damai lah (2)

02/10/2010 - 07:04
[increase] [decrease]
Massa Bentrok, Anak Elit Rekonsiliasi
R Ferdian Andi R

(inilah.com/Agung Rajasa)

INILAH.COM, Jakarta - Anomali kembali muncul di republik ini. Jika sebelumnya bentrok antarmassa dan preman terjadi di beberapa daerah kini, dalam rangka peringatan Gerakan Satu September (Gestapu), justru putera-puteri pelaku dan korban G30S PKI merajut rekonsiliasi.

Memakai bendera Forum Silaturrahmi Anak Bangsa (FSAB), pertemuan putera-puteri pelaku sejarah G30SPKI berkumpul di Nusantara V Gedung MPR/DPR/DPD. Dengan mengusung tagline ‘berhenti mewariskan konflik, tidak membuat konflik baru’ pertemuan tersebut memantik bulu kuduk para hadirin tak jarang berdiri.

Acara yang disupport penuh Ketua MPR Taufik Kiemas ini menghadirkan beberapa putera-puteri tokoh sentral dalam drama revolusi 1 Oktober 1965. Sebut saja, Amelia Yani (puteri jenderal anumerta Ahmad Yani), Chaterin Pandjaitan (puteri jenderal anumerta DI Pandjaitan) dan Ilham Aidit (putera DN Aidit).

Juga Sarjono Kartosuwiryo (putera Kartosuwiryo), Perry Oemardani (putera Marsekal Omar Dani), Tommy Soeharto (putera Presiden kedua Soeharto), Sukmawati Soekarnoputri (puteri presiden pertama Soekarno) dan beberapa nama lainnya.

Direktur Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) Suryo Susilo menegaskan silaturahmi nasional diharapkan menjadi langkah awal dan jembatan bagi terwujudnya rekonsiliasi nasional.

“Harapannya silaturahmi ini yang melibatkan eksponen angkatan ‘66 dan korban tragedi nasional ‘65 menjadi langkah awal terwujudnya rekonsiliasi nasional,” ujarnya dalam sambutannya, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Jumat (1/9).

Suryo menegaskan, masa lalu telah selesai, dendam telah dikubur dalam-dalam, yang ada hanya kebesaran hati saling memahami dan saling memaafkan. “Sebagai anak dari para orang tua yang dahulu konflik, alih-alih menyimpan dendam dan mencari kesempatan membalas, kami malah bertekad tidak mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru,” cetusnya.

Dalam kesempatan tersebut Christine Pandjaitan mengaku sebelumnya dirinya menganggap keturunan PKI sebagai musuh. Namun pikiran itu justru merusak dirinya. Kini dirinya mengerti.

“Saya mengerti, saya harus memaafkan, biarlah saya mengalah minta maaf kepada putra-putranya yang dulu saya anggap lawan semoga maaf saya bisa menjadi contoh di daerah, dan pelosok,” paparnya seraya menegaskan memaafkan bukan berarti menutup kesalahan.

Putera sulung Pak Harto Tommy Soeharto menegaskan tidak ada lagi masalah ideologi. Karena semua berikrar Pancasila sebagai dasar negara. “Saya rasa tidak perlu lagi kita pikirkan yang lalu. Yang harus kita harus pikirkan sekarang adalah persoalan bangsa ini,” tegasnya.

Sementara Ketua MPR Taufik Kiemas dalam sambutannya menegaskan semua pihak tidak boleh terbelenggu dengan masa lalu. “Marilah kita terus berjuang untuk negeri ini,” tegasnya.

Acara silaturahmi nasional anak bangsa sungguh paradoksal dengan kondisi di level akar rumput. Di saat bersamaan, ragam konflik horizontal justru bermunculan. Gerakan ‘elit’ ini harus disebarluaskan ke seantero negeri ini. Tujuan berbangsa dan bernegara agar benar-benar terwujud yakni kesejahteraan rakyat. [mdr]


KISAH ANAK DN AIDIT
44 Tahun Ilham Tak Sanggup Tulis 'Aidit'
Sejak usia 6 tahun, Ilham Aidit, sudah tahu hidupnya bakal sulit.
JUM'AT, 1 OKTOBER 2010, 19:11 WIB Umi Kalsum, Mohammad Adam


VIVAnews - Putra bungsu ketua Central Committee PKI DN Aidit, Ilham Aidit, hari ini berbaur bersama anak-anak jenderal Pahlawan Revolusi dan anak penguasa Orde Baru, Tommy Soeharto. Ilham mengaku bersyukur diundang dan diberi kesempatan membacakan testimoni pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

Dalam testimoninya di acara yang bertajuk Forum Silaturahmi Anak Bangsa ini,Ilham mengajak semua pihak berjiwa besar agar konflik masa lalu yang kelam tidak berbuntut panjang.

