gelar pahlawan BUKAN gelaran kaki lima
Minggu, 24/10/2010 18:19 WIB
J Kristiadi: Pahlawan Betulan Tak Mengharapkan Pengakuan Negara
Fajar Pratama - detikNews
Jakarta - Kontroversi usulan gelar pahlawan terhadap mantan Presiden Soeharto terus berlanjut. Pengamat politik dari CSIS J Kristiadi menilai, sebaiknya dipikir matang-matang rencana usulan calon pahlawan terhadap mantan penguasa Orde Baru tersebut.
"Yang namanya pahlawan betulan tidak usah mengharapkan pengakuan negara. Direnungkan terlebih dahulu supaya kontroversinya dihilangkan dulu," kata J Kristiadi usai diskusi di RM Bumbu Desa, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (24/10/2010).
Menurutnya, usulan Soeharto untuk menjadi pahlawan nasional belum tepat. Selain pastinya menimbulkan kontroversi, juga masih ada Tap MPR yang belum dicabut soal pemberantasan korupsi.
"Masih ada kontroversi dan masih banyak permasalahan. Karena masih ada Tap MPR yang belum dicabut soal pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya Soeharto," imbuhnya.
Dia juga berharap, pihak keluarga Soeharto juga tidak perlu memaksa-maksa untuk meminta gelar pahlawan. "Anggota keluarganya, nggak usah memaksa-maksa negara untuk memberikan gelar pahlawan," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah sudah menyaring 10 nama calon Pahlawan Nasional. Mereka adalah Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulteng, HM Soeharto dari Jawa Tengah, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari Jawa Timur.
Selanjutnya Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johanes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.
(anw/mad)
Soeharto Harus Dapat Gelar Pahlawan Nasional
Oleh : Santi Andriani
Nasional - Minggu, 24 Oktober 2010 | 06:30 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Tidak cukup gelar Bapak Pembangunan, Partai Golongan Karya (Golkar) ngotot almarhum mantan Presiden Soeharto layak mendapat gelar Pahlawan Nasional. Menurut Golkar, pemimpin trah Cendana itu berjasa besar dalam memajukan negara Indonesia.
"Melihat dari bagaimana jasa-jasa yang pernah dilakukan dan diberikan almarhum kepada bangsa ini, sangat layak gelar pahlawan nasional diberikan kepada Soeharto," ujar Wasekjen Partai Golkar, Lalu Mara Satriawangsa kepada INILAH.COM, Sabtu (23/10/2010) malam.
Hal itu disampaikannya sekaligus menanggapi pernyataan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla yang menyatakan, pak Harto sebelumnya telah memiliki gelar sebagai Bapak Pembangunan. Gelar tersebut, katanya, tidak mengurangi harkat dan martabat Soeharto meski tanpa gelar pahlawan nasional.
"Ini tidak akan mengurangi harkat beliau sebagai mantan pemimpin bangsa. Gelar pahlawan nasional tidak mesti jika seseorang baru berjasa terhadap bangsa ini," tandas JK.
Partai Golkar kata Lalu, akan tetap memperjuangkan agar Soeharto mendapatkan gelar tersebut dari pemerintah. " Jadi sikap Partai Golkar tegas, Golkar tetap mengusulkan, mendukung dan akan memperjuangkan agar Pak Harto mendapat gelar Pahlawan Nasional," ujar Jubir Ketum Golkar, Aburizal Bakrie itu menambahkan.
Rencana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto terus menuai kontroversi. Hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) menemukan, masyarakat tidak setuju dengan rencana itu karena mengganggap Soeharto dan rezim pemerintahannya, Orde Baru adalah yang terburuk dan paling bertanggungjawab terhadap krisis ekonomi dan peristiwa berdarah yang terjadi pada tahun 1998 silam.
Bahkan, Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam berpendapat, jangankan menambah gelar pahlawan Nasional, dua gelar yang diberikan kepada Soeharto sebelumnya, yaitu gelar Bapak Pembangunan dan Jenderal Besar patut dipertanyakan.
"Jadi bukan hanya cukup atau layak, tapi ini patut dipertanyakan. Dia (Soeharto) mengangkat dirinya sendiri sebagai jendral besar, tidak bisa seseorang memberikan gelar kepada dirinya sendiri," ujar dia kepada INILAH.COM. [mah]
Politisi PDIP: Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto Langgar Tap MPR
SABTU, 23 OKTOBER 2010 | 17:16 WIB
Soeharto. Tempo/Gunawan Wicaksono
TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakil Sekjen DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Achmad Basarah menilai, pemberian gelar pahlawan terhadap Presiden ke dua RI, Soeharto bertentangan dengan pasal 4 Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pasal itu menyatakan, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun, baik pejabat maupun mantan pejabat negara. "Termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM," kata Basarah melalui pesan singkatnya kepada wartawan soal wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, Sabtu (23/10).
Tap MPR tersebut, papar Basarah, oleh Tap MPR No 1 tahun 2003 tentang Peninjauan Status Hukum Tap-Tap MPR sejak Tahun 1966 sampai Tahun 2002 dinyatakan Tetap Berlaku. Karena itulah dia menilai jika Soeharto tetap diberikan gelar pahlawan maka akan melanggar ketentuan tersebut.
"Jika Pemerintah akan memberikan gelar pahlawan terhadap Soeharto, maka Pemerintah harus meminta MPR bersidang untuk mencabut TAP MPR tersebut. Dan hal itu bukan perkara mudah mengingat kewenangan MPR untuk membuat TAP MPR telah dihapus di UUD 1945," kata Basarah yang juga merupakan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat.
MUTIA RESTY
Jumat, 22/10/2010 13:06 WIB
Survei LSI: Gelar Pahlawan Buat Soeharto Cederai Nurani Rakyat
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Gagasan untuk menjadikan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bisa mencederai hati nurani rakyat. Sebabnya, mayoritas masyarakat Indonesia masih mempunyai persepsi buruk atas sosok penguasa Orde Baru tersebut.
Demikian hasil survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis di kantornya, Jl Lembang, Menteng, Jakpus, Jumat (22/10/2010).
"Karena itu gagasan untuk mempahlawankan Soeharto sebaiknya ditolak," kata Direktur Eksekutif LSI, Dodi Ambardi.
Survei secara nasional ini dilakukan pada 7 sampai 20 Oktober lalu, dengan sampel saintifik bervariasi antara 1200 sampai 2500. Margin of error bervariasi antara +/- 2% hingga +/- 3%. Survei ini juga membandingkan dengan data survei nasional yang dilakukan 10 tahun terakhir, yakni sejak 1999.
Dodi memaparkan, setelah Orde Baru tumbang, rakyat bersuara sangat negatif terhadap politik di bawah Soeharto. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari 20 persen responden yang menganggap Orde Baru sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap krisis ekonomi 1998. Sementara responden yang menyalahkan Soeharto sebagai pribadi ada 18 persen dan tidak tahu 46 persen.
Selain itu, katanya, tidak ada rakyat yang menilai positif politik di bawah Soeharto. Seperti misalnya terhadap isu kebebasan berpendapat dan berpartai.
Mengenai pertanyaan 'seberapa demokratis pemerintahan di bawah Presiden Soeharto dulu, rata-rata responden juga menjawab tidak demokratis. Dalam rentang 1 (sama sekali tidak demokratis) dan 10 (sangat demokratis), nilai ratai-rata adalah 4,68.
"Rakyat juga mampu menilai bahwa rezim Soeharto tidak demokratis, dan karena itu rezim tersebut tak diinginkan rakyat," kata Dodi.
Dalam survei tersebut tidak disertakan pertanyaan tentang kelayakan Soeharto menjadi pahlawan Nasional. Namun demikian, kata Dodi, itu tidak mempengaruhi kesimpulan yang diambil.
