pekan kedua tim menetapkan lima orang untuk dimintai keterangan. Kelimanya adalah Refly Ha run dan Maheswara Prabandono (pengacara), Jopinus Ramli Saragih (calon bupati), Jumadiah Wardati (sekretaris Jopinus), serta Syahmidun Saragih (ketua tim sukses pemenangan Jopinus dan suami calon wakil bupati Nuriaty Damanik). Refly menuturkan Syah midun besar kemungkinan adalah orang yang menemani Jopinus bertemu dengan Akil. Dihubungi Tempo, Syahmidun menyatakan ia tak mau bicara masalah ini.

Refly dan kawan-kawan sadar, tak mudah mengorek keterangan saksi yang mengetahui aksi pemerasan itu. Mereka lalu mengatur strategi: sebelum meme riksa Jopinus, mereka terlebih dulu akan memeriksa saksi-saksi pendukung. "Ini strategi bubur panas, dari pinggir dulu baru ke tengah," kata Bambang Widjojanto. Di Jakarta, tim meminta keterangan Maheswara.

Pekan ketiga, tim praktis vakum. Para anggota disibukkan pekerjaan masing-masing. Bambang Widjojanto, misalnya, tengah mengikuti seleksi pemimpin KPK. Baru pada Minggu, 28 November, tim mulai meminta keterangan saksi di luar Jakarta. Saksinya adalah Jumadiah Wardati, yang tengah berada di Rumah Sakit Efarina Etaham, Purwakarta. Minus Adnan Buyung, anggota tim Ahad pagi meluncur ke Purwakarta.

Kepada para investigator, Jumadiah membenarkan pertemuan Jopinus dengan Refly dan Maheswara. Tapi ia tak mendengar secara jelas pembicaraan mereka. Jumadiah mengaku Jopinus menunjukkan amplop cokelat kepada Refly dan Maheswara yang berisi duit dolar. Uang itu setahunya untuk biaya pengacara.

Kepada tim, Jumadiah memberikan informasi berharga lain. Kata dia, sopir Jopinus bernama Purwanto pernah bercerita bahwa ia diminta sang majikan menyerahkan uang kepada seorang hakim. Sialnya, informasi itu menjadi pepesan kosong karena kepada tim, yang juga menemuinya di Purwakarta, Purwanto membantah cerita Jumadiah. Dia menyatakan tak pernah memberikan duit kepada satu hakim pun.

Serangan Balik Sang Tangan Kanan (3)


Pantang pulang dengan tangan hampa, dari Purwakarta empat anggota tim terbang ke Simalungun untuk menemui Jopinus. Mereka datang ke kota yang terletak sekitar 150 kilometer dari Medan itu tanpa memberi tahu tuan rumah. Malang tak bisa ditolak, yang dicari ternyata tak ada-baik di kantor maupun di rumah dinas. Di Simalungun para investigator hanya bisa menemui Syahmidun, ketua tim sukses Jopinus. Syahmidun mengaku pernah menanyakan perkara pemilihan kepala daerah Simalungun ke Jopinus. Calon bupati itu, ujarnya, hanya menjawab, "Beres."

Dari Syahmidun pula tim mengetahui Jopinus tengah berada di Batam untuk menghadiri acara yang digelar Departemen Dalam Negeri. Disusul ke Batam, lagi-lagi tim investigasi gigit jari. Belakangan, Jopinus dikontak via telepon. Berpuluh kali dihubungi, ia tak menjawab. Baru malam hari Jopinus merespons. Ia mengaku berada di Pekanbaru dan bersedia ditemui untuk memberikan keterangan. Tapi janji tinggal janji, setelah itu Jopinus tak lagi bisa dihubungi.

Di akhir pekan menjelang tenggat kerja tim, muncul kejutan. Dirwan Mahmud, calon Bupati Bengkulu Selatan, yang pernah kalah beperkara di Mahkamah Konstitusi, memberikan laporan kepada tim. Dirwan mengaku diperas seseorang yang mengaku anak hakim dan seorang panitera bernama Makhfud. Tim berhasil mendapatkan keterangan dari Dirwan dan Makhfud bahwa ada transaksi haram Rp 58 juta dalam kasus itu (lihat "Bola Panas Sengketa Pilkada").

Rabu sore pekan lalu, tim Refly menyerahkan hasil kerjanya ke Mahfud Md. Untuk Simalungun, tim menyimpulkan terjadi pertemuan antara Jopinus dan Refly. Namun perihal pertemuan dengan hakim dan penyerahan uang kepada hakim, tim tak mendapat bukti. "Kami tidak bisa menelisik lebih jauh," kata Bambang Widjojanto. Tim merekomendasikan, jika ada pelanggaran pidana, kasus ini mesti dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus Bengkulu Selatan juga dilaporkan ke Mahkamah. Perkara kedua dianggap tim punya indikasi pidana lebih kuat. Ketua Mahkamah Konstitusi berjanji akan mendalami laporan kedua itu.

REFLY Harun terenyak saat Mahfud Md. dengan lugas menyebutkan detail kasus yang dilaporkan timnya, Kamis pekan lalu. Sehari sebelumnya, tim meminta Mahfud tidak menyebut nama saat mengumumkan hasil investigasi. "Kita kedepankan asas praduga tak bersalah," kata Refly. Tapi Mahfud punya alasan. Ia menilai, jika tidak menyebut nama, justru lembaganya akan diserang publik. "Nanti kami dikira bohong," kata Mahfud.

Dari hasil investigasi itu, Mahfud berkesimpulan tim tidak bisa membuktikan kebenaran tulisan Refly. Dua hal yang dituduhkan, kata dia, sama sekali tidak didalami. Soal Simalungun, menurut dia, tuduhan itu tidak terbukti. "Seribu persen saya percaya Pak Akil," katanya. "Dia tangan kanan saya," kata Mahfud. Karena tidak terbukti, ujarnya, ia tak akan mundur seperti yang pernah ia janjikan.

Akil Mochtar menilai hasil kerja tim laksana sampah. "Tidak ada bedanya dengan rumor-rumor yang selama ini beredar," ujarnya. Ia membantah soal Nurlif yang disebut-sebut "kepanjangan" tangannya. "Dulu memang kami satu partai, tapi saya tidak pernah berhubungan," katanya (lihat "Mereka Menfitnah Saya").

Nurlif sendiri membantah. Dihubungi via telepon, dia mengaku tidak punya kaitan dengan kasus itu. "Tidak ada urusan," katanya.

Di Purwakarta, Tempo melacak Jumadiah. Dihubungi Jum at pekan lalu, bekas sekretaris Jopinus itu tu tup mulut rapat-rapat. "Nanti saya dimarahi bos," katanya menghiba.

Serangan balik kini justru mengarah kepada Refly. Jumat pekan lalu, Mahfud dan Akil Mochtar melaporkan indikasi percobaan penyuap an dalam sengketa pemilihan kepala daerah Simalungun ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang disasar adalah Jopinus, Refly, dan Maheswara. Ketiganya itu, ujar Akil, dinilai mengetahui percobaan penyuapan dalam perkara yang tengah ditangani Mahkamah Konstitusi.

Ditemui Tempo, Kamis pekan lalu, Jopinus membantah semua cerita Refly. Dia mengaku tak pernah bertemu dengan Refly di rumahnya di Pondok Indah. Senin pekan ini, Jopinus menyatakan akan melaporkan Refly ke polisi. "Dia telah mencemarkan nama baik saya."

Refly mengaku tak gusar menghadapi semua serangan. Kata dia, kapan pun ia siap diperiksa KPK dan polisi. Menurut Refly, ia senang jika KPK turun tangan mengusut kasus ini. "Biar semuanya jelas, siapa salah-siapa benar."

Anton Aprianto (Jakarta), Soetana Monang Hasibuan (Simalungun), Nanang Sutisna (Purwakarta)
Bola Panas Sengketa Pilkada


Mohammad Mahfud Md. harus turun tangan meme riksa anak buahnya yang dituduh menerima suap. Rabu malam pekan lalu ia memanggil Makhfud, anak buahnya itu, ke ruang kerjanya di lantai 15 gedung Mahkamah Konstitusi. Tim investigasi dugaan makelar kasus pimpinan Refly Harun menyebut panitera pengganti itu telah menerima fulus saat menangani perkara pemilihan kepala daerah Bengkulu Selatan.

Dicecar berbagai pertanyaan tentang duit itu, Makhfud hanya bisa berlinang air mata. Ia mengaku pernah menerima uang Rp 58 juta dan sertifikat tanah dari Dirwan Mahmud, calon Bupati Bengkulu Selatan yang tengah beperkara di Mahkamah Konstitusi. Tapi uang tersebut sudah dikembalikan. "Menurut dia, orang itu yang memaksakan pemberian tersebut," kata Mahfud kepada Tempo.