"Saya selalu ingin mengajak melihat peristiwa secara lebih lengkap," kata Ilham, Jumat 1 Oktober 2010.

Peristiwa pahit G30S/PKI pada 1965 lalu, kata dia, punya ekses yang panjang. Namun sejarah hanya mencatat segelintir dari seluruh bagian kisah pedih tersebut. "Sejarah tidak pernah mencatat ratusan ribu orang yang terbunuh, ribuan orang yang dibuang ke Pulau Buru atau mereka yang tidak bisa kembali ke negaranya," kata Ilham.

Ilham berharap sejarah ditulis secara lengkap untuk pembelajaran bagi generasi berikutnya mengenai apa yang sebenarnya pernah terjadi di Indonesia.

Meski demikian, Ilham mendukung seluruh anak bangsa melakukan rekonsiliasi demi kemajuan Indonesia dan memaafkan dengan jiwa besar menerima apa yang telah terjadi. "Rekonsiliasi butuh sikap ksatria dan jiwa besar harus kita wariskan pada generasi berikutnya," kata Ilham.

Kisah Pilu

Ilham lalu menceritakan kisah pahitnya saat masih berusia 6 tahun. Ketika itu ia sedang bermain di luar rumah. Tiba-tiba ia melihat ada tulisan besar 'gantung Aidit, bubarkan PKI' di sebuah tembok. Ilham kaget bukan kepalang karena beberapa waktu lalu dirinya masih melihat ayahnya, DN Aidit, berpidato di Istora Senayan. Belakangan Ilham baru tahu situasi begitu cepat berubah.

"Sejak itu saya tahu hidup saya akan sulit, karena Bapak saya dicap sebagai musuh besar bangsa," kata Ilham.

Dugaan Ilham ternyata tidak salah. Dirinya jadi sering berkelahi karena tidak terima dengan ejekan mengenai ayahnya yang dikait-kaitkan dengan PKI. "Saya melawan, saya harus lawan orang yang meledek saya," kata Ilham.

Meski di sekolah Ilham dikenal termasuk murid yang berprestasi tapi dirinya juga terkenal tukang berkelahi. "Saya juara kelas, tapi saya
berkelahi terus," kata Ilham.

Hingga seorang pastor menegurnya, agar jangan terus berkelahi demi kelulusannya. Ilham menuturkan perkataan sang pastor, "Nilai kamu bagus, saya tahu siapa kamu, kamu harus berhenti berkelahi. Kalau kamu berkelahi terus kamu bisa-bisa tidak lulus."

Dan yang paling menderita bagi Ilham adalah dirinya tidak bebas menuliskan namanya secara lengkap: Ilham Aidit. Dengan nada getir
Ilham menceritakan dulu setiap menulis nama, tangannya selalu berhenti dan gemetar begitu selesai menulis 'Ilham'. Dia merasa tak sanggup melanjutkan untuk menulis 'Aidit' sebagai bagian dari kepanjangan namanya.

"Tangan saya diam agak lama, selalu begitu. Saya harus berhenti menggunakan nama itu. Sampai umur 44 tahun saya tidak menggunakan nama saya," kata Ilham. (hs)
• VIVAnews
SILATURAHMI NASIONAL
Tommy Soeharto Minta Maaf di Depan Anak Aidit
Hari ini Tommy berkumpul bersama anak-anak jenderal Pahlawan Revolusi dan pemimpin PKI.
JUM'AT, 1 OKTOBER 2010, 17:52 WIB Umi Kalsum, Mohammad Adam


VIVAnews - Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh hari ini, 1 Oktober 2010, menjadi 'sejarah' sendiri bagi anak-anak tujuh jenderal Pahlawan Revolusi, pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Presiden Soekarno. Yang menarik perhatian, hadir pula bersama mereka putra bungsu penguasa Orde Baru, Hutomo Mandala Putra, yang akrab dipanggil Tommy Soeharto. Mereka berkumpul di Gedung Nusantara III DPR.

Acara yang dinamai 'Silaturahmi Nasional' itu juga dihadiri Ketua MPR Taufiq Kiemas dan Ketua DPR Marzuki Alie. Sambutan dan testimoni disampaikan antara lain oleh putri Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Amelia Yani; Christin Pandjaitan, putri Mayjen Anumerta DI Panjaitan; Sukmawati Soekarnoputri; dan Tommy Soeharto.

Kesaksian mereka juga didengar langsung oleh Ilham Aidit, putra D.N. Aidit--yang saat peristiwa 1965 meletus menjabat sebagai Ketua Central Committee PKI--dan Svetlana, anak Wakil Ketua CC PKI, Nyoto. Hadir pula anak mantan KSAU Omar Dhani, Feri Omar Nursaparyan. Omar Dhani juga dituding rezim Orde Baru terlibat pemberontakan PKI.

Dalam sambutannya, Amelia Yani menegaskan tidak akan pernah melupakan peristiwa penculikan dan pembunuhan sang ayah di tengah malam yang terjadi di depan matanya. Amelia mengaku mengalami trauma berkepanjangan.

Bayangan penculikan dan pembunuhan juga masih membekas di benak Christin Pandjaitan. Malam itu tembakan bertubi-tubi menghujam ke tubuh sang ayah. Christin masih mengingat jelas otak yang ke luar dari batok kepala ayahnya saat itu. Dan ingatan itu tak pernah bisa hilang.

Makanya ia tidak pernah mau menonton film G-30S/PKI. Film itu wajib tonton di era Orde Baru dan nyaris setiap tahun diputar di televisi untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila.

Meski kejadian 45 tahun itu masih membekas, baik Amelia maupun Christin mengaku sudah tidak memiliki dendam lagi. Mereka tidak ingin kesalahan orangtua diturunkan kepada anak-cucu.

Amelia bahkan menuturkan dia mengerti betul apa yang dirasakan anak-anak pemberontak yang dikucilkan selama berpuluh-puluh tahun. Karena itu dendam telah dikuburnya dalam-dalam.

Sementara itu, putri presiden pertama RI, Sukmawati Soekarnoputri, menuturkan masa-masa kelam yang dialaminya setelah peristiwa 1965. "Pembunuhan jenderal-jenderal hebat Soekarno, kemudian demisionernya Kabinet Dwikora. Penahanan menteri-menteri tanpa pengadilan," kata dia.
Menurutnya, tindakan tersebut adalah reaksi dari pihak-pihak yang tidak menyukai Bung Karno. "Saya bersyukur bisa hadir di sini. Untuk ke depan mari kita optimistis, walau penuh kerusuhan dan kekacauan," kata Sukmawati.

Tommy Soeharto
Setelah Sukmawati, giliran putra penguasa Orde Baru Soeharto. Dalam sambutannya, Tommy Soeharto meminta semua yang hadir merenungkan apa yang selama ini terjadi di Indonesia.

"Saya tidak bisa menyampaikan unek-unek, atau pun kesan-kesan seperti yang tadi disampaikan. Karena saya sendiri waktu itu masih tidak mengetahui keadaan saya sendiri (ketika itu Tommy baru berumur 3 tahun lebih, red)," katanya.

Tommy melihat Silaturahmi Nasional sebagai forum yang tepat untuk menengok kembali sejarah bangsa di mana akibat akhirnya harus ditanggung anak-cucu. "Saat G-30S/PKI andaikata terbalik kejadiannya, di mana Politbiro yang berkuasa, mungkin kamilah yang merasakan sengsara saat itu," kata Tommy.

Tetapi, dia melanjutkan, Tuhan rupanya berhendak lain. Karena itu, Tommy berharap agar kejadian di masa lalu dijadikan pelajaran berharga ke depan supaya tidak terulang di kemudian hari.
"Kita tidak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa mengubah masa depan bangsa kita sendiri," kata Tommy. "Atas nama pribadi saya mengucapkan maaf lahir batin. Semoga Tuhan yang Maha Esa memberikan ridho-Nya bagi kita semua." (kd)
• VIVAnews

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN