JANGAN BIARKAN (5)
Rabu, 20/04/2011 18:46 WIB
Ayah Syarif Sebut Dalang Bom Bunuh Diri Dajjal
Andri Haryanto - detikNews
Cirebon - Abdul Gofur, ayah pelaku bom bunuh diri M Syarif geram dengan otak di belakang layar yang menggerakan aksi anaknya. Dia menyebut otak pelaku teror bom bunuh diri sebagai dajjal.
"Pokoknya dia dajjal, menyengsarakan umat manusia. Dajjal, menyesatkan umat manusia. Kalau mau menyesatkan, anakmu sendiri jangan anak saya," saat ditanya siapa kelompok yang menggerakan anaknya melakukan bom bunuh diri.
Pernyataan itu dikatakan Gofur saat melakukan survei di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jabang Bayi, Jl Raya Kesambi, Kota Cirebon, Rabu (20/4). Gofur mengatakan hal itu dengan nada tinggi dan geram.
Menurutnya, watak keras yang ada di dua anaknya, Syarif dan Basuki, bermula dari pecahnya bahtera rumah tangga yang dijalinnya bersama Sri Mulat, perempuan keturunan Keraton Kanoman.
"Setelah pisah dengan ibunya ya jadi begini," katanya.
Keretakan rumahtangga itu terjadi tahun 2000 lalu. Pernikahan keduanya membuahkan 8 anak. Mereka adalah Diana Rosdiawati, Lies Ambarsari, Suherman, Muchamad Syarif, Nurlaela, Achmad Basuki, Imam Aji, dan Muchamad Fatoni.
"Setelah tahun 2000 berpisah dengan ibunya, anak-anak dewasa, bekerja dan saya tidak tahu lagi," kata Gofur.
Gofur menyatakan mengutuk keras aksi bom bunuh diri yang dilakukan anaknya itu. Ia pun mengutuk dalang di balik aksi Syarif yang mencederai puluhan anggota polisi yang tengah menjalankan salat Jumat.
"Bagaimana mungkin orang bunuh diri masuk surga. Itu salah kaprah, ngakunya Islam tapi dajjal," gerutunya.
(ahy/ndr)
Senin, 18/04/2011 18:04 WIB
Bom Masjid Polres Cirebon (5)
Wawan Purwanto: Puluhan Perekrut Teroris Belum Tertangkap
M. Rizal - detikNews
Jakarta - Serangan bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra di lingkungan Markas Polres Cirebon, Jawa Barat pada Jumat, 15 April 2011 lalu memang sangat mengejutkan. Bom dilakukan di dalam masjid dan saat orang sedang salat Jumat.
Namun bagi Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Anti Terorisme Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) Wawan H Purwanto, bom tersebut tidak mengejutkannya. Kepolisian sudah diingatkan akan adanya serangan teroris kepada kepolisian sejak tiga tahun lalu.
Menurut pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini, beberapa percobaan serangan teroris kepada kepolisian sudah dilakukan. Di antaranya, mulai percobaan serangan bunuh diri menggunakan sepeda onthel di Bekasi, Jawa Barat yang gagal, serangan bermodus perampokan Bank CIMB Niaga, penyerangan markas polisi di Kebumen dan Purwokerto serta Pacitan.
Aksi serangan bom bunuh diri yang dilakukan M Syarif (32) merupakan adopsi dari sejumlah serangan bom bunuh diri di Pakistan.
"Sekarang menyasar ke tempat orang beribadah, karena orang ibadah kan niatnya ukhrowi, bukan dalam rangka urusan dunia. Itu lalu diserang, dan ini memang betul-betul di luar dugaan. Sekali lagi ini di luar dugaan bahwa meraka akan meniru gaya-gaya aksi teror di Pakistan, karena memang tidak umum," ungkap Wawan H Purwanto kepada detikcom.
Wawan mengakui, aksi terorisme yang saat ini terjadi paling sering dilakukan kelompok Aliansi Mujahidin Islam Nusantara (AMIN). Sementara untuk perekrutan para calon pengantin lebih banyak dilakukan jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang saat ini ditengarai sudah merapat dengan jaringan kelompok Negara Islam Indonesia (NII), walau yang terakhir ini belum langsung terlibat.
Berikut petikan wawancara M Rizal dari detikcom dengan Wawan H Purwanto:
Bagaimana tanggapan anda soal kasus bom bunuh diri saat salat Jumat di masjid Mapolres Cirebon?
Kalau menurut saya, ini merupakan dendam yang sudah lama. Ini sebenarnya rentetannya, seperti yang sudah pernah saya ungkapkan tiga tahun lalu bahwa mereka akan menyerang kepada siapa saja yang menjadi penghalang. Dalam hal ini yang menjadi penghalang yaitu aparat keamanan, khususnya kepada Polri, karena yang bertugas menghalangi mereka adalah polisi.
Penyerangan sudah mulai dilakukan saat penyerangan kepada polisi di Kebumen dan kemudian di Purworejo. Lalu kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang menewaskan satu polisi dan melukai dua satpam, kemudian menyerang di hamparan Markas Polisi di Perak dan Pacitan. Jadi ini meniru seperti yang di Pacitan.
Sebenarnya pelaku sekarang ini merupakan anak-anak muda yang memiliki 'sumbu pendek' yang sering melakukan aksi balasan. Dan ini yang disesalkan mereka sudah mulai melihat kepada tempat-tempat ibadah, ini menurut saya sudah repot sekali.
Pelaku sendiri ini jaringan baru atau jaringan lama?
Nah soal pelaku ini, sebelum saya menerima tes DNA yang jelas, saya belum mengetahui pasti tentang struktur kehidupan sehari-hari, karena memang anak ini belum dikenal sebelumnya. Beda dengan kasus bom Hotel JW Marriot II dan Ritz Carlton Kuningan tahun 2009 lalu, di mana pelaku bernama Saefudin Juhri, kita sudah dapat terima video tentang beberapa anak muda yang memang direkrut. Apakah pelaku di Polres Cirebon itu ada di situ, kita belum tahu, karena rekaman Saefudin Juhri belum teridentifikasi satu per satu.
Hanya sebelumnya, di Masjid Agung Cirebon sebelumnya juga sudah ada dua bom, walau tidak meledak. Tetapi sampai sekarang kan belum diketahui siapa pelaku yang membawa bom itu. Memang saat itu bom dimasukan saat akan salat dilakukan, tapi masih mencari celah saat itu.
Anda tadi mengatakan sudah bilang ke pihak kepolisian tiga tahun lalu soal serangan ini, lalu kenapa kepolisian bobol?
Sebetulnya ini sudah saya sampaikan secara terbuka ketika saya bertemu dengan sejumlah pejabat Polri. Bahkan saat itu sudah ada perintah dari Kepala Polri kepada seluruh jajaran Polri di seluruh Indonesia untuk waspada dari masing-masing anggota supaya mereka mengamankan diri sendiri saat bertugas atau tidak bertugas. Memang modus yang dipakai saat ini adalah modus-modus baru, misalnya ada modus sepeda onthel, tapi skalanya kecil karena belum ke sasaran.
Sekarang menyasar ke tempat orang beribadah, karena orang ibadah kan niatnya ukhrowi, bukan dalam rangka urusan dunia. Itu lalu diserang, dan ini memang betul-betul di luar dugaan. Sekali lagi ini di luar dugaan bahwa mereka akan meniru gaya-gaya aksi teror di Pakistan, karena memang tidak umum. Kalau seorang yang sedang beribadah diserang di Indonesia itu tidak lazim. Bom remote, ini juga memang meniru, dan gaya meniru ini memang sangat bahaya. Ini yang harus dikaji lebih tajam lagi.
Target kelompok teroris JI selama ini gedung atau tempat yang banyak kepentingan asing, lalu bergeser ke rumah ibadah yang tipikal dilakukan kelompok NII (DI/TII), apakah ini sudah menyatu?
Kalau upaya-upaya mereka (JI) untuk merapat ke kelompok NII itu memang ada, karena memang yang paling dekat diajak berafiliasi memang ke sana. Rekruitmen memang banyak diarahkan ke sana, tapi untuk melakukan pemboman itu NII kurang. Untuk melakukan langkah itu adalah Aliansi Mujahidin Islam Nusantara (AMIN).Sampai sekarang mereka belum terang-terangan top leadernya di mana, yang jelas mereka merekrut sipil jadi pengantin, sudah situ saja, seperti Saefudin Juhri, sudah sampai situ sudah.
Jadi sudah tak mandang dari mana-mana, yang penting rekrut, dicuci otak, jadi pengantin, jeder. Sekarang targetnya kan anak-anak muda umur 19-20 tahun, anak muda yang sumbu pendek. Mereka akan langsung bangkit dan bertindak begitu mendengar kabar yang tidak mengenakan bagi kelompoknya. Contohnya pemberitaan-pemberitaan media massa tentang penindakan terhadap orang-orang yang diduga pelaku teroris, itu mereka langsung tersulut dan gerah. Ini makanya, saya katakan perlunya ada suatu pendekatan HO2 yaitu hati, otak dan otot, bukan hanya otak dan otot saja.
Jadi kasus-kasus teror bom belakangan ini ada kaitan dengan kasus pencucian otak belakangan ini yang juga terjadi seperti kasus Lian kemarin?
Kalau kasus Lian itu menjadi linglung, tapi dalam kasus ini dia hanya diperas uangnya saja. Memang kelompok ini ditargetkan sampai tahun 2014 harus merekrut orang sebanyak-banyaknya pengikut. Bahkan setiap orang ditargetkan harus dapat 7 orang per minggu, jadi dua orang merekrut satu. Satu bulan ditargetkan harus dapat beberapa juta rupiah. Jadi mereka lebih cenderung kepada penggalian dana. Penggalangan dana ini bukan untuk menyerang, walau bisa apa saja.
Tapi untuk yang serangan itu kebanyakan dilakukan kelompok AMIN. Tapi pendanaan ini jadi utama, karena tanpa ada dana mereka tidak bisa bergerak tanpa dana. Tapi dalam kasus Cirebon ini dana Rp 1 juta sudah cukup saya kira.
Kasus bom seperti di Cirebon ini ke depan apakah akan masih banyak?
Kemungkinan-kemungkinan kasus seperti ini masih ada, mereka akan terus mencari celah. Ini karena kita tidak pakai UU seperti UU Anti Subversif dulu, di mana dulu semua digelandang dulu, perkara nanti tidak terbukti lalu dilepas. Nah, sekarang harus terbukti dulu, perlu bukti permulaan yang cukup dulu, nah ini memberikan celah bagi orang-orang yang diawasi itu melakukan aksinya.
Ini yang saya kira perlu dikaji dan dievaluasi lagi. Sekarang ini kayak buah simalakama, demokrasi dan perlindungan publik ditonjolkan, tapi kepentingan publik sendiri sudah terkoyak dengan kasus terorisme ini. Tapi saya tegaskan, ini hanya untuk pelaku atau orang yang diduga teroris saja, tidak bisa ke semua orang. Tapi ini kita serahkan kepada kesepakatan pemerintah dan DPR supaya melihat secara komprehensif, tidak berbicara trauma di masa lalu saja, tapi trauma masyarakat saat ini terhadap terorisme harus diperhatikan juga.
Sebenarnya pelaku dan keluarga yang sempat ditangkap dan sudah diminta keterangan pihak keamanan itu bagaimana? Apakah ini akan efektif mencegah aksi terorisme atau justru malah makin membuat mereka balas dendam?
Sebenarnya sudah banyak pembinaan yang dilakukan, termasuk bekas-bekas napi teroris di sejumlah pesantren, dan mereka diberian pekerjaan dan bisnis kecil-kecilan. Nah bagi yang sudah berusia dan berkeluarga itu agak mudah, tapi yang muda-muda ini agak sulit karena idealismenya masih tinggi dan gerakannya masih leluasa. Pembinaan dilakukan kepada anak-anak pelaku teroris seperti anaknya Abu Dujana dan sebagainya. Awalnya sulit, karena trauma dan sebagainya, namun terus didekatin.
Tapi sepertinya sulit menghentikan aksi teror bom ini, seberapa besar kekuatan mereka saat ini?
Begini, mereka itu patah tumbuh hilang berganti, nah berkembang pada modus-modus baru dan masih banyak yang berkeliaran. Misalnya jumlah mereka yang berkeliaran di Poso masih puluhan. Kasus Plumpang masih ada dua orang. Kasus Palembang masih ada lima orang. Aceh masih ada sekitar belasan orang yang belum tertangkap. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah ada puluhan, ya orang seperti Saefudin Juhri (perekrut teroris) yang masih muda-muda itu masih banyak, puluhan orang belum tertangkap.
Ini merupakan rally yang masih panjang yang belum selesai yang perlu pemikiran ke depan agar tidak sepotong-potong. Proses deradikalisasi supaya jangan hangat-hangat tai ayam, karena ini strategi bukan taktis. Kalau taktis itu akan sepotong-potong, tapi dalam beberapa waktu muncul lagi. Seharusnya diharus dipikirkan jangka panjang, misalnya seperti yang dilakukan NU sudah membantu meredakan ketegangan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Ini yang harus ditiru yang lainnya.
(zal/iy)
Ayah Syarif Sebut Dalang Bom Bunuh Diri Dajjal
Andri Haryanto - detikNews
Cirebon - Abdul Gofur, ayah pelaku bom bunuh diri M Syarif geram dengan otak di belakang layar yang menggerakan aksi anaknya. Dia menyebut otak pelaku teror bom bunuh diri sebagai dajjal.
"Pokoknya dia dajjal, menyengsarakan umat manusia. Dajjal, menyesatkan umat manusia. Kalau mau menyesatkan, anakmu sendiri jangan anak saya," saat ditanya siapa kelompok yang menggerakan anaknya melakukan bom bunuh diri.
Pernyataan itu dikatakan Gofur saat melakukan survei di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jabang Bayi, Jl Raya Kesambi, Kota Cirebon, Rabu (20/4). Gofur mengatakan hal itu dengan nada tinggi dan geram.
Menurutnya, watak keras yang ada di dua anaknya, Syarif dan Basuki, bermula dari pecahnya bahtera rumah tangga yang dijalinnya bersama Sri Mulat, perempuan keturunan Keraton Kanoman.
"Setelah pisah dengan ibunya ya jadi begini," katanya.
Keretakan rumahtangga itu terjadi tahun 2000 lalu. Pernikahan keduanya membuahkan 8 anak. Mereka adalah Diana Rosdiawati, Lies Ambarsari, Suherman, Muchamad Syarif, Nurlaela, Achmad Basuki, Imam Aji, dan Muchamad Fatoni.
"Setelah tahun 2000 berpisah dengan ibunya, anak-anak dewasa, bekerja dan saya tidak tahu lagi," kata Gofur.
Gofur menyatakan mengutuk keras aksi bom bunuh diri yang dilakukan anaknya itu. Ia pun mengutuk dalang di balik aksi Syarif yang mencederai puluhan anggota polisi yang tengah menjalankan salat Jumat.
