jangan LENGAH, PEMBIARAN (2)
Sabtu, 16/04/2011 10:08 WIB
Indonesia meledak lagi
Ahmad Arif - suaraPembaca
Jakarta - Belum tuntas penyeledikan tentang teror bom buku beberapa pekan lalu, kini datang lagi bom baru. Dengan modus baru. Dan, masyarakat secara luas kembali dihantui bayang-bayang teror dan terorisme.
Ledakan terjadi pukul 12.15 WIB saat imam mengucapkan takbir di awal salat Jumat. Ledakan berasal dari seorang pria berpakaian hitam di barisan dekat para pejabat Polresta. Diduga ledakan merupakan bom bunuh diri. Sejumlah korban terkena serpihan bom berupa paku. Tak hanya Kapolresta, Kasat Lantas Polres Cirebon dan imam salat Jumat pun menjadi korban.
Ada 30 Orang terluka dalam serangan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon. 24 Diantaranya adalah polisi. Sisanya PNS Polri dan warga yang ikut Salat Jumat. Rata-rata korban luka di bagian punggung, kaki, tangan dan kepala. Tergantung dengan posisi mereka saat Salat Jumat.
Saat ini 8 orang sudah diperbolehkan pulang dari RS dan menjalani rawat inap. Sementara 22 lainnya masih menjalani perawatan. Termasuk Kapolresta Cirebon AKBP Herukoco, yang ikut menjadi korban (detik.com, 15/4/2011).
Tindakan Tak Bermoral
Semua kita mengutuk tindakan terorisme tersebut. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyesalkan peristiwa bom bunuh diri di masjid Ad-Zikra yang berada lingkungan Mapolres Cirebon Kota. Heryawan menilai aksi tersebut biadab dan mengutuk sang pelaku.
Sementara itu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi, menegaskan bahwa bom ini menjadi bukti Islam tidak identik dengan teroris, karena pelaku justru menyerang umat Islam. Karenanya diharapkan pembahasan diskusi yang menggiring opini tentang Islam sebagai teroris, berhenti.
Pemerintah Indonesia mengutuk keras bom bunuh diri yang terjadi di masjid Mapolresta Cirebon. Aksi ini dinilai di luar nalar manusia . Dan seperti biasa-biasanya, Presiden memerintahkan Polri, BNPT, BIN, untuk kerja sekuat tenaga mencari dan menemukan siapa dibalik orang-orang yang harus bertanggung jawab pada kejadian ini untuk menemukan jaringan pelaku.
Presiden berjanji – juga seperti yang sudah-sudah-, akan mengungkap ini, termasuk mencari benang merah dengan aksi-aksi teror yang belakangan marak terjadi.
Pemain lama atau Baru?
Kelompok teroris punya beragam varian ideologi. Ada yang membenarkan masjid dihancurkan. Kelompok ini diduga yang melakukan bom bunuh diri di Cirebon. Masjid dhirar, demikian istilah masjid yang mereka anggap harus dijadikan target penghancuran. Lantas, siapakah yang bermain disini; pemain lama ataukah pemain baru?
Badan Intelijen Negara (BIN) sudah mengindetifikasi jaringan pelaku bom bunuh diri di masjid di Polresta Cirebon. Pelaku ditengarai adalah kelompok teror yang selama ini kerap beroperasi di Indonesia. Karnanya, BIN meminta masyarakat waspada.
Aksi kelompok jaringan teroris masih mengancam. Kelompok lama sukses merekrut orang-orang baru. Aksi teror seperti ini sebenarnya sudah terjadi berkali-kali, pelakunya ada yang berhasil ditangkap. Namun meski demikian, kejadian kembali terulang.
Para pelaku jaringan ini tidak kapok melakukan aksinya karena hukuman yang lemah. Hukum kita belum mengatur pada orang-orang yang menciptakan suasana teror, harusnya ancaman teror itu sudah termasuk yang membahayakan. Tren-nya, dari 9 pelaku bom bunuh diri selama ini, semua terkait jaringan eks Bom Bali I.
Soalnya, hanya kelompok ini yang punya kemampuan merekrut orang baru. Namun demikian, saat ini ada pergeseran target. Dulu mereka menyerang dan menghancurkan simbol barat. Saat ini, mereka menyasar pada simbol negara. Misalnya, polisi yang dianggap musuh utama karena menangkap para mujahid.
Sementara soal kemampuan pelaku bom, dulu bomnya high explosive sehingga berdampak besar, dan korbannya bisa mencapai ratusan orang. Kini hanya low explosive (daya ledak rendah) sehingga menelan korban beberapa orang saja. Penurunannya bisa 10 kali lipat lebih rendah. Tapi bagaimana pun, polisi dan semua harus waspada.
