Radikalisme DITOLAK, Kekerasan DIBENCI (2)

POLITIK
12/08/2010 - 11:26
Presiden Menutupi Kenyataan
Ibarat Bara dalam Sekam, Islam Radikal Takkan Padam
MA Hailuki

presiden SBY
(inilah.com/Agus Priatna)
INILAH.COM, Jakarta - Rangkaian aksi teror yang terjadi di Indonesia dianggap Presiden SBY sebagai perbuatan kejahatan murni, tidak terkait dengan politik dan agama.

“Saya tidak pernah membawa masalah terorisme ke arena politik karena bukan politik dan kita tidak bisa kaitkan terorisme dengan agama karena bukan ajaran agama. Terorisme adalah kejahatan,” kata presiden SBY, Selasa (10/8).

Sekilas pernyataan Presiden benar adanya, namun jika ditilik lebih dalam sesungguhnya pernyataan itu menutupi kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Menyatakan terorisme tak terkait politik dan agama ibarat mengatakan bahwa kelompok Islam radikal tak ubahnya gerombolan perampok atau pembunuh.

Padahal, kelompok Islam radikal yang melakukan teror di Indonesia melakukan aksinya itu dengan didasari oleh suatu keyakinan agama dan orientasi politik.

Pemerintah hendaknya membuka mata lebar dan menyadari bahwasanya kelompok Islam di Indonesia tidaklah homogen. Tidak hanya didominasi oleh dua Ormas besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Islam di Indonesia sangat heterogen, keberadaan kelompok Islam radikal adalah sebuat realita yang tidak perlu ditutup-tutupi keberadaannya. Sejak masa revolusi kemerdekaan kelompok Islam radikal sudah eksis di republik ini. Bahkan sejarah mencatat mereka ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Sebut misalnya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang berjuang hingga titik darah penghabisan mempertahankan kemerdekaan NKRI di wilayah Jawa Barat.

Adalah sebuah kenyataan juga bahwa kelompok Islam radikal sejak awal kemerdekaan menginginkan Islam sebagai dasar negara. Aksi teror yang terjadi di Indonesia sejak zaman Orde Lama hingga Era Reformasi saat ini sejatinya adalah perjuangan mendirikan negara Islam di Indonesia.

Beralihnya perjuangan pendirian negara Islam yang awalnya dilakukan secara konstitusional melalui partai politik menjadi aksi teror dikarenakan sikap represif pemerintah terhadap kelompok Islam radikal.

Darul Islam (DI) pada awalnya bernama Majelis Islam (MI) yang adalah bagian dari Partai Masyumi. Namun dikarenakan merasa perjuangan konstitusional tak akan membuahkan hasil mereka memisahkan diri dan membentuk organisasi sendiri.

Partai Masyumi sendiri yang sempat memegang pemerintahan melalui Kabinet Natsir (1950-1951) pada akhirnya malah dibubarkan oleh Soekarno.

Sikap represif pemerintah yang mengeksekusi mati pemimpin DI, SM Kartosoewirjo dan membubarkan Partai Masyumi pimpinan M Natsir menimbulkan kebencian dan dendam teramat dalam kelompok Islam radikal terhadap pemerintah.

Ditambah lagi pada era Orde Baru pemerintah melakukan pendekatan bersenjata terhadap kelompok Islam radikal melalui peristiwa Tanjung Priok (1984) misalnya.

Sementara di sisi lain, kelompok Islam yang dinilai melanggar ajaran semacam Ahmadiyah dan Islam Jamaah malah dipelihara oleh pemerintah. Hal ini semakin menumbuhkan kebencian dan pembangkangan kelompok Islam radikal terhadap pemerintah.

Sebagai sebuah keyakinan cita-cita perjuangan, pendirian negara Islam adalah nilai yang diwariskan secara turun temurun tak pernah berhenti.

Selama pemerintah masih menganggap kelompok Islam radikal ini sebagai musuh negara maka selama itu pula mereka akan melakukan perlawanan dan pembalasan dendam terhadap pemerintah.

Ditambah lagi, pemerintah melakukan operasi pemberantasan teroris mendapat bantuan dari Amerika Serikat dan Australia yang notabene adalah musuh mereka juga.

Maka makin menjadi-jadilah kebencian kelompok Islam ini terhadap pemerintah. Tindakan represif yang dilakukan pemerintah hanya semakin menjadikan kelompok Islam radikal ini organisasi laten yang terus membara tak pernah padam ibarat bara di dalam sekam.

Mungkin, perlulah kiranya ditempuh cara baru untuk menjinakkan kelompok Islam radikal ini. Misalnya dengan cara pendekatan tokoh-tokoh Islam moderat terhadap tokoh-tokoh Islam radikal tersebut.

Bahkan kalau perlu, perjuangan pendirian negara Islam di Indonesia dilegalkan melalui sarana konstitusional. Pemerintah tidak perlu alergi terhadap syariat Islam.

Jika rakyat Indonesia tidak menghendaki Islam dijadikan dasar negara. dengan sendirinya kelompok Islam radikal ini akan menyadari bahwa cita-cita mereka ternyata tidak laku dijual. Ada baiknya pemerintah mendorong kelompok Islam radikal ini menjadi partai politik supaya tidak terus menerus bergerak di bawah tanah.

Partai-partai Islam yang ada pun hendaknya bisa memposisikan diri sebagai sarana agregasi dan artikulasi kepentingan kelompok Islam radikal. Dengan mengajak mereka hidup di atas tanah bersama-sama anak bangsa lainnya tanpa syak wasangka mungkin bisa menghindarkan terjadinya aksi-aksi teror yang selama ini terjadi.

Apabila pemerintah tetap memposisikan kelompok Islam radikal ini sebagai musuh negara, maka selama itu pula aksi teror akan selalu ada. [mah]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN