kritik ITU perlu seh

Kontras: Hak Bependapat Kol. Adjie Terbatas
Untuk mencegah insubordinasi, menjaga profesionalisme, integritas, dan disiplin TNI.
KAMIS, 9 SEPTEMBER 2010, 14:45 WIB Ita Lismawati F. Malau, Aries Setiawan


VIVAnews - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai kebebasan berpendapat Kolonel (Pnb) Adjie Suradji memang bersyarat.

"Hak berpendapat dijamin sebagai hak asasi manusia yang universal, tapi hak ini adalah hak bersyarat. Standar universalnya tak sempurna," kata Koordinator Kontras, Usman Hamid, dalam pesan singkat yang diterima VIVAnews, Kamis, 9 September 2010.

Batas-batas ini, kata dia, diberlakukan bagi semua warga negara anggota TNI aktif, tidak terkecuali Adjie Suradji. Pembatasan ini antara lain tak boleh berpendapat di luar ijin atasan (baik atasan organis TNI ataupun pemegang otoritas sipil), tidak boleh ikut demonstrasi politik, membentuk serikat buruh dan mogok, serta dilarang menjadi anggota atau pengurus parpol.
"Bahkan hak pilih anggota TNI bisa dibatasi sejauh dibutuhkan utk mencegah konflik kepentingan dan netralitas politik di era transisi," kata Usman.

Hak Adjie Suradjie untuk berpendapat, kata Usman, dibatasi karena status aktif keanggotaannya. Alasan pembatasan ini untuk mencegah insubordinasi, menjaga profesionalisme, integritas, dan disiplin setiap anggota militer aktif.

Masalah Adjie ini kemudian lari ke ranah politik karena Adjie mengritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara terbuka.
Akan tetapi, Usman mencatat, "Pembatasan hak ini harus diterapkan kepada semua anggota TNI, termasuk di level komando." Jadi, siapapun anggota aktif TNI tak boleh memberi pernyataan politik. "Itu jika elit politik mau konsisten." (kd)
• VIVAnews
08/09/2010 - 03:05
Dukungan Melalui Facebook
'Kita Semua Ada di Belakang Kolonel Adjie'
Abdullah Mubarok


(IST)
INILAH.COM, Jakarta - Keberanian anggota TNI Angkatan Udara (AU) Kolonel Adjie Suradji mendapat dukungan di situs jejaring sosial, Facebook.

'Ki-es Sebelas', orang yang mengaku sebagai pengurus, menamai gerakan mendukung Kolonel Adjie dengan slogan 'Kita Semua Ada Dibelakang Kolonel Adjie Supardji'.

Belum bisa diketahui kapan akun tersebut dibuat. Sampai berita ini diturunkan, Rabu (8/9) pagi, baru puluhan orang tergabung. Sepertinya, umur grup FB ini belum sampai 24 jam.

Foto Kolonel Adjie Suradji berseragam dinas dipasang. Di dinding, facebooker bernama Slemer Budianto Armstrong mengaku salut dengan Kolonel Adjie.

"Saluttttttttttt.........dan memang sudah seharusnya seperti itulah seorang pemimpin," tulis Slemer.

Selain itu, Ki-es Sebelas menuliskan rasa simpatinya kepada Kolonel Adjie. Berikut pernyataannya:

hanya karena profesi, seseorang dilarang bicara.

hanya karena jabatan, kebenaran harus dibelenggu

jika seperti ini, apa bedanya dengan orde baru?????

jangan kita biarkan beliau di "susno"kan, di "AA"kan, maupun di "munirkan", apalagi di "Baharudin Lopa"-kan...

kita butuh org yg berani untuk bicara kebenaran, bukan org dari "luar", tapi orng dari "dalam"..

Sebagaimana diberitakan, Kolonel Adjie menulis opini berjudul 'Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan' di halaman opini harian Kompas yang mengkritik kepemimpinan Presiden SBY.

Adjie menguraikan mengenai seorang pemimpin ideal dengan upaya pemberantasan korupsi yang tak kunjung tuntas. Dia menulis Indonesia sudah dipimpin oleh 5 presiden yang masing-masing mempunyai ciri kepemimpinan tersendiri.