Kegagalan Pemerintah
Terlepas dari pelakunya, apakah pemain lama, atau pemain lama pelaku baru, dan atau pemain dan pelakunya sama-sama baru, serangkaian terror bom di negeri ini sebagai bukti rapuhnya intelijen dan lemahnya polisi di mata teroris. Disamping itu, juga menegaskan bahwa Negara telah gagal dalam hal memberikan rasa aman kepada warganya.
Awal tahun ini, Indonesia kembali digoyang oleh fakta yang diungkapkan lembaga The Fund for Peace dan majalah Foreign Policy bahwa Indonesia berada di posisi ke 61 dalam failed state index (indeks Negara gagal). Semakin tinggi peringkat suatu negara dalam indeks itu berarti semakin mendekati negara gagal. Indeks tersebut memasukkan 177 negara ke dalam empat posisi dari segi dekat jauhnya terhadap kategori negara gagal, yaitu posisi waspada (alert), dalam peringatan (warning), sedang (moderate), dan bertahan (sustainable).
Proyeksi failed state itu didasarkan pada faktor sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan factor itu, secara umum perkembangan Indonesia makin memburuk. Secara sosial, pertumbuhan penduduk dan arus buruh migran tak bisa dikendalikan. Secara ekonomi, kesenjangan ekonomi makin melebar, kemunduran ekonomi membayang dalam melambungnya harga-harga, cadangan pangan menipis, serta kemiskinan dan pengangguran tinggi.
Secara politik, kriminalisasi lembaga negara (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi) dan keterlibatan pejabat negara dalam tindak kriminal membuncah. Memburuknya pelayanan publik tecermin dari keterpurukan moda transportasi umum dan sarana publik lain. Faksionalisasi elite menjadi tontonan tiap hari. Sedangkan intervensi asing membayang dalam pilihan kebijakan ekonomi dan politik.
Menurut Peter Burnell dan Vicky Randall (2008), negara gagal dicerminkan ketakmampuannya mengorganisasikan aparaturnya secara efektif, yang mengarah pada kekacaubalauan politik (political disorder). Hal itu ditandai dengan ketidakjelasan otoritas politik, ketidakefektifan administrasi publik, dan merajalelanya korupsi. Hukum tidak bisa diterapkan, ketertiban umum tak bisa dipelihara, kohesi sosial membusuk, keamanan sosial (terutama bagi rakyat miskin) menghilang, dan legitimasi pun memudar.
Sementara Noam Chomsky (2006) mengatakan setidaknya ada dua karakter utama yang membuat suatu negara dapat disebut sebagai negara gagal. Pertama, negara yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan melindungi warganya dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan kehancuran. Kedua, tidak dapat menjamin hak-hak warganya, baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri; dan tidak mampu menegakkan dan mempertahankan berfungsinya institusi-institusi demokrasi.
Trias Elemenika
Agar tragedi ini tidak berulang kembali, hal fundamental yang harus dilakukan secara bersamaan adalah tindakan preventif berjangka panjang. Konkritnya, perlu membentuk koalisi permanen antara pemerintah dalam artian luas dengan ulama atau tokoh agama dan masyararakat. Penulis menyebutnya dengan "koalisi permanen trias elemenika".
Pemerintah sebagai elemen pertama, menyikapi tragedi ini, dituntut segera mengeluarkan peraturan yang komprehensif agar aparatur penegak hukum memiliki legalitas resmi dalam hal pencegahan maupun penindakan. Di samping itu harus menyediakan anggaran operasional secara proporsional bagi lembaga teknis untuk melakukan pembinaan berkelanjutan kepada masyarakat.
Di sisi lain, ulama atau tokoh agama dituntut untuk tidak hanya menjadi stempel bagi umara dalam formalitas seremonial. Sementara awam, khususnya komunitas civil society, diharapkan terus mengawasi jalannya setiap peraturan agar tetap berada pada track-nya. Fungsi keluarga sangat menentukan dalam hal ini.
Kerjasama , bukan sama-sama kerja, ayah-ibu dalam menanamkan kepada anak-anak tentang pemahaman kegamaan yang lurus, tidak berlebih-lebihan, tanpa reduksi (pengurangan), non distorsif, proporsional, dan komprehensif.
*Penulis adalah peminat kajian social, juga contributor untuk situs asyeh,com Arab Saudi. Berdomisili di Banda Aceh
Ahmad Arif
Jl. Kecik Zam-Zam, Lr. 2, Lampoh Daya, Jaya Baru
banta_lw2@yahoo.com
081360295521
(wwn/wwn)
Indonesia meledak lagi
Ahmad Arif - suaraPembaca
Jakarta - Belum tuntas penyeledikan tentang teror bom buku beberapa pekan lalu, kini datang lagi bom baru. Dengan modus baru. Dan, masyarakat secara luas kembali dihantui bayang-bayang teror dan terorisme.
Ledakan terjadi pukul 12.15 WIB saat imam mengucapkan takbir di awal salat Jumat. Ledakan berasal dari seorang pria berpakaian hitam di barisan dekat para pejabat Polresta. Diduga ledakan merupakan bom bunuh diri. Sejumlah korban terkena serpihan bom berupa paku. Tak hanya Kapolresta, Kasat Lantas Polres Cirebon dan imam salat Jumat pun menjadi korban.
Ada 30 Orang terluka dalam serangan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon. 24 Diantaranya adalah polisi. Sisanya PNS Polri dan warga yang ikut Salat Jumat. Rata-rata korban luka di bagian punggung, kaki, tangan dan kepala. Tergantung dengan posisi mereka saat Salat Jumat.
Saat ini 8 orang sudah diperbolehkan pulang dari RS dan menjalani rawat inap. Sementara 22 lainnya masih menjalani perawatan. Termasuk Kapolresta Cirebon AKBP Herukoco, yang ikut menjadi korban (detik.com, 15/4/2011).
Tindakan Tak Bermoral
Semua kita mengutuk tindakan terorisme tersebut. Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyesalkan peristiwa bom bunuh diri di masjid Ad-Zikra yang berada lingkungan Mapolres Cirebon Kota. Heryawan menilai aksi tersebut biadab dan mengutuk sang pelaku.
Sementara itu, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi, menegaskan bahwa bom ini menjadi bukti Islam tidak identik dengan teroris, karena pelaku justru menyerang umat Islam. Karenanya diharapkan pembahasan diskusi yang menggiring opini tentang Islam sebagai teroris, berhenti.
Pemerintah Indonesia mengutuk keras bom bunuh diri yang terjadi di masjid Mapolresta Cirebon. Aksi ini dinilai di luar nalar manusia . Dan seperti biasa-biasanya, Presiden memerintahkan Polri, BNPT, BIN, untuk kerja sekuat tenaga mencari dan menemukan siapa dibalik orang-orang yang harus bertanggung jawab pada kejadian ini untuk menemukan jaringan pelaku.
Presiden berjanji – juga seperti yang sudah-sudah-, akan mengungkap ini, termasuk mencari benang merah dengan aksi-aksi teror yang belakangan marak terjadi.
Pemain lama atau Baru?
Kelompok teroris punya beragam varian ideologi. Ada yang membenarkan masjid dihancurkan. Kelompok ini diduga yang melakukan bom bunuh diri di Cirebon. Masjid dhirar, demikian istilah masjid yang mereka anggap harus dijadikan target penghancuran. Lantas, siapakah yang bermain disini; pemain lama ataukah pemain baru?
Badan Intelijen Negara (BIN) sudah mengindetifikasi jaringan pelaku bom bunuh diri di masjid di Polresta Cirebon. Pelaku ditengarai adalah kelompok teror yang selama ini kerap beroperasi di Indonesia. Karnanya, BIN meminta masyarakat waspada.
Aksi kelompok jaringan teroris masih mengancam. Kelompok lama sukses merekrut orang-orang baru. Aksi teror seperti ini sebenarnya sudah terjadi berkali-kali, pelakunya ada yang berhasil ditangkap. Namun meski demikian, kejadian kembali terulang.
Para pelaku jaringan ini tidak kapok melakukan aksinya karena hukuman yang lemah. Hukum kita belum mengatur pada orang-orang yang menciptakan suasana teror, harusnya ancaman teror itu sudah termasuk yang membahayakan. Tren-nya, dari 9 pelaku bom bunuh diri selama ini, semua terkait jaringan eks Bom Bali I.
Soalnya, hanya kelompok ini yang punya kemampuan merekrut orang baru. Namun demikian, saat ini ada pergeseran target. Dulu mereka menyerang dan menghancurkan simbol barat. Saat ini, mereka menyasar pada simbol negara. Misalnya, polisi yang dianggap musuh utama karena menangkap para mujahid.
Sementara soal kemampuan pelaku bom, dulu bomnya high explosive sehingga berdampak besar, dan korbannya bisa mencapai ratusan orang. Kini hanya low explosive (daya ledak rendah) sehingga menelan korban beberapa orang saja. Penurunannya bisa 10 kali lipat lebih rendah. Tapi bagaimana pun, polisi dan semua harus waspada.
Kegagalan Pemerintah
Terlepas dari pelakunya, apakah pemain lama, atau pemain lama pelaku baru, dan atau pemain dan pelakunya sama-sama baru, serangkaian terror bom di negeri ini sebagai bukti rapuhnya intelijen dan lemahnya polisi di mata teroris. Disamping itu, juga menegaskan bahwa Negara telah gagal dalam hal memberikan rasa aman kepada warganya.
Awal tahun ini, Indonesia kembali digoyang oleh fakta yang diungkapkan lembaga The Fund for Peace dan majalah Foreign Policy bahwa Indonesia berada di posisi ke 61 dalam failed state index (indeks Negara gagal). Semakin tinggi peringkat suatu negara dalam indeks itu berarti semakin mendekati negara gagal. Indeks tersebut memasukkan 177 negara ke dalam empat posisi dari segi dekat jauhnya terhadap kategori negara gagal, yaitu posisi waspada (alert), dalam peringatan (warning), sedang (moderate), dan bertahan (sustainable).
Proyeksi failed state itu didasarkan pada faktor sosial, ekonomi, dan politik. Berdasarkan factor itu, secara umum perkembangan Indonesia makin memburuk. Secara sosial, pertumbuhan penduduk dan arus buruh migran tak bisa dikendalikan. Secara ekonomi, kesenjangan ekonomi makin melebar, kemunduran ekonomi membayang dalam melambungnya harga-harga, cadangan pangan menipis, serta kemiskinan dan pengangguran tinggi.
Secara politik, kriminalisasi lembaga negara (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi) dan keterlibatan pejabat negara dalam tindak kriminal membuncah. Memburuknya pelayanan publik tecermin dari keterpurukan moda transportasi umum dan sarana publik lain. Faksionalisasi elite menjadi tontonan tiap hari. Sedangkan intervensi asing membayang dalam pilihan kebijakan ekonomi dan politik.
Menurut Peter Burnell dan Vicky Randall (2008), negara gagal dicerminkan ketakmampuannya mengorganisasikan aparaturnya secara efektif, yang mengarah pada kekacaubalauan politik (political disorder). Hal itu ditandai dengan ketidakjelasan otoritas politik, ketidakefektifan administrasi publik, dan merajalelanya korupsi. Hukum tidak bisa diterapkan, ketertiban umum tak bisa dipelihara, kohesi sosial membusuk, keamanan sosial (terutama bagi rakyat miskin) menghilang, dan legitimasi pun memudar.
Sementara Noam Chomsky (2006) mengatakan setidaknya ada dua karakter utama yang membuat suatu negara dapat disebut sebagai negara gagal. Pertama, negara yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan melindungi warganya dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan kehancuran. Kedua, tidak dapat menjamin hak-hak warganya, baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri; dan tidak mampu menegakkan dan mempertahankan berfungsinya institusi-institusi demokrasi.
Trias Elemenika
Agar tragedi ini tidak berulang kembali, hal fundamental yang harus dilakukan secara bersamaan adalah tindakan preventif berjangka panjang. Konkritnya, perlu membentuk koalisi permanen antara pemerintah dalam artian luas dengan ulama atau tokoh agama dan masyararakat. Penulis menyebutnya dengan "koalisi permanen trias elemenika".
Pemerintah sebagai elemen pertama, menyikapi tragedi ini, dituntut segera mengeluarkan peraturan yang komprehensif agar aparatur penegak hukum memiliki legalitas resmi dalam hal pencegahan maupun penindakan. Di samping itu harus menyediakan anggaran operasional secara proporsional bagi lembaga teknis untuk melakukan pembinaan berkelanjutan kepada masyarakat.
Di sisi lain, ulama atau tokoh agama dituntut untuk tidak hanya menjadi stempel bagi umara dalam formalitas seremonial. Sementara awam, khususnya komunitas civil society, diharapkan terus mengawasi jalannya setiap peraturan agar tetap berada pada track-nya. Fungsi keluarga sangat menentukan dalam hal ini.
Kerjasama , bukan sama-sama kerja, ayah-ibu dalam menanamkan kepada anak-anak tentang pemahaman kegamaan yang lurus, tidak berlebih-lebihan, tanpa reduksi (pengurangan), non distorsif, proporsional, dan komprehensif.
*Penulis adalah peminat kajian social, juga contributor untuk situs asyeh,com Arab Saudi. Berdomisili di Banda Aceh
Ahmad Arif
Jl. Kecik Zam-Zam, Lr. 2, Lampoh Daya, Jaya Baru
banta_lw2@yahoo.com
081360295521
(wwn/wwn)
Komentar
Posting Komentar