"Sama seperti menilai seorang kaya atau tidak, kita sudah bisa menilai dari jumlah tanah, rumah dan mobil. Tanpa harus menanyakan langsung," kata Dodi.
Namun, peneliti LSI, Burhanuddin Muhtadi mengakui pertanyaan tersebut tidak bisa disertakan karena isu Pahlawan Nasional untuk Soeharto itu muncul saat tim peneliti sudah turun di lapangan.
(lrn/nrl)
LSI:
Warisan Politik Soeharto Berakhir
Jumat, 22 Oktober 2010 | 12:31 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Dengan menggunakan delman hias dan dipasangi gambar mantan Presiden Soeharto, puluhan warga mengelilingi kota Jakarta, Kamis (8/6/2006). Mereka merayakan ulang tahun ke-85 mantan Presiden Soeharto.
JAKARTA, KOMPAS.com — Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan rilis survei terbaru mengenai warisan politik Soeharto. Mantan Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu belakangan kembali ramai diperbincangkan menyusul usulan penabalan gelar pahlawan nasional atas dirinya.
Beberapa waktu lalu, putranya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, menyatakan ketertarikan untuk berkiprah di kancah politik. Namun, menurut survei LSI, baik Tommy maupun kakaknya, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), yang pernah mendirikan partai, berpeluang kecil melanjutkan kedigdayaan politik orangtuanya.
Direktur LSI Dodi Ambardi menyebutnya sebagai akhir dari warisan politik Soeharto. "Warisan politik Soeharto tampaknya sudah berakhir. Segala upaya untuk memulihkan nama baik dan warisan politik Soeharto bertabrakan dengan aspirasi rakyat," kata Dodi, Jumat (22/10/2010), dalam jumpa pers di Kantor LSI, Menteng, Jakarta Pusat.
Gagasan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional pun, menurutnya, akan mendapatkan perlawanan. Berdasarkan survei LSI terhadap sekitar 2.500 responden pada 7-21 Oktober 2010 menunjukkan, Tommy cukup populer.
Sebanyak 72 persen mengaku mengetahui Tommy. Akan tetapi, dari mayoritas yang mengetahui Tommy menyatakan tak menyukai (47 persen) sosok "Pangeran Cendana" tersebut. Ketika diajukan pertanyaan, "Bila pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih?" Hanya 0,8 persen yang memilih Tommy.
"Sisanya, sebanyak 73,2 persen memilih nama selain Tommy," ujar Dodi. Dengan hasil tersebut, dalam analisis LSI, secara elektabilitas, Tommy masih sangat rendah.
Rendahnya tingkat keterpilihan, menurut Dodi, karena masih adanya persepsi negatif yang melekat pada rezim Soeharto. "Resistensi terhadap Tommy konsisten dengan penilaian negatif terhadap Soeharto dan otoritarianisme Orde Baru," katanya.
Peneliti Senior LSI, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, berakhirnya warisan politik Soeharto juga ditandai dengan tidak berjayanya partai yang dibentuk Tutut, Partai Karya Peduli Bangsa, pada arena pemliu.
"Partai yang diasosiasikan dengan Soeharto dan menjual romantika Orba tidak dapat dukungan publik," ujarnya.
Hasil survei terhadap elektabilitas Tommy, dinilainya, juga menghilangkan anggapan bahwa anak-anak Soeharto akan mudah mengail dukungan masyarakat karena kebesaran nama ayahnya.
"Ternyata tidak ada justifikasi empiriknya. Popularitas tinggi, tapi banyak yang tidak suka. Ini karena masyarakat melihat aspek negatifnya," kata Burhan.
Jumat, 22/10/2010 12:17 WIB
1.000 Hari Wafat Pak Harto
Mahkota Nisan Pak Harto Terjatuh Saat Akan Dipasang
Muchus Budi R. - detikNews
Karanganyar - Ada insiden kecil saat prosesi pemasangan mahkota nisan Pak Harto di Astana Giribangun, Karanganyar Jumat (22/10/2010). Salah satu mahkota nisan (maejan) batu nisan Pak Harto terjatuh dari tangan salah seorang kerabat yang bertugas membawanya sebelum dipasangkan di batu nisan. Beruntung, mahkota nisan yang terbuat dari batu marmer putih tersebut tidak pecah saat menyentuh lantai.
Kejadian itu terjadi saat prosesi pembawaan mahkota nisan dari luar cungkup dibawa masuk ke dalam cungkup. Dua orang lelaki berpakaian tradisional Jawa serba putih yang berasal dari kerabat keluarga Cendana bertugas membawa dua maejan tersebut. Masing-masing membopong satu mahkota.
Mereka berjalan di belakang Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi, yang bertindak selaku pemimpin upacara. Sampai disitu suasana masih khidmat, apalagi iring-iringan proses diiringi dengan tembang Jawa yang melantun magis.
Namun hanya beberapa langkah menjelang pusara Pak Harto, salah seorang pembawa maejan, tepatnya yang berjalan di kanan, terlihat kehilangan keseimbangan. Lelaki bercambang lebat dan berperawakan gempal itu berjalan agak limbung. Seketika batu maejan terlepas dari tangannya.
Kontan Tommy Soeharto yang berada di dekatnya langsung berlari mendekat, menyelamatkan maejan yang lepas. Begug yang berada di depan si lelaki itu juga langsung berbalik dan ikut memeriksa kondisi maejan.
Beruntung maejan yang jatuh dilantai itu tidak pecah. Mungkin karena tidak langsung berbenturan dengan lantai, karena lantai telah dilapisi karpet tebal. Selanjutnya si lelaki bercambang itu diminta mundur, maejan langsung dibawa oleh Begug Purnomosidi.
Dari tangan Begug, maejan itu diserahkan kepada Tommy dan Sigit untuk dipasang dibagian kepala nisan. Sedangkan maejan kedua diserahkan kepada Tommy dan Bambang untuk dipasang di bagian kaki nisan.
(mbr/nrl)
J Kristiadi: Pahlawan Betulan Tak Mengharapkan Pengakuan Negara
Fajar Pratama - detikNews
Jakarta - Kontroversi usulan gelar pahlawan terhadap mantan Presiden Soeharto terus berlanjut. Pengamat politik dari CSIS J Kristiadi menilai, sebaiknya dipikir matang-matang rencana usulan calon pahlawan terhadap mantan penguasa Orde Baru tersebut.
"Yang namanya pahlawan betulan tidak usah mengharapkan pengakuan negara. Direnungkan terlebih dahulu supaya kontroversinya dihilangkan dulu," kata J Kristiadi usai diskusi di RM Bumbu Desa, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Minggu (24/10/2010).
Menurutnya, usulan Soeharto untuk menjadi pahlawan nasional belum tepat. Selain pastinya menimbulkan kontroversi, juga masih ada Tap MPR yang belum dicabut soal pemberantasan korupsi.
"Masih ada kontroversi dan masih banyak permasalahan. Karena masih ada Tap MPR yang belum dicabut soal pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya Soeharto," imbuhnya.
Dia juga berharap, pihak keluarga Soeharto juga tidak perlu memaksa-maksa untuk meminta gelar pahlawan. "Anggota keluarganya, nggak usah memaksa-maksa negara untuk memberikan gelar pahlawan," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah sudah menyaring 10 nama calon Pahlawan Nasional. Mereka adalah Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulteng, HM Soeharto dari Jawa Tengah, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dari Jawa Timur.
Selanjutnya Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johanes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.
(anw/mad)
Soeharto Harus Dapat Gelar Pahlawan Nasional
Oleh : Santi Andriani
Nasional - Minggu, 24 Oktober 2010 | 06:30 WIB
INILAH.COM, Jakarta- Tidak cukup gelar Bapak Pembangunan, Partai Golongan Karya (Golkar) ngotot almarhum mantan Presiden Soeharto layak mendapat gelar Pahlawan Nasional. Menurut Golkar, pemimpin trah Cendana itu berjasa besar dalam memajukan negara Indonesia.
"Melihat dari bagaimana jasa-jasa yang pernah dilakukan dan diberikan almarhum kepada bangsa ini, sangat layak gelar pahlawan nasional diberikan kepada Soeharto," ujar Wasekjen Partai Golkar, Lalu Mara Satriawangsa kepada INILAH.COM, Sabtu (23/10/2010) malam.
Hal itu disampaikannya sekaligus menanggapi pernyataan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla yang menyatakan, pak Harto sebelumnya telah memiliki gelar sebagai Bapak Pembangunan. Gelar tersebut, katanya, tidak mengurangi harkat dan martabat Soeharto meski tanpa gelar pahlawan nasional.
"Ini tidak akan mengurangi harkat beliau sebagai mantan pemimpin bangsa. Gelar pahlawan nasional tidak mesti jika seseorang baru berjasa terhadap bangsa ini," tandas JK.
Partai Golkar kata Lalu, akan tetap memperjuangkan agar Soeharto mendapatkan gelar tersebut dari pemerintah. " Jadi sikap Partai Golkar tegas, Golkar tetap mengusulkan, mendukung dan akan memperjuangkan agar Pak Harto mendapat gelar Pahlawan Nasional," ujar Jubir Ketum Golkar, Aburizal Bakrie itu menambahkan.
Rencana pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto terus menuai kontroversi. Hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) menemukan, masyarakat tidak setuju dengan rencana itu karena mengganggap Soeharto dan rezim pemerintahannya, Orde Baru adalah yang terburuk dan paling bertanggungjawab terhadap krisis ekonomi dan peristiwa berdarah yang terjadi pada tahun 1998 silam.
Bahkan, Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam berpendapat, jangankan menambah gelar pahlawan Nasional, dua gelar yang diberikan kepada Soeharto sebelumnya, yaitu gelar Bapak Pembangunan dan Jenderal Besar patut dipertanyakan.
"Jadi bukan hanya cukup atau layak, tapi ini patut dipertanyakan. Dia (Soeharto) mengangkat dirinya sendiri sebagai jendral besar, tidak bisa seseorang memberikan gelar kepada dirinya sendiri," ujar dia kepada INILAH.COM. [mah]
Politisi PDIP: Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto Langgar Tap MPR
SABTU, 23 OKTOBER 2010 | 17:16 WIB
Soeharto. Tempo/Gunawan Wicaksono
TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakil Sekjen DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Achmad Basarah menilai, pemberian gelar pahlawan terhadap Presiden ke dua RI, Soeharto bertentangan dengan pasal 4 Tap MPR No XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pasal itu menyatakan, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun, baik pejabat maupun mantan pejabat negara. "Termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM," kata Basarah melalui pesan singkatnya kepada wartawan soal wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, Sabtu (23/10).
Tap MPR tersebut, papar Basarah, oleh Tap MPR No 1 tahun 2003 tentang Peninjauan Status Hukum Tap-Tap MPR sejak Tahun 1966 sampai Tahun 2002 dinyatakan Tetap Berlaku. Karena itulah dia menilai jika Soeharto tetap diberikan gelar pahlawan maka akan melanggar ketentuan tersebut.
"Jika Pemerintah akan memberikan gelar pahlawan terhadap Soeharto, maka Pemerintah harus meminta MPR bersidang untuk mencabut TAP MPR tersebut. Dan hal itu bukan perkara mudah mengingat kewenangan MPR untuk membuat TAP MPR telah dihapus di UUD 1945," kata Basarah yang juga merupakan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat.
MUTIA RESTY
Jumat, 22/10/2010 13:06 WIB
Survei LSI: Gelar Pahlawan Buat Soeharto Cederai Nurani Rakyat
Laurencius Simanjuntak - detikNews
Jakarta - Gagasan untuk menjadikan mantan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bisa mencederai hati nurani rakyat. Sebabnya, mayoritas masyarakat Indonesia masih mempunyai persepsi buruk atas sosok penguasa Orde Baru tersebut.
Demikian hasil survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis di kantornya, Jl Lembang, Menteng, Jakpus, Jumat (22/10/2010).
"Karena itu gagasan untuk mempahlawankan Soeharto sebaiknya ditolak," kata Direktur Eksekutif LSI, Dodi Ambardi.
Survei secara nasional ini dilakukan pada 7 sampai 20 Oktober lalu, dengan sampel saintifik bervariasi antara 1200 sampai 2500. Margin of error bervariasi antara +/- 2% hingga +/- 3%. Survei ini juga membandingkan dengan data survei nasional yang dilakukan 10 tahun terakhir, yakni sejak 1999.
Dodi memaparkan, setelah Orde Baru tumbang, rakyat bersuara sangat negatif terhadap politik di bawah Soeharto. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari 20 persen responden yang menganggap Orde Baru sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap krisis ekonomi 1998. Sementara responden yang menyalahkan Soeharto sebagai pribadi ada 18 persen dan tidak tahu 46 persen.
Selain itu, katanya, tidak ada rakyat yang menilai positif politik di bawah Soeharto. Seperti misalnya terhadap isu kebebasan berpendapat dan berpartai.
Mengenai pertanyaan 'seberapa demokratis pemerintahan di bawah Presiden Soeharto dulu, rata-rata responden juga menjawab tidak demokratis. Dalam rentang 1 (sama sekali tidak demokratis) dan 10 (sangat demokratis), nilai ratai-rata adalah 4,68.
"Rakyat juga mampu menilai bahwa rezim Soeharto tidak demokratis, dan karena itu rezim tersebut tak diinginkan rakyat," kata Dodi.
Dalam survei tersebut tidak disertakan pertanyaan tentang kelayakan Soeharto menjadi pahlawan Nasional. Namun demikian, kata Dodi, itu tidak mempengaruhi kesimpulan yang diambil.
"Sama seperti menilai seorang kaya atau tidak, kita sudah bisa menilai dari jumlah tanah, rumah dan mobil. Tanpa harus menanyakan langsung," kata Dodi.
Namun, peneliti LSI, Burhanuddin Muhtadi mengakui pertanyaan tersebut tidak bisa disertakan karena isu Pahlawan Nasional untuk Soeharto itu muncul saat tim peneliti sudah turun di lapangan.
(lrn/nrl)
LSI:
Warisan Politik Soeharto Berakhir
Jumat, 22 Oktober 2010 | 12:31 WIB
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Dengan menggunakan delman hias dan dipasangi gambar mantan Presiden Soeharto, puluhan warga mengelilingi kota Jakarta, Kamis (8/6/2006). Mereka merayakan ulang tahun ke-85 mantan Presiden Soeharto.
JAKARTA, KOMPAS.com — Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan rilis survei terbaru mengenai warisan politik Soeharto. Mantan Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu belakangan kembali ramai diperbincangkan menyusul usulan penabalan gelar pahlawan nasional atas dirinya.
Beberapa waktu lalu, putranya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, menyatakan ketertarikan untuk berkiprah di kancah politik. Namun, menurut survei LSI, baik Tommy maupun kakaknya, Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), yang pernah mendirikan partai, berpeluang kecil melanjutkan kedigdayaan politik orangtuanya.
Direktur LSI Dodi Ambardi menyebutnya sebagai akhir dari warisan politik Soeharto. "Warisan politik Soeharto tampaknya sudah berakhir. Segala upaya untuk memulihkan nama baik dan warisan politik Soeharto bertabrakan dengan aspirasi rakyat," kata Dodi, Jumat (22/10/2010), dalam jumpa pers di Kantor LSI, Menteng, Jakarta Pusat.
Gagasan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional pun, menurutnya, akan mendapatkan perlawanan. Berdasarkan survei LSI terhadap sekitar 2.500 responden pada 7-21 Oktober 2010 menunjukkan, Tommy cukup populer.
