saat nama TUHAN dibawa-bawa

Terorisme, Jihad, dan Musik
Sabtu, 06 November 2010 | 07:52 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta -

--------



Judul: In The Name of God

Genre: Drama

Produksi: Shoman Production

Sutradara: Shoaib Mansoor

Pemain: Shan, Fawad Khan, Iman Ali, Alex Edwards, Rasheed Naz



---------



Mary (Iman Ali) tak bisa menggapai impiannya untuk menikahi Dave, pria bule nonmuslim yang dipacarinya. Sepupu Mary, Sarmad (Fawad Khan), berubah menjadi mujahidin setelah menanggalkan identitasnya sebagai pemusik. Dan Mansoor (Shaan) tiba-tiba menjadi tertuduh tindakan teroris 11 September 2001.



Kisah pilu ketiganya mengantarkan penonton pada sebuah pemahaman Islam dan norma-norma yang dianut negara Pakistan. Dalam film bertajuk In The Name of God, sang sutradara Shoaib Mansoor mencoba menuturkan sebuah pemahaman Islam moderen yang tumbuh di sela-sela himpitan budaya yang ketat di Pakistan. Film yang pernah di putar di Jakarta International Film festival (Jiffest) 2008 ini tengah ditayangkan di bioskop-bioskop Tanah Air sejak 4 November 2010.



Film ini menarik tiga benang merah di antara tiga tokoh, yang semuanya terkait sebagai saudara sepupu. Mary, gadis Pakistan yang lahir dan menetap di Inggris ingin menikah dengan pacar bulenya. Namun sang ayah sudah keburu malu karena banyak hujatan yang dilayangkan padanya. “Lebih baik kamu pindah agama saja, jika masih membiarkan keturunanmu menjadi nonmuslim,” hardik seorang Pakistan pada ayah Mary.



Sebuah rencana pun digalang sang ayah secara diam-diam. Dengan kedok bersilaturahmi ke Pakistan, ia memperkenalkan Mary dengan dua sepupunya itu. Kebetulan yang pas, Sarmad yang mulai menjadi pengikut Islam radikal pimpinan Kiyai Murshad bersedia “menyelamatkan” Mary dari kekafiran. Bersama sang ayah, Sarmad membawa Mary ke perbatasan Afganistan untuk dinikahi paksa. Di sana pula, Sarmad berlatih perang sebagai seorang mujahidin.



Berbeda dengan kakak Sarmad, Mansoor, memilih jalan lebih bebas. Ia terbang ke Amerika untuk mendalami musik dan menikahi seorang wanita bule yang mulai mengikuti ajarannya. Saat Mansoor mulai mencinta Amerika dengan sepenuh hatinya, sebuah tragedi 11 September 2001 terjadi. Ia pun digiring oleh polisi setempat karena laporan tetangga apartemennya yang menuduh Mansoor terlibat dalam aksi itu. Ia dianggap mencurigakan karena nama belakangnya bernama Khan dan gemar dengan aeromodeling. Bagian ini menyegarkan ingatan tentang film My Name Is Khan.



Nasib Sarmad tak kalah ironis. Mary yang berhasil dibebaskan oleh pemerintahan Inggris -karena ia berkewarganegaraan Inggris- menggiring kasus tersebut ke meja hijau di Pakistan. Ia menghadirkan sumber kunci, Moulana Tahiri (Rasheed Naz), yang mampu memecahkan urusan agama-budaya yang menjadi perdebatan di negara itu, yakni pernikahan Mary yang dilakukan sang ayah, penempatan musik Sarmed dalam Islam, dan dan busana moderen bagi kaum muslim.



Seperti diketahui, budaya ketat Pakistan tak jarang mengantarkan pemudanya pada pemahaman Islam yang mengerikan. Lahirlah sebuah pemahaman bahwa seorang ayah berhak menentukan jodoh anak gadisnya, musik menjadi haram bagi muslimin, dan berbusana kebarat-baratan dianggap sebagai penyimpangan agama.



Banyak hikmah yang bisa dipetik dalam film ini. Adegan di pengadilan, misalnya, bisa menjadi pencerahan penonton untuk memahami Islam secara luas dan mudah. “Ini merupakan debut saya yang sederhana. Tema teroris yang menjadi momok bagi muslimin seharusnya mampu disikapi secara adil oleh masyarakat global, dan inilah yang akan saya terangkan,” ujar sutradara Shoaib Mansooor.





AGUSLIA HIDAYAH

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019