saat komunikasi saat KONTROVERSI

Sisi Gelap Komunikasi
Sabtu, 13 Maret 2010 | 02:35 WIB

Triyono Lukmantoro

Terorisme merupakan persoalan komunikasi. Itulah problem yang sering kali diabaikan. Acapkali terorisme dilihat sebagai aksi kekerasan oleh sebuah organisasi yang didasarkan pada kekeliruan memahami ajaran keagamaan. Di situlah hujatan tajam pada kelompok religi tertentu kemudian berhamburan.

Memang, tak terlalu meleset jika kecaman selalu digulirkan sebab kelompok teroris telah menjalankan kebiadaban yang menewaskan banyak korban. Namun, yang dilupakan, mengapa organisasi radikal semacam itu tak gampang dikalahkan. Pembahasan tentang terorisme juga bermuara pada sorotan perubahan strategi yang dilaksanakan para pelaku.

Jika awalnya terorisme dikenali melalui aksi-aksi pengeboman atau bom bunuh diri mematikan, saat ini ada sinyalemen tindakan terorisme dioperasikan dengan mekanisme pemberontakan. Analisis itu memang tak terlampau berlebihan karena mampu mendorong aparat keamanan negara bertindak antisipatif. Hanya saja, fokus perhatian yang sedemikian ditonjolkan adalah terorisme seakan-akan hanya bisa diatasi dengan cara-cara represif.

Masalah lain adalah ketokohan para pelaku terorisme. Sejumlah ”nama besar”, seperti Dr Azahari, Noordin M Top, Dulmatin, atau siapa saja tokoh teroris yang berhasil ditangkap atau ditembak mati polisi pasti disambut dengan kemenangan histeris. Prestasi polisi itu, tentu saja, harus diapresiasi. Namun, di balik sorak kegembiraan itu tersembul pula pemujaan tentang kehebatan para teroris, misalnya, pengungkapan rekam jejak para teroris sebagai figur-figur yang pernah bertempur di Afganistan sampai kemampuan mereka dalam merencanakan peledakan.

Sorotan terhadap terorisme, akhirnya, berujung pada perputaran sikap ”membenci serta merindukan”. Mereka dibenci karena menggulirkan kehancuran dan ketakutan, dirindukan karena tindakan dan rencana jahat mereka mampu menimbulkan decak kekaguman. Dalam sirkulasi sikap ambigu itu, mereka jadi sejenis gerombolan antagonis yang dihadirkan dalam panggung melodrama yang digelar negara. Mereka digambarkan sebagai penjahat yang mengacaukan tatanan kehidupan yang berhasil diatasi aparat keamanan negara sebagai protagonis.

Patologi komunikatif

Filosof Jurgen Habermas melihat terorisme sebagai persoalan komunikasi. Menurut Habermas (dalam Giovanna Borradori, Philosophy in a Time of Terror: Dialogues with Jurgen Habermas and Jacques Derrida, 2003), merebaknya terorisme merupakan fenomena kegagalan komunikasi. Terorisme begitu merajalela akibat dialog menemui kebuntuan. Kekerasan, sebagai patologi komunikatif, jadi penengah yang mengaitkan fundamentalisme dan terorisme. Spiral kekerasan mulai ketika spiral komunikasi yang terdistorsi mengarah pada spiral ketidakpercayaan yang berjalan resiprokal.

Problem yang ditegaskan Habermas, terorisme bukan persoalan budaya ataupun ideologi, melainkan ekonomi. Ketimpangan akibat globalisasi mengakibatkan dunia terbelah: yang berdaya dan tak berdaya. Korban globalisasi makin mengalami pemiskinan. Dialog buntu diatasi dengan kekerasan. Ini dinilai keniscayaan. Terorisme adalah jawaban terhadap telinga penguasa yang tak sudi mendengarkan aspirasi yang terpinggirkan.

Selama ini, pelaku terorisme sengaja mengemas aksi kekerasan mereka dalam selubung agama, untuk menarik simpati. Atau, melalui bungkus religi, mereka mendapatkan justifikasi memadai. Seakan- akan tindakan yang dijalankan untuk membela ajaran agama. Padahal, agama dalam konteks itu sekadar jadi instrumen kekerasan sehingga teroris memperlakukan sesama manusia bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana. Manusia diposisikan sebagai perkakas yang dapat digilas oleh tindakan kekerasan.

Terorisme dapat dihindarkan—mengikuti pemikiran Habermas—jika semua pihak yang terlibat dalam globalisasi ekonomi punya kompetensi komunikatif. Di sini, partisipan seharusnya menjalankan tiga langkah.

Pertama, klaim kebenaran dikemukakan, baik oleh pihak pembicara dan pendengar. Kedua, pendengar mampu memahami dan menerima maksud pembicara. Ketiga, pembicara menyesuaikan diri dengan pandangan yang dikemukakan pendengar. Namun, itu tak terjadi karena ketidakjujuran dan ketidaktulusan merebak. Dari situ, kekerasan terus berkembang membentuk spiral tanpa berkesudahan. Kekerasan dibalas kekerasan.

Habermas tampaknya terlalu optimistis dengan tindak komunikatif. Komunikasi yang diandaikannya itu hanya bisa berhasil dalam dunia kehidupan (life-world) yang terlepas dari sistem yang ditentukan negara atau pasar. Dalam sistem yang sepenuhnya dikendalikan kekuatan birokratis dan kuasa permodalan, tindakan komunikatif mengalami kehancuran.

Ruang komunikatif yang terbuka, spontan, dan sederajat menghilang. Kekuatan yang tersisa: siapa mengendalikan kekuasaan dan siapa tidak mematuhi kekuasaan. Teroris ditempatkan negara (dan pasar) sebagai si devian (penyimpang) yang harus disingkirkan. Bukan saling pemahaman yang mampu dicapai, melainkan destruksi yang saling berbalasan.

Terorisme, sebagai bukti kegagalan komunikasi akibat pemberlakuan sistem represif, akhirnya justru dilihat sebagai komunikasi sebab, ungkap A Schmid (sebagaimana diuraikan Mike Larsen, Talking About Terrorism, 2006), negara begitu kuat sehingga mustahil bagi musuhnya untuk melakukan penghancuran yang berarti. Terorisme merupakan langkah simbolis dan aksi provokatif yang menuntut respons negara. Terorisme sebagai komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan relasi teroris dengan media massa. Teroris dapat keuntungan karena aksi brutal mereka diliput media. Sebalik- nya, media untung karena dogma yang dianut ”kabar buruk adalah berita bagus” atau ”makin berdarah-darah, makin meriah”.

Tentu saja, terorisme sebagai komunikasi tak mampu mencapai tujuan yang dikehendaki bersama. Kalau komunikasi yang baik mengarah pada pemahaman, komunikasi dengan teror melakukan pengkhianatan terhadapnya sebab teroris tak menunjukkan pesan jelas yang hendak disampaikan.

Komunikasi yang dijalankan dengan penciptaan ketakutan dan kehancuran, hanya memainkan semiotika (permainan tanda) kekerasan. Pihak-pihak dan aneka bangunan yang dimaknai teroris sebagai peradaban kaum sesat sengaja dihancurkan untuk mendapat ekstasi destruksi.

Para teroris yang berdalih melakukan komunikasi dengan teknik penghancuran makin menegaskan bahwa mereka adalah para penghuni sisi gelap komunikasi. Tiada maksud terpuji, kecuali merayakan kekerasan itu sendiri.

Dalam keadaan ini, gagasan Habermas patut direnungkan. Komunikasi hanya bisa dilakukan kalau semua pihak berkomitmen pada kejujuran, ketulusan, dan kejelasan dalam menyampaikan gagasan. Keinginan itu bisa diwujudkan jika terorisme tidak diperlakukan sebagai komunikasi, melainkan sebagai kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Dialog sejati adalah aksi konkret melawan terorisme yang bersembunyi di sisi gelap komunikasi.

Triyono Lukmantoro Dosen FISIP Universitas Diponegoro
Dari Pemalang ke Pamulang


IA datang dari keluarga yang retak. Bapaknya pergi dari rumah untuk menikah lagi, lalu ibunya mendapat suami baru. Bersama saudara-saudarinya, Dulmatin kala itu lima tahun, mengungsi ke Kampung Arab, Pemalang Kota. ”Mereka memilih tinggal dengan kakeknya, Raden Rahmat Haji Sovie,” kata Abu Bakar, paman Dulmatin.

Kakek Dulmatin memiliki banyak lahan pertanian, perkebunan, dan sejumlah gedung pertunjukan di Kabupaten Pemalang. Abu Bakar, yang ditemui di bekas rumah keluarga Dulmatin di Peta rukan, Pemalang, bercerita, hanya pada saat liburan sekolah Dulmatin ali as Joko Pitono bertemu bapak dan ibunya. Kadang dia mengunjungi ayahnya, Usman Sofi , di Kampung Loning, masih di wilayah Petarukan, dan ikut menggarap sawah. Lain waktu ia membantu ibunya, Masniyati, yang membuka toko kelontong di belakang Pasar Petarukan.

