hiburan KERAS

Kamis, 11/11/2010 12:32 WIB
'In the Name of God': Pernyataan Politik yang Keras tapi Menghibur
Ekky Imanjaya - detikMovie

Jakarta - Akhirnya film 'Khuda Kay Liye' (In The Name of God) karya sutradara Pakistan, Shoaib Manshoor diputar di bioskop regular. Film yang pernah diputar di Jakarta International Film Festival (JIFFest) 2008 ini cukup unik posisinya. Dia film yang laris manis di negerinya, dan menjadi film terlaris kedua dalam sejarah sinema Pakistan, tapi juga menang dan diputar di banyak festival film dunia—di antaranya menang di 31st Cairo International Film Festival, dan Fukuoka Audience Award. Artinya, film ini diakui secara komersial sekaligus mutunya. Dan inilah film Pakistan pertama yang diputar di India.

Film ini berlokasi di Pakistan, Inggris, Amerika Serikat, dan Afghanistan. Berkisah tentang abang-adik (Sarmad dan Manshoor, dimainkan oleh Shaan dan Fawad Khan) yang sukses dalam industri musik, namun terpisah jalan. Si abang meneruskan kuliah S2 musik di AS, dan bertemu dengan jodohnya di sana (diperankan Austin Marie Sayre).

Si adik mendalami Islam garis keras dan bergabung dengan kelompok semacam Taliban pimpinan Maulana Tahiri (Rasheed Naz). Si abang bernasib sial karena berada di AS saat peristiwa WTC --dia ditahan dan diinterogasi oleh pihak berwajib AS yang sok tahu. Si adik yang kini menganut syariat ketat dan keras menikahi sepupunya, Mary (Iman Ali) wanita warga London yang ditipu ayahnya untuk mencegahnya menikah dengan non-Muslim (padahal ia kumpul kebo dengan bule non-Muslim di sana).

Film ini mempunyai pernyataan yang cukup keras seputar Peristiwa 9/11, baik kepada Barat atau pun otokritik umat Islam. Kepada AS, ia memprotes betapa tingginya buruk sangka—sekaligus rendahnya pehamaman--kebanyakan warga AS, apalagi aparatnya terhadap warga Muslim. Lihat saja kesoktahuan seorang interogator yang menyangka jimat (isim)—'pegangan' yang banyak dimiliki Muslim—dianggap sebagai sebuah peta karena ada huruf 9 dan 11, dan sialnya si empunya tidak memahami isinya (sesuatu yang juga wajar).

Tapi, kritik tajam justru dialamatkan kepada sesama umat Islam sendiri. Misalnya, bagaimana pemahaman yang picik membuat orang merasa paling benar dan memaksakan kehendaknya di berbagai bidang. Sebut saja soal pengharaman musik, hak-hak perempuan (dalam hal ini kawin paksa), dan memasang atribut identitas seperti jenggot dan cara berpakaian.

Salah satu adegan menarik yang menancap di memori saya adalah kesaksian ulama besar, Maulana Wali (diperankan oleh Naseeruddin Shah) dalam persidangan resmi perihal hukum Islam. Salah satu yang dibahas adalah soal hukum musik. Sang ulama membuka pernyataannya dengan kalimat, "saya punya banyak argumen yang berhubungan dengan musik, tapi saya akan mengajukan satu saja, satu hal yang mencakup semua argumen."

Lalu, dia berkata, "Katakan, berapa banyak utusan Tuhan?" Jawab jaksa, "124 ribu."


Sang kia dengan lembut melanjutkan, "Dan, dari sekian banyak itu berapa yang diberi anugerah dengan kitab? Hanya empat. Dan keempatnya juga diberi-Nya mukjizat. Mukjizat Nabi kita adalah al Quran itu sendiri. Musa bisa membelah lautan menjadi dua. Isa bisa menghidupkan orang yang telah mati. Dan apa mukjizat Daud? Musik. Suara yang melodius, dan kehebatannya bermain banyak instrumen musik, yang membuah gunung ikut bernyanyi, berbagai burung dari penjuru dunia bersegera menghampiri suaranya. Tengoklah Mazmur, maka Anda akan menemukan detil skala musik dan alat musik yang beliau mainkan untuk memuji Tuhan."

Ruang sidang hening. Sang ustad melanjutkan, "Apakah logis jika Tuhan memilih benda yang tak murni sebagai alat memuja-Nya? Dan, apakah Dia akan menganugerahkan salah satu Rasul yang paling Ia cintai dengan sesuatu yang kotor?"

Ia pun menyambung dengan contoh dari Rasulullah. “Apakah mungkin Nabi kita membenci musik tapi bertanya pada istrinya Aisyah, 'Suku yang sedang mengadakan pesta pernikahan ini sangat menggemari musik. Apakah kamu telah mengirim para penyanyi wanita untuk bernyanyi dalam upacara perkawinannya?' Apakah Rasul kita membenci musik tapi juga memuji Abu Musa Asyari yang sedang melantunkan Quran dengan berkata, 'Sepertinya Allah telah meletakkan harpa Daud AS di dalam tenggorokanmu?'

Di kali yang lain, sang kiai ini juga menggarisbawahi untuk tidak mencampuradukkan antara agama dan budaya--dengan kata lain: ibadah dan muamalah. Dengan pernyataan keras ini, Shoaib pun terkena teror oleh Islam garis keras (semacam FPI-nya Pakistan), bahkan ia diancam bunuh karena mempromosikan kehalalan musik dan perkawinan beda agama. Tak kurang dari Perdana Menteri Pakistan sendiri yang turun tangan memerintahkan menjaga keamanannya. Tapi, ia tetap berjuang di jalur yang dianggapnya benar. Ia baru saja menyelesaikan film keduanya, 'Speak'.

Inilah film yang dengan lihai memasukkan unsur propaganda dan menjadi alat pernyataan politik, media komunikasi, tapi diracik dengan skenario dan sinematografi yang ciamik. Dan juga lagu-lagu yang menawan. Salah satu adegan favorit saya adalah kala Manshoor bermain piano dengan gaya Pakistan, mahasiswa lainnya mengikuti iramanya dengan alat musik dan gaya masing-masing budaya. Sebuah contoh menarik dari multikulturalisme.

Pesan moralnya, membuat film yang bermutu, ada pernyataan (politik/personal), dan laku bukanlah hal yang tak mungkin.

(mmu/mmu)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019