Sebanyak 72 persen mengaku mengetahui Tommy. Akan tetapi, dari mayoritas yang mengetahui Tommy menyatakan tak menyukai (47 persen) sosok "Pangeran Cendana" tersebut. Ketika diajukan pertanyaan, "Bila pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih?" Hanya 0,8 persen yang memilih Tommy.
"Sisanya, sebanyak 73,2 persen memilih nama selain Tommy," ujar Dodi. Dengan hasil tersebut, dalam analisis LSI, secara elektabilitas, Tommy masih sangat rendah.
Rendahnya tingkat keterpilihan, menurut Dodi, karena masih adanya persepsi negatif yang melekat pada rezim Soeharto. "Resistensi terhadap Tommy konsisten dengan penilaian negatif terhadap Soeharto dan otoritarianisme Orde Baru," katanya.
Peneliti Senior LSI, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, berakhirnya warisan politik Soeharto juga ditandai dengan tidak berjayanya partai yang dibentuk Tutut, Partai Karya Peduli Bangsa, pada arena pemliu.
"Partai yang diasosiasikan dengan Soeharto dan menjual romantika Orba tidak dapat dukungan publik," ujarnya.
Hasil survei terhadap elektabilitas Tommy, dinilainya, juga menghilangkan anggapan bahwa anak-anak Soeharto akan mudah mengail dukungan masyarakat karena kebesaran nama ayahnya.
"Ternyata tidak ada justifikasi empiriknya. Popularitas tinggi, tapi banyak yang tidak suka. Ini karena masyarakat melihat aspek negatifnya," kata Burhan.
Jumat, 22/10/2010 12:17 WIB
1.000 Hari Wafat Pak Harto
Mahkota Nisan Pak Harto Terjatuh Saat Akan Dipasang
Muchus Budi R. - detikNews
Karanganyar - Ada insiden kecil saat prosesi pemasangan mahkota nisan Pak Harto di Astana Giribangun, Karanganyar Jumat (22/10/2010). Salah satu mahkota nisan (maejan) batu nisan Pak Harto terjatuh dari tangan salah seorang kerabat yang bertugas membawanya sebelum dipasangkan di batu nisan. Beruntung, mahkota nisan yang terbuat dari batu marmer putih tersebut tidak pecah saat menyentuh lantai.
Kejadian itu terjadi saat prosesi pembawaan mahkota nisan dari luar cungkup dibawa masuk ke dalam cungkup. Dua orang lelaki berpakaian tradisional Jawa serba putih yang berasal dari kerabat keluarga Cendana bertugas membawa dua maejan tersebut. Masing-masing membopong satu mahkota.
Mereka berjalan di belakang Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi, yang bertindak selaku pemimpin upacara. Sampai disitu suasana masih khidmat, apalagi iring-iringan proses diiringi dengan tembang Jawa yang melantun magis.
Namun hanya beberapa langkah menjelang pusara Pak Harto, salah seorang pembawa maejan, tepatnya yang berjalan di kanan, terlihat kehilangan keseimbangan. Lelaki bercambang lebat dan berperawakan gempal itu berjalan agak limbung. Seketika batu maejan terlepas dari tangannya.
Kontan Tommy Soeharto yang berada di dekatnya langsung berlari mendekat, menyelamatkan maejan yang lepas. Begug yang berada di depan si lelaki itu juga langsung berbalik dan ikut memeriksa kondisi maejan.
Beruntung maejan yang jatuh dilantai itu tidak pecah. Mungkin karena tidak langsung berbenturan dengan lantai, karena lantai telah dilapisi karpet tebal. Selanjutnya si lelaki bercambang itu diminta mundur, maejan langsung dibawa oleh Begug Purnomosidi.
Dari tangan Begug, maejan itu diserahkan kepada Tommy dan Sigit untuk dipasang dibagian kepala nisan. Sedangkan maejan kedua diserahkan kepada Tommy dan Bambang untuk dipasang di bagian kaki nisan.
(mbr/nrl)
Komentar
Posting Komentar