jangan LENGAH ( tetap waspadai radikalisme dan kekerasan) (21)
Jalan Pendek Menuju "Surga"
Editor: Jodhi Yudono
Sabtu, 19 Februari 2011 | 22:44 WIB
Oleh Lea Pamungkas*
Sepuluh tahun yang lalu ketika aku mengenalnya, aku menandai sesuatu pada dia. Di antara kamar-kamar padat pada sebuah gang di belakang pasar. Antara asap-asap dapur yang berjajar campur baur dengan bau parit yang kerap meluap kala banjir. Setiap hari dia lewat dengan seragam sekolah menengahnya yang abu-abu putih. Pendiam, cenderung pemurung, dan tak banyak bicara.
Aku menandai sesuatu pada dia. Mungkin semacam harapan atau mungkin juga tontonan atau kepenasaran. Dari ibunya yang kumintai tolong untuk mencuci baju-baju, aku mengenal Ramdhani lebih dekat. Ketika mengantarkan baju-bajuku yang telah selesai disetrika ibunya, kami pun saling bertukar kata. Seorang yang cerdas dan punya keinginan yang lebih dari kawan-kawan. Ramdhani setiap hari berjalan kaki sekitar 20 km untuk pergi ke sekolahnya, karena tak ada uang di sakunya. “Seorang yang tangguh,” bisikku dalam hati.
“Saya ingin masuk universitas,” katanya suatu hari ketika kami menjadi lebih kerap bicara. “Tentu kamu pasti bisa. Kamu cerdas dan ini akan sangat menentukan masa depanmu,” kataku dengan klise. Sesekali aku pun pergi ke kamar yang disewa keluarga Ramdhani untuk mengantarkan baju-bajuku kepada ibunya. Sebuah kamar berukuran 5x8 meter, dengan lampu yang temaram. Bertemu dengan ayahnya yang setengah buta, kakak laki-lakinya yang bekerja serabutan, dan adik perempuannya yang baru saja masuk sekolah dasar.
Pada suatu hari, Ramdhani datang pagi hari. Tanpa baju-bajuku, bau keringatnya menerjang hidungku. “Saya diterima di universitas ...,” katanya dengan datar. “Hei bukankah kamu mustinya gembira. Selamat ya,” kuulurkan tanganku sambil menepuk bahunya. “Saya tak akan mengambilnya,” katanya lagi.
Aku terdiam. Aku tahu alasannya. “Mungkin kamu bisa meminjam uang ....,” kataku. Aku tahu bahwa aku cuma asal bunyi saja. Ramdhani tersenyum masam. “Siapa yang mau meminjamkan uang sebesar 20 juta kepada saya ?”
Kami pun terdiam dan pahit.
Tahun-tahun berlalu. Namun belakangan ini aku kerap melihat wajah Ramdhani di berbagai koran, pada video-video yang ditayangkan di YouTube, di antara serombongan orang-orang bersorban dan berbaju koko. Di mana saja manakala kekerasan menjadi penanda. Ramdhani berkelebat, menyusup, dan larut.
Dia Ramdhani yang pernah kutandai. Dan aku percaya bahwa ada ratusan Ramdhani lain di sini. Dia tak lagi mengangankan untuk kuliah di universitas, atau memikirkan lowongan kerja. Sebab 'surga' telah dijanjikan untuknya. Setiap hari dia meneriakkan nama Allah, tapi imun pada jerit kesakitan dan kepedihan sesamanya. Lagipula 'surga' ternyata lebih gampang dicapai daripada universitas atau lowongan kerja di negara ini.
*Lea Pamungkas, penulis, kini mukin di Belanda
Editor: Jodhi Yudono
Sabtu, 19 Februari 2011 | 22:44 WIB
Oleh Lea Pamungkas*
Sepuluh tahun yang lalu ketika aku mengenalnya, aku menandai sesuatu pada dia. Di antara kamar-kamar padat pada sebuah gang di belakang pasar. Antara asap-asap dapur yang berjajar campur baur dengan bau parit yang kerap meluap kala banjir. Setiap hari dia lewat dengan seragam sekolah menengahnya yang abu-abu putih. Pendiam, cenderung pemurung, dan tak banyak bicara.
Aku menandai sesuatu pada dia. Mungkin semacam harapan atau mungkin juga tontonan atau kepenasaran. Dari ibunya yang kumintai tolong untuk mencuci baju-baju, aku mengenal Ramdhani lebih dekat. Ketika mengantarkan baju-bajuku yang telah selesai disetrika ibunya, kami pun saling bertukar kata. Seorang yang cerdas dan punya keinginan yang lebih dari kawan-kawan. Ramdhani setiap hari berjalan kaki sekitar 20 km untuk pergi ke sekolahnya, karena tak ada uang di sakunya. “Seorang yang tangguh,” bisikku dalam hati.
“Saya ingin masuk universitas,” katanya suatu hari ketika kami menjadi lebih kerap bicara. “Tentu kamu pasti bisa. Kamu cerdas dan ini akan sangat menentukan masa depanmu,” kataku dengan klise. Sesekali aku pun pergi ke kamar yang disewa keluarga Ramdhani untuk mengantarkan baju-bajuku kepada ibunya. Sebuah kamar berukuran 5x8 meter, dengan lampu yang temaram. Bertemu dengan ayahnya yang setengah buta, kakak laki-lakinya yang bekerja serabutan, dan adik perempuannya yang baru saja masuk sekolah dasar.
Pada suatu hari, Ramdhani datang pagi hari. Tanpa baju-bajuku, bau keringatnya menerjang hidungku. “Saya diterima di universitas ...,” katanya dengan datar. “Hei bukankah kamu mustinya gembira. Selamat ya,” kuulurkan tanganku sambil menepuk bahunya. “Saya tak akan mengambilnya,” katanya lagi.
Aku terdiam. Aku tahu alasannya. “Mungkin kamu bisa meminjam uang ....,” kataku. Aku tahu bahwa aku cuma asal bunyi saja. Ramdhani tersenyum masam. “Siapa yang mau meminjamkan uang sebesar 20 juta kepada saya ?”
Kami pun terdiam dan pahit.
Tahun-tahun berlalu. Namun belakangan ini aku kerap melihat wajah Ramdhani di berbagai koran, pada video-video yang ditayangkan di YouTube, di antara serombongan orang-orang bersorban dan berbaju koko. Di mana saja manakala kekerasan menjadi penanda. Ramdhani berkelebat, menyusup, dan larut.
Dia Ramdhani yang pernah kutandai. Dan aku percaya bahwa ada ratusan Ramdhani lain di sini. Dia tak lagi mengangankan untuk kuliah di universitas, atau memikirkan lowongan kerja. Sebab 'surga' telah dijanjikan untuknya. Setiap hari dia meneriakkan nama Allah, tapi imun pada jerit kesakitan dan kepedihan sesamanya. Lagipula 'surga' ternyata lebih gampang dicapai daripada universitas atau lowongan kerja di negara ini.
*Lea Pamungkas, penulis, kini mukin di Belanda
Komentar
Posting Komentar