Dirwan bermaksud mengajukan judicial review atas Pasal 58 Undang-Undang Pemerintah Daerah. Pasal itu telah menganulir kemenangannya dalam pemilihan kepala daerah Bengkulu Selatan pada Desember 2008. Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah Bengkulu Selatan menye lenggarakan pemilihan ulang tanpa keikutsertaan Dirwan. Lelaki itu dinyatakan tak memenuhi syarat administrasi karena pernah dipenjara tujuh tahun. Karena perkaranya dikalahkan, Makhfud diminta mengembalikan fulus haram tersebut.

Kasus Dirwan ini juga menyeret nama hakim konstitusi Arsyad Sanusi. Ada juga dugaan keluarga Arsyad membantu transaksi uang dari Dirwan kepada Makhfud. Putri dan adik ipar Arsyad disebut-sebut berperan "membawa" Dirwan ke Makhfud.

Arsyad, yang ditemui sejumlah wartawan di gedung Mahkamah Konstitusi, mengakui anaknya sempat me ngenalkan Dirwan kepada Makhfud. Namun, menurut dia, putrinya sekadar membantu, setelah Dirwan menge luh dizalimi. Dirwan, kata Arsyad, ingin mengetahui apakah perkara yang sudah diputus boleh diajukan kembali. Arsyad memastikan keterlibatan anaknya hanya sampai di situ. Pekan-pekan ini, ujar Mahfud Md., MK akan meme riksa mereka yang disebut-sebut dalam kasus ini.

Mahfud Md. mengakui isu tak sedap tentang MK memang meruyak setelah lembaganya itu mendapat wewenang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah. Semula perkara semacam ini ditangani Mahkamah Agung. Pada 1 November 2008, Mahkamah Agung melimpahkan pengadilan sengketa itu ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tak diajak berembuk perihal pelimpahan tugas tersebut. "Mahkamah Konstitusi kaget, tiba-tiba ada pelimpahan kewenangan ini," ujar Mahfud.

Dasar penyerahan kewenangan itu adalah Undang-Undang Nomor 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Di sana dinyatakan pemilu kepala daerah sama dengan pemilu seperti dimaksud Pasal 22 Undang-Undang Dasar. "Karena sama, penangan annya dibawa ke Mahkamah Konstitusi," kata Mahfud.
Bola Panas Sengketa Pilkada (2)


Sejak awal Mahfud sudah memper kirakan putusan sengketa pemilihan kepala daerah bakal "ramai". "Perkara pilkada ini ibarat membopong bola panas," ujarnya. "Yang kalah selalu menuding ada suap."

Penanganan sengketa pemilihan kepala daerah sebenarnya tak jauh beda dengan penanganan sengketa lainnya di Mahkamah Konstitusi. Perbedaan hanya pada sifatnya yang cepat dan sederhana. Sementara sengketa lain batas waktu penyelesaiannya rata-rata sebulan, untuk sengketa pemilihan kepala daerah waktunya hanya 14 hari.

Obyek perselisihan pemilihan kepala daerah adalah hasil penghitung an suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, yang dalam sengketa biasa disebut sebagai termohon. Permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara diajukan ke Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tiga hari kerja setelah KPU menetapkan hasil penghitungan. Peradil an perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan tingkat pertama seka ligus terakhir. Putusannya bersifat final dan mengikat.

Sidang sengketa pemilihan kepala daerah dilakukan sebuah panel yang beranggotakan tiga orang hakim. Mahkamah telah membagi sembilan hakim yang ada menjadi tiga panel. Masing-masing beranggotakan tiga orang. Di sinilah sengketa itu diputuskan untuk kemudian dibawa ke sidang pleno minimal dihadiri tujuh hakim konstitusi-untuk ditentukan diterima atau ditolak. "Biasanya putusan panel selalu disetujui pleno," ujar sumber Tempo.

Menurut sumber itu, jumlah hakim yang hanya tiga membuat "permainan nakal" mudah terjadi. "Dua hakim saja dipegang, perkara bisa diatur," ujar sumber itu. Informasi dari sidang panel ini kemudian dimanfaatkan pihak tertentu untuk mendekati mereka yang beperkara. Caranya, seolah-olah ia bisa mengatur para hakim itu. "Para pelaku untung-untungan: jika perkara dimenangkan, orang yang diperas menduga ada peran serta pelaku," katanya. Modus seperti ini yang diduga dilakukan Makhfud. "Kalau perkaranya di kabulkan, waktu itu, dia bisa mendapat uang dan sertifikat. Tapi, karena kalah, terpaksa dikembalikan."

Akil Mochtar menolak keras jika hakim panel bisa disuap. Menurut dia, hakim panel saling mengawasi. "Proses nya transparan," ujarnya. Putusan panel, kata Akil, juga tidak mutlak ditentukan anggota panel. "Putusan itu masih akan dimusyawarahkan dalam rapat pleno, yang jumlah hakimnya lebih banyak."

Sampai kini MK telah menangani 215 perkara berkaitan dengan pemilihan kepala daerah. Dari jumlah itu, hanya 21 perkara yang dikabulkan. Sisanya ditolak.

Meski disebut final dan mengikat, prakteknya putusan MK pernah cuma berhenti di ruang sidang. Ini misalnya putusan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Kendati MK pada 7 Juli 2010 telah menganulir kemenangan pasangan Su gianto Sabran-Eko Soemarsono, dan memenangkan pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto, putusan tersebut tak bisa direalisasi. Pleno Komisi Pemilihan Umum Daerah Kotawaringin Barat justru menetapkan sebaliknya. Kasus Kotawaringin Barat itu kini tengah digodok di Kementerian Dalam Negeri.

Ramidi (Jakarta), Karana Wijaya (Palangkaraya)
Hakim tanpa Pengawas


Berdiri kukuh disangga sembilan pilar, gedung mentereng di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, itu tak pernah sepi dari pencari keadilan. Inilah gedung Mahkamah Konstitusi, pengadilan yang kini kebanjiran perkara sengketa pemilihan kepala daerah.

Urusan pilkada sebenarnya bukan "pe kerjaan utama" Mahkamah. Diben tuk berdasarkan Undang-Undang Mah kamah Konstitusi Nomor 24/2003, pokok pangkal lahirnya lembaga ini lanta ran, "Banyak undang-undang yang diangggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945," kata pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin. Di luar itu, undang-undang menunjuk lembaga ini sebagai pemutus sengketa antarlembaga negara dan juga lembaga yang berhak membubarkan partai politik.

Mahkamah Konstitusi resmi berope rasi pada 15 Oktober 2003, dengan ditandai pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung. Sejak berdiri hingga ki ni, sudah 266 perkara yang diputus lembaga ini. Dari jumlah itu, 75 perkara di kabulkan, 93 ditolak, 69 tidak diterima, dan sisanya ditarik oleh sang pemohon.

Tidak seperti "saudara tua"-nya Mahkamah Agung, yang memiliki 51 hakim, jumlah hakim Mahkamah Konstitusi hanya sembilan. Mereka dipilih berdasarkan perwakilan dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masing-masing dengan perwakilan tiga orang. "Penerapan trias politika yang paling benar ada di Mahkamah Konstitusi," ka ta Irman. Sembilan hakim ini pula yang kemudian disimbolkan sembilan pilar yang menyangga gedung Mahkamah Konstitusi yang berwarna abu-abu itu.

Sejumlah prestasi berkaitan dengan undang-undang pernah ditelurkan lem baga ini. MK, misalnya, pada 2006 menghapus pasal-pasal yang berkaitan dengan delik pencemaran nama baik presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan penghapusan ini, delik itu menjadi delik aduan. Tak bisa lagi polisi, misalnya, menangkap seseorang dengan alasan mencemarkan nama baik presiden. "Lembaga ini menjadi benteng terakhir terhadap demokrasi," kata Wakil Ketua Komisi Hukum Tjatur Sapto Edy.

Lembaga ini juga pernah dipuji karena melakukan terobosan memperdengarkan rekaman suara Anggodo,adik tersangka kasus korupsi Sistem Radio Komunikasi Terpadu, Anggoro Wi djo jo, yang saat itu diduga merancang kri minalisasi terhadap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Rekaman itu menghebohkan karena dengan gamblang mempertunjukkan bobroknya mental sejumlah aparat penegak hukum kita.

Tak mudah menjadi hakim konstitusi. Syarat utamanya memiliki pengalam an di bidang hukum minimal sepuluh tahun, tak boleh rangkap pekerjaan, dan harus melepas keanggotaan dalam partai politik. "Ini supaya tidak ada konflik kepentingan," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.

Gaji hakim konstitusi lumayan besar, rata-rata Rp 40 juta. Mereka mendapat fasilitas rumah dinas, mobil,serta uang tunjangan Rp 200 ribu per sidang. Khusus buat Ketua Mahkamah, fasilitas yang didapat setara dengan menteri. Untuk menjaga kebugaran tubuh, disediakan tukang pijat yang bersiaga bekerja bagi para hakim yang kecapekan akibat banyak bersidang.

Fasilitas dan gaji cukup tak menjamin perilaku baik para hakim. Tjatur mengaku pernah mendengar kabar tak sedap tentang kelakuan hakim konstitusi. Berita itu ia peroleh dari sejumlah anggota partai yang bersengketa dalam pemilihan kepala daerah. "Ada kabar hakimnya bisa diatur dengan uang," ujarnya.

Mahfud mengakui satu-satunya pengawasan para hakim memang hanya dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi. Adapun dewan kehormatan hanya bersifat ad hoc dan dibentuk jika terjadi penyimpangan kode etik. Selama ini dewan kehormatan belum pernah dibentuk. Mahfud menjamin hakim konstitusi periode ini bersih. "Tapi saya tidak menjamin untuk sepuluh tahun ke depan," katanya. "Godaan hakim sangat besar."

Menurut Tjatur, Badan Legislasi DPR kini tengah menggodok revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang mendapat sorotan memang soal pengawasan. "Ada usul untuk melembagakan badan pengawas hakim Mahkamah Konstitusi," katanya. Alter natif solusi: Komisi Yudisial bisa meng awasi hakim konstitusi. "Karena hakim tidak boleh mengadili diri sendiri," kata Tjatur.

Mustafa Silalahi
Akil Mochtar: Mereka Memfitnah Saya


Hasil investigasi "Tim Refly" benar-benar menyodok Akil Mochtar. Hakim Mahkamah Konstitusi yang juga bekas anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu disebut-sebut meminta uang Rp 1 miliar kepada Bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih. Itu terjadi saat Akil menjadi ketua panel hakim yang mengadili perkara sengketa pemilihan bupati daerah tersebut Agustus silam.

Akil keras membantah tu duhan itu. Ia menegaskan tak pernah menerima satu rupiah pun dari Jopinus. "Ini pembunuhan karakter," kata pria 50 tahun itu kepada wartawan Tempo Mus tafa Silalahi, Anton Aprianto, Ramidi, dan Yuliawati yang menemuinya Kamis pekan lalu di ruang kerjanya di gedung Mahkamah Kon stitusi.


Anda memeras Jopinus Ramli Saragih?
Tidak. Saya bahkan tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Jopinus selain di ruang sidang. Di sidang itu saya menjadi ketua panel hakim sengketa pemilihan Bupati Sima lungun bersama Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim.


Komentar Anda tentang hasil tim investigasi itu?
Laporan itu tidak dibuat berdasarkan keterangan Jopinus langsung, tapi testimoni tentang kejadian yang di alami dan didengar oleh Refly Harun dan Maheswara Prabandono. Saya disebut memeras calon nomor satu dan nomor dua pemilihan di sana. Saya juga disebut menunjukkan hasil putusan Yusril Ihza Mahendra dan Susno Dua dji. Kalau dikait-kaitkan begini, ceritanya jadi enak betul.


Pernah dimintai keterangan tim investigasi?
Tidak pernah. Apalagi kabar peme rasan itu masih dianggap sumir. Juga tidak jelas karena terjadi missing link antara kesaksian satu dan lainnya dalam laporan investigasi itu.


Kenapa Anda nilai sumir?
Hasil investigasi itu bukan keterang an langsung Jopinus. Ia hanya satu kali ditelepon oleh tim investigasi, kemudian dicari juga ke Batam, tapi tak berhasil. Dia kan bupati, sebenarnya cari saja di kantor Bupati Simalungun, ala mat kantornya jelas, alamat rumahnya juga jelas.


Anda sudah mendengar tuduhan peme rasan ini sebelum tim investigasi dibentuk?
Jauh sebelum tim melaporkan kasus ini, saya banyak menerima SMS bernada tuduhan serupa. Lalu saya melapor ke Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. Itu hampir sebulan lalu. Saya bilang, "Pak, saya dituduh memeras Bupati Simalungun." Saya juga bilang ini semua kabar sampah. Pak Mahfud mendukung saya.


