jangan LENGAH ( tetap waspadai radikalisme dan kekerasan) (19)
Kamis, 10/02/2011 19:56 WIB
Kekerasan Atas Ahmadiyah (5)
PBNU: Sering Pekikkan Jihad Sesungguhnya Runtuhkan Wibawa Islam
M. Rizal - detikNews
Jakarta - Banyak pelaku kekerasan memekikkan jihad dan takbir sebelum memulai aksinya. Para pelaku kekerasan ini beranggapan mereka tengah berjihad membela agama Islam.Padahal sesungguhnya tindakan itu justru merusak kewibawaan dan meruntuhkan Islam. Tidak ada satu pun dalil yang membenarkan melakukan kekerasan atau pembunuhan karena perbedaan keyakinan.
"Orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam," kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi.
Banyak faktor yang menyebabkan makin seringnya pecah kekerasan atas nama agama. Faktor itu yakni pengaruh masuknya faham radikalisme dari Timur Tengah. Selain itu juga kelambanan penanganan pemerintah melalui alat keamanan negara dalam mencegah tindak kekerasan.
Salah satu terpenting adalah bentrokan antar faham keagamaan dan keyakinan ini justru ditimbulkan akibat dakwah atau ajakan yang tidak dilakukan secara bijaksana. Selain sering memaksakan agar orang masuk sesuai keyakinan diri sendiri, juga dipicu sikap kesombongan keimanan yang ditunjukan umat beragama itu sendiri. "Kesombongan atas keimanan ini paling berbahaya," kata Masdar.
Berikut wawancara detikcom dengan Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas'udi di
kantornya di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat:
Bagaimana tanggapan anda soal penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten?
Pertama-tama yang ingin saya tegaskan, negara itu wajib melindungi rasa aman dari
seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama, keyakinan maupun suku dan
sebagainya. Itu pertama yang harus betul-betul ditunaikan tanpa tawar-menawar lagi.
Dan untuk itu, negara sudah memiliki segala persyaratan yang dibutuhkan, ada aparat
kepolisian dengan perangkatnya termasuk untuk penindakan sampai intelijennya. Kalau
polisi tidak sanggup, bisa menggunakan aparat lainya seperti militer.
Kalau perlu Nahdlatul Ulama (NU) siap membantu dan amankan segenap warga. Jangan
sampai ada kezaliman di antara warga dan sesama warga. Pertumpahan darah itu mutlak
harus dihidarkan. Satu nyawa hilang itu sudah terlalu banyak. Kalau nyawa sampai
hilang bukan karena nyawa, tapi itu sama saja menghilangkan seluruh umat manusia,
ini adalah sesuai Alquran.
Jadi membiarkan seorang warga negara terbunuh tanpa alasan pembunuhan, maka
sebenarnya sama saja membiarkan seluruh warga negara ini terbunuh. Bahkan di dalam
Alquran bukan hanya seluruh warga negara, tapi seluruh umat manusia, bila ada nyawa
seorang dibiarkan melayang tanpa alasan yang setimpal.
Berkaitan dengan soal keimanan, negara kita kan bukan negara agama, bukan negara
agama tertentu. Tetapi negara yang melindungi keyakinan segenap warganya, maka
negara tidak boleh mendiskriminasi perlindungan kepada warga negara atas pertimbangan keyakinan tertentu, itu tidak boleh. Dan, NU berada di belakang misi
negara itu.
Apakah konflik terjadi karena perbedaan keyakinan di antara warga itu sendiri?
Itu yang sebenarnya tidak boleh. Perbedaan keyakinan memang tidak mungkin dihindari,
karena agama memang teksnya terlalu mendalam dan luas. Oleh karena itu tafsir
terhadap teks agama itu suatu keniscayaan. Tidak ada suatu ajaran agama yang hanya
ada satu tafsir dan semua tafsir sebenarnya itu dilindungi. Bahwa ada yang mengaku
dirinya benar dan yang lain itu salah, itu biasa. Tetapi kalau semua mengaku benar dan semua mengaku yang lain salah, maka sesungguhnya tidak ada yang mutlak benar.
Perbedaan keyakinan tidak bisa menjadi alasan untuk memaksa keyakinan saya terhadap
orang lain. Karena yang memberikan petunjuk ke jalan benar itu hanya Allah.
Innaka laa tahdi man ahbabta walakinnallaaha yahdi man yasya, sesungguhnya kamu tidak bisa memastikan hidayah kepada orang lain, hanya Allah lah yang dapat memasukan hidayah kepada hamba-Nya yang dikehendaki (surat Al Qoshosh ayat 56).
Di dunia ini kan bukan surga dan juga bukan neraka. Jadi di sini itu ada yang baik
dan ada yang buruk, ada yang kafir, ada yang mukmin, ada yang tersesat dan ada yang
mendapatkan hidayah, inilah dunia. Jangan berpikir dunia ini adalah surga, dan semuanya harus mukmin. Dan jangan berpikir bahwa dunia ini adalah neraka, semuanya harus kafir, tidak seperti itu.
Soal surga-neraka, tersesat dan mendapatkan hidayah hanya Allah yang tahu. Bahkan
dalam Islam, kalau ada orang mengkafirkan orang lain, maka boleh jadi sesungguhnya
dia kafir. Jadi jangan gampang mengkafirkan orang. Anda boleh saja meyakini seyakin-yakinnya apa yang anggap anda imani benar, tapi jangan pada saat yang sama mengaku sayalah satu-satunya paling benar, orang lain salah atau menuding keyakinan orang lain itu salah.
Jadi bagaimana sebaiknya menghadapi jemaat Ahmadiyah?
Saya ambil contoh di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat asuhan almarhum KH
Ilyas Ruhyat (mantan Rais Am PBNU), di sekitar itu sudah berpuluh-puluh tahun ada
sebuah masjid Ahmadiyah. Pas bertetanggaan dengan pesantren, dan dari dahulu
tidak pernah ada santri yang menggruduk atau mengejek anggota jemaat Ahmadiyah.
Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, itulah yang terjadi di
lingkungan NU sebenarnya.
Bahwa anda memiliki keyakinan seperti itu dan anda bertekad menjalankannya, itu hak
anda. Memang kita memang mempunyai kewajiban moral untuk melakukan dialog, memberi tahu atau dakwah. Tetapi melakukan dakwah mengajak orang mendekatkan dengan keyakinan kita harus dengan bil hikmah atau bijaksana. Tidak ada kata paksaan dalam dakwah itu. Apabila kita sudah berdakwah atau kita sedikit bermujadalah (perdebatan). Kok masih tidak mau menerima apa keyakinan kita, ya sudah, kewajiban kita sudah gugur. Tidak ada keimanan yang bisa dipaksakan. Mungkin orang bisa dipaksa tubuhnya, tapi hatinya tidak bisa dipaksa.
Dakwah yang paling efektif itu dakwah melalui perilaku, bukan dengan kata-kata, apalagi dengan kekerasan. Kalau orang Islam memperlakukan orang lain dengan kekerasan dan kekejaman, itu sebetulnya dia sedang melecehkan secara telak agamanya sendiri. Karena orang akan bertanya, loh agamanya mulia, tapi kenapa perilaku dan akhlaknya buruk dan kejam? Jadi orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam.
Kawasan Cikeusik, Pandeglang, Banten walau dikenal masyarakatnya keras tapi belum pernah terjadi bentrokan antar keyakinan agama. Apakah ini ada rekayasa untuk memicu kekerasan itu sendiri?
Memang belakangan ini, sekitar sepuluh tahun belakangan terakhir ini pengaruh dari
kelompok-kelompok radikal yang dibiayai dengan uang yang banyak dari Timur Tengah
menjalar ke mana-mana. Meskipun kita ketahui dalam dunia Islam, perbedaan mazhab dan perbedaan tafsir itu sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman para sahabat itu sudah ada orang menafsiri sebuah ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda. Jadi
sesungguhnya itu sudah alami dan memang tafsir itu bisa berbeda-beda.
Tapi tafsir yang berbeda dan diikuti dengan pemaksaan, penistaan sampai pembunuhan
baru belakangan ini lebih marak. Jadi dahulu pernah ada pada zaman klasik itu. Misalnya konflik antara lain dengan kaum Khawarij dan Syiah sampai pertumpahan darah dan lainnya. Kemudian orang berpikir bila lama-lama seperti ini bisa habis, maka wisdom atau kearifan yang muncul, bahwa tidak ada di dunia manapun yang memiliki satu tafsir, tapi banyak dan berbeda-beda.
Untuk mensikapi adanya tafsir-tafsir yang berbeda ini, ya sudah kita sama-sama
menghormatinya. Bahwa kami juga minta dihormati untuk mengikuti tafsir kami, sebagaimana anda juga kami menghormati untuk mengikuti tafsir anda. Itulah yang
paling fair (adil), toh kita sama-sama tidak tahu siapa yang sesungguhnya secara
hakiki di jalan yang benar. Kita hanya berdoa saja kepada Allah SWT untuk dibimbing
di jalan yang benar. Kita tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah sepenuhnya berada
di jalan yang benar, itu tidak boleh karena itu namanya takabur.
Kita salat setiap hari lima waktu ada 17 rakaat, kita setiap rakaat selalu baca Al Fatihah dengan doa ihdinash shiroothol mustaqiim, tunjukilah kami ke jalan yang benar. Itu artinya apa? Orang Islam setiap menjalankan ibadahnya sekalipun tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah ada di jalan yang benar. Justru kita harus terus memohon kepada Allah untuk dibimbingnya. Justru kita harus rendah hati dan jauh untuk mengklaim saya sudah ada di jalan yang benar, apalagi sambil menuding orang lain kau sesat dengan diikuti tindakan kekerasan. Ini nauzubillah minzaliq, itu jauh dari kebenaran.
Apakah bisa dikatakan semakin banyaknya tindak kekerasan mengatasnamakan agama karena pengaruh radikalisme Timur Tengah?
Memang tindakan manusia tidak pernah bisa disederhanakan pada satu faktor saja,
selalu ada multi faktor. Taruhlah faktor faham radikalisme itu memiliki peranan,
meskipun tidak seratus persen. Tapi juga ada faktor-faktor lainnya, misalnya
faktor adanya provokator dan yang tidak kalah penting faktor kelambanan aparat
pemerintah dalam bertindak preventif. Ini sangat penting sekali.
Oleh karena itu, ini harus menjadi catatan yang sangat kuat bagi kita bahwa semua
faktor-faktor yang bersifat pemahaman tidak bisa berdiri sendiri. Kalau ada orang
yang berbeda faham, kemudian tumbuh menjadi saling curiga sampai saling membenci.
Tapi kalau aparat keamanan pemerintah bertindak tegas, tentunya tidak akan meledak
menjadi kenyataan. Itu yang kita sesalkan, kenapa aparat keamanan tidak bertindak
tepat waktu.
Sebenarnya beliau-beliau itu sudah tahu ada riak-riak seperti di Banten atau Temanggung, itu sudah diketahui dua hari sebelumnya gelagat-gelagat itu. Persoalannya kenapa tidak dilakukan pencegahan? Sebenarnya itu hak aparat keamanan untuk mencegahnya, apalagi sudah ada tanda-tanda datangnya rombongan dari Solo, Semarang, Pekalongan ke Temanggung untuk melakukan tindakan kekerasan atas protes putusan pengadilan. Kenapa ini tidak dicegat di tengah jalan? Sebelum sampai ke tempat kejadian. Membiarkan mereka sampai ke tempat kejadian dan berkumpul ribuan orang itu pasti
akan sulit sekali. Tapi kan bisa dicegah sebelumnya, kan jarak Pekalongan-Temanggung, Solo-Temanggung tidak dekat. Sepanjang puluhan dan ratusan kilometer kan bisa dilakukan pencegahan. Ini yang kami sesalkan kenapa aparat tidak bertindak semestinya sesuai tanggung jawabnya melindungi masyarakat agar tidak bertumpah darah.
Kelambanan atau kelalaian aparat keamanan dan pemerintah ini bisa diartikan juga sebagai upaya memperkeruh konflik antar kelompok masyarakat beragama ini?
Kelambanan itu bisa dituduh sebagai by omission atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi karena pembiaran dan tidak mengambil tanggung jawab. Sekali lagi kami katakan, aparat keamanan harus ambil tanggung jawab melindungi masyarakat, apalagi yang menyangkut perbedaan keyakinan ini. NU sendiri akan mensupport aparat keamanan kalau soal ini.
Jadi bagaimana seharusnya menghadapi jemaat Ahmadiyah ini?
Kewajiban kita kepada orang yang berbeda keyakinan, kalau kita merasa terpanggil, ya
dakwah atau mengajak dengan bijak. Kalau memang diperlukan semacam diskusi, dialog
atau berdebat, adu argumentasi dengan cara santun daripada orang yang kita hadapi.
Kalau sudah cara-cara itu kita lakukan dan mereka tidak mau berubah, ya sudah, kita
sudah selesai kewajibannya.
Tidak ada sedikitpun ruang bagi kita untuk memaksa mereka agar meyakini apa yang
kita yakini. Kalau kita memaksakan begitu, lagi-lagi kita telah mengklaim saya sudah
berada di jalan yang sepenuhnya benar dan anda di jalan kesesatan. Kita harus terus
memohon petunjuk kepada Allah SWT. Artinya kita harus lebih redah hati dan jauhkan
mengklaim diri kita sudah berada di jalan yang benar. Kita berdoa semoga kita bisa
dibimbing ke jalan yang benar, bukan kita yakin betul kita sudah berada di jalan yang benar.
Betulkah ada dalil yang membenarkan untuk memerangi kelompok semacam Jemaat Ahmadiyah atau aliran sesat lainnya?
Tidak ada, tidak ada dalil yang mengatakan orang bisa dibunuh karena perbedaan
keyakinan. Memang dalam Alquran ada izin untuk memerangi orang lain dengan alasan
agama, kalau memang kita diperangi. Kalau kita tidak pernah diperangi mereka, ya
kita tidak boleh memerangi mereka.
Justru kalau kita hadapi dengan kelembutan, tentu hasilnya akan lebih baik. Ini sama
ketika Rasulullah SAW akan dibunuh, tapi pedang musuhnya terjatuh. Nabi membiarkannya dan mengampuninya. Itu begitu kuatnya akhlak dan kelembutan hati yang bisa mengubah orang. Cara efektif mengubah keyakinan itu dengan akhlak yang baik, kesalehan amal, bukan dengan pedang.
Begitu juga di NU, kita akan menghadapi kelompok-kelompok ini dengan cara-cara
santun dan dakwah yang bijak. Kalau ada yang melawan dengan kekerasan, kami serahkan kepada negara yang memiliki hak dan tanggung jawab. Negara punya hak monopoli untuk menindak pelaku kekerasan demi melindungi masyarakat lainnya. Tidak boleh masyarakat menggunakan alat kekerasan.
Bagaimana solusinya agar tidak terjadi pemaksaan dan penyerangan kepada kelompok agama yang beda keyakinan?
Jangan kita pernah memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Biarkan itu
diserahkan kepada Allah yang akan memberikan hidayah. Memang dalam beberapa kasus
belakangan ini, banyak yang menunjukan keimanan dengan cara penuh kesombongan.
Padahal kesombongan ini lebih buruk dari kesesatan atau kejahatan itu sendiri serta
lebih buruk dari dosa besar lainnya. Kesombongan atas keimanan kita itu lebih
berbahaya dari yang lainnya. (zal/iy)
Kamis, 10/02/2011 18:58 WIB
Kekerasan Atas Ahmadiyah (4)
Begitu Banyak Kekerasan, Begitu Sedikit Hukuman
M. Rizal - detikNews
Jakarta - Tragedi Minggu berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten kini terus menjadi sorotan. Namun sebenarnya kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah kerap terjadi. LBH Jakarta mencatat sejak tahun 2001-2011 ada 32 kasus Ahmadiyah dengan warga.
Kasus tersebut mulai dari kasus pengusiran, pembakaran rumah dan tempat ibadah, penjarahan, penyerangan hingga menimbulkan kerugian harta benda sampai jatuhnya korban jiwa.
Pada 2001 misalnya, ada penyerangan warga terhadap pengikut Ahmadiyah di Desa Sambi Elen, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam kasus ini satu jemaat Ahmadiyah bernama Papuk Hasan (60) tewas akibat dianiaya massa. Pada 2002, ada pengusiran 87 kepala keluarga atau 350 jiwa pengikut Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur.
Pertengahan 2005, konflik warga dan pengikut Ahmadiyah terjadi di Parung, Bogor, Jawa Barat. Saat itu, ratusan warga menyerang Kampus Mubarok, yang menjadi Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu. Kasus ini pun sempat memicu hal serupa di beberapa daerah lainnya seperti Cianjur, Garut, Ketapang, Sulawesi Selatan, NTB.
Terakhir, 26 Januari 2011 lalu, massa pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Cibinong mengejar dan mensweeping jemaah Ahmadiyah yang bersaksi atas peristiwa penyerangan warga Ahmadiyah di desa Cisalada, Bogor. Tiga hari berikutnya, 29 Januari 2011, puluhan massa Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa setelah mengetahui terdapat kegiatan di Masjid An Nushrat milik jemaat Ahmadiyah di Makassar.
Mengapa kekerasan berbau SARA itu terus terjadi? Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nurkholis Hidayat mengatakan, kekerasan itu terjadi akibat terus menipisnya rasa toleransi atas perbedaan di level akar rumput. Selain itu, para elit termasuk tokoh masyarakat juga gagal mencegah masyarakat agar tidak melakukan kekerasan dan main hakim sendiri.
"Ada perbedaan mendasar di antara masing-masing keyakinan. Tetapi para elit dan tokoh masyarakat menyikapi perbedaan tidak dengan damai dan dialog. Trend menghilangnya dialog ini justru muncul di dekade ini atau sejak tahun 2000," kata Nurkholis kepada detikcom.
Nurkholis menjelaskan, jemaat Ahmadiyah sudah ada di Indonesia sejak tahun 1928. Tentu saja sejak dulu ada polemik soal Ahmadiyah yang dinilai menyimpang dari Islam. Namun dulu, era sebelum tahun 2000 semua diselesaikan lewat dialog antara Ahmadiyah dengan ormas agama lainnya. Saat itu, pemerintah juga tegas menindak pelaku kekerasan.
"Setelah debat itu mereka saling menyalami, tidak sampai pada kekerasan karena mereka toleran sebagai sesama warga negara dan tidak terus memupuk kebencian dengan menghasut para pengikutnya dan pemerintah tegas atas siapapun yang melakukan kekerasan," jelas pengacara Ahmadiyah ini.
Bila kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah kerap terjadi, lantas mengapa selalu tidak pernah bisa dicegah? Lagi-lagi yang menjadi permasalahan adalah pemerintah dan aparat keamanan melakukan pembiaran. Pemerintah dan aparat keamanan dan penegak hukumnya dinilai lamban dan tidak tanggap dalam merespon suatu temuan kondisi suatu masalah di suatu daerah.
Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, pemerintah tidak pernah serius dan masuk ke dalam persoalan sebenarnya. Bahkan ketika terjadi kekerasan itu muncul, pemerintah hanya menghukum pelaku lapangan, itu pun tidak semua kasus. Selama ini pemerintah tidak berani bertindak tegas atas hasutan untuk melakukan kekerasan.
Di sisi lain, pemerintah justru terkesan memfasilitasi praktek-praktek kekerasan itu sendiri dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang justru menempatkan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Apalagi Menteri Agama selalu berargumentasi kekerasan muncul akibat pengikut Ahmadiyah yang tidak mematuhi aturan SKB itu dan masih menjalankan ibadahnya secara terbuka. Begitu pula dengan sikap Kapolri dinilai tidak memiliki agenda yang jelas dalam menciptakan keamanan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
"Dari kasus Cikeusik, jelas polisi bisa mendeteksi akan adanya ancaman penyerangan. Jadi, bukan soal polisi bisa mencegah atau tidak. Tapi soal polisi yang politis berpihak pada kelompok-kelompok tertentu. Persoalan lain, karena polisi terlalu terpaku pada SKB, bukan konstitusi," ujar Haris Azhar pada detikcom.
