kapolri KEJEPIT politik (2)
Kamis, 14 Oktober 2010 | 23:37 oleh Lamgiat Siringoringo
KAPOLRI BARU
DPR setujui Komjen Timur Pradopo jadi Kapolri
JAKARTA. Seperti diduga sebelumnya, Komjen Timur Pradopo meluncur mulus menjadi Kapolri. Seluruh fraksi di DPR menyetujui secara aklamasi Timur menjadi Kapolri.
Putusan ini diambil setelah Timur menjalani fit and proper test selama 12 jam di Komisi III DPR. Selain memberikan restu, tentu saja, Sembilan fraksi yang ada di DPR juga menyampaikan harapan-harapan mereka kepada Timur. Intinya, mereka ingin Timur menjalankan apa yang sudah ia janjikan dalam fit and proper test ini.
Misalnya, Fraksi PDI Perjuangan meminta Timur menuntaskan kasus Bank Century. "Terutama soal pengejaran recovery (pengembalian) aset Bank Century," ujar Eva Kusuma Sundari, juru bicara PDI Perjuangan, Kamis (14/10).
Partai berlambang banteng ini juga meminta agar polisi bisa memastikan masyarakat bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Eva menegaskan, Timur harus bisa mencegah agar kasus seperti HKBP Ciketing dan GKI Yasmin tidak terjadi lagi.
Tak mau ketinggalan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga meminta Timur menjalankan janji-janjinya di hadapan Komisi III DPR. "Kepercayaan DPR jangan dikhianati," ujar juru bicara PKS Nasir Jamil.
Jawaban Timur Soal Kekerasan Atas Nama Agama
Kekerasan HKBP Ciketing terjadi saat Timur Pradopo menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.
KAMIS, 14 OKTOBER 2010, 18:02 WIB Ita Lismawati F. Malau, Suryanta Bakti Susila
(VIVAnews/Sandy Adam Mahaputra)
VIVAnews - Berbagai isu dan kasus ditanyakan anggota Komisi III bidang Hukum DPR saat menguji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Timur Pradopo.
Salah satu masalah yang jadi perhatian legislator adalah kekerasan atas nama agama. Salah satu anggota Komisi Hukum, Ahmad Basarah mempertanyakan komitmen Timur dalam melindungi seluruh warga negara. Kekerasan atas nama agama, kata Ahmad, tampak dalam beberapa kasus.
Selama ini, dia menilai kepolisian hanya mengatasi pelaku dan korban, tidak pernah masuk pada tataran tindakan antisipasi. "Visi calon dalam memenuhi janji untuk melindungi warga ini bagaimana?" tanya politisi PDIP ini di gedung DPR/MPR, Kamis 14 Oktober 2010.
Timur menjawab bahwa kepolisian tidak pernah melarang kegiatan kegamaan manapun, termasuk kasus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing, Bekasi. Salah satu petinggi HKBP ditusuk orang saat berangkat ke gereja. "Masyarakat Ciketing mau menerima saudara-saudaranya menjalankan ibadah, tentu ada mekanisme," kata dia.
Syarat-syarat dalam menjalankan ibadah itu kewenangan pemerintah daerah. Saat kasus ini terjadi, Timur menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Dia menegaskan bahwa kekerasan itu tidak ada hubungannya dengan agama. "Pidana sudah diproses dan akan kami ajukan ke penuntutan," jelasnya.
• VIVAnews
Imparsial: Digandeng Polisi, FPI Akan Semakin Besar Kepala
Oleh : Santi Andriani
Nasional - Kamis, 14 Oktober 2010 | 06:30 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Keinginan calon Kapolri Komjen (Polisi) Timur Pradopo menggandeng ormas Front Pembela Islam (FPI) mendapat kecaman lembaga penggiat hak asasi manusia (HAM). Imparsial menilai, hal itu hanya akan membuat FPI semakin besar kepala.
"Jangan menunjukkan keberpihakan pada FPI, itu hanya akan membuat mereka semakin besar kepala. Ini juga bisa menimbulkan diskriminasi karena banyak ormas lainnya yang juga bisa diajak kerjasama tapi kenapa hanya FPI," ujar aktivis Imparsial, Punky Indarti kepada INILAH,COM, Kamis (14/10/2010).
Sebelumnya, Timur mengungkapkan akan mengajak FPI bekerjasama dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Menurut dia, hal itu bukan hal baru karena juga dilakukannya dengan jawara Banten ketika menjadi Kapolda Banten.
Timur berkeyakinan apa yang dilakukannya adalah bagian membangun negara. "Kalau mereka sadar hukum dan tidak melanggar hukum, itu bagian dari hukum juga," jelasnya.
Namun demikian, Imparsial tetap tidak sependapat walau dengan alasan apapun tujuan Timur Pradopo tersebut. Hal itu katanya, tidak lain karena tindakan-tindakan FPI yang terkesan anarkis selama ini dalam menghadapi peristiwa di masyarakat,
"Kalau FPI (digandeng) ini kan lucu, dimana masyarakat merasakan tindakan kekerasan yang sering mereka lakukan. Mereka kan nggak menolerir pluralitas, kalau digandeng ini (kekerasan) justru akan semakin meluas," sesalnya. [TJ]
Timur Pradopo: Ormas Bisa Pelihara Keamanan
Kedekatan Komjen Timur dengan ormas disinggung dalam silaturahmi anggota Komisi III.
RABU, 13 OKTOBER 2010, 20:54 WIB Elin Yunita Kristanti, Eko Huda S
VIVAnews -- Kedekatan Komisaris Jenderal Timur Pradopo dengan organisasi masyarakat (ormas) disinggung dalam silaturahmi antara anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan keluarga calon tunggal Kapolri itu.
Timur disebut-sebut dekat dengan Front Pembela Islam, karena saat milad FPI, Timur hadir bersama Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo.
Dia menjelaskan bahwa hal itu merupakan upaya pendekatannya kepada masyarakat sebagai anggota Polri.
"Kalau kita bertugas, kita harus tahu itu di daerah karekteristiknya apa," kata Timur ketika menerima kunjungan anggota Komisi III DPR di kediamannya di Jalan Kucica VII no 25, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Rabu 13 Oktober 2010.
Timur pun mencontohkan ketika dirinya menjabat sebagai Kapolda Banten. Saat itu, kata dia, dirinya berusaha memahami karakteristik masyarakat Banten. "Kalau Banten banyak pesantren. Kalau hari Jumat, habis Maghrib sampai Isya semua masuk masjid. Jadi jam-jam segitu nggak bisa melakukan rapat," kata dia.
Dia menambahkan, pemahaman karakteristik masyarakat itu sangat berguna untuk membangun keamanan. Karena, kata dia, polisi tidak akan bisa menciptakan keamanan tanpa bantuan masyarakat. "Tugas polisi tidak ada yang bisa diselesaikan sendiri," kata dia.
Menurut dia, sebuah ormas bisa membantu terciptanya keamanan. "Kalau dia tahu hukum dan tidak melanggar, sudah menciptakan situasi keamanan yang kondusif," kata Timur.
• VIVAnews
Kronologi Munculnya Nama Timur Pradopo
Nama Timur sudah dikoordinasikan dengan KPK, PPATK dan Komnas HAM
RABU, 13 OKTOBER 2010, 14:40 WIB Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Ketua Komisi Kepolisian Nasional Djoko Suyanto menjelaskan penentuan calon Kepala Kepolisian mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 17 tentang Kompolnas. Rujukan lain di atas itu adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Djoko menjelaskan dalam rapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu 13 Oktober 2010, tugas Kompolnas berdasarkan Perpres adalah membantu Presiden dalam menentukan arah dan kebijakan bagi Kepolisian. Kompolnas juga termasuk memberikan pertimbangan terhadap calon-calon yang diusulkan Kapolri.
"Dalam rapat beberapa kali di Kompolnas, memang sudah mengantisipasi jabatan Kapolri. Maka dilakukan penggalian, menyusun kriteria calon, dan lain-lain," kata Djoko.
"Berangkat dari situ, kami pertimbangkan dari peraturan-peraturan yang ada, dari Kapolri lama ke yang baru, ada modifikasi atau tidak untuk syarat dan kriterianya. Kalau yang syarat formal ada senioritas, pangkat, jabatan, usia, sehat jasmani rohani, riwayat jabatan."
Nama-nama calon Kapolri yang diberikan ke Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri juga diproses di Kompolnas. "Sesuai atau tidak, Kompolnas hanya mengasih pertimbangan sebelum diputuskan Presiden," kata Djoko. "Kami mencermati perkembangan yang beredar di masyarakat. Sentimen dan saran maupun kritik apa yang mengena untuk Kapolri."
Untuk mengetahui segi kebersihan dari korupsi, Kompolnas berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengenai aliran dana di rekening, Kompolnas koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Untuk dugaan pelanggaran hak asasi manusia, Kompolnas ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. "Itu syarat formal dan nonformalnya. Kriteria-kriteria itu yang selalu masuk persyaratan," kata Djoko.
Kompolnas melakukan semua proses itu setelah menerima surat Kapolri pada Juni 2010 lalu yang berisi nama-nama perwira tinggi yang bisa menjadi Kapolri. Mereka rata-rata bintang dua dan bintang tiga. "Dari evaluasi muncullah nama," kata Djoko.
Djoko katakan, tak pernah mengumumkan nama-nama yang kemudian dinilai baik berdasarkan evaluasi itu. Namun, dari hasil evaluasi, Djoko mengakui salah satunya adalah Komisaris Jenderal Timur Pradopo. (hs)
• VIVAnews
Kapolri Minta Publik Tidak Menilai Buruk kepada Polisi
SENIN, 11 OKTOBER 2010 | 21:20 WIB
Bambang Hendarso Danuri. TEMPO/Subekti
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri meminta masyarakat tidak memiliki penilaian yang berlebihan saat pengajuan calon Kapolri Komisaris Jenderal Timur Pradopo.
Menurut dia, proses pengajuan nama calon kapolri sudah sesuai dengan mekanisme. "Yang jelas kita mengajukan yang bersangkutan sesuai dengan proses penilaian, jadi jangan sampai ada penilaian-penilaian di luar itu," kata Bambang di Kantor Presiden, senin (11/10).
Sebelumnya, Timur Pradopo diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon kepala kepolisian RI. Nama Timur keluar mendekati hari terakhir sebelum penyerahan nama. Selain Timur, sejumlah nama yang sebelumnya mencuat adalah Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo.
Bambang meminta publik tidak menilai buruk pada institusi kepolisian. "Kita berharap berikan kesempatan kepada kepolisian indonesia untuk melakukan sesuatu. Kita pasti memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara," kata Bambang.
Dia juga merasa prihatin dengan sikap masyarakat kepada institusi kepolisian. Padahal, kata Bambang, kepolisian sudah berusaha mengabdikan diri kepada masyarakat bangsa dan negara. Namun, masyarakat justru menilai buruk. "Tentunya kita selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakat," katanya.
EKO ARI WIBOWO
Rapor Merah Timung (2)
Mantan Sekretaris Komisi Penyelidikan Usman Hamid sempat melayangkan dua panggilan, tapi Timur selalu mangkir. "Keterangannya kami perlukan karena dia ada di Trisakti sewaktu penembakan terjadi," kata Usman. Bahkan, kata dia, Timur ikut bertanggung jawab karena gagal mengendalikan situasi hingga terjadi penyerbuan terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi.
Mangkirnya Timur dinilai Yosep sebagai lemahnya komitmen calon orang nomor satu di korps baju cokelat tersebut terhadap perlindungan hak asasi. "Seharusnya ada calon Kepala Kepolisian yang lebih punya komitmen terhadap penegakan hak asasi," kata Yosep.
Selain itu, Komisi Nasional memberikan catatan negatif terhadap sikap Timur yang menggandeng Front Pembela Islam dalam pengamanan pada bulan puasa lalu. "Organisasi itu beberapa kali diadukan dalam kasus pelanggaran hak asasi, tapi Timur malah merangkul mereka untuk menjaga keamanan," kata Yosep.
Namun Timur tak melihat langkahnya itu sebagai kekeliruan. "Kepolisian harus memberdayakan semua elemen masyarakat untuk membantu menjaga keamanan," kata dia.
Markas Besar Kepolisian pun menganggap Timur tak terlibat dalam tragedi Trisakti karena tak ada keputusan hukum yang menyatakan Timur bersalah dalam kasus itu. "Itu tudingan orang luar. Kami tidak punya catatan itu," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Iskandar Hasan.
Timur juga dikaitkan dengan kasus kekerasan lain. Saat menjabat Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat pada 1999, mahasiswa Universitas Indonesia, Yap Yun Hap, juga tewas ditembak setelah berdemonstrasi. Pindah jadi Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, pada 2001, terjadi unjuk rasa buruh menentang keputusan presiden tentang perburuhan. Demonstrasi ini berakhir dengan pembakaran kendaraan bermotor dan perusakan kantor pemerintah daerah, Gedung Sate.
Belakangan, masalah yang sama terulang tatkala Timur mengepalai Kepolisian Daerah Metro Jaya. September lalu, perang antarkelompok preman pecah pada saat persidangan kasus pembunuhan di kafe Blowfish. Tiga orang tewas dalam bentrokan berdarah di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan ini.
Namun kekerasan itu tak dianggap sebagai masalah. Ketika Badan Intelijen Keamanan Markas Besar Kepolisian melakukan "penelitian" terhadap delapan calon Kepala Kepolisian pada Oktober tahun lalu, Timur dilaporkan bersih dari masalah. Berbeda dengan Komisaris Jenderal Nanan Soekarna, kini Inspektur Pengawasan Umum, yang dianggap tak sigap menghadapi demonstrasi di gedung DPRD Sumatera Utara. Demonstrasi ini menewaskan Ketua Dewan Azis Angkat.
Selama memimpin Kepolisian Daerah Metro Jaya, Timur juga tak menyelesaikan dua pekerjaan rumahnya, antara lain kasus penyerangan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama Satrya Langkun. Tama, yang aktif melaporkan rekening tak wajar para perwira polisi, diserang pada dini hari, Juni lalu.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menilai Timur tak serius mengejar penganiaya Tama, meski Presiden Yudhoyono sudah meminta penyerangan itu segera diungkap. "Sudah tiga bulan lewat tapi hasilnya nihil," ujarnya.
Emerson juga menyoroti lalainya Timur melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Setiap pejabat wajib melaporkan hartanya setiap kali mendapat promosi atau mutasi, tapi Timur baru dua kali melapor. Padahal dalam lima tahun terakhir ia sudah lima kali berganti jabatan.
Ketika melapor pada 2008, Timur menyatakan total hartanya sekitar Rp 2,1 miliar. Kekayaan itu berasal dari dua bidang tanah dan bangunan di Tangerang senilai Rp 1,384 miliar yang berasal dari warisan. Lalu ada empat kendaraan senilai Rp 305 juta serta logam mulia dan simpanan di bank senilai hampir Rp 400 juta.
Timur memperbarui laporan kekayaannya pada awal bulan lalu, yang masih diverifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kalau dia saja tidak taat aturan tentang laporan kekayaan, bagaimana bisa dia dipercaya punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi?" kata Emerson.
Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Muhammad Taufik (Jombang), Ayu Cipta (Tangerang), Erick P. Hardi (Bandung), Wasi'ul Ulum (Banten)
Rapor Merah Timur
RUMAH bercat putih di Dusun Gempol, Jombang, Jawa Timur, itu tak lagi berpenghuni. Yang tersisa hanya dua ranjang bambu dan lemari berisi tumpukan buku dimakan rayap. "Timung dulu tinggal di sini sejak umur tujuh bulan sampai lulus sekolah menengah atas," kata Suarti, Selasa pekan lalu.
Timung adalah sapaan Suarti buat keponakannya, Komisaris Jenderal Timur Pradopo. Menurut dia, Timur, sulung dari tujuh bersaudara anak pasangan guru sekolah dasar Sigit Sai'un dan Sriati, meninggalkan Gempol setelah diterima di Akademi Kepolisian pada 1974.
Tamat dari akademi empat tahun kemudian, Timur meniti kariernya dari Satuan Lalu Lintas. Ia mulai berdinas di Semarang dan Kedu, Jawa Tengah, lalu pindah ke Jakarta. Pria kelahiran Jombang 54 tahun lalu ini terbilang "beruntung". Ia hanya dimutasi di seputaran Ibu Kota, paling jauh Banten dan Jawa Barat.
Toh, bukan berarti semua tugasnya mulus. Pada 12 Mei 1998, ketika menjabat Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat, petaka itu terjadi. Empat mahasiswa ditembak di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Peristiwa ini memicu kerusuhan besar-besaran yang menghanguskan Ibu Kota. Sepekan kemudian, rezim Orde Baru runtuh diterjang gelombang tuntutan reformasi.
Dua belas tahun setelah tragedi itu, bintang Timur bersinar terang. Ia dipromosikan menjadi Kepala Bagian Pemeliharaan Keamanan Markas Besar Kepolisian sekaligus naik pangkat menjadi komisaris jenderal. Malam harinya, ia diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Dewan Perwakilan Rakyat sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian RI.
Pengajuan oleh Yudhoyono itu mengejutkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Akhir September lalu, komisi ini diminta memeriksa delapan perwira tinggi oleh Komisi Kepolisian Nasional. Delapan nama itu dianggap memenuhi persyaratan menjadi calon Kepala Kepolisian. Komisi Nasional diminta mengecek rekam jejak mereka di bidang hak asasi manusia.
Menurut Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yosep Adi Prasetyo, nama Timur masuk daftar tapi bukan termasuk yang diunggulkan. Saat itu Komisi Kepolisian hanya meminta ada perhatian khusus buat dua calon kuat, yakni Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo.
Yosep bercerita Komisi Nasional menelusuri karier para kandidat. "Kami mengecek apakah mereka terlibat kasus pelanggaran hak asasi," kata Yosep. "Kami juga melihat bagaimana mereka menangani kasus pelanggaran hak asasi," katanya.
Komisi itu juga menelisik pernyataan setiap calon mengenai hak asasi manusia sejak masih menjabat kepala kepolisian sektor. Diteliti juga pengalaman mengikuti pelatihan tentang hak asasi manusia. "Jadi, kami melihat juga seperti apa wawasan mereka mengenai hak asasi manusia," kata Yosep.
Hasilnya, muncul urutan nama berdasarkan skor. Urutan teratas adalah perwira yang dianggap punya komitmen tinggi terhadap perlindungan hak asasi. "Timur bukan yang teratas," kata Yosep. Sumber-sumber Tempo yang membaca surat rekomendasi itu menyebutkan, nilai Timur paling jeblok. "Dia di urutan paling bawah," ujar seorang sumber.
Rapor merah Timur itu diberikan karena Komisi Nasional Hak Asasi menemukan Timur terlibat kasus Trisakti. Yosep menjelaskan nilai Timur kian merosot karena menolak memberikan keterangan kepada Komisi Penyelidikan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tim bentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini bertugas menyelidiki kasus Trisakti serta Kasus Semanggi I dan II. Padahal Timur adalah salah satu komandan lapangan operasi keamanan ketika tragedi Trisakti meledak.
Geng Bosnia di Pucuk Bhayangkara (2)
Sebelum bergeser ke Ibu Kota, Timur adalah Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat. Sebulan sebelum pergeseran, Kongres Partai Demokrat bentukan Yudhoyono digelar di Bandung. Tiga hari mengamankan kongres, menurut sumber di kepolisian, Timur punya banyak kesempatan menemani Yudhoyono. Dalam beberapa kali kesempatan mereka makan siang dan makan malam bersama. Dianggap sukses mengamankan kongres, kata sumber itu, Timur ditempatkan di Jakarta.
Kedekatan Yudhoyono dengan Timur, kata sumber lain, juga terbangun dari hubungan masa lalu. Soekotjo, ayahanda Irianti Sari Andayani, istri Timur Pradopo, adalah Panglima Komando Daerah Militer Diponegoro, Jawa Tengah, pada 1980-1982. Ia pernah menjadi anak buah Sarwo Edhie Wibowo di Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat. Walhasil, hubungan antara keluarga Sarwo Edhie dan keluarga Soekotjo pun tak terputus.
Istri Sarwo Edhie, Sunarti Sri Hadiyah, sudah lama mengenal istri Timur. Sumber di kepolisian mengatakan Timur pun kerap mengunjungi Bu Ageng, panggilan buat istri Sarwo Edhie Wibowo, di kediamannya, Cijantung, Jakarta Timur. Ia datang untuk sekadar menanyakan kabar kesehatan ibu mertua Yudhoyono itu.
Sewaktu menjadi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, tugas Timur mencakup Cikeas, kediaman pribadi Yudhoyono. Tak aneh jika Timur pun sering menyambangi wilayah ini. Timur lagi-lagi menunjukkan perhatian kepada Bu Ageng. Umumnya ihwal kesehatan. Tutur kata Timur yang halus, menurut sumber, membuat Bu Ageng merasa dekat. "Beliau sering menanyakan kabar Timur," katanya.
Adrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia yang lama menjadi konsultan Markas Besar Kepolisian, mengatakan bahwa Yudhoyono dengan Timur berhubungan dekat. Ia pun mengatakan selama menjadi Kapolda Jawa Barat, Timur kerap bertandang ke kediaman Yudhoyono di Cikeas. "Ya, itu karena tugas sebagai Kapolda," kata Adrianus.
Timur menampik tudingan dekat dengan Yudhoyono. "Tidak ada hubungan khusus dengan Presiden," kata Timur sebelum memenuhi undangan pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Rabu pekan lalu. Ahmad Mubarok, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, mengatakan kedekatan Yudhoyono-Timur karena pernah bekerja bersama di Bosnia. Tidak ada kedekatan karena kekerabatan, kekeluargaan, atau yang bersifat khusus lainnya.
Keluarga Timur di tempat kelahirannya, Jombang, Jawa Timur, tak mau berkomentar banyak tentang sepak terjang dan kariernya di kepolisian. Ningrum, adik Timur yang bekerja di Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Jombang, mengatakan, "Keluarga di Jombang tidak boleh omong apa-apa ke media."
Sriati, ibunda Timur, sedang di Jakarta. Jumat pekan lalu, ia tidak ada di rumahnya yang sederhana di Jalan Pattimura, Jombang. Aning, penunggu rumah, diwanti-wanti agar diam. "Saya dilarang ngomong apa-apa," katanya.
Sunudyantoro, Muhammad Taufik (Jombang)
Geng Bosnia di Pucuk Bhayangkara
Tiga perwira tinggi kepolisian itu dikenal sebagai "Geng Bosnia". Yang pertama, Komisaris Jenderal Ito Sumardi, kini Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Lalu Komisaris Jenderal Timur Pradopo, yang pekan lalu dilantik menjadi Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan. Terakhir Komisaris Jenderal Wahyono, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan di Markas Besar Kepolisian. "Mereka sering disebut Geng Bosnia di Trunojoyo," kata Neta S. Pane, Koordinator Police Watch.
Bosnia dilanda perang setelah melepaskan diri dari Yugoslavia pada 1992. Pembunuhan etnis besar-besaran berlangsung di wilayah ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun menurunkan pasukan United Nations Protection Force. Indonesia menjadi bagian dari misi ini, dengan mengirimkan Pasukan Garuda XIV. Brigadir Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru saja meninggalkan pos Komandan Komando Resor Militer Pamungkas/Yogyakarta, ditunjuk menjadi komandan pasukan ke Bosnia-Herzegovina ini.
Di Semenanjung Balkan, Yudhoyono bertugas enam bulan, sejak November 1995 hingga April 1996. Menurut buku SBY Sang Demokrat, Yudhoyono tiba-tiba mendapat tugas dari Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk berangkat ke Bosnia. Ia memimpin 650 pemantau militer dari sejumlah negara. Kontingen Garuda XIV terdiri atas batalion zeni, batalion kesehatan, tim pemantau militer, dan beberapa staf.
Menjelang akhir masa tugasnya di Bosnia, datang satu tim polisi sipil yang berjumlah 40 orang. Timur Pradopo, Ito Sumardi, dan Wahyono adalah bagian dari tim ini. Sejak itu hubungan ketiga perwira tersebut dengan Yudhoyono, yang kini menjadi presiden, mulai terjalin.
Itu sebabnya, seorang politikus partai pendukung Yudhoyono mengatakan tak kaget ketika Presiden mengajukan Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Negara, Senin pekan lalu. "Saya sudah mendengar informasi bahwa Presiden sebenarnya memilih Timur sejak dua bulan lalu," katanya. Ia mengatakan Yudhoyono sudah mengetahui kerja dan loyalitas Timur. Presiden juga menyukai pembawaan Timur yang rendah hati dan tidak suka meledak-ledak. "Tipe orang seperti ini yang disukai Yudhoyono," kata sang politikus.
Sumber di kalangan Istana Kepresidenan mengungkapkan Timur jauh-jauh hari sudah masuk radar Yudhoyono. Hubungan Yudhoyono dengan Timur bukan semata-mata hubungan kerja. Apalagi keluarga Yudhoyono dan keluarga Timur saling kenal.
Menurut Neta, penunjukan Timur menjadi Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, Juni lalu, juga atas persetujuan Yudhoyono. Pengangkatan kepala kepolisian daerah memang menjadi wewenang Kepala Kepolisian Negara. Tapi, khusus untuk Jakarta, pengangkatan kepala kepolisian daerah harus melalui persetujuan presiden walau secara informal. "Kapolda Jakarta jatah jenderal polisi yang menjadi kepercayaan presiden," katanya.
Berakhir di Bintang Timur (3)
Dengan pencalonan Imam yang belum kukuh dan Nanan ditolak, tak ada pilihan lain, calon alternatif diajukan. Pada Ahad malam dua pekan lalu, sempat muncul kabar Ito bakal ditunjuk. Wakil Ketua Dewan Pramono Anung di akun Twitter-nya menulis: calon yang diusulkan Presiden berpangkat komisaris jenderal dan pernah dua kali menjadi Kapolda di Sumatera. "Dia juga pernah menjabat Kapolwil di Surabaya," ia menulis. Ia merujuk pada Ito, yang pernah menjadi Kapolda Riau dan Kapolda Sumatera Selatan.
Ditemui pada Jumat pekan lalu, Ito Sumardi mengatakan bingung karena disebut-sebut menjadi calon Kepala Kepolisian. "Saya tidak pernah tahu, tidak pernah diberi tahu, dan tidak pernah dipanggil soal itu," katanya kepada wartawan Tempo, Mustafa Silalahi.
Timur Pradopo bukannya tak pernah masuk radar Istana. Yudhoyono pernah berada di tim yang sama ketika bertugas menjadi pasukan perdamaian di Bosnia. Pribadi Timur yang rendah hati dan tidak suka meledak-ledak juga disukai. Tapi jenjang kepangkatannya menjadi persoalan.
Pada Oktober 2009, Badan Intelijen dan Keamanan melakukan "penyelidikan kompetensi secara tertutup dengan mengutamakan obyektivitas" terhadap lima perwira tinggi. Dianggap memenuhi syarat menjadi calon, badan itu meneliti Nanan Soekarna, Inspektur Jenderal Oegroseno, Imam Sudjarwo, Timur Pradopo, plus Komisaris Jenderal Susno Duadji, ketika itu Kepala Badan Reserse Kriminal. Hasilnya, Timur menempati posisi ketiga di bawah Susno dan Imam.
Peluangnya dinilai tertutup karena pangkat Timur tak kunjung meningkat menjadi komisaris jenderal. Padahal, jika diinginkan, ia bisa segera mengisi posisi Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan. Sebab, masa dinas Komisaris Jenderal Iman Haryatna memang segera berakhir. Pangkat Timur tetap bintang dua, hingga Jenderal Bambang Hendarso mengajukan Imam dan Nanan ke Presiden. Neta S. Pane, Koordinator Indonesia Police Watch, mengatakan langkah Timur untuk naik pangkat agak tersendat.
Selalu ada yang kecewa dari proses pemilihan. Aktivis Usman Hamid, yang dikenal dekat dengan Jenderal Bambang Hendarso, mengatakan proses pencalonan Timur melahirkan pasukan sakit hati di Markas Besar Kepolisian. Dia mengatakan bertemu seorang jenderal yang sempat berencana meletakkan jabatan karena tak jadi dicalonkan. Menurut Usman, sang perwira tinggi mengeluh, "Saya gagal akibat rumor yang tidak terbukti dan itu dipercaya Presiden."
Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, membantah adanya kekacauan dalam penunjukan calon Kepala Kepolisian. Menurut dia, proses yang dilakukan Presiden telah sesuai aturan. "Semua proses taat asas," kata Julian.
Terlepas dari kontroversi penunjukannya, Timur ada kemungkinan bakal mulus dalam proses di Dewan Perwakilan Rakyat. Rabu pekan lalu, dia memenuhi undangan pemimpin Dewan untuk melakukan "silaturahmi". "Pak Timur tidak akan mendapat halangan," kata Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua Dewan, seusai pertemuan. Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno juga memastikan fraksinya menyetujui pilihan Presiden. "Kami sepenuhnya mendukung," katanya.
Menunggu persetujuan Dewan, Timur menjadi tuan rumah pertemuan para jenderal kepolisian pada Jumat malam pekan lalu. Dipimpin Jenderal Bambang Hendarso, pertemuan itu diikuti sejumlah kepala kepolisian daerah. Untuk sementara, kontroversi pencalonan Kepala Kepolisian berakhir di penunjukan Timur Pradopo.
Setri Yasra, Sunudyantoro, Eko Ari Wibowo, Budi Setyarso
Berakhir di Bintang Timur (2)
Tugas penting itu serah-terima jabatan dari Iman Haryatna ke Timur Pradopo. Dalam acara yang digelar mendadak di ruang rapat utama Markas Besar Kepolisian, Bambang sekaligus mengukuhkan kenaikan pangkat Timur. Jabatan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya yang ia tinggalkan diisi Inspektur Jenderal Sutarman, sebelumnya Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat.
Misi selesai, Bambang Hendarso balik lagi ke kantor Presiden sekitar pukul 17.45. Kali ini ia membawa surat baru pengajuan Timur sebagai calon Kepala Kepolisian. Ini dilakukan agar Presiden bisa segera meneken surat pencalonan Timur ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Satu jam kemudian, Ketua Dewan Marzuki Alie menggelar konferensi pers. Ia menyatakan telah menerima surat pengajuan Timur sebagai calon Kepala Kepolisian. "Calon Kapolri yang akan menjalani fit and proper test adalah Timur Pradopo," kata politikus Partai Demokrat itu.
Jenderal Bambang Hendarso awalnya hanya mengajukan Nanan Soekarna dan Imam Sudjarwo ke Presiden. Komisi Kepolisian Nasional yang diketuai Djoko Suyanto juga menyorongkan nama dua jenderal itu, menurut sumber, plus Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Gorries Mere.
Imam calon terkuat. Ia terus disebut dalam rapat sekretariat gabungan koalisi partai politik pendukung Yudhoyono. "Dalam rapat terakhir pada Rabu dua pekan lalu, tetap Imam Sudjarwo yang diunggulkan," kata seorang politikus yang mengikuti rapat-rapat di sekretariat gabungan. "Kami terkejut dengan munculnya nama baru."
Sejumlah orang di lingkungan Cikeas menyebutkan, Imam dinilai relatif lebih bersih. Ia juga sejalan dengan "rencana jangka panjang" keluarga Cikeas. Ia teman seangkatan Mayor Jenderal Pramono Edhie Wibowo, adik ipar Yudhoyono, Panglima Kodam Siliwangi, yang akan segera menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Dengan Imam duduk menjadi Kepala Kepolisian, tak ada kritik jika tahun depan Pramono menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, lalu berikutnya Panglima Tentara Nasional Indonesia.
Sayang, pencalonan Imam tak mulus. Pengalamannya memimpin dianggap belum cukup. Banyak berkarier di korps Brigade Mobil, pengalaman tertinggi Imam di daerah adalah menjadi Kepala Kepolisian Daerah Bangka-Belitung. Tak memiliki problem yang kompleks, wilayah itu dikategorikan kelas dua.
