Jakarta SUMBER sampah
Warga Jakarta dan Sekitarnya Intoleran Soal Agama
Selasa, 30 November 2010 | 05:34 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta -Warga Jakarta dan sekitarnya menunjukkan kecenderungan intoleran dalam kehidupan beragama. Hal ini ditunjukkan, antara lain, oleh penolakan terhadap pendirian rumah ibadah penganut agama lain di lingkungan warga. Ini merupakan hasil survei lembaga SETARA Institute mengenai toleransi sosial masyarakat perkotaan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
"Tiga tahun terakhir menunjukkan intoleransi semakin menguat," ujar Manajer Program SETARA Institute, Ismail Ashani, di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, kemarin. Survei jajak pendapat ini dilakukan sepanjang 2010 dan melibatkan 1.200 responden. Mereka dipilih secara acak dengan kerangka sampel kartu keluarga.
Menurut Ismail, ketegangan sosial dan pelanggaran kebebasan beragama yang paling serius adalah kasus tempat ibadah kelompok agama minoritas dan kriminalisasi jemaah Ahmadiyah. Yang menjadi sasaran kekerasan warga Jabodetabek adalah jemaat Kristiani dan pengikut Ahmadiyah.
Data SETARA Institute sejak 2007 hingga 2009 menunjukkan, terjadi 691 pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat, Jakarta, dan di pinggiran Ibu Kota, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Di wilayah ini pula organisasi Islam radikal tumbuh subur. "Untuk yang 2010 belum didata," kata Ismail.
Sebagai contoh, intoleransi warga bisa dilihat dari angka 49,5 persen responden yang menolak keberadaan rumah ibadah agama lain di dekat tempat tinggalnya. Meski mereka yang bisa menerima berjumlah 45 persen, situasi ini rawan konflik.
Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan pelanggaran kebebasan beragama bergaris lurus dengan perkembangan organisasi radikal.
Menurut Bonar, mereka semakin agresif mempromosikan pandangan dan praktek intoleransi di tengah masyarakat dengan isu aliran sesat, antimaksiat, dan antipemurtadan.
"Mereka mengatasnamakan agama dan moralitas," ujarnya di kesempatan yang sama. Ia menambahkan, pemerintah belum serius menindak pelaku kekerasan dan membuat langkah holistik untuk menghapus praktek intoleransi.
HERU TRIYONO
Jemaat GKI Tuntut Tutup Gereja Pantekosta di Jayapura
Senin, 15 November 2010 | 11:32 WIB
Besar Kecil Normal
TEMPO Interaktif, Jayapura - Puluhan Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Sentani, Jayapura, mendatangi Kepolsian Resor Sentani Sentani menuntut penutupan tempat ibadah Gereja Pantekosta Indonesia (GPdI) di wilayah Sentani, Senin (15/11). Puluhan jemaat GKI mendesak umat GPdI agar tidak lagi menggelar ibadah yang dianggap berseberangan dengan mereka.
“Kami hanya meminta mereka tidak melaksanakan ibadah di sana, karena sesuai dengan perjanjian, mereka harus menutup tempat ibadahnya,” kata Ibrahim Waisabon, anggota Badan Pekerja Klasis (BPK) GKI di Sentani, Senin (15/11).
Ibrahim mengatakan, umat GKI tidak lagi harus dibaptis oleh pendeta GPdI karena sudah disucikan dalam GKI. “Itu yang membuat kami jengkel, masak sudah dibaptis, sekarang dibaptis lagi, aturan darimana itu,” ujarnya.
BPK GKI meminta kepolisian menjembatani penyelesaian masalah antara jemaat GKI dan GPdI. “Akibat konflik itu, kedua pemuda jemaat sempat berkelahi, ini memang sangat disesalkan.”
Sementara itu pihak gereja GPdI sendiri tidak mau berkomentar soal konflik antara GKI dengan pihaknya. “Kami akan menyelesaikan semuanya secara kekeluargaan,” kata seorang pendeta GPdI tanpa menyebut identitasnya.
Konflik antara kedua jemaat telah berlangsung sejak pertengahan Oktober 2010. Akibat konflik tersebut, jemmaat GKI menyegel gereja GPdI di Sentani. Akibatnya, puluhan umat GPdI tidak dapat melaksanakan ibadahnya.
JERRY OMONA
Selasa, 30 November 2010 | 05:34 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta -Warga Jakarta dan sekitarnya menunjukkan kecenderungan intoleran dalam kehidupan beragama. Hal ini ditunjukkan, antara lain, oleh penolakan terhadap pendirian rumah ibadah penganut agama lain di lingkungan warga. Ini merupakan hasil survei lembaga SETARA Institute mengenai toleransi sosial masyarakat perkotaan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
"Tiga tahun terakhir menunjukkan intoleransi semakin menguat," ujar Manajer Program SETARA Institute, Ismail Ashani, di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, kemarin. Survei jajak pendapat ini dilakukan sepanjang 2010 dan melibatkan 1.200 responden. Mereka dipilih secara acak dengan kerangka sampel kartu keluarga.
Menurut Ismail, ketegangan sosial dan pelanggaran kebebasan beragama yang paling serius adalah kasus tempat ibadah kelompok agama minoritas dan kriminalisasi jemaah Ahmadiyah. Yang menjadi sasaran kekerasan warga Jabodetabek adalah jemaat Kristiani dan pengikut Ahmadiyah.
Data SETARA Institute sejak 2007 hingga 2009 menunjukkan, terjadi 691 pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat, Jakarta, dan di pinggiran Ibu Kota, seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor. Di wilayah ini pula organisasi Islam radikal tumbuh subur. "Untuk yang 2010 belum didata," kata Ismail.
Sebagai contoh, intoleransi warga bisa dilihat dari angka 49,5 persen responden yang menolak keberadaan rumah ibadah agama lain di dekat tempat tinggalnya. Meski mereka yang bisa menerima berjumlah 45 persen, situasi ini rawan konflik.
Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan pelanggaran kebebasan beragama bergaris lurus dengan perkembangan organisasi radikal.
Menurut Bonar, mereka semakin agresif mempromosikan pandangan dan praktek intoleransi di tengah masyarakat dengan isu aliran sesat, antimaksiat, dan antipemurtadan.
"Mereka mengatasnamakan agama dan moralitas," ujarnya di kesempatan yang sama. Ia menambahkan, pemerintah belum serius menindak pelaku kekerasan dan membuat langkah holistik untuk menghapus praktek intoleransi.
HERU TRIYONO
Jemaat GKI Tuntut Tutup Gereja Pantekosta di Jayapura
Senin, 15 November 2010 | 11:32 WIB
Besar Kecil Normal
TEMPO Interaktif, Jayapura - Puluhan Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Sentani, Jayapura, mendatangi Kepolsian Resor Sentani Sentani menuntut penutupan tempat ibadah Gereja Pantekosta Indonesia (GPdI) di wilayah Sentani, Senin (15/11). Puluhan jemaat GKI mendesak umat GPdI agar tidak lagi menggelar ibadah yang dianggap berseberangan dengan mereka.
“Kami hanya meminta mereka tidak melaksanakan ibadah di sana, karena sesuai dengan perjanjian, mereka harus menutup tempat ibadahnya,” kata Ibrahim Waisabon, anggota Badan Pekerja Klasis (BPK) GKI di Sentani, Senin (15/11).
Ibrahim mengatakan, umat GKI tidak lagi harus dibaptis oleh pendeta GPdI karena sudah disucikan dalam GKI. “Itu yang membuat kami jengkel, masak sudah dibaptis, sekarang dibaptis lagi, aturan darimana itu,” ujarnya.
BPK GKI meminta kepolisian menjembatani penyelesaian masalah antara jemaat GKI dan GPdI. “Akibat konflik itu, kedua pemuda jemaat sempat berkelahi, ini memang sangat disesalkan.”
Sementara itu pihak gereja GPdI sendiri tidak mau berkomentar soal konflik antara GKI dengan pihaknya. “Kami akan menyelesaikan semuanya secara kekeluargaan,” kata seorang pendeta GPdI tanpa menyebut identitasnya.
Konflik antara kedua jemaat telah berlangsung sejak pertengahan Oktober 2010. Akibat konflik tersebut, jemmaat GKI menyegel gereja GPdI di Sentani. Akibatnya, puluhan umat GPdI tidak dapat melaksanakan ibadahnya.
JERRY OMONA
Komentar
Posting Komentar