Anda dan hakim konstitusi lainnya sering menerima SMS seperti itu?
Saya memang sering mendapat SMS. Apalagi dari warga Papua, hampir setiap hari. Khususnya bila putusan sudah keluar. Nomor-nomornya tidak jelas. Dari yang mau memberi uang sampai mengancam akan pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini. Tapi saya tidak pernah menanggapi SMS itu. Tidak pernah juga saya simpan. Isi SMS-SMS ini juga pernah saya sampaikan di sela-sela Rapat Permusyawaratan Hakim. Kami menganggap hal ini sudah biasa.


Kenapa Anda melaporkan Jopinus ke Komisi Pemberantasan Korupsi?
Saya laporkan Jopinus agar ia bisa berbicara. Hanya penyidik yang bisa memaksa ia bicara. Refly dan Mahes wara juga otomatis akan diperiksa meski tidak dilaporkan. Jika mereka nanti tidak bisa membuktikan adanya pe merasan, terbukti mereka memfitnah saya.


Mengapa Anda memilih melaporkan hal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi?
Saya tahu betul kredibilitas lembaga ini, karena saya pernah ikut mengonsep lembaga ini. Kalau melapor ke kejaksaan dan polisi, saya bisa tersandera di sana. Kasus ini bisa enggak selesai-selesai. Malah kacau nanti.


Ada kabar yang menyebutkan Refly dendam kepada Anda karena kasus yang ia tangani sering Anda kalahkan?
Dalam testimoni di laporan investigasi itu, dia mengaku geram kepada saya. Sengketa pemilihan kepala daerah yang saya tangani memang banyak melibatkan dia, seperti Kabupaten Merauke, Simalungun, dan Toli-toli. Tapi ada juga yang menang dan kalah. Itu kan biasa. Ia juga menyebut saya bertemu orang di Jerman untuk menerima suap. Bayangkan, sampai sesirik itu dia kepada saya.


Benar Anda pernah mendamprat Refly?
Iya, sekitar Oktober lalu, sebelum ia menulis opini di Kompas. Saat itu kami ber temu di depan lift; disaksikan dua orang wartawan dan karyawan lain. Saya bilang ke dia, "Jangan sembarangan menuduh." Itu karena sebelumnya ia ngomong ke sana-kemari menyebut saya menerima uang dari sengketa pemilu kepala daerah Merauke. Ia minta maaf. Eh, tulisan opini itu malah muncul.
Akil Mochtar Membantah Telah Menghina Partai Golkar

Kapanlagi.com - Mantan Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Akil Mochtar, saat pertemuan kader dengan Ketua Umum DPP, Jusuf Kalla, di Auditorium Politeknik Negeri Pontianak, Sabtu, membantah pernyataan yang menyatakan bahwa dirinya pernah menghina Partai Golkar melalui media massa daerah yang ada di Kalimantan Barat.

"Mana mungkin saya bisa mengeluarkan kata-kata yang mengandung penghinaan kepada Partai yang selama ini telah membesarkan saya dan telah mengajarkan banyak hal tentang politik kepada saya," kata Akil Mochtar dengan suara lantang dalam pertemuan yang disaksikan ratusan kader dan simpatisan Partai berlambang Beringin itu.

Ia mengatakan, hanya pernah membuat pernyataan, melalui media massa di Jakarta, yaitu koran Indo Post dan Rakyat Merdeka, saat dicopot dari jabatan sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI, karena dinilai memiliki kinerja yang buruk, tidak bisa bekerjasama dan tidak pernah berkomunikasi, karena itu memang karakternya.

"Saya tidak pernah mengatakan, Partai Golkar berenang dengan gaya katak, saya hanya mengatakan, tetapi yang paling parah dari saya, bahwa saya tidak mampu berenang dengan gaya katak," kata Akil Mochtar yang disambut tepuk tangan para pendukungnya.

Ia menambahkan, dirinya bukan seorang pecundang seperti yang dituduhkan oleh lawan politiknya saat ini, tetapi dirinya adalah seorang pejuang.

Menurut ia, selama berkarir di partai Golkar, tidak pernah mendapat teguran dari partai, tetapi ketika jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI dicopot karena habis masa jabatannya dan keikutsertaan dalam bursa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kalimantan Barat tahun 2007, maka lawan politiknya telah menggunakan kesempatan tersebut untuk menjadi modal untuk menjatuhkannya.

Akil Mochtar juga membantah telah berkhianat dengan Partai Golkar, malah ia menantang kalau memang ia terbukti bersalah maka silakan saja dipecat dan dikeluarkan dari partai tersebut.