Para politikus pun belum bisa menerima pencalonan Imam. Penghuni Gedung Dewan banyak menyokong Nanan, yang memang rajin menjalin lobi. Di antaranya para politikus Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera. Sedangkan Imam didukung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa tak menunjukkan sikap tegas.
Seorang politikus di lingkaran Istana menyatakan Yudhoyono sejak awal tak hendak mengajukan Nanan. Mantan Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian itu dianggap dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Penolakan bahkan sudah dilakukan ketika Nanan diajukan sebagai calon Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dua tahun lalu. Diajukan bersama Inspektur Jenderal Alex Bambang Riatmodjo, ketika itu Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Istana memilih calon ketiga: Susno Duadji, yang waktu itu Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat. Nanan kembali diajukan menjadi calon untuk jabatan yang sama ketika Susno dicopot, akhir tahun lalu, tapi Istana memilih Komisaris Jenderal Ito Sumardi.
Berakhir di Bintang Timur
Bak juru foto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan kameranya ke para suporter yang bersorak-sorai. Final sepak bola hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia sedang berlangsung di bawah guyuran hujan, Ahad sore dua pekan lalu. Dua kesebelasan Angkatan Darat berhadapan.
Di panggung kehormatan, ada juga Wakil Presiden Boediono, Panglima TNI Marsekal Agus Suhartono, Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, juga sejumlah menteri. Mengenakan kaus merah-putih berlambang Garuda, Yudhoyono sesekali tersenyum menyaksikan pendukung kedua tim yang terlihat kompak.
Pertandingan berakhir setelah hujan reda menjelang petang. Tim Angkatan Darat A menjadi juara, mengalahkan Tim B 1-0. Segera setelah final di Stadion Madya, Senayan, Jakarta Selatan ini, Presiden mengarahkan "kamera lain" buat mengatasi persoalan gawat: mencari calon baru Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Dia tahu politikus di Senayan menolak jagoannya," kata sumber Tempo.
Dua calon disiapkan di meja Presiden, yakni Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo. Yudhoyono lebih menjagokan Imam, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan. Sumber Tempo mengatakan Imam dianggap belum banyak "terkontaminasi" persoalan-persoalan di kepolisian. Tapi ia pilihan berisiko. Sebab, sejumlah partai besar di Dewan Perwakilan Rakyat kemungkinan besar menolaknya. Tak ada jalan lain, calon baru harus diajukan.
Ahad malam yang sibuk. Presiden menghubungi sejumlah orang yang dia percaya. Mereka antara lain, menurut sumber, Jenderal Purnawirawan Sutanto, mantan Kepala Kepolisian yang kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara. Nama Inspektur Jenderal Timur Pradopo, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, mulai mencuat.
Seperti biasa, Yudhoyono memperhatikan persoalan detail. Ia rupanya mendengar rumor tentang kehidupan pribadi Timur, perwira alumnus Akademi Kepolisian 1978. Rumor ini disingkirkan, menurut sumber lainnya, karena dianggap tak didukung bukti kuat. From zero to hero, Timur muncul di tikungan terakhir, menyingkirkan Nanan dan Imam, yang selama beberapa pekan belakangan terus disebut sebagai calon terkuat.
Langkah harus segera diambil. Presiden tak punya banyak waktu buat mengajukan calon ke Dewan. Sebab, ia dijadwalkan terbang ke Belanda pada Selasa pekan lalu-walau kemudian batal pada menit terakhir. Senin pagi, Presiden menggelar rapat khusus di kantornya. Ia mengundang Wakil Presiden Boediono; lalu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi; Sutanto; dan Bambang Hendarso.
Yudhoyono menyampaikan keputusannya buat mengajukan Timur. Ia lalu memerintahkan Bambang Hendarso segera menyiapkan kenaikan pangkat Timur menjadi bintang tiga. Caranya, menempatkan Timur ke posisi Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan, yang segera ditinggal pensiun Komisaris Jenderal Iman Haryatna.
Djoko Suyanto membenarkan adanya rapat khusus pada Senin pagi itu. "Memang ada pembahasan," katanya. Wakil Presiden Boediono juga mengaku dilibatkan dalam pembahasan. "Dalam pembahasan itu saya ada," katanya ketika berkunjung ke kantor Tempo, Jumat pekan lalu.
Mendapat perintah, Bambang Hendarso bergerak cepat. Sesaat setelah Yudhoyono membuka rapat kabinet pada pukul 11.55, ia meninggalkan Istana Negara menuju kantornya di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. "Ada tugas penting," katanya sambil setengah berlari menuju mobil.
10/10/2010 - 19:09
Calon Kapolri Timur Pradopo
Jangankan BHD, SBY Juga Dilawan
Derek Manangka
Timur Pradopo
(inilah.com/Wirasatria)
CALON kapolri yang dipilih Presiden SBY, Komisaris Jenderal Timur Pradopo, diperkirakan bakal memerintah menurut 'selera dan kemauan pribadinya sendiri'.
Salah satu model kepemimpinan yang dulu dipraktekkan rezim Orde Baru. Sehingga dikhawatirkan Timur Pradopo bisa mengembalikan Indonesia ke situasi represif seperti Orde Baru melalui institusi kepolisian!
Kekhawatiran di atas didasarkan pada perilakunya terakhir, plus rekam jejak masa lalu. Timur seperti orang yang mengenakan baju bernoda percikan darah.
Ketika menjabat kapolres Jakarta Barat 12 tahun lalu, meletus Tragedi Trisakti. Sejumlah mahasiswa terbunuh. Namun hingga sekarang, pertanggung jawaban itu tidak ada. Aparat kepolisian, mulai dari Timur Pradopo dan anak buahnya ternoda dengan tragedi itu.
Keluarga para korban terus menagih janji pengusutan, tapi Timur seakan makin tidak mau mendengar tagihan itu.
Timur Pradopo tampaknya tidak menyadari penolakan terhadap dirinya untuk menjadi kapolri - dari berbagai kalangan sangat kuat. Maka ketika di lapangan sebagai kapolri, dia bakal menemui banyak benturan.
Penolakan atas dirinya juga datang dari institusi kepolisian sekalipun secara diam-diam. Gabungan penolakan dari luar dan internal kepolisian jika bergabung menjadi satu, akan menjadi kekuatan yang tak bisa ia bendung.
Bila ini terjadi, maka Timur Pradopo sejak awal sudah berada dalam posisi 'berseberangan'. Akibatnya situasi kondusif masyarakat yang diharapkan tercipta dan diciptakan kapolri baru, tidak akan tercapai.
Bahkan SBY yang dengan segala risiko berani memilih Timur Pradopo, bakal menuai hasil buruk dari pilihannya. Jika yang dituai SBY itu sesuatu yang merugikan dirinya, maka keputusannya menjadikan Timur Pradopo sebagai 'senjata'-nya di lembaga kepolisian, justru menjadi semacam “senjata makan tuan”.
Penilaian dan kekhawatiran bahwa Timur Pradopo bakal memimpin Polri menurut 'kemauannya sendiri' sangat terlihat jelas dari beberapa hal. Yang paling segar adalah keberaniannya melawan Bambang Hendarso Danuri (BHD).
Caranya melawan pun sangat tidak lazim dan tidak sesuai etika di lembaga manapun. Bagaimana jadinya jika Timur sudah jadi Kapolri?
Kapolri BHD jelas-jelas sudah menegaskan, ia ingin pemerintah membubarkan ormas FPI (Front Pembela Islam). Sebab pembubaran sebuah ormas yang didirikan sesuai UU tidak dapat dilakukan oleh kepolisian. Salah satu alasan BHD polisi mempunyai bukti-bukti bahwa FPI ataupun sejumlah anggotanya sering melakukan tindakan anarki yang mengganggu ketenangan hidup masyarakat.
Namun sebaliknya, Timur Pradopo membuat pernyataan terbuka bahwa FPI patut diberdayakan. Ia berencana merangkul ormas Islam ini. Tidak jelas alasan dan tujuannya memberdayakan FPI. Tapi apapun alasan Timur Pradopo, pernyataannya tentang FPI seperti menampar muka BHD.
Keinginan Timur Pradopo merangkul dan memberdayakan FPI, sejatinya sesuatu yang baik dan positif. Sebagai seorang pemimpin, kebijakan itu patut dilihat sebagai tindakan bijaksana. Tapi dari segi etika dan citra internal kepolisian, hal itu tidak benar. Timur telah mempermalukan BHD sebagai senior dan secara korps serta profesionalisme.
Timur membuat pernyataan eksplisit yang memperlihatkan adanya polarisasi di internal kepolisian. Pradopo seharusnya tidak boleh terbuka 'memberi angin' kepada FPI sekaligus melecehkan BHD. Terjemahannya ke bawah bakal kontra produktif bagi aparat kepolisian di tataran bawah. Kalaupun Pradopo ingin membantu FPI dengan misalnya menjadi penasehat, pelindung dan penyandang dana sekaligus, tapi cara itu patut ia lakukan secara tertutup.
Dengan membuat pernyataan seperti di atas, jelas sekali Timur telah menempatkan BHD sebagai sosok yang tidak disukai FPI. BHD bisa menjadi musuh bersama oleh FPI dan para simpatisannya.
Sesungguhnya bukan hanya pada BHD, Timur Pradopo tidak peduli. Terhadap Presiden SBY pun, Timur melakukan 'pembangkangan'. Perintah SBY untuk menangkap dan mengungkap pelaku penzaliman terhadap aktifis HAM, hingga dia meninggalkan pos kapolda tidak dilaksanakannya sama sekali. Begitu juga pelaku yang membuang bom Molotov ke kantor majalah Tempo.
Pengamanan Kedubes Malaysia juga tidak dilakukan Polda Metro Jaya pimpinan Timur Pradopo. Gara-gara itu, demonstran anti-Malaysia di Jakarta dituduh Kualalumpur melakukan pelanggaran serius atas Konvensi Jenewa. Presiden SBY diminta oleh PM Malaysia agar bertanggung jawab atas insiden di daerah Kuningan itu.
Tapi Timur tetap seperti orang yang tak peduli. Jangankan demo anti Malaysia, mahasiswa Indonesia yang terbunuh di Trisakti, dia tidak pedulikan. Dalam peristiwa Ciketing, seorang anggota jemaat HKBP ditusuk oleh orang yang dicurigai anggota FPI. Kapolda Timur Pradopo tidak memprosesnya sebagaimana mestinya.
Sosok beginikah yang layak menjadi kapolri?
Mari kita tunggu bagaimana DPR melakukan fit and proper test kepadanya. [mor]
KAPOLRI BARU
DPR setujui Komjen Timur Pradopo jadi Kapolri
JAKARTA. Seperti diduga sebelumnya, Komjen Timur Pradopo meluncur mulus menjadi Kapolri. Seluruh fraksi di DPR menyetujui secara aklamasi Timur menjadi Kapolri.
Putusan ini diambil setelah Timur menjalani fit and proper test selama 12 jam di Komisi III DPR. Selain memberikan restu, tentu saja, Sembilan fraksi yang ada di DPR juga menyampaikan harapan-harapan mereka kepada Timur. Intinya, mereka ingin Timur menjalankan apa yang sudah ia janjikan dalam fit and proper test ini.
Misalnya, Fraksi PDI Perjuangan meminta Timur menuntaskan kasus Bank Century. "Terutama soal pengejaran recovery (pengembalian) aset Bank Century," ujar Eva Kusuma Sundari, juru bicara PDI Perjuangan, Kamis (14/10).
Partai berlambang banteng ini juga meminta agar polisi bisa memastikan masyarakat bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Eva menegaskan, Timur harus bisa mencegah agar kasus seperti HKBP Ciketing dan GKI Yasmin tidak terjadi lagi.
Tak mau ketinggalan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga meminta Timur menjalankan janji-janjinya di hadapan Komisi III DPR. "Kepercayaan DPR jangan dikhianati," ujar juru bicara PKS Nasir Jamil.
Jawaban Timur Soal Kekerasan Atas Nama Agama
Kekerasan HKBP Ciketing terjadi saat Timur Pradopo menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.
KAMIS, 14 OKTOBER 2010, 18:02 WIB Ita Lismawati F. Malau, Suryanta Bakti Susila
(VIVAnews/Sandy Adam Mahaputra)
VIVAnews - Berbagai isu dan kasus ditanyakan anggota Komisi III bidang Hukum DPR saat menguji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Timur Pradopo.
Salah satu masalah yang jadi perhatian legislator adalah kekerasan atas nama agama. Salah satu anggota Komisi Hukum, Ahmad Basarah mempertanyakan komitmen Timur dalam melindungi seluruh warga negara. Kekerasan atas nama agama, kata Ahmad, tampak dalam beberapa kasus.
Selama ini, dia menilai kepolisian hanya mengatasi pelaku dan korban, tidak pernah masuk pada tataran tindakan antisipasi. "Visi calon dalam memenuhi janji untuk melindungi warga ini bagaimana?" tanya politisi PDIP ini di gedung DPR/MPR, Kamis 14 Oktober 2010.
Timur menjawab bahwa kepolisian tidak pernah melarang kegiatan kegamaan manapun, termasuk kasus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing, Bekasi. Salah satu petinggi HKBP ditusuk orang saat berangkat ke gereja. "Masyarakat Ciketing mau menerima saudara-saudaranya menjalankan ibadah, tentu ada mekanisme," kata dia.
Syarat-syarat dalam menjalankan ibadah itu kewenangan pemerintah daerah. Saat kasus ini terjadi, Timur menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Dia menegaskan bahwa kekerasan itu tidak ada hubungannya dengan agama. "Pidana sudah diproses dan akan kami ajukan ke penuntutan," jelasnya.
• VIVAnews
Imparsial: Digandeng Polisi, FPI Akan Semakin Besar Kepala
Oleh : Santi Andriani
Nasional - Kamis, 14 Oktober 2010 | 06:30 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Keinginan calon Kapolri Komjen (Polisi) Timur Pradopo menggandeng ormas Front Pembela Islam (FPI) mendapat kecaman lembaga penggiat hak asasi manusia (HAM). Imparsial menilai, hal itu hanya akan membuat FPI semakin besar kepala.
"Jangan menunjukkan keberpihakan pada FPI, itu hanya akan membuat mereka semakin besar kepala. Ini juga bisa menimbulkan diskriminasi karena banyak ormas lainnya yang juga bisa diajak kerjasama tapi kenapa hanya FPI," ujar aktivis Imparsial, Punky Indarti kepada INILAH,COM, Kamis (14/10/2010).
Sebelumnya, Timur mengungkapkan akan mengajak FPI bekerjasama dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Menurut dia, hal itu bukan hal baru karena juga dilakukannya dengan jawara Banten ketika menjadi Kapolda Banten.
Timur berkeyakinan apa yang dilakukannya adalah bagian membangun negara. "Kalau mereka sadar hukum dan tidak melanggar hukum, itu bagian dari hukum juga," jelasnya.
Namun demikian, Imparsial tetap tidak sependapat walau dengan alasan apapun tujuan Timur Pradopo tersebut. Hal itu katanya, tidak lain karena tindakan-tindakan FPI yang terkesan anarkis selama ini dalam menghadapi peristiwa di masyarakat,
"Kalau FPI (digandeng) ini kan lucu, dimana masyarakat merasakan tindakan kekerasan yang sering mereka lakukan. Mereka kan nggak menolerir pluralitas, kalau digandeng ini (kekerasan) justru akan semakin meluas," sesalnya. [TJ]
Timur Pradopo: Ormas Bisa Pelihara Keamanan
Kedekatan Komjen Timur dengan ormas disinggung dalam silaturahmi anggota Komisi III.
RABU, 13 OKTOBER 2010, 20:54 WIB Elin Yunita Kristanti, Eko Huda S
VIVAnews -- Kedekatan Komisaris Jenderal Timur Pradopo dengan organisasi masyarakat (ormas) disinggung dalam silaturahmi antara anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan keluarga calon tunggal Kapolri itu.
Timur disebut-sebut dekat dengan Front Pembela Islam, karena saat milad FPI, Timur hadir bersama Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo.
Dia menjelaskan bahwa hal itu merupakan upaya pendekatannya kepada masyarakat sebagai anggota Polri.
"Kalau kita bertugas, kita harus tahu itu di daerah karekteristiknya apa," kata Timur ketika menerima kunjungan anggota Komisi III DPR di kediamannya di Jalan Kucica VII no 25, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Rabu 13 Oktober 2010.
Timur pun mencontohkan ketika dirinya menjabat sebagai Kapolda Banten. Saat itu, kata dia, dirinya berusaha memahami karakteristik masyarakat Banten. "Kalau Banten banyak pesantren. Kalau hari Jumat, habis Maghrib sampai Isya semua masuk masjid. Jadi jam-jam segitu nggak bisa melakukan rapat," kata dia.
Dia menambahkan, pemahaman karakteristik masyarakat itu sangat berguna untuk membangun keamanan. Karena, kata dia, polisi tidak akan bisa menciptakan keamanan tanpa bantuan masyarakat. "Tugas polisi tidak ada yang bisa diselesaikan sendiri," kata dia.
Menurut dia, sebuah ormas bisa membantu terciptanya keamanan. "Kalau dia tahu hukum dan tidak melanggar, sudah menciptakan situasi keamanan yang kondusif," kata Timur.
• VIVAnews
Kronologi Munculnya Nama Timur Pradopo
Nama Timur sudah dikoordinasikan dengan KPK, PPATK dan Komnas HAM
RABU, 13 OKTOBER 2010, 14:40 WIB Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam
VIVAnews - Ketua Komisi Kepolisian Nasional Djoko Suyanto menjelaskan penentuan calon Kepala Kepolisian mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 17 tentang Kompolnas. Rujukan lain di atas itu adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Djoko menjelaskan dalam rapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu 13 Oktober 2010, tugas Kompolnas berdasarkan Perpres adalah membantu Presiden dalam menentukan arah dan kebijakan bagi Kepolisian. Kompolnas juga termasuk memberikan pertimbangan terhadap calon-calon yang diusulkan Kapolri.
"Dalam rapat beberapa kali di Kompolnas, memang sudah mengantisipasi jabatan Kapolri. Maka dilakukan penggalian, menyusun kriteria calon, dan lain-lain," kata Djoko.
"Berangkat dari situ, kami pertimbangkan dari peraturan-peraturan yang ada, dari Kapolri lama ke yang baru, ada modifikasi atau tidak untuk syarat dan kriterianya. Kalau yang syarat formal ada senioritas, pangkat, jabatan, usia, sehat jasmani rohani, riwayat jabatan."
Nama-nama calon Kapolri yang diberikan ke Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri juga diproses di Kompolnas. "Sesuai atau tidak, Kompolnas hanya mengasih pertimbangan sebelum diputuskan Presiden," kata Djoko. "Kami mencermati perkembangan yang beredar di masyarakat. Sentimen dan saran maupun kritik apa yang mengena untuk Kapolri."
Untuk mengetahui segi kebersihan dari korupsi, Kompolnas berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengenai aliran dana di rekening, Kompolnas koordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Untuk dugaan pelanggaran hak asasi manusia, Kompolnas ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. "Itu syarat formal dan nonformalnya. Kriteria-kriteria itu yang selalu masuk persyaratan," kata Djoko.
Kompolnas melakukan semua proses itu setelah menerima surat Kapolri pada Juni 2010 lalu yang berisi nama-nama perwira tinggi yang bisa menjadi Kapolri. Mereka rata-rata bintang dua dan bintang tiga. "Dari evaluasi muncullah nama," kata Djoko.
Djoko katakan, tak pernah mengumumkan nama-nama yang kemudian dinilai baik berdasarkan evaluasi itu. Namun, dari hasil evaluasi, Djoko mengakui salah satunya adalah Komisaris Jenderal Timur Pradopo. (hs)
• VIVAnews
Kapolri Minta Publik Tidak Menilai Buruk kepada Polisi
SENIN, 11 OKTOBER 2010 | 21:20 WIB
Bambang Hendarso Danuri. TEMPO/Subekti
TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri meminta masyarakat tidak memiliki penilaian yang berlebihan saat pengajuan calon Kapolri Komisaris Jenderal Timur Pradopo.
Menurut dia, proses pengajuan nama calon kapolri sudah sesuai dengan mekanisme. "Yang jelas kita mengajukan yang bersangkutan sesuai dengan proses penilaian, jadi jangan sampai ada penilaian-penilaian di luar itu," kata Bambang di Kantor Presiden, senin (11/10).
Sebelumnya, Timur Pradopo diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon kepala kepolisian RI. Nama Timur keluar mendekati hari terakhir sebelum penyerahan nama. Selain Timur, sejumlah nama yang sebelumnya mencuat adalah Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo.
Bambang meminta publik tidak menilai buruk pada institusi kepolisian. "Kita berharap berikan kesempatan kepada kepolisian indonesia untuk melakukan sesuatu. Kita pasti memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara," kata Bambang.
Dia juga merasa prihatin dengan sikap masyarakat kepada institusi kepolisian. Padahal, kata Bambang, kepolisian sudah berusaha mengabdikan diri kepada masyarakat bangsa dan negara. Namun, masyarakat justru menilai buruk. "Tentunya kita selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakat," katanya.
EKO ARI WIBOWO
Rapor Merah Timung (2)
Mantan Sekretaris Komisi Penyelidikan Usman Hamid sempat melayangkan dua panggilan, tapi Timur selalu mangkir. "Keterangannya kami perlukan karena dia ada di Trisakti sewaktu penembakan terjadi," kata Usman. Bahkan, kata dia, Timur ikut bertanggung jawab karena gagal mengendalikan situasi hingga terjadi penyerbuan terhadap mahasiswa yang melakukan demonstrasi.
Mangkirnya Timur dinilai Yosep sebagai lemahnya komitmen calon orang nomor satu di korps baju cokelat tersebut terhadap perlindungan hak asasi. "Seharusnya ada calon Kepala Kepolisian yang lebih punya komitmen terhadap penegakan hak asasi," kata Yosep.
Selain itu, Komisi Nasional memberikan catatan negatif terhadap sikap Timur yang menggandeng Front Pembela Islam dalam pengamanan pada bulan puasa lalu. "Organisasi itu beberapa kali diadukan dalam kasus pelanggaran hak asasi, tapi Timur malah merangkul mereka untuk menjaga keamanan," kata Yosep.
Namun Timur tak melihat langkahnya itu sebagai kekeliruan. "Kepolisian harus memberdayakan semua elemen masyarakat untuk membantu menjaga keamanan," kata dia.
Markas Besar Kepolisian pun menganggap Timur tak terlibat dalam tragedi Trisakti karena tak ada keputusan hukum yang menyatakan Timur bersalah dalam kasus itu. "Itu tudingan orang luar. Kami tidak punya catatan itu," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigadir Jenderal Iskandar Hasan.
Timur juga dikaitkan dengan kasus kekerasan lain. Saat menjabat Kepala Kepolisian Resor Jakarta Pusat pada 1999, mahasiswa Universitas Indonesia, Yap Yun Hap, juga tewas ditembak setelah berdemonstrasi. Pindah jadi Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, pada 2001, terjadi unjuk rasa buruh menentang keputusan presiden tentang perburuhan. Demonstrasi ini berakhir dengan pembakaran kendaraan bermotor dan perusakan kantor pemerintah daerah, Gedung Sate.
Belakangan, masalah yang sama terulang tatkala Timur mengepalai Kepolisian Daerah Metro Jaya. September lalu, perang antarkelompok preman pecah pada saat persidangan kasus pembunuhan di kafe Blowfish. Tiga orang tewas dalam bentrokan berdarah di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan ini.
Namun kekerasan itu tak dianggap sebagai masalah. Ketika Badan Intelijen Keamanan Markas Besar Kepolisian melakukan "penelitian" terhadap delapan calon Kepala Kepolisian pada Oktober tahun lalu, Timur dilaporkan bersih dari masalah. Berbeda dengan Komisaris Jenderal Nanan Soekarna, kini Inspektur Pengawasan Umum, yang dianggap tak sigap menghadapi demonstrasi di gedung DPRD Sumatera Utara. Demonstrasi ini menewaskan Ketua Dewan Azis Angkat.
Selama memimpin Kepolisian Daerah Metro Jaya, Timur juga tak menyelesaikan dua pekerjaan rumahnya, antara lain kasus penyerangan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama Satrya Langkun. Tama, yang aktif melaporkan rekening tak wajar para perwira polisi, diserang pada dini hari, Juni lalu.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho menilai Timur tak serius mengejar penganiaya Tama, meski Presiden Yudhoyono sudah meminta penyerangan itu segera diungkap. "Sudah tiga bulan lewat tapi hasilnya nihil," ujarnya.
Emerson juga menyoroti lalainya Timur melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Setiap pejabat wajib melaporkan hartanya setiap kali mendapat promosi atau mutasi, tapi Timur baru dua kali melapor. Padahal dalam lima tahun terakhir ia sudah lima kali berganti jabatan.
Ketika melapor pada 2008, Timur menyatakan total hartanya sekitar Rp 2,1 miliar. Kekayaan itu berasal dari dua bidang tanah dan bangunan di Tangerang senilai Rp 1,384 miliar yang berasal dari warisan. Lalu ada empat kendaraan senilai Rp 305 juta serta logam mulia dan simpanan di bank senilai hampir Rp 400 juta.
Timur memperbarui laporan kekayaannya pada awal bulan lalu, yang masih diverifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kalau dia saja tidak taat aturan tentang laporan kekayaan, bagaimana bisa dia dipercaya punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi?" kata Emerson.
Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Muhammad Taufik (Jombang), Ayu Cipta (Tangerang), Erick P. Hardi (Bandung), Wasi'ul Ulum (Banten)
Rapor Merah Timur
RUMAH bercat putih di Dusun Gempol, Jombang, Jawa Timur, itu tak lagi berpenghuni. Yang tersisa hanya dua ranjang bambu dan lemari berisi tumpukan buku dimakan rayap. "Timung dulu tinggal di sini sejak umur tujuh bulan sampai lulus sekolah menengah atas," kata Suarti, Selasa pekan lalu.
Timung adalah sapaan Suarti buat keponakannya, Komisaris Jenderal Timur Pradopo. Menurut dia, Timur, sulung dari tujuh bersaudara anak pasangan guru sekolah dasar Sigit Sai'un dan Sriati, meninggalkan Gempol setelah diterima di Akademi Kepolisian pada 1974.
Tamat dari akademi empat tahun kemudian, Timur meniti kariernya dari Satuan Lalu Lintas. Ia mulai berdinas di Semarang dan Kedu, Jawa Tengah, lalu pindah ke Jakarta. Pria kelahiran Jombang 54 tahun lalu ini terbilang "beruntung". Ia hanya dimutasi di seputaran Ibu Kota, paling jauh Banten dan Jawa Barat.
Toh, bukan berarti semua tugasnya mulus. Pada 12 Mei 1998, ketika menjabat Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat, petaka itu terjadi. Empat mahasiswa ditembak di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat. Peristiwa ini memicu kerusuhan besar-besaran yang menghanguskan Ibu Kota. Sepekan kemudian, rezim Orde Baru runtuh diterjang gelombang tuntutan reformasi.
Dua belas tahun setelah tragedi itu, bintang Timur bersinar terang. Ia dipromosikan menjadi Kepala Bagian Pemeliharaan Keamanan Markas Besar Kepolisian sekaligus naik pangkat menjadi komisaris jenderal. Malam harinya, ia diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Dewan Perwakilan Rakyat sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian RI.
Pengajuan oleh Yudhoyono itu mengejutkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Akhir September lalu, komisi ini diminta memeriksa delapan perwira tinggi oleh Komisi Kepolisian Nasional. Delapan nama itu dianggap memenuhi persyaratan menjadi calon Kepala Kepolisian. Komisi Nasional diminta mengecek rekam jejak mereka di bidang hak asasi manusia.
Menurut Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yosep Adi Prasetyo, nama Timur masuk daftar tapi bukan termasuk yang diunggulkan. Saat itu Komisi Kepolisian hanya meminta ada perhatian khusus buat dua calon kuat, yakni Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo.
Yosep bercerita Komisi Nasional menelusuri karier para kandidat. "Kami mengecek apakah mereka terlibat kasus pelanggaran hak asasi," kata Yosep. "Kami juga melihat bagaimana mereka menangani kasus pelanggaran hak asasi," katanya.
Komisi itu juga menelisik pernyataan setiap calon mengenai hak asasi manusia sejak masih menjabat kepala kepolisian sektor. Diteliti juga pengalaman mengikuti pelatihan tentang hak asasi manusia. "Jadi, kami melihat juga seperti apa wawasan mereka mengenai hak asasi manusia," kata Yosep.
Hasilnya, muncul urutan nama berdasarkan skor. Urutan teratas adalah perwira yang dianggap punya komitmen tinggi terhadap perlindungan hak asasi. "Timur bukan yang teratas," kata Yosep. Sumber-sumber Tempo yang membaca surat rekomendasi itu menyebutkan, nilai Timur paling jeblok. "Dia di urutan paling bawah," ujar seorang sumber.
Rapor merah Timur itu diberikan karena Komisi Nasional Hak Asasi menemukan Timur terlibat kasus Trisakti. Yosep menjelaskan nilai Timur kian merosot karena menolak memberikan keterangan kepada Komisi Penyelidikan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Tim bentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ini bertugas menyelidiki kasus Trisakti serta Kasus Semanggi I dan II. Padahal Timur adalah salah satu komandan lapangan operasi keamanan ketika tragedi Trisakti meledak.
Geng Bosnia di Pucuk Bhayangkara (2)
Sebelum bergeser ke Ibu Kota, Timur adalah Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat. Sebulan sebelum pergeseran, Kongres Partai Demokrat bentukan Yudhoyono digelar di Bandung. Tiga hari mengamankan kongres, menurut sumber di kepolisian, Timur punya banyak kesempatan menemani Yudhoyono. Dalam beberapa kali kesempatan mereka makan siang dan makan malam bersama. Dianggap sukses mengamankan kongres, kata sumber itu, Timur ditempatkan di Jakarta.
Kedekatan Yudhoyono dengan Timur, kata sumber lain, juga terbangun dari hubungan masa lalu. Soekotjo, ayahanda Irianti Sari Andayani, istri Timur Pradopo, adalah Panglima Komando Daerah Militer Diponegoro, Jawa Tengah, pada 1980-1982. Ia pernah menjadi anak buah Sarwo Edhie Wibowo di Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat. Walhasil, hubungan antara keluarga Sarwo Edhie dan keluarga Soekotjo pun tak terputus.
Istri Sarwo Edhie, Sunarti Sri Hadiyah, sudah lama mengenal istri Timur. Sumber di kepolisian mengatakan Timur pun kerap mengunjungi Bu Ageng, panggilan buat istri Sarwo Edhie Wibowo, di kediamannya, Cijantung, Jakarta Timur. Ia datang untuk sekadar menanyakan kabar kesehatan ibu mertua Yudhoyono itu.
Sewaktu menjadi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, tugas Timur mencakup Cikeas, kediaman pribadi Yudhoyono. Tak aneh jika Timur pun sering menyambangi wilayah ini. Timur lagi-lagi menunjukkan perhatian kepada Bu Ageng. Umumnya ihwal kesehatan. Tutur kata Timur yang halus, menurut sumber, membuat Bu Ageng merasa dekat. "Beliau sering menanyakan kabar Timur," katanya.
Adrianus Meliala, kriminolog Universitas Indonesia yang lama menjadi konsultan Markas Besar Kepolisian, mengatakan bahwa Yudhoyono dengan Timur berhubungan dekat. Ia pun mengatakan selama menjadi Kapolda Jawa Barat, Timur kerap bertandang ke kediaman Yudhoyono di Cikeas. "Ya, itu karena tugas sebagai Kapolda," kata Adrianus.