"Bagaimana mungkin orang bunuh diri masuk surga. Itu salah kaprah, ngakunya Islam tapi dajjal," gerutunya.
(ahy/ndr)
Senin, 18/04/2011 18:04 WIB
Bom Masjid Polres Cirebon (5)
Wawan Purwanto: Puluhan Perekrut Teroris Belum Tertangkap
M. Rizal - detikNews
Jakarta - Serangan bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra di lingkungan Markas Polres Cirebon, Jawa Barat pada Jumat, 15 April 2011 lalu memang sangat mengejutkan. Bom dilakukan di dalam masjid dan saat orang sedang salat Jumat.
Namun bagi Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Anti Terorisme Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) Wawan H Purwanto, bom tersebut tidak mengejutkannya. Kepolisian sudah diingatkan akan adanya serangan teroris kepada kepolisian sejak tiga tahun lalu.
Menurut pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini, beberapa percobaan serangan teroris kepada kepolisian sudah dilakukan. Di antaranya, mulai percobaan serangan bunuh diri menggunakan sepeda onthel di Bekasi, Jawa Barat yang gagal, serangan bermodus perampokan Bank CIMB Niaga, penyerangan markas polisi di Kebumen dan Purwokerto serta Pacitan.
Aksi serangan bom bunuh diri yang dilakukan M Syarif (32) merupakan adopsi dari sejumlah serangan bom bunuh diri di Pakistan.
"Sekarang menyasar ke tempat orang beribadah, karena orang ibadah kan niatnya ukhrowi, bukan dalam rangka urusan dunia. Itu lalu diserang, dan ini memang betul-betul di luar dugaan. Sekali lagi ini di luar dugaan bahwa meraka akan meniru gaya-gaya aksi teror di Pakistan, karena memang tidak umum," ungkap Wawan H Purwanto kepada detikcom.
Wawan mengakui, aksi terorisme yang saat ini terjadi paling sering dilakukan kelompok Aliansi Mujahidin Islam Nusantara (AMIN). Sementara untuk perekrutan para calon pengantin lebih banyak dilakukan jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang saat ini ditengarai sudah merapat dengan jaringan kelompok Negara Islam Indonesia (NII), walau yang terakhir ini belum langsung terlibat.
Berikut petikan wawancara M Rizal dari detikcom dengan Wawan H Purwanto:
Bagaimana tanggapan anda soal kasus bom bunuh diri saat salat Jumat di masjid Mapolres Cirebon?
Kalau menurut saya, ini merupakan dendam yang sudah lama. Ini sebenarnya rentetannya, seperti yang sudah pernah saya ungkapkan tiga tahun lalu bahwa mereka akan menyerang kepada siapa saja yang menjadi penghalang. Dalam hal ini yang menjadi penghalang yaitu aparat keamanan, khususnya kepada Polri, karena yang bertugas menghalangi mereka adalah polisi.
Penyerangan sudah mulai dilakukan saat penyerangan kepada polisi di Kebumen dan kemudian di Purworejo. Lalu kasus perampokan Bank CIMB Niaga Medan yang menewaskan satu polisi dan melukai dua satpam, kemudian menyerang di hamparan Markas Polisi di Perak dan Pacitan. Jadi ini meniru seperti yang di Pacitan.
Sebenarnya pelaku sekarang ini merupakan anak-anak muda yang memiliki 'sumbu pendek' yang sering melakukan aksi balasan. Dan ini yang disesalkan mereka sudah mulai melihat kepada tempat-tempat ibadah, ini menurut saya sudah repot sekali.
Pelaku sendiri ini jaringan baru atau jaringan lama?
Nah soal pelaku ini, sebelum saya menerima tes DNA yang jelas, saya belum mengetahui pasti tentang struktur kehidupan sehari-hari, karena memang anak ini belum dikenal sebelumnya. Beda dengan kasus bom Hotel JW Marriot II dan Ritz Carlton Kuningan tahun 2009 lalu, di mana pelaku bernama Saefudin Juhri, kita sudah dapat terima video tentang beberapa anak muda yang memang direkrut. Apakah pelaku di Polres Cirebon itu ada di situ, kita belum tahu, karena rekaman Saefudin Juhri belum teridentifikasi satu per satu.
Hanya sebelumnya, di Masjid Agung Cirebon sebelumnya juga sudah ada dua bom, walau tidak meledak. Tetapi sampai sekarang kan belum diketahui siapa pelaku yang membawa bom itu. Memang saat itu bom dimasukan saat akan salat dilakukan, tapi masih mencari celah saat itu.
Anda tadi mengatakan sudah bilang ke pihak kepolisian tiga tahun lalu soal serangan ini, lalu kenapa kepolisian bobol?
Sebetulnya ini sudah saya sampaikan secara terbuka ketika saya bertemu dengan sejumlah pejabat Polri. Bahkan saat itu sudah ada perintah dari Kepala Polri kepada seluruh jajaran Polri di seluruh Indonesia untuk waspada dari masing-masing anggota supaya mereka mengamankan diri sendiri saat bertugas atau tidak bertugas. Memang modus yang dipakai saat ini adalah modus-modus baru, misalnya ada modus sepeda onthel, tapi skalanya kecil karena belum ke sasaran.
Sekarang menyasar ke tempat orang beribadah, karena orang ibadah kan niatnya ukhrowi, bukan dalam rangka urusan dunia. Itu lalu diserang, dan ini memang betul-betul di luar dugaan. Sekali lagi ini di luar dugaan bahwa mereka akan meniru gaya-gaya aksi teror di Pakistan, karena memang tidak umum. Kalau seorang yang sedang beribadah diserang di Indonesia itu tidak lazim. Bom remote, ini juga memang meniru, dan gaya meniru ini memang sangat bahaya. Ini yang harus dikaji lebih tajam lagi.
Target kelompok teroris JI selama ini gedung atau tempat yang banyak kepentingan asing, lalu bergeser ke rumah ibadah yang tipikal dilakukan kelompok NII (DI/TII), apakah ini sudah menyatu?
Kalau upaya-upaya mereka (JI) untuk merapat ke kelompok NII itu memang ada, karena memang yang paling dekat diajak berafiliasi memang ke sana. Rekruitmen memang banyak diarahkan ke sana, tapi untuk melakukan pemboman itu NII kurang. Untuk melakukan langkah itu adalah Aliansi Mujahidin Islam Nusantara (AMIN).Sampai sekarang mereka belum terang-terangan top leadernya di mana, yang jelas mereka merekrut sipil jadi pengantin, sudah situ saja, seperti Saefudin Juhri, sudah sampai situ sudah.
Jadi sudah tak mandang dari mana-mana, yang penting rekrut, dicuci otak, jadi pengantin, jeder. Sekarang targetnya kan anak-anak muda umur 19-20 tahun, anak muda yang sumbu pendek. Mereka akan langsung bangkit dan bertindak begitu mendengar kabar yang tidak mengenakan bagi kelompoknya. Contohnya pemberitaan-pemberitaan media massa tentang penindakan terhadap orang-orang yang diduga pelaku teroris, itu mereka langsung tersulut dan gerah. Ini makanya, saya katakan perlunya ada suatu pendekatan HO2 yaitu hati, otak dan otot, bukan hanya otak dan otot saja.
Jadi kasus-kasus teror bom belakangan ini ada kaitan dengan kasus pencucian otak belakangan ini yang juga terjadi seperti kasus Lian kemarin?
