kejahatan KEMANUSIAAN (1)

Selasa, 14/12/2010 08:20 WIB
Romantisme Refly Harun
Taufik Wijaya - detikNews




Jakarta - Nama Refly Harun dalam beberapa pekan terakhir ini banyak dikutip media massa. Wajahnya sering muncul, baik di media cetak, online, maupun televisi. Ini bermula ketika mantan wartawan ini, menulis sebuah artikel di harian Kompas, dengan judul "MK Masih Bersih?".

Kritik Refly ini cukup menyentak banyak pihak di Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi (konstitusi) di negara ini, yang tentu saja sangat sensitif terhadap berbagai isu yang dinilai tidak bermoral atau tidak profesional.

Sebab bila MK sudah tidak dapat dipercaya, ke mana lagi bangsa ini akan mendapatkan jaminan konstitusi yang paling adil?

Kritik Refly ini mendapat reaksi dari ketua MK Mahfud MD. Mahfud pun meminta Refly 'menunjuk hidung' hakim yang diduga menerima sesuatu yang dapat mengganggu sikap profesionalitasnya.

Kini, semua pihak menunggu sikap Refly selanjutnya. Hasil kerja tim investigasi internal MK yang mana Refly Harun berada di dalamnya, belum memuaskan atau dinilai tidak setara dengan apa yang disampaikan Refly dalam artikelnya di harian Kompas.

Terlepas soal itu, ada baiknya kita mengenal sisi lain dari Refly Harun. Refly Harun merupakan salah satu generasi terakhir dari kekuasaan Orde Baru. Sebagai mahasiswa Universitas Gajahmada, dia tumbuh di lingkungan intelektual Yogyakarta, yang sebagian besar merupakan oposisi dari kekuasaan Soeharto.

Meskipun tidak sering turun ke jalan selama proses reformasi —1995-1998— Refly merupakan aktifis mahasiswa dari kelompok kritis yang banyak menyoroti persoalan hukum dan politik di Indonesia melalui berbagai diskusi. Sikap kritisnya dia tunjukkan dalam berbagai tulisan atau artikel.

Seperti umumnya para intelektual muda di Yogyakarta, Refly pun merantau ke Jakarta. Dia sempat magang atau belajar dengan pengacara Adnan Buyung Nasution. Tak lama kemudian dia memutuskan menjadi wartawan di Media Indonesia. Selanjutnya dia pernah menjadi staf ahli
MK.

Terakhir, setelah peneliti di Centre for Electoral Reform (Cetro) dia beberapa kali tampil sebagai pengamat hukum, yang sering dikutip atau tampil di sejumlah media massa.

Saya mengenal Refly saat sekolah di SMA Negeri 5 Palembang. Kami membentuk kelompok belajar atau diskusi. Kami juga menjadi pengelola majalah Dimensi, majalah sekolah di SMA Negeri 5 Palembang.

Refly satu dari beberapa anggota kelompok kami yang kuliah di Universitas Gajah Mada. Misalnya Sopril Amir, yang kini menjadi aktifis LSM untuk isu-isu persoalan anak dan pemberdayaan masyarakat desa.

Salah satu hal yang membuat Refly bergabung dengan kami yakni dia menyukai sejumlah buku yang sering kami diskusikan, yakni buku yang terkait dengan Bung Karno, filsafat kritis, dan novel-novel yang dilarang di negara-negara Eropa Timur.

Sama seperti anggota kelompok belajar kami, Refly pun sering mengkritik pemerintahan Soeharto.

"Aku yakin Soeharto akan turun. Negara ini banyak persoalan hukum yang sudah dilanggar Soeharto, ke depan pasti akan banyak muncul persoalan hukum," kata Refly, suatu hari di tahun 1988.

Ternyata pernyataan itu memang dia buktikan. Dia pun belajar hukum di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Namun dalam perjalanan selanjutnya, selama menjadi mahasiswa, Refly memilih menjadi pemikir kritis dibandingkan aktifis mahasiswa yang turun ke jalan. Misalnya dia menolak dengan keras, ketika saya mengajaknya mengikuti pertemuan Aldera (Aliansi Demokrasi Rakyat) di Bogor. Alasannya, dia tidak begitu tertarik dengan gerakan politik.

Dan dalam sebuah pertemuan, dia sempat menasehati saya ketika banyak bergaul dengan teman-teman Pijar di Jakarta. "Kamu itu seniman, lebih baik kamu mengekspresikan diri dengan karya seni dibandingkan ikut aksi ke jalan," katanya.

Cerita romantis ini, sebenarnya ingin menunjukkan bahwa Refly sebenarnya tidak suka dengan persoalan politik. Dia kritis, tapi tidak tertarik dengan politik. Tapi, entah kalau hari ini.

Selama di sekolah, Refly yang tidak pernah lupa salat lima waktu, ini juga sering protes dengan guru. Protes itu disampaikan secara terbuka di kelas. Akibatnya ada sejumlah guru yang 'memotong' nilainya, sehingga Refly yang cerdas itu tidak mendapatkan posisi terhormat setiap pembagian rapor.

Meskipun begitu, Refly tetap rajin masuk sekolah. Dia tetap bertahan dengan sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah Soeharto, yang sering dikritiknya. Sikap ini yang membedakan saya dan beberapa kawan lainnya yang terkagum dengan konsep pendidikan pembebasan yang ditawarkan Paulo Freire dan Ivan Illich.

*) Taufik Wijaya, wartawan detikcom dan pekerja seni. Tulisan ini tidak mewakili kebijakan redaksi.


Senin, 13/12/2010 21:12 WIB
Arsyad Sanusi Merasa Tidak Melanggar Kode Etik
Fajar Pratama - detikNews




Jakarta - Hakim MK Arsyad Sanusi diduga terlibat pelanggaran kode etik karena ada anggota keluarganya yang disinyalir turut bermain dalam perkara Kabupaten Bengkulu Selatan yang diajukan Dirwan Mahmud. Namun Arsyad merasa tidak melanggar apa-apa meski mengakui Dirwan pernah berkunjung ke rumahnya.

"Sekarang pertanyaannya, apakah saya hakim konstitusi punya anak dan tinggal di rumah yang sama, melanggar kode etik kalau ada orang yang berperkara datang ke rumah sementara saya tidak tahu," ujar Arsyad kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Senin (13/11/2010).

Seperti yang telah dituturkan Nesyawati, putri dari Arsyad, Dirwan pernah dua kali mendatangi apartemen keluarganya di Kemayoran. Di apartemen tersebut selain ditempati oleh Nesyawati juga ditinggali oleh Arsyad.

"Kedatangan ini tanpa diundang, tanpa pemberitahuan. Tanpa izin, nyelonong masuk dibawa Zaimar. Saya sendiri sama sekali tidak tahu dan tidak ada di situ. Saya sudah ke kantor," papar Arsyad.

Seperti diketahui, adanya dugaan pelanggaran kode etik ini berawal dari pengaduan yang merupakan tindak lanjut dari laporan tim investigasi di MK. Isu dugaan suap yang menghantam MK ini juga menyeret nama panitera pengganti MK, Makhfud. Ia disebut-sebut menerima suap berupa sertifikat tanah dan uang Rp 58 juta dalam perkara mantan calon Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud. Untuk diketahui, Refly juga merupakan kuasa hukum dari Dirwan.

Yang menarik adalah anak Hakim MK Arsyad Sanusi, Nesyawati disebut-sebut sebagai pihak yang menjembatani aliran dana dari Dirwan ke Makhfud. Bagaimana Nesyawati dan Dirwan dapat bertemu, karena diperkenalkan oleh Zaimar yang merupakan Ipar dari hakim Arsyad.

(fjr/mok)

MK dinilai sesatkan logika publik
Oleh Anugerah Perkasa | 12 December 2010
bisnis

JAKARTA: Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai melakukan penyesatan logika publik terkait dengan kasus dugaan penyuapan di tubuh lembaga penguji undang-undang tersebut serta tidak konsisten menjalankan rekomendasi tim investigasi independen.

Mantan ketua tim investigasi Refly Harun mengatakan MK justru inkonsisten dalam menjalankan rekomendasi tim investigasi independen tersebut. Rekomendasi tersebut di antaranya adalah membentuk majelis kehormatan dan melaporkannya ke penegak hukum.

"Petunjuk tentang adanya dugaan suap menyatakan bahwa MK tidak sepenuhnya bersih. Tetapi yang dilakukan justru melakukan penyesatan logika publik tentang dua kasus dugaan suap," ujar Refly saat dihubungi hari ini.

Temuan tim justru menyatakan yang telah terjadi dalam kasus itu adalah dugaan pemerasan atau dugaan penyuapan. Tetapi, sambung Refly, Ketua MK Mahfud MD justru melaporkan kasus tersebut ke KPK sebagai upaya percobaan suap.

Mahfud dan Akil Mochtar pada pekan lalu melaporkan tiga orang sekaligus yang diduga mengetahui masalah percobaan suap ke hakim konstitusi. Mereka adalah Bupati Kabupaten Simalungun Jupinus Ramli Saragih--yang berperkara di MK-- dan mantan penasihat hukumnya terkait dengan sengketa Pilkada tersebut, Refly Harun dan Maheswara Prabandono.

"Apalagi mantan klien saya menang, dan menjadi bupati. Bagaimana pihak yang menang bisa melakukan upaya percobaan suap?," ujar Refly. "Ada logika sesat yang dilakukan oleh MK dalam kasus ini."

Tim investigasi yang bekerja selama sebulan menemukan petunjuk kuat tentang adanya dugaan pemerasan atau dugaan penyuapan terkait sengketa Pilkada Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Temuan lainnya adalah dugaan penerimaan uang oleh panitera pengganti Mahfud dalam uji materiil yang diajukan oleh Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud.

Namun, Mahfud MD justru melaporkan Refly ke KPK terkait dengan dugaan percobaan suap dan tidak membentuk majelis kehormatan dalam kasus tersebut, sesuai rekomendasi tim investigasi.

"Ketiga orang itu diduga mengetahui persoalan percobaan suap terhadap salah satu hakim di MK. Oleh karena itu, kami melaporkan itu ke KPK untuk diusut," ujar Mahfud didampingi Akil dan Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin setelah melaporkan persoalan tersebut secara resmi pada pekan lalu. (tw)

Di HUT Rizal Ramli, Bang Buyung Pertanyakan Kualitas Kepemimpinan SBY
Minggu, 12 Desember 2010 , 10:04:00 WIB
Laporan: Teguh Santosa

RMOL. Bukan hanya pada Gayus HP Tambunan, yang dibelanya, pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pengacara senior Adnan Buyung Nasution kesal luar biasa.

Dia mempertanyakan janji SBY memimpin langsung pemberantasan korupsi dan berbagai mafia hukum. Nyatanya, sampai detik ini SBY tak memperlihatkan sikap sebagai pemimpin yang mau bertindak tegas menghadapi berbagai skandal korupsi yang sudah terang benderang di depan mata yang melibatkan jaringan mafia dari berbagai instansi.

Dalam kasus pengemplangan pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, sudah jelas terlihat praktik mafia hukum yang melibatkan anggota Polri, Jaksa dan pengacara. Mestinya, kalau SBY memang pemimpin, dia bisa menyelesaikan masalah ini dalam waktu singkat. Begitu dikatakan Adnan Buyung Nasution saat berbicara di perayaan HUT ekonom senior Rizal Ramli, Jumat malam (10/12).

“Kalau SBY memang leader, panggil Kapolri. ‘Hei Kapolri, saya kasih kamu waktu dua minggu untuk membongkar kasus ini. Kalau tidak kami saya pecat.’ Itu baru presiden yang leader,” ujar Bang Buyung menyarankan.

Apabila Kapolri tidak berani, SBY dapat memanggil Jaksa Agung dan memberikan perintah yang sama. Bila Jaksa Agung juga tidak berani, ya dipecat saja.

“Negara kita ini tidak akan bisa baik kalau presiden tidak bisa jadi leader. Beliau pernah bilang, saya akan memberantas korupsi paling depan. Tadi saya tagih dia. Buktikan sekarang, dia paling depan. Kita akan lihat, ada nggak kemajuan,” demikian Bang Buyung. [guh]

TII: Kejaksaan dan Polri Tak Boleh Tangani Sendiri Kasus Anggotanya
Sabtu, 11 Desember 2010 | 14:01 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Teten Masduki, mengaku langkah Kejaksaan Agung yang akan mengusut dugaan suap kepada anggotanya tidak tepat. Ia menilai, kasus ini harus ditangani lembaga lain. "Sebaiknya diserahkan ke pihak luar," ujarnya saat ditemui Tempo, Sabtu (11/12).

Kejaksaan Agung sendiri saat ini sedang dirundung masalah. Mantan Jaksa Agung Muda, Abdul Hakim Ritonga, diduga terlibat dalam kasus mafia hukum Gayus Halomoan P Tambunan. Gayus mengaku dirinya menyerahkan uang sebesar US $ 500 ribu kepada Haposan Hutagalung untuk memuluskan perkara yang melibatnya pada 2009 lalu. Uang ini, menurut Gayus mengalir juga kepada AH Ritonga dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Kamal Sofyan.

Teten mengatakan pengusutan kasus secara internal kerap tidak transparan dan memiliki potensi konflik kepentingan. "Masyarakat sudah tidak percaya, silakan buktikan secara terbuka," ujarnya.

Tidak hanya kepada kejaksaan. Teten juga mengatakan langkah ini sebaiknya juga diambil oleh Kepolisian Republik Indonesia. Menurutnya, kepolisian selama ini hanya berani mengusut dugaan suap kepada para anggotanya yang berpangkat rendah saja. Misalnya dalam kasus suap Gayus yang juga melibatkan anggota Polri. Hanya Komisaris M Arafat Ernani dan AKP Sri Sumartini yang terkena. "Tidak mungkin atasannya tidak tahu hal ini," ujarnya.

Di pihak kepolisian, dua orang jenderal bintang dua juga diduga menerima aliran dana Gayus. Mereka adalah Brigadir Jenderal Edmond Ilyas dan Brigadir Jenderal Raja Erizman. Keduanya adalah mantan Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, tempat perkara Gayus ditangani.

Menurut Teten, kasus-kasus ini sebaiknya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia menilai, KPK jauh lebih transparan dalam penanganan kasus. "KPK itu lebih dapat dikonrol oleh publik," tuturnya. Ia menambahkan, presiden juga harus mendorong kasus ini agar dapat ditangani oleh KPK.

FEBRIYAN

MK Diminta Periksa Hakim Arsyad

Sabtu, 11 Desember 2010 | 09:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Mahkamah Konstitusi diminta memeriksa hakim Arsyad Sanusi sehubungan dengan keterkaitan anaknya dalam sebuah perkara yang ditangani Mahkamah. "Hakimnya (Arsyad) sudah mengakui, maka jelas ada potensi pelanggaran kode etik. Maka lembaga harus membuat Majelis Kehormatan," kata Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan Asep Rahmat Fajar di Jakarta kemarin.

Arsyad mengakui anaknya, Nesyawati, pernah bertemu dengan calon Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, yang sedang beperkara di MK. Tapi ia membantah anggapan bahwa pertemuan itu berhubungan dengan dirinya. Arsyad mengatakan di Mahkamah Konstitusi kemarin, anaknya yang berprofesi sebagai pengacara memperkenalkan Dirwan kepada panitera Mahkamah, Makhfud.

Sebelumnya, tim investigasi dugaan suap di MK menyatakan Makhfud diduga menerima sejumlah uang dari Darwin berkaitan dengan perkaranya.

Menurut Asep Rahmat, temuan tim investigasi dan pengakuan Arsyad seharusnya direspons Mahkamah Konstitusi dengan membentuk Majelis Kehormatan untuk menelusuri sejauh mana keterlibatan keluarga Arsyad. "Dilihat dari konteks kepatutan, keterlibatan anggota keluarga kan sangat disesalkan. Arsyad harus mempertanggungjawabkan itu," kata Asep.

Anggota tim investigasi, Saldi Isra, juga mengatakan MK sebaiknya membentuk Majelis Kehormatan. "Indikasi pelanggaran (kode etik) sebaiknya diselesaikan di Majelis Kehormatan. Jadi bisa diketahui apakah memang ada pelanggaran. Bukti-bukti juga nanti bisa dilengkapi di Majelis. Hukumannya nanti bisa dinyatakan di situ," ujar Saldi.