Timur menampik tudingan dekat dengan Yudhoyono. "Tidak ada hubungan khusus dengan Presiden," kata Timur sebelum memenuhi undangan pemimpin Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Rabu pekan lalu. Ahmad Mubarok, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, mengatakan kedekatan Yudhoyono-Timur karena pernah bekerja bersama di Bosnia. Tidak ada kedekatan karena kekerabatan, kekeluargaan, atau yang bersifat khusus lainnya.
Keluarga Timur di tempat kelahirannya, Jombang, Jawa Timur, tak mau berkomentar banyak tentang sepak terjang dan kariernya di kepolisian. Ningrum, adik Timur yang bekerja di Dinas Perhubungan dan Komunikasi Kabupaten Jombang, mengatakan, "Keluarga di Jombang tidak boleh omong apa-apa ke media."
Sriati, ibunda Timur, sedang di Jakarta. Jumat pekan lalu, ia tidak ada di rumahnya yang sederhana di Jalan Pattimura, Jombang. Aning, penunggu rumah, diwanti-wanti agar diam. "Saya dilarang ngomong apa-apa," katanya.
Sunudyantoro, Muhammad Taufik (Jombang)
Geng Bosnia di Pucuk Bhayangkara
Tiga perwira tinggi kepolisian itu dikenal sebagai "Geng Bosnia". Yang pertama, Komisaris Jenderal Ito Sumardi, kini Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Lalu Komisaris Jenderal Timur Pradopo, yang pekan lalu dilantik menjadi Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan. Terakhir Komisaris Jenderal Wahyono, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan di Markas Besar Kepolisian. "Mereka sering disebut Geng Bosnia di Trunojoyo," kata Neta S. Pane, Koordinator Police Watch.
Bosnia dilanda perang setelah melepaskan diri dari Yugoslavia pada 1992. Pembunuhan etnis besar-besaran berlangsung di wilayah ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun menurunkan pasukan United Nations Protection Force. Indonesia menjadi bagian dari misi ini, dengan mengirimkan Pasukan Garuda XIV. Brigadir Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru saja meninggalkan pos Komandan Komando Resor Militer Pamungkas/Yogyakarta, ditunjuk menjadi komandan pasukan ke Bosnia-Herzegovina ini.
Di Semenanjung Balkan, Yudhoyono bertugas enam bulan, sejak November 1995 hingga April 1996. Menurut buku SBY Sang Demokrat, Yudhoyono tiba-tiba mendapat tugas dari Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk berangkat ke Bosnia. Ia memimpin 650 pemantau militer dari sejumlah negara. Kontingen Garuda XIV terdiri atas batalion zeni, batalion kesehatan, tim pemantau militer, dan beberapa staf.
Menjelang akhir masa tugasnya di Bosnia, datang satu tim polisi sipil yang berjumlah 40 orang. Timur Pradopo, Ito Sumardi, dan Wahyono adalah bagian dari tim ini. Sejak itu hubungan ketiga perwira tersebut dengan Yudhoyono, yang kini menjadi presiden, mulai terjalin.
Itu sebabnya, seorang politikus partai pendukung Yudhoyono mengatakan tak kaget ketika Presiden mengajukan Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Negara, Senin pekan lalu. "Saya sudah mendengar informasi bahwa Presiden sebenarnya memilih Timur sejak dua bulan lalu," katanya. Ia mengatakan Yudhoyono sudah mengetahui kerja dan loyalitas Timur. Presiden juga menyukai pembawaan Timur yang rendah hati dan tidak suka meledak-ledak. "Tipe orang seperti ini yang disukai Yudhoyono," kata sang politikus.
Sumber di kalangan Istana Kepresidenan mengungkapkan Timur jauh-jauh hari sudah masuk radar Yudhoyono. Hubungan Yudhoyono dengan Timur bukan semata-mata hubungan kerja. Apalagi keluarga Yudhoyono dan keluarga Timur saling kenal.
Menurut Neta, penunjukan Timur menjadi Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, Juni lalu, juga atas persetujuan Yudhoyono. Pengangkatan kepala kepolisian daerah memang menjadi wewenang Kepala Kepolisian Negara. Tapi, khusus untuk Jakarta, pengangkatan kepala kepolisian daerah harus melalui persetujuan presiden walau secara informal. "Kapolda Jakarta jatah jenderal polisi yang menjadi kepercayaan presiden," katanya.
Berakhir di Bintang Timur (3)
Dengan pencalonan Imam yang belum kukuh dan Nanan ditolak, tak ada pilihan lain, calon alternatif diajukan. Pada Ahad malam dua pekan lalu, sempat muncul kabar Ito bakal ditunjuk. Wakil Ketua Dewan Pramono Anung di akun Twitter-nya menulis: calon yang diusulkan Presiden berpangkat komisaris jenderal dan pernah dua kali menjadi Kapolda di Sumatera. "Dia juga pernah menjabat Kapolwil di Surabaya," ia menulis. Ia merujuk pada Ito, yang pernah menjadi Kapolda Riau dan Kapolda Sumatera Selatan.
Ditemui pada Jumat pekan lalu, Ito Sumardi mengatakan bingung karena disebut-sebut menjadi calon Kepala Kepolisian. "Saya tidak pernah tahu, tidak pernah diberi tahu, dan tidak pernah dipanggil soal itu," katanya kepada wartawan Tempo, Mustafa Silalahi.
Timur Pradopo bukannya tak pernah masuk radar Istana. Yudhoyono pernah berada di tim yang sama ketika bertugas menjadi pasukan perdamaian di Bosnia. Pribadi Timur yang rendah hati dan tidak suka meledak-ledak juga disukai. Tapi jenjang kepangkatannya menjadi persoalan.
Pada Oktober 2009, Badan Intelijen dan Keamanan melakukan "penyelidikan kompetensi secara tertutup dengan mengutamakan obyektivitas" terhadap lima perwira tinggi. Dianggap memenuhi syarat menjadi calon, badan itu meneliti Nanan Soekarna, Inspektur Jenderal Oegroseno, Imam Sudjarwo, Timur Pradopo, plus Komisaris Jenderal Susno Duadji, ketika itu Kepala Badan Reserse Kriminal. Hasilnya, Timur menempati posisi ketiga di bawah Susno dan Imam.
Peluangnya dinilai tertutup karena pangkat Timur tak kunjung meningkat menjadi komisaris jenderal. Padahal, jika diinginkan, ia bisa segera mengisi posisi Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan. Sebab, masa dinas Komisaris Jenderal Iman Haryatna memang segera berakhir. Pangkat Timur tetap bintang dua, hingga Jenderal Bambang Hendarso mengajukan Imam dan Nanan ke Presiden. Neta S. Pane, Koordinator Indonesia Police Watch, mengatakan langkah Timur untuk naik pangkat agak tersendat.
Selalu ada yang kecewa dari proses pemilihan. Aktivis Usman Hamid, yang dikenal dekat dengan Jenderal Bambang Hendarso, mengatakan proses pencalonan Timur melahirkan pasukan sakit hati di Markas Besar Kepolisian. Dia mengatakan bertemu seorang jenderal yang sempat berencana meletakkan jabatan karena tak jadi dicalonkan. Menurut Usman, sang perwira tinggi mengeluh, "Saya gagal akibat rumor yang tidak terbukti dan itu dipercaya Presiden."
Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, membantah adanya kekacauan dalam penunjukan calon Kepala Kepolisian. Menurut dia, proses yang dilakukan Presiden telah sesuai aturan. "Semua proses taat asas," kata Julian.
Terlepas dari kontroversi penunjukannya, Timur ada kemungkinan bakal mulus dalam proses di Dewan Perwakilan Rakyat. Rabu pekan lalu, dia memenuhi undangan pemimpin Dewan untuk melakukan "silaturahmi". "Pak Timur tidak akan mendapat halangan," kata Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua Dewan, seusai pertemuan. Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno juga memastikan fraksinya menyetujui pilihan Presiden. "Kami sepenuhnya mendukung," katanya.
Menunggu persetujuan Dewan, Timur menjadi tuan rumah pertemuan para jenderal kepolisian pada Jumat malam pekan lalu. Dipimpin Jenderal Bambang Hendarso, pertemuan itu diikuti sejumlah kepala kepolisian daerah. Untuk sementara, kontroversi pencalonan Kepala Kepolisian berakhir di penunjukan Timur Pradopo.
Setri Yasra, Sunudyantoro, Eko Ari Wibowo, Budi Setyarso
Berakhir di Bintang Timur (2)
Tugas penting itu serah-terima jabatan dari Iman Haryatna ke Timur Pradopo. Dalam acara yang digelar mendadak di ruang rapat utama Markas Besar Kepolisian, Bambang sekaligus mengukuhkan kenaikan pangkat Timur. Jabatan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya yang ia tinggalkan diisi Inspektur Jenderal Sutarman, sebelumnya Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat.
Misi selesai, Bambang Hendarso balik lagi ke kantor Presiden sekitar pukul 17.45. Kali ini ia membawa surat baru pengajuan Timur sebagai calon Kepala Kepolisian. Ini dilakukan agar Presiden bisa segera meneken surat pencalonan Timur ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Satu jam kemudian, Ketua Dewan Marzuki Alie menggelar konferensi pers. Ia menyatakan telah menerima surat pengajuan Timur sebagai calon Kepala Kepolisian. "Calon Kapolri yang akan menjalani fit and proper test adalah Timur Pradopo," kata politikus Partai Demokrat itu.
Jenderal Bambang Hendarso awalnya hanya mengajukan Nanan Soekarna dan Imam Sudjarwo ke Presiden. Komisi Kepolisian Nasional yang diketuai Djoko Suyanto juga menyorongkan nama dua jenderal itu, menurut sumber, plus Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Gorries Mere.
Imam calon terkuat. Ia terus disebut dalam rapat sekretariat gabungan koalisi partai politik pendukung Yudhoyono. "Dalam rapat terakhir pada Rabu dua pekan lalu, tetap Imam Sudjarwo yang diunggulkan," kata seorang politikus yang mengikuti rapat-rapat di sekretariat gabungan. "Kami terkejut dengan munculnya nama baru."
Sejumlah orang di lingkungan Cikeas menyebutkan, Imam dinilai relatif lebih bersih. Ia juga sejalan dengan "rencana jangka panjang" keluarga Cikeas. Ia teman seangkatan Mayor Jenderal Pramono Edhie Wibowo, adik ipar Yudhoyono, Panglima Kodam Siliwangi, yang akan segera menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Dengan Imam duduk menjadi Kepala Kepolisian, tak ada kritik jika tahun depan Pramono menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, lalu berikutnya Panglima Tentara Nasional Indonesia.
Sayang, pencalonan Imam tak mulus. Pengalamannya memimpin dianggap belum cukup. Banyak berkarier di korps Brigade Mobil, pengalaman tertinggi Imam di daerah adalah menjadi Kepala Kepolisian Daerah Bangka-Belitung. Tak memiliki problem yang kompleks, wilayah itu dikategorikan kelas dua.
Para politikus pun belum bisa menerima pencalonan Imam. Penghuni Gedung Dewan banyak menyokong Nanan, yang memang rajin menjalin lobi. Di antaranya para politikus Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera. Sedangkan Imam didukung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa tak menunjukkan sikap tegas.
Seorang politikus di lingkaran Istana menyatakan Yudhoyono sejak awal tak hendak mengajukan Nanan. Mantan Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian itu dianggap dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Penolakan bahkan sudah dilakukan ketika Nanan diajukan sebagai calon Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dua tahun lalu. Diajukan bersama Inspektur Jenderal Alex Bambang Riatmodjo, ketika itu Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Istana memilih calon ketiga: Susno Duadji, yang waktu itu Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat. Nanan kembali diajukan menjadi calon untuk jabatan yang sama ketika Susno dicopot, akhir tahun lalu, tapi Istana memilih Komisaris Jenderal Ito Sumardi.
Berakhir di Bintang Timur
Bak juru foto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan kameranya ke para suporter yang bersorak-sorai. Final sepak bola hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia sedang berlangsung di bawah guyuran hujan, Ahad sore dua pekan lalu. Dua kesebelasan Angkatan Darat berhadapan.
Di panggung kehormatan, ada juga Wakil Presiden Boediono, Panglima TNI Marsekal Agus Suhartono, Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, juga sejumlah menteri. Mengenakan kaus merah-putih berlambang Garuda, Yudhoyono sesekali tersenyum menyaksikan pendukung kedua tim yang terlihat kompak.
Pertandingan berakhir setelah hujan reda menjelang petang. Tim Angkatan Darat A menjadi juara, mengalahkan Tim B 1-0. Segera setelah final di Stadion Madya, Senayan, Jakarta Selatan ini, Presiden mengarahkan "kamera lain" buat mengatasi persoalan gawat: mencari calon baru Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. "Dia tahu politikus di Senayan menolak jagoannya," kata sumber Tempo.
Dua calon disiapkan di meja Presiden, yakni Komisaris Jenderal Nanan Soekarna dan Komisaris Jenderal Imam Sudjarwo. Yudhoyono lebih menjagokan Imam, Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan. Sumber Tempo mengatakan Imam dianggap belum banyak "terkontaminasi" persoalan-persoalan di kepolisian. Tapi ia pilihan berisiko. Sebab, sejumlah partai besar di Dewan Perwakilan Rakyat kemungkinan besar menolaknya. Tak ada jalan lain, calon baru harus diajukan.
Ahad malam yang sibuk. Presiden menghubungi sejumlah orang yang dia percaya. Mereka antara lain, menurut sumber, Jenderal Purnawirawan Sutanto, mantan Kepala Kepolisian yang kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara. Nama Inspektur Jenderal Timur Pradopo, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, mulai mencuat.
Seperti biasa, Yudhoyono memperhatikan persoalan detail. Ia rupanya mendengar rumor tentang kehidupan pribadi Timur, perwira alumnus Akademi Kepolisian 1978. Rumor ini disingkirkan, menurut sumber lainnya, karena dianggap tak didukung bukti kuat. From zero to hero, Timur muncul di tikungan terakhir, menyingkirkan Nanan dan Imam, yang selama beberapa pekan belakangan terus disebut sebagai calon terkuat.
Langkah harus segera diambil. Presiden tak punya banyak waktu buat mengajukan calon ke Dewan. Sebab, ia dijadwalkan terbang ke Belanda pada Selasa pekan lalu-walau kemudian batal pada menit terakhir. Senin pagi, Presiden menggelar rapat khusus di kantornya. Ia mengundang Wakil Presiden Boediono; lalu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi; Sutanto; dan Bambang Hendarso.
Yudhoyono menyampaikan keputusannya buat mengajukan Timur. Ia lalu memerintahkan Bambang Hendarso segera menyiapkan kenaikan pangkat Timur menjadi bintang tiga. Caranya, menempatkan Timur ke posisi Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan, yang segera ditinggal pensiun Komisaris Jenderal Iman Haryatna.
Djoko Suyanto membenarkan adanya rapat khusus pada Senin pagi itu. "Memang ada pembahasan," katanya. Wakil Presiden Boediono juga mengaku dilibatkan dalam pembahasan. "Dalam pembahasan itu saya ada," katanya ketika berkunjung ke kantor Tempo, Jumat pekan lalu.
Mendapat perintah, Bambang Hendarso bergerak cepat. Sesaat setelah Yudhoyono membuka rapat kabinet pada pukul 11.55, ia meninggalkan Istana Negara menuju kantornya di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. "Ada tugas penting," katanya sambil setengah berlari menuju mobil.
10/10/2010 - 19:09
Calon Kapolri Timur Pradopo
Jangankan BHD, SBY Juga Dilawan
Derek Manangka
Timur Pradopo
(inilah.com/Wirasatria)
CALON kapolri yang dipilih Presiden SBY, Komisaris Jenderal Timur Pradopo, diperkirakan bakal memerintah menurut 'selera dan kemauan pribadinya sendiri'.
Salah satu model kepemimpinan yang dulu dipraktekkan rezim Orde Baru. Sehingga dikhawatirkan Timur Pradopo bisa mengembalikan Indonesia ke situasi represif seperti Orde Baru melalui institusi kepolisian!
Kekhawatiran di atas didasarkan pada perilakunya terakhir, plus rekam jejak masa lalu. Timur seperti orang yang mengenakan baju bernoda percikan darah.
Ketika menjabat kapolres Jakarta Barat 12 tahun lalu, meletus Tragedi Trisakti. Sejumlah mahasiswa terbunuh. Namun hingga sekarang, pertanggung jawaban itu tidak ada. Aparat kepolisian, mulai dari Timur Pradopo dan anak buahnya ternoda dengan tragedi itu.
Keluarga para korban terus menagih janji pengusutan, tapi Timur seakan makin tidak mau mendengar tagihan itu.
Timur Pradopo tampaknya tidak menyadari penolakan terhadap dirinya untuk menjadi kapolri - dari berbagai kalangan sangat kuat. Maka ketika di lapangan sebagai kapolri, dia bakal menemui banyak benturan.
Penolakan atas dirinya juga datang dari institusi kepolisian sekalipun secara diam-diam. Gabungan penolakan dari luar dan internal kepolisian jika bergabung menjadi satu, akan menjadi kekuatan yang tak bisa ia bendung.
Bila ini terjadi, maka Timur Pradopo sejak awal sudah berada dalam posisi 'berseberangan'. Akibatnya situasi kondusif masyarakat yang diharapkan tercipta dan diciptakan kapolri baru, tidak akan tercapai.
Bahkan SBY yang dengan segala risiko berani memilih Timur Pradopo, bakal menuai hasil buruk dari pilihannya. Jika yang dituai SBY itu sesuatu yang merugikan dirinya, maka keputusannya menjadikan Timur Pradopo sebagai 'senjata'-nya di lembaga kepolisian, justru menjadi semacam “senjata makan tuan”.
Penilaian dan kekhawatiran bahwa Timur Pradopo bakal memimpin Polri menurut 'kemauannya sendiri' sangat terlihat jelas dari beberapa hal. Yang paling segar adalah keberaniannya melawan Bambang Hendarso Danuri (BHD).
Caranya melawan pun sangat tidak lazim dan tidak sesuai etika di lembaga manapun. Bagaimana jadinya jika Timur sudah jadi Kapolri?
Kapolri BHD jelas-jelas sudah menegaskan, ia ingin pemerintah membubarkan ormas FPI (Front Pembela Islam). Sebab pembubaran sebuah ormas yang didirikan sesuai UU tidak dapat dilakukan oleh kepolisian. Salah satu alasan BHD polisi mempunyai bukti-bukti bahwa FPI ataupun sejumlah anggotanya sering melakukan tindakan anarki yang mengganggu ketenangan hidup masyarakat.
Namun sebaliknya, Timur Pradopo membuat pernyataan terbuka bahwa FPI patut diberdayakan. Ia berencana merangkul ormas Islam ini. Tidak jelas alasan dan tujuannya memberdayakan FPI. Tapi apapun alasan Timur Pradopo, pernyataannya tentang FPI seperti menampar muka BHD.
Keinginan Timur Pradopo merangkul dan memberdayakan FPI, sejatinya sesuatu yang baik dan positif. Sebagai seorang pemimpin, kebijakan itu patut dilihat sebagai tindakan bijaksana. Tapi dari segi etika dan citra internal kepolisian, hal itu tidak benar. Timur telah mempermalukan BHD sebagai senior dan secara korps serta profesionalisme.
Timur membuat pernyataan eksplisit yang memperlihatkan adanya polarisasi di internal kepolisian. Pradopo seharusnya tidak boleh terbuka 'memberi angin' kepada FPI sekaligus melecehkan BHD. Terjemahannya ke bawah bakal kontra produktif bagi aparat kepolisian di tataran bawah. Kalaupun Pradopo ingin membantu FPI dengan misalnya menjadi penasehat, pelindung dan penyandang dana sekaligus, tapi cara itu patut ia lakukan secara tertutup.
Dengan membuat pernyataan seperti di atas, jelas sekali Timur telah menempatkan BHD sebagai sosok yang tidak disukai FPI. BHD bisa menjadi musuh bersama oleh FPI dan para simpatisannya.
Sesungguhnya bukan hanya pada BHD, Timur Pradopo tidak peduli. Terhadap Presiden SBY pun, Timur melakukan 'pembangkangan'. Perintah SBY untuk menangkap dan mengungkap pelaku penzaliman terhadap aktifis HAM, hingga dia meninggalkan pos kapolda tidak dilaksanakannya sama sekali. Begitu juga pelaku yang membuang bom Molotov ke kantor majalah Tempo.
Pengamanan Kedubes Malaysia juga tidak dilakukan Polda Metro Jaya pimpinan Timur Pradopo. Gara-gara itu, demonstran anti-Malaysia di Jakarta dituduh Kualalumpur melakukan pelanggaran serius atas Konvensi Jenewa. Presiden SBY diminta oleh PM Malaysia agar bertanggung jawab atas insiden di daerah Kuningan itu.
Tapi Timur tetap seperti orang yang tak peduli. Jangankan demo anti Malaysia, mahasiswa Indonesia yang terbunuh di Trisakti, dia tidak pedulikan. Dalam peristiwa Ciketing, seorang anggota jemaat HKBP ditusuk oleh orang yang dicurigai anggota FPI. Kapolda Timur Pradopo tidak memprosesnya sebagaimana mestinya.
Sosok beginikah yang layak menjadi kapolri?
Mari kita tunggu bagaimana DPR melakukan fit and proper test kepadanya. [mor]
Komentar
Posting Komentar