Sebelumnya, berita tentang pernyataan Akil Mochtar pernah mengatakan, bahwa Partai Golkar adalah Partai yang mengibaratkan "katak yang sedang berenang" yang diberitakan dalam media massa cetak di Kalbar.

Menanggapi pernyataan anggota DPR RI tersebut, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Jusuf Kalla mengatakan, persoalan Akil Mochtar dicopot dari jabatan sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI, bukan karena tidak becus dalam memimpin, tetapi karena jabatan wakil ketua yang itu memang sudah habis masanya yang hanya dua tahun.

"Jadi bukan karena Bang Akil (Akil Mochtar), mis-komunikasi dengan partai ataupun hal lainnya yang dapat menurunkan kinerjanya, tetapi murni habis masa jabatan," kata Jusuf Kalla. (*/lpk)


Selasa, 14/12/2010 23:22 WIB
DPR Meradang Gara-gara Isu Suap BI Rp 100 Miliar
Herdaru Purnomo - detikFinance

Jakarta - Komisi XI secara mendadak melakukan 'rapat' internal secara tertutup bersama Dewan Gubernur Bank Indonesia. DPR meradang gara-gara isu suap Rp 100 miliar.

Rapat yang dilaksanakan diruang pimpinan Komisi XI DPR tersebut ternyata membahas mengenai isu suap Rp 100 miliar yang dituduhkan kepada Komisi XI terkait pelaksanaan beberapa Rancangan Undang-Undang yang berhubungan terkait BI. Padahal semula direncanakan rapat akan membahas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI).

"Jadi ada isu yang melemparkan itu, orang BI namanya tidak diketahui, bahwa ada isu suap di mana DPR minta Rp 100 miliar terkait 3 UU. Yakni Mata Uang, OJK dan ATBI," ujar Anggota DPR Laurens Bahang Dama ketika ditemui di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta, Selasa (14/12/2010).

Menurut Laurens, isu tersebut muncul ketika ada rapat di Panja OJK pada Senin kemarin. Oleh karena itu, Laurens mengatakan akan diselesaikan terlebih dahulu isu tersebut.

"Jadi kita mau clear kan itu dulu. Menurut BI, sedang dijelaskan nih didalam oleh Agus (Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia) di dalam," ujar Laurens.

Laurens mengatakan, isu suap Rp 100 miliar ini kabarnya terkait uang pelicin dalam pembahasan Undang-Undang yang terkait BI. "Jadi terkait Pansus OJK, Panja RUU Mata Uang, dan Transfer Dana ditambah ATBI," jelasnya.

"Selama BI tidak memberikan klarifikasi secara clear kami tidak akan melalukan rapat-rapat lagi karena tidak sehat," imbuh Laurens.

Pantauan detikFinance dilapangan, rapat tertutup tersebut memang cenderung 'aneh'. Rapat dilakukan bukan di ruang sidang seperti biasanya tetapi di ruang pimpinan

Dewan Gubernur BI, Darmin Nasution, Muliaman Hadad, Budi Rochadi, Budi Mulya, Hartadi Sarwono, dan Halim Alamsyah datang sekitar pukul 19.15 WIB.

Pada pukul 20.00 WIB mereka terlihat masuk ke ruang pimpinan Komisi XI DPR RI, ditambah Agus Santoso Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) setelah semua pimpinan komisi XI dan beberapa anggota datang.

Mereka mengadakan 'rapat' di ruang pimpinan dimulai dari pukul 20.30 WIB hingga 22.30 WIB. Beberapa kali terlihat Dewan Gubernur BI keluar masuk ruang tersebut.

Setelah pertemuan tersebut selesai Gubernur BI Darmin Nasution tidak berkomentar apa-apa ketika diklarifikasi wartawan.

"Rapat ATBI (Anggaran Tahunan BI) besok jam 2 siang," tutur Darmin singkat.

Ketika detikFinance mencoba klarifikasi kepada Dewan Gubernur lain ternyata semua tidak ingin berkomentar.

Ketua IPEBI Agus Santoso juga tidak mengungkapkan apapun. Dirinya keluar ruang rapat didampingi dengan petugas keamanan BI hingga masuk kendaraan.

(qom/dnl)
Rabu, 15/12/2010 13:38 WIB
Dituding Sebarkan Isu Suap Rp 100 Miliar, Ketua IPEBI Pilih No Comment
Herdaru Purnomo - detikFinance


Jakarta - Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) Agus Santoso menolak berkomentar seputar isu suap Rp 100 miliar kepada DPR. Agus menyatakan kasus isu suap ini sudah selesai dan tidak akan diperpanjang.