Maka Kontras menilai polisi atau aparat penegak hukum gagal untuk mencegah dan menghukum para pelaku lapangan dan perencana serangan. Sejak tahun 2000 hingga sekarang, hanya sedikit sekali pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah dimejahijaukan. "Dalam beberapa kasus kepolisian justru terlibat secara tidak langsung, dengan mengawal, memfasilitasi dan bahkan secara fisik ikut merusak seperti kita lihat di kejadian Makassar," ungkap Nurkholis.
Kelambanan dan tidak tegasnya pemerintah dan aparat keamanan juga dikritik sejumlah kalangan agamawan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan.
Sudah lama Ahmadiyah (dalam hal ini Ahmadiyah Qadiyan) menjadi problem yang sensitif bagi umat Islam. Ahamdiyah dilarang karena dinilai telah menodai agama Islam seperti tercantum di dalam Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1965. Pada Januari 2008, setelah rentetan dialog panjang dengan Departemen Agama, Ahmadiyah membuat 12 butir pernyataan yang intinya mereka tidak menyimpang dari Islam.
Dalam pernyataan itu, Ahmadiyah menyatakan mengakui Muhammad sebagi nabi terakhir. Sementara Mirza Gulam Ahmad merupakan guru, pendiri dan pemimpin Ahmadiyah. Perlu diketahui selama ini Ahmadiyah Qadian disebut menyimpang karena dituduh mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah nabi Muhammad.
"Namun setelah pernyataan itu Ahmadiyah tetap melakukan pelanggaran. Itu penelitian Depag. Maka kemudian dibuat SKB 3 menteri pada Juni 2008. SKB ini sudah memiliki dua sisi, satu sisi melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, di sisi lain melarang kekerasan terhadap anggota dan pengurus Ahmadiyah" terang Amidhan.
Karena terjadi pelanggaran atas 12 butir pernyataan itu maka muncul tudingan Ahmadiyah hanya lips service saja membuat pernyataan tersebut agar bisa bertahan di Indonesia. Namun Humas Ahmadiyah Mubarik Ahmad membantahnya. "Apa untungnya bagi kami berbohong. 12 butir pernyataan itu memang kami buat dengan sebenar-benarnya," kata Mubarik.
Sementara Hasyim mengungkapkan Ahmadiyah di negara muslim manapun di dunia selalu menjadi masalah. Meski begitu Hasyim menegaskan, tindakan kekerasan, penyerangan dan penyerbuan bahkan membunuh Ahmadiyah tidak boleh dilakukan."Orang kafir pun tidak boleh diserang, kecuali mereka menyerang kita duluan. Jadi menyerang Ahmadiyah tetap dilarang. Menghadapi Ahmadiyah harus dengan dakwah, bukan kekerasan," imbuhnya.
Amidhan dan Hasyim menilai aparat keamanan lokal sejak awal memiliki informasi dan warning akan adanya penyerangan ini. Hanya saja penjagaan dianggap kurang untuk menangani areal kerumunan massa yang begitu besar dan datang dari desa lainnya.
"Selain penjagaan kurang, ada aktivis Ahmadiyah dari Jakarta dan Bekasi yang memprovokasi. Juga ada pihak lain yang memanfaatkan peristiwa ini. Tingkat budaya daerah yang rendah serta banyaknya jawara," kata Hasyim yang kini juga menjabat Presiden World Conference Religion and Peace (WCRP) ini.
Amidhan juga sangat menyayangkan aparat keamanan tidak bergerak cepat. "Aparat keamanan kan sudah tahu sejak Jumat, kenapa tidak dikerahkan kekuatan polisi yang cukup memadai atau minta bantuan Kodim setempat. Kodim memang sempat datang satu SSK tapi peristiwa sudah terjadi," katanya.
Seorang tokoh masyarakat Pandeglang, Banten, Tubagus Pathoni menyatakan masyarakat Banten memiliki adat istiadat yang keras dan fanatisme yang tinggi. Namun begitu sebelum Minggu berdarah itu tidak pernah ada kasus bentrokan akibat keyakinan agama yang berbeda. Maka Kang Bayan, begitu Tubagus biasa disapa, yakin ada ada pihak tertentu yang ingin memancing di air yang keruh itu. "Jangan memancing di air yang keruh. Selama ini tidak pernah ada bentrokan antar perbedaan keyakinan agama, walau wilayah ini banyak jawaranya, kan tidak," katanya.
Kapolri Jenderal Pol Timor Pradopo mengatakan, kekerasan Cikeusik dan Temanggung, Jawa Tengah, ada yang menggerakkan. "Terkait kejadian yang di Temanggung memang ada aktor intelektual yang menggerakkan. Baik di Temanggung maupun di Cikeusik, kita menduga kejadian tersebut terjadi karena ada pihak yang menggerakkan," katanya yang juga didampingi Menteri Agama Suryadharma Ali itu.
Dugaan ini muncul lantaran para pelaku berasal dari luar. Di Temanggung, para pelaku kerusuhan berasal dari luar Kabupaten Temanggung. Sementara di Cikeusik, pelaku berasal dari luar kecamatan, namun masih dalam satu Kabupaten Pandeglang. "Di Temanggung, pelakunya itu bukan warga Temanggung. Mereka dari Kabupaten lain di dekat Temanggung. Tapi kalau yang di Cikeusik itu di luar kecamatan tapi masih satu kabupaten. "Kita akan menangkap tidak sekadar pelaku tetapi juga aktor intelektual," ujarnya.
Bagaimana sebaiknya penyelesaian kasus Ahmadiyah agar kekerasan tidak terus berulang? Menag mengatakan ada dua penyelesaian pyakni membiarkan Ahmadiyah atau dibubarkan. Tetapi secara pribadi, Menag memberi 4 alternatif yakni Ahmadiyah membuat sekte sendiri di luar Islam, kedua, Ahmadiyah menjadi Islam yang benar, ketiga, Ahmadiyah dibubarkan, dan keempat, Ahmadiyah dibiarkan. "Yang terbaik menurut saya adalah Ahmadiyah kembali menjadi Islam yang benar," tutur Menag.
Sedangkan Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat dan Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan untuk menghentikan kekerasan berbau SARA, pemerintah harus membenahi peraturan dan kebijakan yang diskriminatif. Tentunya persoalan mendasar struktural terkait mengelola perbedaan dan memupuk toleransi menjadi PR (pekerjaan rumah) semua kalangan. Pemerintah diminta menjamin perlindungan semua pihak setiap individu tanpa kecuali.
"Presiden SBY juga harus tegas. Buat apa jadi Presiden, kalau umat dan warga negaranya justru saling curiga dan tidak harmonis. Tugas presiden adalah menjamin konstitusi dihormati dan dijalankan," ucap Haris. (zal/iy)
Kekerasan Atas Ahmadiyah (5)
PBNU: Sering Pekikkan Jihad Sesungguhnya Runtuhkan Wibawa Islam
M. Rizal - detikNews
Jakarta - Banyak pelaku kekerasan memekikkan jihad dan takbir sebelum memulai aksinya. Para pelaku kekerasan ini beranggapan mereka tengah berjihad membela agama Islam.Padahal sesungguhnya tindakan itu justru merusak kewibawaan dan meruntuhkan Islam. Tidak ada satu pun dalil yang membenarkan melakukan kekerasan atau pembunuhan karena perbedaan keyakinan.
"Orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam," kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Masdar Farid Mas'udi.
Banyak faktor yang menyebabkan makin seringnya pecah kekerasan atas nama agama. Faktor itu yakni pengaruh masuknya faham radikalisme dari Timur Tengah. Selain itu juga kelambanan penanganan pemerintah melalui alat keamanan negara dalam mencegah tindak kekerasan.
Salah satu terpenting adalah bentrokan antar faham keagamaan dan keyakinan ini justru ditimbulkan akibat dakwah atau ajakan yang tidak dilakukan secara bijaksana. Selain sering memaksakan agar orang masuk sesuai keyakinan diri sendiri, juga dipicu sikap kesombongan keimanan yang ditunjukan umat beragama itu sendiri. "Kesombongan atas keimanan ini paling berbahaya," kata Masdar.
Berikut wawancara detikcom dengan Rais Syuriah PBNU KH Masdar Farid Mas'udi di
kantornya di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat:
Bagaimana tanggapan anda soal penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten?
Pertama-tama yang ingin saya tegaskan, negara itu wajib melindungi rasa aman dari
seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan agama, keyakinan maupun suku dan
sebagainya. Itu pertama yang harus betul-betul ditunaikan tanpa tawar-menawar lagi.
Dan untuk itu, negara sudah memiliki segala persyaratan yang dibutuhkan, ada aparat
kepolisian dengan perangkatnya termasuk untuk penindakan sampai intelijennya. Kalau
polisi tidak sanggup, bisa menggunakan aparat lainya seperti militer.
Kalau perlu Nahdlatul Ulama (NU) siap membantu dan amankan segenap warga. Jangan
sampai ada kezaliman di antara warga dan sesama warga. Pertumpahan darah itu mutlak
harus dihidarkan. Satu nyawa hilang itu sudah terlalu banyak. Kalau nyawa sampai
hilang bukan karena nyawa, tapi itu sama saja menghilangkan seluruh umat manusia,
ini adalah sesuai Alquran.
Jadi membiarkan seorang warga negara terbunuh tanpa alasan pembunuhan, maka
sebenarnya sama saja membiarkan seluruh warga negara ini terbunuh. Bahkan di dalam
Alquran bukan hanya seluruh warga negara, tapi seluruh umat manusia, bila ada nyawa
seorang dibiarkan melayang tanpa alasan yang setimpal.
Berkaitan dengan soal keimanan, negara kita kan bukan negara agama, bukan negara
agama tertentu. Tetapi negara yang melindungi keyakinan segenap warganya, maka
negara tidak boleh mendiskriminasi perlindungan kepada warga negara atas pertimbangan keyakinan tertentu, itu tidak boleh. Dan, NU berada di belakang misi
negara itu.
Apakah konflik terjadi karena perbedaan keyakinan di antara warga itu sendiri?
Itu yang sebenarnya tidak boleh. Perbedaan keyakinan memang tidak mungkin dihindari,
karena agama memang teksnya terlalu mendalam dan luas. Oleh karena itu tafsir
terhadap teks agama itu suatu keniscayaan. Tidak ada suatu ajaran agama yang hanya
ada satu tafsir dan semua tafsir sebenarnya itu dilindungi. Bahwa ada yang mengaku
dirinya benar dan yang lain itu salah, itu biasa. Tetapi kalau semua mengaku benar dan semua mengaku yang lain salah, maka sesungguhnya tidak ada yang mutlak benar.
Perbedaan keyakinan tidak bisa menjadi alasan untuk memaksa keyakinan saya terhadap
orang lain. Karena yang memberikan petunjuk ke jalan benar itu hanya Allah.
Innaka laa tahdi man ahbabta walakinnallaaha yahdi man yasya, sesungguhnya kamu tidak bisa memastikan hidayah kepada orang lain, hanya Allah lah yang dapat memasukan hidayah kepada hamba-Nya yang dikehendaki (surat Al Qoshosh ayat 56).
Di dunia ini kan bukan surga dan juga bukan neraka. Jadi di sini itu ada yang baik
dan ada yang buruk, ada yang kafir, ada yang mukmin, ada yang tersesat dan ada yang
mendapatkan hidayah, inilah dunia. Jangan berpikir dunia ini adalah surga, dan semuanya harus mukmin. Dan jangan berpikir bahwa dunia ini adalah neraka, semuanya harus kafir, tidak seperti itu.
Soal surga-neraka, tersesat dan mendapatkan hidayah hanya Allah yang tahu. Bahkan
dalam Islam, kalau ada orang mengkafirkan orang lain, maka boleh jadi sesungguhnya
dia kafir. Jadi jangan gampang mengkafirkan orang. Anda boleh saja meyakini seyakin-yakinnya apa yang anggap anda imani benar, tapi jangan pada saat yang sama mengaku sayalah satu-satunya paling benar, orang lain salah atau menuding keyakinan orang lain itu salah.
Jadi bagaimana sebaiknya menghadapi jemaat Ahmadiyah?
Saya ambil contoh di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat asuhan almarhum KH
Ilyas Ruhyat (mantan Rais Am PBNU), di sekitar itu sudah berpuluh-puluh tahun ada
sebuah masjid Ahmadiyah. Pas bertetanggaan dengan pesantren, dan dari dahulu
tidak pernah ada santri yang menggruduk atau mengejek anggota jemaat Ahmadiyah.
Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, itulah yang terjadi di
lingkungan NU sebenarnya.
Bahwa anda memiliki keyakinan seperti itu dan anda bertekad menjalankannya, itu hak
anda. Memang kita memang mempunyai kewajiban moral untuk melakukan dialog, memberi tahu atau dakwah. Tetapi melakukan dakwah mengajak orang mendekatkan dengan keyakinan kita harus dengan bil hikmah atau bijaksana. Tidak ada kata paksaan dalam dakwah itu. Apabila kita sudah berdakwah atau kita sedikit bermujadalah (perdebatan). Kok masih tidak mau menerima apa keyakinan kita, ya sudah, kewajiban kita sudah gugur. Tidak ada keimanan yang bisa dipaksakan. Mungkin orang bisa dipaksa tubuhnya, tapi hatinya tidak bisa dipaksa.
Dakwah yang paling efektif itu dakwah melalui perilaku, bukan dengan kata-kata, apalagi dengan kekerasan. Kalau orang Islam memperlakukan orang lain dengan kekerasan dan kekejaman, itu sebetulnya dia sedang melecehkan secara telak agamanya sendiri. Karena orang akan bertanya, loh agamanya mulia, tapi kenapa perilaku dan akhlaknya buruk dan kejam? Jadi orang Islam yang suka dan sering memekikan suara keras dan jihad, sesungguhnya dia bukan membela Islam, tapi sedang meruntuhkan kewibawaan dan nama baik Islam.
Kawasan Cikeusik, Pandeglang, Banten walau dikenal masyarakatnya keras tapi belum pernah terjadi bentrokan antar keyakinan agama. Apakah ini ada rekayasa untuk memicu kekerasan itu sendiri?
Memang belakangan ini, sekitar sepuluh tahun belakangan terakhir ini pengaruh dari
kelompok-kelompok radikal yang dibiayai dengan uang yang banyak dari Timur Tengah
menjalar ke mana-mana. Meskipun kita ketahui dalam dunia Islam, perbedaan mazhab dan perbedaan tafsir itu sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejak zaman para sahabat itu sudah ada orang menafsiri sebuah ayat yang sama dengan tafsir yang berbeda. Jadi
sesungguhnya itu sudah alami dan memang tafsir itu bisa berbeda-beda.
Tapi tafsir yang berbeda dan diikuti dengan pemaksaan, penistaan sampai pembunuhan
baru belakangan ini lebih marak. Jadi dahulu pernah ada pada zaman klasik itu. Misalnya konflik antara lain dengan kaum Khawarij dan Syiah sampai pertumpahan darah dan lainnya. Kemudian orang berpikir bila lama-lama seperti ini bisa habis, maka wisdom atau kearifan yang muncul, bahwa tidak ada di dunia manapun yang memiliki satu tafsir, tapi banyak dan berbeda-beda.
Untuk mensikapi adanya tafsir-tafsir yang berbeda ini, ya sudah kita sama-sama
menghormatinya. Bahwa kami juga minta dihormati untuk mengikuti tafsir kami, sebagaimana anda juga kami menghormati untuk mengikuti tafsir anda. Itulah yang
paling fair (adil), toh kita sama-sama tidak tahu siapa yang sesungguhnya secara
hakiki di jalan yang benar. Kita hanya berdoa saja kepada Allah SWT untuk dibimbing
di jalan yang benar. Kita tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah sepenuhnya berada
di jalan yang benar, itu tidak boleh karena itu namanya takabur.
Kita salat setiap hari lima waktu ada 17 rakaat, kita setiap rakaat selalu baca Al Fatihah dengan doa ihdinash shiroothol mustaqiim, tunjukilah kami ke jalan yang benar. Itu artinya apa? Orang Islam setiap menjalankan ibadahnya sekalipun tidak boleh mengklaim bahwa saya sudah ada di jalan yang benar. Justru kita harus terus memohon kepada Allah untuk dibimbingnya. Justru kita harus rendah hati dan jauh untuk mengklaim saya sudah ada di jalan yang benar, apalagi sambil menuding orang lain kau sesat dengan diikuti tindakan kekerasan. Ini nauzubillah minzaliq, itu jauh dari kebenaran.
Apakah bisa dikatakan semakin banyaknya tindak kekerasan mengatasnamakan agama karena pengaruh radikalisme Timur Tengah?
Memang tindakan manusia tidak pernah bisa disederhanakan pada satu faktor saja,
selalu ada multi faktor. Taruhlah faktor faham radikalisme itu memiliki peranan,
meskipun tidak seratus persen. Tapi juga ada faktor-faktor lainnya, misalnya
faktor adanya provokator dan yang tidak kalah penting faktor kelambanan aparat
pemerintah dalam bertindak preventif. Ini sangat penting sekali.
Oleh karena itu, ini harus menjadi catatan yang sangat kuat bagi kita bahwa semua
faktor-faktor yang bersifat pemahaman tidak bisa berdiri sendiri. Kalau ada orang
yang berbeda faham, kemudian tumbuh menjadi saling curiga sampai saling membenci.
Tapi kalau aparat keamanan pemerintah bertindak tegas, tentunya tidak akan meledak
menjadi kenyataan. Itu yang kita sesalkan, kenapa aparat keamanan tidak bertindak
tepat waktu.
Sebenarnya beliau-beliau itu sudah tahu ada riak-riak seperti di Banten atau Temanggung, itu sudah diketahui dua hari sebelumnya gelagat-gelagat itu. Persoalannya kenapa tidak dilakukan pencegahan? Sebenarnya itu hak aparat keamanan untuk mencegahnya, apalagi sudah ada tanda-tanda datangnya rombongan dari Solo, Semarang, Pekalongan ke Temanggung untuk melakukan tindakan kekerasan atas protes putusan pengadilan. Kenapa ini tidak dicegat di tengah jalan? Sebelum sampai ke tempat kejadian. Membiarkan mereka sampai ke tempat kejadian dan berkumpul ribuan orang itu pasti
akan sulit sekali. Tapi kan bisa dicegah sebelumnya, kan jarak Pekalongan-Temanggung, Solo-Temanggung tidak dekat. Sepanjang puluhan dan ratusan kilometer kan bisa dilakukan pencegahan. Ini yang kami sesalkan kenapa aparat tidak bertindak semestinya sesuai tanggung jawabnya melindungi masyarakat agar tidak bertumpah darah.
Kelambanan atau kelalaian aparat keamanan dan pemerintah ini bisa diartikan juga sebagai upaya memperkeruh konflik antar kelompok masyarakat beragama ini?
Kelambanan itu bisa dituduh sebagai by omission atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi karena pembiaran dan tidak mengambil tanggung jawab. Sekali lagi kami katakan, aparat keamanan harus ambil tanggung jawab melindungi masyarakat, apalagi yang menyangkut perbedaan keyakinan ini. NU sendiri akan mensupport aparat keamanan kalau soal ini.
Jadi bagaimana seharusnya menghadapi jemaat Ahmadiyah ini?
Kewajiban kita kepada orang yang berbeda keyakinan, kalau kita merasa terpanggil, ya
dakwah atau mengajak dengan bijak. Kalau memang diperlukan semacam diskusi, dialog
atau berdebat, adu argumentasi dengan cara santun daripada orang yang kita hadapi.
Kalau sudah cara-cara itu kita lakukan dan mereka tidak mau berubah, ya sudah, kita
sudah selesai kewajibannya.
Tidak ada sedikitpun ruang bagi kita untuk memaksa mereka agar meyakini apa yang
kita yakini. Kalau kita memaksakan begitu, lagi-lagi kita telah mengklaim saya sudah
berada di jalan yang sepenuhnya benar dan anda di jalan kesesatan. Kita harus terus
memohon petunjuk kepada Allah SWT. Artinya kita harus lebih redah hati dan jauhkan
mengklaim diri kita sudah berada di jalan yang benar. Kita berdoa semoga kita bisa
dibimbing ke jalan yang benar, bukan kita yakin betul kita sudah berada di jalan yang benar.
Betulkah ada dalil yang membenarkan untuk memerangi kelompok semacam Jemaat Ahmadiyah atau aliran sesat lainnya?
Tidak ada, tidak ada dalil yang mengatakan orang bisa dibunuh karena perbedaan
keyakinan. Memang dalam Alquran ada izin untuk memerangi orang lain dengan alasan
agama, kalau memang kita diperangi. Kalau kita tidak pernah diperangi mereka, ya
kita tidak boleh memerangi mereka.
Justru kalau kita hadapi dengan kelembutan, tentu hasilnya akan lebih baik. Ini sama
ketika Rasulullah SAW akan dibunuh, tapi pedang musuhnya terjatuh. Nabi membiarkannya dan mengampuninya. Itu begitu kuatnya akhlak dan kelembutan hati yang bisa mengubah orang. Cara efektif mengubah keyakinan itu dengan akhlak yang baik, kesalehan amal, bukan dengan pedang.
Begitu juga di NU, kita akan menghadapi kelompok-kelompok ini dengan cara-cara
santun dan dakwah yang bijak. Kalau ada yang melawan dengan kekerasan, kami serahkan kepada negara yang memiliki hak dan tanggung jawab. Negara punya hak monopoli untuk menindak pelaku kekerasan demi melindungi masyarakat lainnya. Tidak boleh masyarakat menggunakan alat kekerasan.
Bagaimana solusinya agar tidak terjadi pemaksaan dan penyerangan kepada kelompok agama yang beda keyakinan?
Jangan kita pernah memaksakan keyakinan kita kepada orang lain. Biarkan itu
diserahkan kepada Allah yang akan memberikan hidayah. Memang dalam beberapa kasus
belakangan ini, banyak yang menunjukan keimanan dengan cara penuh kesombongan.
Padahal kesombongan ini lebih buruk dari kesesatan atau kejahatan itu sendiri serta
lebih buruk dari dosa besar lainnya. Kesombongan atas keimanan kita itu lebih
berbahaya dari yang lainnya. (zal/iy)
Kamis, 10/02/2011 18:58 WIB
Kekerasan Atas Ahmadiyah (4)
Begitu Banyak Kekerasan, Begitu Sedikit Hukuman
M. Rizal - detikNews
Jakarta - Tragedi Minggu berdarah di Cikeusik, Pandeglang, Banten kini terus menjadi sorotan. Namun sebenarnya kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah kerap terjadi. LBH Jakarta mencatat sejak tahun 2001-2011 ada 32 kasus Ahmadiyah dengan warga.
Kasus tersebut mulai dari kasus pengusiran, pembakaran rumah dan tempat ibadah, penjarahan, penyerangan hingga menimbulkan kerugian harta benda sampai jatuhnya korban jiwa.
Pada 2001 misalnya, ada penyerangan warga terhadap pengikut Ahmadiyah di Desa Sambi Elen, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam kasus ini satu jemaat Ahmadiyah bernama Papuk Hasan (60) tewas akibat dianiaya massa. Pada 2002, ada pengusiran 87 kepala keluarga atau 350 jiwa pengikut Ahmadiyah di Pancor, Lombok Timur.
Pertengahan 2005, konflik warga dan pengikut Ahmadiyah terjadi di Parung, Bogor, Jawa Barat. Saat itu, ratusan warga menyerang Kampus Mubarok, yang menjadi Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu. Kasus ini pun sempat memicu hal serupa di beberapa daerah lainnya seperti Cianjur, Garut, Ketapang, Sulawesi Selatan, NTB.
Terakhir, 26 Januari 2011 lalu, massa pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Cibinong mengejar dan mensweeping jemaah Ahmadiyah yang bersaksi atas peristiwa penyerangan warga Ahmadiyah di desa Cisalada, Bogor. Tiga hari berikutnya, 29 Januari 2011, puluhan massa Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa setelah mengetahui terdapat kegiatan di Masjid An Nushrat milik jemaat Ahmadiyah di Makassar.
Mengapa kekerasan berbau SARA itu terus terjadi? Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nurkholis Hidayat mengatakan, kekerasan itu terjadi akibat terus menipisnya rasa toleransi atas perbedaan di level akar rumput. Selain itu, para elit termasuk tokoh masyarakat juga gagal mencegah masyarakat agar tidak melakukan kekerasan dan main hakim sendiri.
"Ada perbedaan mendasar di antara masing-masing keyakinan. Tetapi para elit dan tokoh masyarakat menyikapi perbedaan tidak dengan damai dan dialog. Trend menghilangnya dialog ini justru muncul di dekade ini atau sejak tahun 2000," kata Nurkholis kepada detikcom.
Nurkholis menjelaskan, jemaat Ahmadiyah sudah ada di Indonesia sejak tahun 1928. Tentu saja sejak dulu ada polemik soal Ahmadiyah yang dinilai menyimpang dari Islam. Namun dulu, era sebelum tahun 2000 semua diselesaikan lewat dialog antara Ahmadiyah dengan ormas agama lainnya. Saat itu, pemerintah juga tegas menindak pelaku kekerasan.
"Setelah debat itu mereka saling menyalami, tidak sampai pada kekerasan karena mereka toleran sebagai sesama warga negara dan tidak terus memupuk kebencian dengan menghasut para pengikutnya dan pemerintah tegas atas siapapun yang melakukan kekerasan," jelas pengacara Ahmadiyah ini.
Bila kekerasan terhadap Ahmadiyah sudah kerap terjadi, lantas mengapa selalu tidak pernah bisa dicegah? Lagi-lagi yang menjadi permasalahan adalah pemerintah dan aparat keamanan melakukan pembiaran. Pemerintah dan aparat keamanan dan penegak hukumnya dinilai lamban dan tidak tanggap dalam merespon suatu temuan kondisi suatu masalah di suatu daerah.
Koordinator Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, pemerintah tidak pernah serius dan masuk ke dalam persoalan sebenarnya. Bahkan ketika terjadi kekerasan itu muncul, pemerintah hanya menghukum pelaku lapangan, itu pun tidak semua kasus. Selama ini pemerintah tidak berani bertindak tegas atas hasutan untuk melakukan kekerasan.
Di sisi lain, pemerintah justru terkesan memfasilitasi praktek-praktek kekerasan itu sendiri dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) yang justru menempatkan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Apalagi Menteri Agama selalu berargumentasi kekerasan muncul akibat pengikut Ahmadiyah yang tidak mematuhi aturan SKB itu dan masih menjalankan ibadahnya secara terbuka. Begitu pula dengan sikap Kapolri dinilai tidak memiliki agenda yang jelas dalam menciptakan keamanan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
"Dari kasus Cikeusik, jelas polisi bisa mendeteksi akan adanya ancaman penyerangan. Jadi, bukan soal polisi bisa mencegah atau tidak. Tapi soal polisi yang politis berpihak pada kelompok-kelompok tertentu. Persoalan lain, karena polisi terlalu terpaku pada SKB, bukan konstitusi," ujar Haris Azhar pada detikcom.
Maka Kontras menilai polisi atau aparat penegak hukum gagal untuk mencegah dan menghukum para pelaku lapangan dan perencana serangan. Sejak tahun 2000 hingga sekarang, hanya sedikit sekali pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah dimejahijaukan. "Dalam beberapa kasus kepolisian justru terlibat secara tidak langsung, dengan mengawal, memfasilitasi dan bahkan secara fisik ikut merusak seperti kita lihat di kejadian Makassar," ungkap Nurkholis.
Kelambanan dan tidak tegasnya pemerintah dan aparat keamanan juga dikritik sejumlah kalangan agamawan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan.
Sudah lama Ahmadiyah (dalam hal ini Ahmadiyah Qadiyan) menjadi problem yang sensitif bagi umat Islam. Ahamdiyah dilarang karena dinilai telah menodai agama Islam seperti tercantum di dalam Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1965. Pada Januari 2008, setelah rentetan dialog panjang dengan Departemen Agama, Ahmadiyah membuat 12 butir pernyataan yang intinya mereka tidak menyimpang dari Islam.
Dalam pernyataan itu, Ahmadiyah menyatakan mengakui Muhammad sebagi nabi terakhir. Sementara Mirza Gulam Ahmad merupakan guru, pendiri dan pemimpin Ahmadiyah. Perlu diketahui selama ini Ahmadiyah Qadian disebut menyimpang karena dituduh mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah nabi Muhammad.
"Namun setelah pernyataan itu Ahmadiyah tetap melakukan pelanggaran. Itu penelitian Depag. Maka kemudian dibuat SKB 3 menteri pada Juni 2008. SKB ini sudah memiliki dua sisi, satu sisi melarang Ahmadiyah menyebarkan ajarannya, di sisi lain melarang kekerasan terhadap anggota dan pengurus Ahmadiyah" terang Amidhan.
Karena terjadi pelanggaran atas 12 butir pernyataan itu maka muncul tudingan Ahmadiyah hanya lips service saja membuat pernyataan tersebut agar bisa bertahan di Indonesia. Namun Humas Ahmadiyah Mubarik Ahmad membantahnya. "Apa untungnya bagi kami berbohong. 12 butir pernyataan itu memang kami buat dengan sebenar-benarnya," kata Mubarik.
Sementara Hasyim mengungkapkan Ahmadiyah di negara muslim manapun di dunia selalu menjadi masalah. Meski begitu Hasyim menegaskan, tindakan kekerasan, penyerangan dan penyerbuan bahkan membunuh Ahmadiyah tidak boleh dilakukan."Orang kafir pun tidak boleh diserang, kecuali mereka menyerang kita duluan. Jadi menyerang Ahmadiyah tetap dilarang. Menghadapi Ahmadiyah harus dengan dakwah, bukan kekerasan," imbuhnya.
Amidhan dan Hasyim menilai aparat keamanan lokal sejak awal memiliki informasi dan warning akan adanya penyerangan ini. Hanya saja penjagaan dianggap kurang untuk menangani areal kerumunan massa yang begitu besar dan datang dari desa lainnya.
"Selain penjagaan kurang, ada aktivis Ahmadiyah dari Jakarta dan Bekasi yang memprovokasi. Juga ada pihak lain yang memanfaatkan peristiwa ini. Tingkat budaya daerah yang rendah serta banyaknya jawara," kata Hasyim yang kini juga menjabat Presiden World Conference Religion and Peace (WCRP) ini.
Amidhan juga sangat menyayangkan aparat keamanan tidak bergerak cepat. "Aparat keamanan kan sudah tahu sejak Jumat, kenapa tidak dikerahkan kekuatan polisi yang cukup memadai atau minta bantuan Kodim setempat. Kodim memang sempat datang satu SSK tapi peristiwa sudah terjadi," katanya.
Seorang tokoh masyarakat Pandeglang, Banten, Tubagus Pathoni menyatakan masyarakat Banten memiliki adat istiadat yang keras dan fanatisme yang tinggi. Namun begitu sebelum Minggu berdarah itu tidak pernah ada kasus bentrokan akibat keyakinan agama yang berbeda. Maka Kang Bayan, begitu Tubagus biasa disapa, yakin ada ada pihak tertentu yang ingin memancing di air yang keruh itu. "Jangan memancing di air yang keruh. Selama ini tidak pernah ada bentrokan antar perbedaan keyakinan agama, walau wilayah ini banyak jawaranya, kan tidak," katanya.
Kapolri Jenderal Pol Timor Pradopo mengatakan, kekerasan Cikeusik dan Temanggung, Jawa Tengah, ada yang menggerakkan. "Terkait kejadian yang di Temanggung memang ada aktor intelektual yang menggerakkan. Baik di Temanggung maupun di Cikeusik, kita menduga kejadian tersebut terjadi karena ada pihak yang menggerakkan," katanya yang juga didampingi Menteri Agama Suryadharma Ali itu.
Dugaan ini muncul lantaran para pelaku berasal dari luar. Di Temanggung, para pelaku kerusuhan berasal dari luar Kabupaten Temanggung. Sementara di Cikeusik, pelaku berasal dari luar kecamatan, namun masih dalam satu Kabupaten Pandeglang. "Di Temanggung, pelakunya itu bukan warga Temanggung. Mereka dari Kabupaten lain di dekat Temanggung. Tapi kalau yang di Cikeusik itu di luar kecamatan tapi masih satu kabupaten. "Kita akan menangkap tidak sekadar pelaku tetapi juga aktor intelektual," ujarnya.
Bagaimana sebaiknya penyelesaian kasus Ahmadiyah agar kekerasan tidak terus berulang? Menag mengatakan ada dua penyelesaian pyakni membiarkan Ahmadiyah atau dibubarkan. Tetapi secara pribadi, Menag memberi 4 alternatif yakni Ahmadiyah membuat sekte sendiri di luar Islam, kedua, Ahmadiyah menjadi Islam yang benar, ketiga, Ahmadiyah dibubarkan, dan keempat, Ahmadiyah dibiarkan. "Yang terbaik menurut saya adalah Ahmadiyah kembali menjadi Islam yang benar," tutur Menag.
Sedangkan Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat dan Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan untuk menghentikan kekerasan berbau SARA, pemerintah harus membenahi peraturan dan kebijakan yang diskriminatif. Tentunya persoalan mendasar struktural terkait mengelola perbedaan dan memupuk toleransi menjadi PR (pekerjaan rumah) semua kalangan. Pemerintah diminta menjamin perlindungan semua pihak setiap individu tanpa kecuali.
"Presiden SBY juga harus tegas. Buat apa jadi Presiden, kalau umat dan warga negaranya justru saling curiga dan tidak harmonis. Tugas presiden adalah menjamin konstitusi dihormati dan dijalankan," ucap Haris. (zal/iy)
Komentar
Posting Komentar