"Namun sayang hingga presiden keenam (SBY) ada hal yang buruk yang belum berubah yaitu perilaku korup para elite negeri. Akankan korupsi menjadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab," tulis Adjie. [mah]
SBY: Kritik Yang Benar Ibarat Obat
Menurut Yudhoyono, menjalankan pemerintahan tidak semudah membalik telapak tangan.
SELASA, 7 SEPTEMBER 2010, 20:05 WIB Siswanto, Bayu Galih

VIVAnews - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa dirinya tidak anti terhadap kritik. Namun, ia minta agar kritik terhadapnya disampaikan secara proporsional.

"Kritik kalau proporsional dan benar tentunya laksana obat," kata Yudhoyono saat buka puasa bersama Majelis Dzikir di kediaman pribadi, Puri Cikeas, Bogor, Selasa, 7 September 2010.

Sebab, kata Yudhoyono, menjalankan roda pemerintahan tidak semudah membalik telapak tangan.

Namun demikian, lanjut Kepala Negara, upaya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia akan dilakukan terus menerus.

Pada kesempatan itu, Presiden juga mengaku menyesalkan adanya berbagai kritik dan kecaman terhadap pemerintah yang ia nilai justru tidak membuahkan apapun untuk perubahan. "Saling salah-menyalahkan, mengecam, mengritik, tidak akan menghasilkan apa-apa," katanya.

Menurut Presiden, pembangunan bangsa merupakan suatu kesinambungan sejak presiden Indonesia pertama, Soekarno. Kalaupun ada kekurangan dalam proses pemerintahan, katanya, sebaiknya dibenahi bersama-sama, tanpa saling menyalahkan.

"Dari mendiang Presiden Soekarno hingga kini harus dilanjutkan yang baik. Kalau ada yang kurang, tanpa menyalahkan siapapun, mari kita perbaiki," katanya.

Pernyataan Presiden ini disampaikan sehari setelah muncul kritik terbuka dari Perwira Menengah TNI AU, Kolonel Adjie Suradji. Melalui opini di surat kabar nasional yang kemudian menuai pro dan kontra. Adjie yang masih tentara aktif mengkritik kepemimpinan Presiden yang ia nilai tidak tegas dan tidak berani melakukan perubahan, termasuk di bidang pemberantasan korupsi.
• VIVAnews
KOLONEL KRITIK SBY
Adjie, Dua Kali Menulis Dua Kali Ditegur
Selasa, 7 September 2010 | 17:56 WIB

KOMPAS.COM/HERU MARGIANTO
Artikel Adjie Suradji di halaman Opini Harian Kompas.
JAKARTA, KOMPAS.com - Kolonel Perbang Adjie Suradji sudah dua kali menulis di halaman Opini Harian Kompas. Hasilnya, dua kali ia ditegur institusi TNI Angkatan Udara.
Tulisan pertama muncul pada pada Rabu, 27 Mei 2009. Saat itu ia menulis "Hercules, Peti Mati Terbang". Tulisan itu menyusul kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Madiun yang menewaskan lebih dari 100 orang.
Dalam tulisannya, Adjie mengkritisi model perawatan pesawat-pesawat TNI Angkatan Udara. Ia menengarai penggantian suku cadang yang dilakukan dengan cara yang tidak semestinya. Ada indikasi, tulis Adjie, suku cadang pesawat banyak yang palsu.
Sekadar mengutip tulisan Adjie, "Disinyalir Indonesia termasuk salah satu negara tujuan peredaran barang-barang aspal yang mengancam dunia penerbangan sipil atau militer. Karena itu, predikat peti mati terbang seharusnya berlaku untuk semua pesawat, sipil atau militer. Tak heran, berapa insiden yang menimpa penerbangan sipil."
"Karena tulisan itu saya ditegur. Padahal dengan tulisan itu saya ingin mengkritisi soal anggaran perawatan pesawat yang minim. Maksudnya, supaya pemerintah menambah anggaran untuk TNI Angkatan Udara," jelas dia.
Terakhir, tulisan Adjie pun bikin membuat institusi TNI berang. Artikel bertajuk "Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan" yang dimuat di halaman Opini Harian Kompas, Senin (6/9/2010), mengkritik secara terbuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene adalah Panglima Tertinggi TNI.
Dalam tulisannya, Adjie menggugat keberanian Presiden Yudhoyono melakukan perubahan di negeri ini. Dalam salah satu bagian artikelnya, ia menulis, "Apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraanya?"
Mengenai kontroversi artikelnya yang terakhir, ia menyerahkan sepenuhnya kepada institusi TNI Angkatan Udara. Ia mengaku sudah mendapat teguran dari TNI Angkatan Udara. Namun, ia tidak mengurai lebih jauh soal teguran yang diterimanya.


07/09/2010 - 18:01
Kolonel Adjie Mengkritik SBY
Kapten Agus Harimurti Juga Harus Dihukum
Irvan Ali Fauzi


(inilah.com/Wirasatria)
INILAH.COM, Jakarta - TNI telah menjatuhkan sanksi terhadap Kolonel Adjie Suradji. Sanksi yang sama seharusnya diberikan juga kepada Kapten Agus Harimurti Yudhoyono yang memuji-muji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Kalau Adjie dihukum oleh TNI AU, maka TNI AD juga perlu menghukum Agus Harimurti," ujar Ketua Petisi 28 Haris Rusli, saat berbicara dalam diskusi di Doekoen Coffee, Jakarta, Selasa (7/9).

Agus sebelumnya meluncurkan sebuah buku berjudul "Sekarang Kita Makin Percaya Diri". Buku berisi wawancara diriya dengan Harian Jurnal Nasional itu dibagikan kepada tamu undangan peringatan detik-detik proklamasi di Istana Merdeka 17 Agustus lalu.

Menurut Haris, apa yang dilakukan Agus tidak berbeda dengan apa yang dilakukan Adjie. Keduanya sama-sama berbicara tentang SBY. "Adjie dan Agus sama-sama tentara pemikir, bedanya Agus memuji-muji bapaknya sementara Kolonnel Adjie menyelamatkannya. SBY perlu diselamatkan, karena itu dia perlu dikritik. Memuji itu adalah pembunuhan terselubung," imbuh Haris Rusli yang juga mantan Ketua Umum PRD itu.

Karena itu Haris menolak jika Adjie dibawa ke pengadilan militer. "Kalo perlu Adjie dan Agus dipertemukan dalam sebuah debat, tapi kalau Adjie dikriminalisasi, kita harus bawa Agus ke Mahkamah Militer Luar Biasa," tandasnya.

Sebagaimana diberitakan, Kolonel Adjie menulis sebuah opini di Harian Kompas berjudul Pimpinan, Keberanian, dan Perubahan. Dalam coretannya, pria yang sudah mengabdi sekitar 30 tahun di TNI AU itu mengkritik gaya kepemimpinan Presiden SBY. Atas perbuatannya, Adjie terancam mendapat sanksi dari kesatuannya.

Namun, Haris menilai artikel opini Adjie bukan aktivitas politik praktis sebagaimana dituduhkan Angkatan Udara. "Ini kritik bela negara yang menurut dia negara sudah dikhianati. Pak Adjie tidak membuat partai, tidak ingin menjadi anggota DPR, calon Bupati. Adjie melihat negara dalam ancaman besar dipimpin oleh SBY."

Haris menambahkan Adjie lewat tulisannya menunjukan kesetiaannya sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada rakyat, Negara, Pancasila dan Undang-undang Dasar. Kesetiaan TNI bukan kepada perorangan. "Kalau SBY sebagai kepala pemerintah sudah melakukan penghianatan, maka TNI tidak perlu punya kesetiaan lagi kepada SBY," tandasnya. [TJ]
Politik
[Bookmark this] [Print this page] [Send to mail]
06/09/2010 - 18:02
[increase] [decrease]
'Kolonel Kritik Pangti, Pasti Ada Masalah Genting'
Irvan Ali Fauzi

(IST)

INILAH.COM, Jakarta - Terkait dengan opini Kolonel Adjie Suradji yang menyerang Presiden SBY, anggota Komisi I DPR Helmy Fauzi berpendapat telah ada kekacauan di negara ini yang sudah tidak bisa disepelekan lagi.

"Itu sebagai alarm call (peringatan tanda bahaya), ada sesuatu yang luar biasa yang tidak bisa disepelekan lagi. Seorang kolonel tidak akan mengintrupsi dan mengktitik panglima tertingginya kalau tidak ada kondisi yang mengkhawatirkan," ujar Helmy kepada INILAH.COM, di DPR, Senayan, Jakarta, Senin (6/9).

Menurut politisi PDIP itu, pidato Presiden Susio Bambang Yudhoyono yang merespon ancaman Malaysia dianggap mengecewakan banyak pihak, termasuk pihak militer. "Pidato itu melahirkan kekecewaan di semua kalangan tidak hanya di DPR, tapi di LSM, ormas, termasuk militer," tegasnya.

Meski menilai tindakan Kolonel Adjie itu melanggar etika dan fatsun politik. Namun Helmy melihat dalam kondisi saat ini, hal itu boleh saja. "Secara etika, secara fatsun dalam keadaan normal mengkritik presiden melanggar kepatutan. Tapi dalam kondisi sekarang, saya rasa itu perlu agar ke depan kita bisa beri keputusan tegas," tukasnya.

Sebagaimana diketahui, dalam tulisannya secara gamblang Adjie membandingkan kepemimpinan SBY dengan presiden-presiden RI sebelumnya. Dalam tulisannya, ia menyebutkan keberhasilan-keberhasilan presiden Indonesia. Ia menyayangkan kepemimpinan SBY yang tidak mampu mengubah hal buruk dari presiden RI terdahulu, yakni memberantas korupsi.

"Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini. Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu 'Bersama Kita Bisa' (2004) dan 'Lanjutkan' (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional," kritiknya.

Dalam tulisan berjudul 'Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan' itu, Adjie juga meragukan keberanian SBY. "Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri. Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya," tulis dia. [mut/mah]
07/09/2010 - 17:28
Inilah Para Kolonel Pengguncang Penguasa Indonesia
Raden Trimutia Hatta


(IST)
INILAH.COM, Jakarta - Kolonel Penerbang Adjie Suradji bukanlah satu-satunya perwira TNI yang 'menyerang' presiden. Siapa saja kah perwira menengah (Pamen) yang pernah menggunjang Indonesia?

Apa yang dilakukan Kolonel Adjie belum seberapa dibandingkan senior-seniornya. Kolonel Adjie hanya mengkritik untuk kebaikan, tidak lebih dari pada itu. Tidak seperti senior-seniornya di bawah ini.

1. Kolonel Zulkifli Lubis.

Pada 30 Nopember 1957, terjadi upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang dikenal dengan Peristiwa Cikini. Orang yang saat itu dan di kemudian harus menjadi tersangka utama adalah Kolonel Zulkifli Lubis, mantan Direktur Badan Intelijen Angkatan Darat dan Wakil KASAD yang juga menjadi salah satu calon KASAD pada 1955.

2. Kolonel Achmad Husein.

Dia merupakan pimpinan dari Pemberontakan PRRI/Permesta yang didahului dengan pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera. Pada 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai Kolonel Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden.

3. Letkol Ventje Sumual.

Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado tokohnya adalah Letnan Kolonel Ventje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.

4. Letkol Untung Syamsuri.

Pada 1965 mucul peristiwa G/30S/PKI. Di mana dalam peristiwa itu diketahui ratusan perwira (terbanyak unsur AD) berhasil dibina PKI untuk melakukan penculikan para petinggi TNI AD. Tokoh utama peristiwa ini adalah Komandan Batalyon I Tjakrabirawa Letkol Untung Syamsuri.

5. Kolonel Abdul Latief

Kolonel Abdul Latief (Komandan Brigif 1 Kodam V Jaya) bersama Brigjen Suparjo, Kol Suherman (Asisten 1 Pangdam VII Diponegoro), Kolonel Udara Sudiono dan Mayor Udara Sujono juga dinyatakan terlibat G30S/PKI.

Setelah Soekarno lengser dan Soeharto menjadi presiden, 'penyerangan' perwira TNI terhadap presiden juga masih terjadi. Hal itu dilakukan Kolonel Abdul Latief. Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris selalu mengikuti jejak Soeharto. Pada gilirannya membuat hubungan Latief dan Soeharto bukan lagi sekedar bawahan dan atasan, melainkan sudah sebagai dua sahabat.

Soeharto tahu Latief tak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sudah sejak setelah agresi kedua, Latief merasa selalu mendapatkan kepercayaan dari Soeharto sebagai komandannya yakni memimpin pasukan pada saat yang sulit. Namun semua berubah ketika Latief menuduh Soeharto terlibat G/30S/PKI. [mut/mah]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN