jangan LENGAH (PENGALIHAN PERHATIAN) (2)

Kamis, 10/02/2011 15:58 WIB
Kekerasan Atas Ahmadiyah (3)
Rahasia Pembagian Amplop Usai Amuk Massa
M. Rizal,Deden Gunawan - detikNews






Jakarta - Rumah Suparman kini porak-poranda sudah. Seluruh atap rumah yang dibeli dengan harga Rp 115 juta itu roboh. Bagian dalamya pun acak-acakan. Rumah di RT 02/ RW 02, Kampung Cipendeuy, Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten itulah saksi pembantaian keji yang menimpa pengikut Ahmadiyah Cikeusik yang dipimpin Suparman.

Minggu (6/2/2011), sekitar 1.500 orang mengamuk di rumah yang baru 7 bulan ditempati Suparman tersebut. Seribuan orang itu bertindak begitu beringas. Massa yang mengenakan ciri pita biru dan hijau itu tidak hanya merusak rumah. Tapi juga menangkapi dan menghajar Ahmadi, sebutan untuk pengikut Ahmadiyah.

Dari video yang beredar, Ahmadi yang tertangkap ditelanjangi bahkan yang sudah tidak berdaya itu masih diinjak-injak dan dipukuli. "Saya dibacok pakai golok, digebuki pakai batu bata, batu koral. Punggung serasa remuk," kata Ferdiaz, Ahmadi yang menderita luka bacok di punggung dalam kesaksiannya yang dirilis pengacara Ahmadiyah, Nurkholis Hidayat.

Mengapa massa yang membantai Ahmadiyah begitu banyak dan beringas? Pengacara Ahmadiyah yang merupakan gabungan dari Kontras, LBH Jakarta YLBHI dan ILRC melihat ada pola perencanaan yang sistematik dalam pembantaian terhadap Ahmadiyah tersebut. Sementara temuan sementara Kontras, ada mobilisasi massa dengan dugaan bayaran uang dalam insiden yang menewaskan 3 orang tersebut. "Ini temuan awal yang masih harus diverifikasi lagi," kata Koordinator Kontras Haris Azhar.

Soal dugaan adanya mobilisasi massa juga dikatakan Yudi Ahmad, anggota Ahmadiyah. Yudi yang ikut datang ke Cikeusik mengungkapkan, saat peritiwa bentrokan terjadi dirinya sempat meloloskan diri dari amukan massa. Yudi mengaku bisa lolos setelah lari dan bersembunyi di pinggir sungai yang dipenuhi semak belukar.

Setelah keluar dari persembunyian, Yudi sempat beristirahat di sebuah gubuk yang terletak di tengah sawah. "Tidak lama kemudian saya dibawa oleh seorang athfal bernama arif ke rumahnya yang letak rumahnya persis di seberang tempat kejadian," jelas Yudi.

Dari rumah itu, ungkap Yudi, dirinya melihat orang-orang yang menyerang baru pulang dari rumah Lurah Umbulan (Johar) sambil membawa amplop coklat. Sambil pulang massa terlihat bersalaman dengan polisi yang ada di sana sambil tersenyum-senyum.

Indikasi lainnya, lanjut Yudi, keesokan harinya, saat dia pulang ke Serang dengan angkutan umum, beberapa penumpang terdengar sedang membicarakan peristiwa penyerangan tersebut. Bahkan kondektur angkutan tersebut menyatakan pernah diajak untuk menyerang jamaah Ahmadiyah. Namun kondektur tersebut tidak mau.

Sementara seorang penumpang yang duduk tepat di depan Yudi juga terihat asyik ngobrol soal kejadian itu. "Orang yang duduk di depan saya malah bilang, 'mukul dapat satu juta," ujar Yudi menirukan omongan penumpang yang duduk di depannya itu.

Nurkholis menyatakan seluruh data dugaan soal massa bayaran dan keterlibatan polisi tersebut diserahkan ke Komnas HAM. "Seluruh data itu kami serahkan ke Komnas HAM untuk dilanjutkan penyelidikan yang independen. Polisi terlalu banyak menyampaikan informasi yang sepenggal dan tidak utuh," kata Direktur LBH Jakarta itu.

Namun ketika dikonfirmasi Lurah Umbulan Johar membantah mengumpulkan massa penyerang Ahmadiyah dan memberikan amplop coklat tersebut. "Tidak ada itu. Saya tidak mengenal massa yang menyerang. Sebab 100 persen warga luar," jelas johar.

Kabid Humas Polda Banten Gunawan Setiadi juga memberikan bantahan. Menurutnya, tidak benar polisi sengaja membiarkan aksi anarkis tersebut. Apalagi membiarkan karena dibayar. "Kami sudah mengantisipasi sebelum kejadian. Tapi karena jumlah massa yang datang di luar perkiraan kami tidak bisa berbuat banyak," kilahnya.

Namun seorang petugas dari Korem 064 Maulana Yusuf, Banten, yang ditemui detikcom di Cikeusik, tidak menampik adanya dugaaan mobilisasi massa. Sebab sebelum kejadian telah beredar SMS dan ajakan dari mulut ke mulut soal rencana aksi. Hanya saja,
petugas tersebut mengaku masih mencari tahu siapa di balik penyebaran SMS yang mengatasnamakan Gerakan Muslim Cikeusik (GMC) tersebut.

"Kalau nama organisasi itu bisa aja dibentuk dadakan dan bisa berubah-ubah. Tapi orang-orangnya itu-itu juga," jelas petugas yang enggan disebutkan namanya itu.

Sementara aktivis HAM Usman Hamid juga yakin massa penyerang Ahmadiyah memang dimobilisasi. Pita biru dan pita hijau menjadi penanda penyerang jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dipastikan memiliki simbol tertentu. Karena itu ada dugaan kalau massa ada yang mengendalikan. "Dari tipologi pelaku dan metode mobilisasi massa jelas. Ada aktor intelektual," kata Usman.

Dalam video yang beredar, massa penyerang memakai pita biru dan hijau. Ditengarai pita biru sebagai anggota biasa dan pita hijau sebagai tim inti. Namun Usman belum bisa memastikan, dia mengaku masih melakukan analisa.

Ketua MUI Cikeusik KH Amir memberi kesaksian Suparman sudah lama berkonflik dengan sejumlah warga Cikeusik. Sebelumnya Suparman selama beberapa tahun tinggal di komplek Perguruan Islam Al-Mubarok, Bogor, yang merupakan pusat Ahmadiyah.

Kepergian Suparman ke Bogor merupakan buntut konflik antara dirinya dengan sejumlah warga Cikeusik yang tidak senang dengan penyebaran ajaran Ahmadiyah di wilayah tersebut. "Sebelumnya ia tinggal di rumah orang tuanya yang lokasinya di seberang rumahnya yang sekarang," jelas KH Amir yang juga bekas guru ngaji Suparman.

Setelah beberapa tahun menghilang Suparman kemudian datang lagi ke Desa Umbulan dan membeli rumah milik Wasmad. Bangunan seluas 7 x 9 meter dengan halaman yang cukup luas tersebut, berdasarkan informasi warga setempat dibeli dengan harga Rp 115 juta. Proses pembelian dilakukan di sebuah kantor notaris yang beralamat di Pandeglang.

"Rumah yang ditempati Suparman saat ini merupakan milik Ahmadiyah Pusat. Itu yang dikatakan Suparman kepada kami. Dan mungkin karena alasan itu orang-orang Ahmadiyah dari pusat (Minggu, saat terjadinya insiden) datang ke sini untuk mempertahankan rumah itu," jelas Amir. (ddg/iy)

Bagaimana Nasib Ahmadiyah
Rabu, 09 Februari 2011 | 15:15 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga hari setelah kasus penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten, Jaksa Basrief Arief membahas Surat keputusan Bersama Tiga Menteri dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Timur Pradopo, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Agama Suryadharma Ali di Kementerian Agama.

"Hari ini ada rapat," kata Basrief di Kejaksaan Agung, siang ini. Namun Basrief belum mau mengungkap apa materi yang akan dibahas dalam pertemuan. "Bisa saja evaluasi. Nanti saya mau rapat ini," ujarnya.

Pada Ahad lalu, seribuan orang menyerang anggota Jemaat Ahmadiyah di Desa Ciumbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten. Akibatnya, tiga anggota Jemaat Ahmadiyah tewas.

Insiden tersebut memicu protes dari Aliansi Masyarakat Sipil. Mereka mendesak pemerintah mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

Keputusan bersama tiga menteri itu terbit pada 2008 atau tiga tahun setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah merupakan ajaran sesat dan telah keluar dari Islam. Keputusan itu tidak membubarkan Ahmadiyah, tapi melarang penyebaran dan pelaksanaan ajaran Ahmadiyah sepanjang mereka mengaku bagian dari penganut agama Islam.

Keputusan tersebut juga memerintah semua warga negara tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut Ahmadiyah.

Menurut pengamat intelijen dari Universitas Indonesia Andi Widjajanto, kasus penyerangan warga Ahmadiyah di Cikeusik disebabkan pemerintah lambat merespons permintaan terhadap status Ahmadiyah. Akibatnya, warga mengambil jalan pintas dengan melakukan penyerangan. “Sebenarnya itu kan hanya masalah status,” ujarnya, Rabu (9/2).

Karena itu, Andi meminta pemerintah bertindak tegas menetapkan status Ahmadiyah. Upaya tersebut untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa yang akan datang. “Status Ahmadiyah ini bagaimana? Harus jelas,” kata Andi.

Menurut dia, kasus penyerangan warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang menewaskan tiga orang tersebut disebabkan lambannya pemerintah merespons permintaan masyarakat terhadap status Ahmadiyah. Akibatnya, warga mengambil jalan pintas dengan melakukan penyerangan. “Sebenarnya itu kan hanya masalah status,” ujarnya.

Kasus dengan motif sama seperti Ahmadiyah, lanjut Andi, memiliki kecenderungan bakal terulang di masa yang akan datang. Statusnya yang masih mengklaim Islam itu kerap menjadi bumerang bagi penganutnya. Beberapa kejadian penyerangan Ahmadiyah selama ini lebih disebabkan karena faktor status tersebut. “Konflik Ahmadiyah sudah berakar rumpun,” ujarnya.

Bukan hanya itu, terbitnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang mengatur Ahmadiyah belum bisa meredam amarah warga (muslim). Warga berharap agar status Ahmadiyah bisa segera ditetapkan pemerintah dalam waktu dekat, bila tidak ingin kasus serupa kembali terulang di masa yang akan datang. “Itu harus segera diambil keputusan oleh pemerintah,” ujarnya.

Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan ada empat hal yang bisa menjadi solusi kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah. "Tapi ini pendapat pribadi bukan pemerintah," kata Suryadharma Ali kepada wartawan di kantor Gubernur Banten, Selasa (8/2).

Suryadharma menjelaskan empat hal itu adalah, menjadikan Ahmadiyah sebagai sekte sendiri dan tidak menggunakan atribut Islam dan Al Quran. Kedua, meminta anggota Ahmadiyah kembali ke Islam yang benar.

Lalu ketiga, lanjut Suryadharma, membiarkan keberadaan Ahmadiyah. Dan keempat, Ahmadiyah dibubarkan. "Kalau saya lebih memilih Ahmadiyah kembali ke Islam yang benar," ujarnya. Menurut catatan Suryadharma, saat ini sudah ada 26 keluarga atau sekitar 50 orang Ahmadiyah kembali ke Islam yang benar.

ISMA SAVITRI| JAYADI SUPRIADIN| WASI'UL ULUM| KODRAT

Tragedi Cikeusik Diduga Kuat By Design
RABU, 09 FEBRUARI 2011 | 06:45 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta -Peristiwa penyerangan rumah Suparman di Cikeusik, Pandeglang, Banten hingga mengakibatkan jatuhnya tiga korban jiwa warga Ahmadiyah disinyalir bukan aksi spontanitas. Namun by design karena ada indikasi aparat melakukan pembiaran sewaktu aksi kekerasan dan pembantaian berlangsung.

" Kami mengingatkan, pemerintah dan polisi tidak menyederhanakan masalah Ahmadiyah semata soal SKB" kata Wakil Ketua Setara Institut Bonar Tigor Naipospos dalam siaran persnya yang diterima Tempo, Selasa 8 Februari 2011 malam.

Ahad kemarin, sejumlah jemaat Ahmadiyah di Kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten diserang oleh kelompok tak dikenal. Penyerangan ini memakan 3 korban jiwa dan 5 lainnya luka-luka. Selain itu sebuah tempat ibadah dan 2 rumah warga mengalami kerusakan. Empat kendaraan roda empat pun dibakar oleh para penyerang.

Kelompok penyerang diperkirakan berjumlah lebih dari seribu orang. Penyerangan dilakukan ketika sejumlah jemaat Ahmadiyah hendak menggelar pertemuan di salah seorang warga Cikeusik, Suparman.

Polisi sendiri mengaku, sudah mengetahui akan adanya kejadian ini sejak Jumat. Polisi mengaku sudah melakukan langkah antisipatif dengan meminta jemaat Ahmadiyah membatalkan rencana pertemuan itu. Namun, jemaat Ahmadiyah menolaknya karena menilai bahwa perkumpulan itu tak berbahaya. Polisi pun mengizinkan pertemuan itu berjalan dengan pengamanan minim.

Menurut Setara, kejadian Cikeusik bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia. Pembiaran yang dilakukan aparat kepolisian dan dugaan by design yang melibatkan aktor intelektual dan aktor negara menuntut penyidikan serius Komnas Ham secara pro justicia. "Karena nyata-nyata penyerangan ini terorganisir dan kuat," ujarnya.

Setara menegaskan, tidak bisa pembantaian dipandang sebagai kriminal biasa yang dilakukan subyek warga negara. Pembiaran dan dugaan by design dari pembantaian harus diusut dan dimintai pertanggungjawaban karena insiden Cikeusik adalah kejahatan seri

Karenanya, Setara mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk turun tangan dalam menuntaskan kasus Cikeusik. Jika Presiden turun tangan, maka penyelidikan kasus akan lebih cepat. "Untuk memudahkan penyidikan, presiden harus memerintahkan Kapolri untuk membebastugaskan para pejabat di Polda Banten, Polres Pandeglang dan Polsek Cikeusik," ujar Bonar.

FEBRIYAN | WDA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019