"Saya no comment lah, ya itu biarkan saja lah," ujar Agus ketika dimintai keterangan oleh wartawan disela acara Munas IPEBI Ke-20, di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin Jakarta, Rabu (15/12/2010).

Dirinya menegaskan tidak akan mengungkapkan apapun mengenai masalah tersebut. "Kalau soal Rp 100 miliar saya tidak mau. Tanya saja Pak Harry (Wakil Ketua Komisi XI)," jelas Agus.

Menurutnya, semua sudah diselesaikan oleh politisi partai Golkar Harry Azhar Azis yang memimpin pertemuan internal membahas isu suap Rp 100 miliar pada Selasa (14/12/2010) itu.

"Saya kira sudah selesai, stop sampai disini saja. Semua tanya pak Harry saja," tukasnya.

Pada Selasa (14/12/2010) malam, rapat antara Bank Indonesia dan Komisi XI DPR RI yang sedianya membahas Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) akhirnya berbelok membahas isu suap Rp 100 miliar. Rapat yang dilaksanakan diruang pimpinan Komisi XI DPR tersebut ternyata membahas mengenai isu suap Rp 100 miliar yang dituduhkan kepada Komisi XI terkait pelaksanaan beberapa Rancangan Undang-Undang yang berhubungan terkait BI.

"Jadi ada isu yang melemparkan itu, orang BI namanya tidak diketahui, bahwa ada isu suap di mana DPR minta Rp 100 miliar terkait 3 UU. Yakni Mata Uang, OJK dan ATBI," ujar Anggota DPR Laurens Bahang Dama.

Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis menyebut nama Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) Agus Santoso sebagai pihak yang menyebarkan isu tersebut. Komisi XI berpandangan bahwa Agus Santoso telah melakukan fitnah karena tuduhan tersebut tidak bisa dibuktikan.

"Agus (Ketua IPEBI) telah menyebarkan kesana kemari yang kemudian kita anggap ini jadi fitnah.Dia menyampaikan ada anggota Komisi XI yang meminta dana Rp 100 miliar, karena kita tidak mau nama baik kita dirusak makanya kita klarifikasi," ujar Harry.

Harry menceritakan, Agus Santoso mengungkapkan salah seorang anggota Komisi XI meminta dana Rp 100 miliar untuk melancarkan RUU yang sedang digodok antara Komisi XI dan BI. Kemudian, lanjut Harry ketika di konfrontir dengan anggota Komisi XI ternyata tidak benar.

"Memang dia sebut satu anggota Komisi XI dan dalam pertemuan ini sudah di konfrontasi dimana anggota Komisi XI sudah bersumpah tidak pernah," jelas Harry.

(dru/qom)


Selasa, 14/12/2010 14:10 WIB
Awasi Anak Buah, Dirjen Bea Cukai Ogah 'Menyamar'
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Thomas Sugijata mengatakan sering turun ke lapangan untuk memantau anak buahnya. Namun ia enggan menerapkan modus menyamar dalam rangka pengawasan petugas paling bawah. Kenapa?

"Nggak-nggak (menyamar) tapi lewat sidak saja," kata Thomas kepada detikFinance di kantornya, Selasa (14/12/2010).

Thomas menjelaskan alasan mengapa ia tak mau melakukan penyamaran atau tak sering sidak dadakan karena langkah ini justru akan membiasakan anak buahnya bekerja baik kalau ada sidak saja.

Namun ia lebih mengedepankan sistem pengawasan yang melekat yang terstruktur dari atas ke bawah.

"Alasannya karena program pengawasan melekat itu sudah berjalan. Jangan sampai kita mengawasi, jadi kebiasaan. Nanti jangan sampai orang bekerja baik kalau disidak. Tetapi orang bekerja baik karena diawasi oleh atasannya langsung," katanya.

Menurutnya dalam bekerja ia mengedepankan kepada anak buahnya untuk bekerja diluar dari ekspektasi termasuk dalam hal pelayanan kepabeanan. Ia berpegang pada prinsip bahwa tugas yang diberikan oleh atasan harus dilaksanakan dan harus diupayakan lebih cepat.

"Dua hari lalu saya ke Semarang, sebelumnya Tanjung Balai Karimun, Entikong. Sambil bekerja di sini kita harus ke lapangan untuk memberikan dorongan semangat," ujarnya.

(hen/dnl)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02