Mahkamah Konstitusi menyatakan akan memeriksa Nesyawati dan Zaimar, ipar Arsyad, Senin depan untuk mengklarifikasi hasil temuan tim investigasi. Menurut Ketua MK Mahfud Md., dalam temuan tim, tak ada indikasi suap langsung kepada hakim. "Meskipun ada keluarga hakim yang disebut," katanya.

ISMA SAVITRI | ANTON SEPTIAN | YY
Dituding Terima Suap oleh Refly Bikin Akil Mochtar Dicueki Istri
Tribunnews.com - Sabtu, 11 Desember 2010 08:43 WIB

Dituding Terima Suap oleh Refly Bikin Akil Mochtar Dicueki Istri
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN




Laporan Wartawan Tribunnews.com,M Ismunadi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dugaan adanya makelar kasus (markus) di tubuh Mahkamah Konstitusi berimbas pada kehidupan pribadi Hakim Konstitusi. Setidaknya hal itu diakui Akil Mochtar, Hakim Konstitusi yang disebut menerima suap sebesar Rp 1 miliar.

Akil mengatakan menyusul kabar miring tersebut, istrinya, Ratu Rita enggan duduk satu mobil dengan dirinya. Ratu bahkan sering uring-uringan.

"Berantemnya bukan berantem dalam tanda petik. Misalnya, ayo jalan, enggak ah, aku enggak mau satu mobil sama kau. Ntar disorot-sorot wartawan, ditanya ini atau itu. Sampai begitu," ungkap Akil saat ditemui Tribunnews.com, di ruang kerjanya, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (10/12/2010).

"Yah namanya perasaan ibu-ibu agak lain. Tapi agak repot saya jadinya," lanjutnya. Akil juga mendapat komplain dari dua anaknya yang saat ini sedang menempuh kuliah di Bandung, Jawa Barat. Menurut Akil, dua anaknya mewanti-wanti agar sang ayah tidak melakukan hal yang bertentangan dengan hukum.

"Tudingan itu merupakan hal yang enggak enak juga buat keluarga. Anak saya, dua-duanya mahasiswa, mereka juga komplain," tutur Akil.

"Komplain artinya jangan melakukan hal-hal seperti itu. Kan sudah banyak contoh. Mereka juga punya pergaulan sosial juga dengan teman-temannya," katanya.

"Maklum sekarang kan, belum apa-apa orang sudah seakan-akan semua itu benar. Kan begitu. Seakan-akan sudah tidak perlu ada lagi proses itu kalau sudah ada publikasi," tambah Akil.

Lebih lanjut, Akil mengaku hal yang paling mengkhawatirkannya adalah keluarga besar yang berada di Kalimantan. Sejak muncul kabar dugaan makelar kasus di MK, pria kelahiran Putussibau, Kalimantan Barat itu banyak menerima ucapan kiriman doa. Bahkan ada juga yang mengirimkan ancaman.

"Ancaman itu maksudnya ya udah lah, lawan aja, kita perangin aja. Ini kan susah di sana. Sampai-sampai seperti itu memprovokasi kita," tegasnya.

Meski demikian, Akil sendiri menganggap tudingan yang menimpa dirinya adalah hal biasa. Karenanya, Akil menyerahkan permasalahan itu agar diselesaikan secara hukum. Apalagi sudah ada hasil tim investigasi yang dipimpin Refly Harun.

Editor: widyabuana



Akil: Saya atau Dia yang Masuk Penjara
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
Jumat, 10 Desember 2010 | 12:41 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO


JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mengatakan dirinya memutuskan melaporkan Bupati Simalungun JR Saragih beserta dua kuasa hukumnya dalam sengketa Pilkada, Refly Harun dan Maheswara Prabandono, untuk membuktikan apakah dugaan penyuapan dan pemerasan di MK itu benar atau tidak.

Namun, ia memastikan tak pernah sedikitpun menerima suap, apalagi memeras dalam menyelesaikan sengketa pilkada Kabupaten Simalungun. "Hanya dua kemungkinannya, mereka yang masuk penjara atau saya yang masuk penjara. Kalau bisa dibuktikan, saya bersedia masuk penjara. Tidak ada urusan. Tapi kalau tidak, mereka yang menuduh harus siap," tegasnya dalam keterangan pers di Gedung MK, Jakarta, Jumat (10/12/2010).

Akil mengatakan, temuan tim investigasi internal MK yang diketuai Refly Harun menyebut namanya sebagai hakim yang memeras dan menerima suap dalam penyelesaian kasus sengketa Pilkada Simalungun.

Dalam sidang sengketa pilkada Kabupaten Simalungun, Akil memang bertindak sebagai ketua panel. Tim investigasi menyebut, Saragih meminta diskon Rp 1 miliar dari lawyer fee Rp 3 miliar yang ditagih Refly dan Maheswara. Menurut Saragih, uang Rp 1 miliar itu akan diberikan kepada hakim MK yang sudah menangani perkaranya.

Kronologis ini pula yang dibeberkan Refly dalam tulisannya di kolom opini Harian Kompas, 25 Oktober lalu. Akil juga disebut bertemu langsung dengan Saragih di salah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan dan kediaman pribadi Saragih di kawasan Pondok Indah. Akil juga diduga menerima uang yang disebut dititipkan melalui sopir Saragih.

Akil membantah pernah menerima uang tersebut. Bertemu atau berhubungan saja pun tidak pernah. Dalam siaran televisi nasional tadi pagi, Saragih juga telah membantah telah dimintai keterangan oleh tim investigasi internal MK.

"Tim harusnya bisa memeriksa sumber Bupati Simalungun, tapi itu tidak dilakukan, padahal stasiun televisi bisa melakukan itu. Menurut saya, laporan investigasi ini masih terlalu sumir untuk menuduh seorang melakukan tindak pidana. Jadi kita serahkan saja kepada KPK," tandasnya.

Akil Mochtar Siap Dibui Jika Terima Suap
Ketua MK Mahfud MD menambahkan, persoalan laporan ke KPK bukan masalah marah kepada Refly.
Jum'at, 10 Desember 2010, 11:58 WIB
Ita Lismawati F. Malau, Desy Afrianti


VIVAnews - Hakim Konstitusi Akil Mochtar akan melaporkan praktisi hukum tata negara Refly Harun dan Bupati Simalungun JR Saragih ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dia menilai tuduhan Refly mengenai dugaan suap kepada hakim di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK) terlalu sumir. "Kalau saya memang terbukti menerima suap, saya siap di penjara. Tidak ada urusan," tegas Akil dalam jumpa pers di MK, Jumat 10 Desember 2010.

Sebaliknya, kata dia, jika tidak terbukti maka yang menyebutkan ada suap ke hakim MK harus siap dengan segala resiko.

Ketua MK Mahfud MD menambahkan, persoalan laporan ke KPK bukan masalah marah kepada Refly. "Ini demi nama baik MK," kata dia.

Jika masyarakat menemukan bukti indikasi suap di MK, Mahmud mengatakan, "Silakan laporkan kepada MK."

Seperti diberitakan sebelumnya, Refly dalam tulisannya di Kompas berjudul "MK Masih Bersih?" menyebutkan ada tiga dugaan suap di MK.

Dalam tulisan edisi 25 Oktober 2010, Refly menyebutkan bahwa pernah mendengar langsung di Papua ada orang yang mengatakan telah menyediakan uang bermiliar-miliar rupiah untuk berperkara di MK, termasuk menyuap hakim MK dalam menangani pemilukada.

Selain itu, Refly mengaku pernah mendengar langsung dari seseorang yang pernah diminta oleh hakim MK untuk mentransfer uang Rp1 miliar sebelum putusan MK. Tapi orang itu tidak punya uang sampai waktu yang ditentukan.

MK sudah membentuk tim investigasi independen dan menunjuk Refly sebagai ketuanya untuk mengusut dugaan suap yang dia tulis tersebut.

Refly mempertanyakan niat Akil melaporkan dirinya ke KPK. sSebab, dia tidak pernah menyebutkan nama. Meski demikian, dia mempersilakan hakim konstitusi untuk menggunakan hak hukumnya.
• VIVAnews

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02