Kalau kasus Lian itu menjadi linglung, tapi dalam kasus ini dia hanya diperas uangnya saja. Memang kelompok ini ditargetkan sampai tahun 2014 harus merekrut orang sebanyak-banyaknya pengikut. Bahkan setiap orang ditargetkan harus dapat 7 orang per minggu, jadi dua orang merekrut satu. Satu bulan ditargetkan harus dapat beberapa juta rupiah. Jadi mereka lebih cenderung kepada penggalian dana. Penggalangan dana ini bukan untuk menyerang, walau bisa apa saja.
Tapi untuk yang serangan itu kebanyakan dilakukan kelompok AMIN. Tapi pendanaan ini jadi utama, karena tanpa ada dana mereka tidak bisa bergerak tanpa dana. Tapi dalam kasus Cirebon ini dana Rp 1 juta sudah cukup saya kira.
Kasus bom seperti di Cirebon ini ke depan apakah akan masih banyak?
Kemungkinan-kemungkinan kasus seperti ini masih ada, mereka akan terus mencari celah. Ini karena kita tidak pakai UU seperti UU Anti Subversif dulu, di mana dulu semua digelandang dulu, perkara nanti tidak terbukti lalu dilepas. Nah, sekarang harus terbukti dulu, perlu bukti permulaan yang cukup dulu, nah ini memberikan celah bagi orang-orang yang diawasi itu melakukan aksinya.
Ini yang saya kira perlu dikaji dan dievaluasi lagi. Sekarang ini kayak buah simalakama, demokrasi dan perlindungan publik ditonjolkan, tapi kepentingan publik sendiri sudah terkoyak dengan kasus terorisme ini. Tapi saya tegaskan, ini hanya untuk pelaku atau orang yang diduga teroris saja, tidak bisa ke semua orang. Tapi ini kita serahkan kepada kesepakatan pemerintah dan DPR supaya melihat secara komprehensif, tidak berbicara trauma di masa lalu saja, tapi trauma masyarakat saat ini terhadap terorisme harus diperhatikan juga.
Sebenarnya pelaku dan keluarga yang sempat ditangkap dan sudah diminta keterangan pihak keamanan itu bagaimana? Apakah ini akan efektif mencegah aksi terorisme atau justru malah makin membuat mereka balas dendam?
Sebenarnya sudah banyak pembinaan yang dilakukan, termasuk bekas-bekas napi teroris di sejumlah pesantren, dan mereka diberian pekerjaan dan bisnis kecil-kecilan. Nah bagi yang sudah berusia dan berkeluarga itu agak mudah, tapi yang muda-muda ini agak sulit karena idealismenya masih tinggi dan gerakannya masih leluasa. Pembinaan dilakukan kepada anak-anak pelaku teroris seperti anaknya Abu Dujana dan sebagainya. Awalnya sulit, karena trauma dan sebagainya, namun terus didekatin.
Tapi sepertinya sulit menghentikan aksi teror bom ini, seberapa besar kekuatan mereka saat ini?
Begini, mereka itu patah tumbuh hilang berganti, nah berkembang pada modus-modus baru dan masih banyak yang berkeliaran. Misalnya jumlah mereka yang berkeliaran di Poso masih puluhan. Kasus Plumpang masih ada dua orang. Kasus Palembang masih ada lima orang. Aceh masih ada sekitar belasan orang yang belum tertangkap. Di Jawa Timur dan Jawa Tengah ada puluhan, ya orang seperti Saefudin Juhri (perekrut teroris) yang masih muda-muda itu masih banyak, puluhan orang belum tertangkap.
Ini merupakan rally yang masih panjang yang belum selesai yang perlu pemikiran ke depan agar tidak sepotong-potong. Proses deradikalisasi supaya jangan hangat-hangat tai ayam, karena ini strategi bukan taktis. Kalau taktis itu akan sepotong-potong, tapi dalam beberapa waktu muncul lagi. Seharusnya diharus dipikirkan jangka panjang, misalnya seperti yang dilakukan NU sudah membantu meredakan ketegangan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Ini yang harus ditiru yang lainnya.
(zal/iy)
Komentar
Posting Komentar