Berita kematian Pitono dalam sebuah penyergapan di Pamulang, Tangerang, Selasa pekan lalu, mengagetkan sanak-kenalan Dulmatin di kecamatan itu. Tak ada yang mengira teroris perangkai bom yang dikejar-kejar polisi itu adalah Pitono yang mereka kenang sebagai bocah sopan dan rajin mengaji di masjid jami dekat rumah. ”Dia selalu membawa buku untuk mencatat materi pengajian yang diadakan oleh Ikatan Remaja Muhammadiyah,” kata Umar Azis, tetangga keluarga Dulmatin di Petarukan.

Wakil Kepala SMA Negeri 1 Pemalang Bekti Swaminarsih mengingat Dulmatin sering menjadi gunjingan para guru karena tak pernah mau menatap guru perempuan. Dia juga selalu menolak menghormat bendera Merah Putih. Belajar hingga kelas dua SMA di Pemalang, Dulmatin hijrah ke SMA Muhammadiyah III Yogyakarta. Sejak itu dia menghilang dari Pemalang. Dia merantau ke Afganistan, lalu ke Malaysia, mengajar di Luqmanul Hakiem, Johor—pesantren yang dibuka pada 1992, sepenuhnya mengadopsi kurikulum Pesantren Ngruki di Solo, Jawa Tengah.

Kepala Sekolah Luqmanul adalah Muklas, salah satu pelaku peledakan bom Bali 2002. Menurut laporan International Crisis Group, semua pelaku peledakan bom yang disebut-sebut terkait dengan Jamaah Islamiyah pernah mengajar atau belajar di tempat itu. Selain Dulmatin dan Muklas, ada Hambali, Amrozi, Ali Imron, Zulkarnaen, Faturrahman al-Ghozi, dan Dr Azahari. Bahkan Noor Din M. Top menjadi Direktur Luqmanul Hakiem hingga 2001. Kembali ke Pemalang pada 1995, Dulmatin mengganti namanya dari Joko Pitono menjadi Amar Usman. ”Usman itu nama asli bapak kami,” kata kakaknya, Azam Ba’abut.

Lalu semuanya seperti biasa lagi: Dulmatin hilir-mudik antara bapak dan ibunya, membantu di sawah dan menjaga toko kelontong. Setelah menikah dengan Istiada, sepupunya, Dul mulai bekerja sampingan sebagai makelar jual-beli mobil dan motor. Dua bulan menjelang ledakan bom di depan Sari Club dan Paddy’s CafĂ© Jalan Raya Legian, Ku ta, Bali, Dulmatin tiba-tiba menghilang.

Ia tidak cuma merakit bom Bali. Abdul Jabar, yang terlibat peledakan bom di depan rumah Duta Besar Filipina Leo nides Caday di Jakarta pada 2000, kepada polisi mengaku Dulmatinlah yang ”meramu” hampir semua bom sebelum Bali. Dia yang merakit bom Gereja Kanisius, Atrium Plaza, dan yang di rumah Duta Besar Filipina. Bom Mojokerto dan 10 bom pesanan Imam Samudra untuk diledakkan di Batam dan Mataram juga dibuat Dulmatin.

BEBERAPA bulan setelah Bom Bali I, Abdullah Sunata kedatangan dua tamu. Yang pertama tinggi kurus: Dulmatin alias Joko Pitono alias Amar Usman. Orang kedua lebih pendek, Umar Patek alias Pak Ta’ek alias Umar Kecil. Abdullah mengenal mereka sebagai anggota Jamaah Islamiyah alumni Afganistan. Keduanya minta bantuan bekas Ketua Komite Aksi Penanggulangan Krisis (Kompak) di Ambon itu untuk berhubungan dengan kelompok STAIN—kelompok Islam yang menyewa rumah dekat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri pada saat konflik Ambon. Dulmatin dan Umar ingin menyusup ke Mindanao, Filipina, dan orang-orang STAIN menguasai jalur Darul Islam ke Mindanao lewat Sabah. Abdullah Sunata menceritakan hal ini kepada polisi dalam pemeriksaan pada Juli 2005.

Biasanya anggota Jamaah Islamiyah masuk Filipina lewat jalur Sulawesi Utara. Namun, setelah Bom Bali I, jalur ini dianggap berbahaya. Jalur lain, lewat timur Malaysia ke Zamboanga, juga tak bisa mereka gunakan karena Nasir Abas Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah yang biasa mengatur perjalanan di jalur itu tengah berada di Poso. Menurut Sidney Jones, penasihat senior International Crisis Group Asia, sejak masuk ke Mindanao, Dulmatin terlibat gerakan separatis di Filipina. ”Tuan rumah mereka mula-mula adalah Moro Islamic Liberation Front (MILF),” kata Jones.

Di Mindanao, Dulmatin dan Umar Patek tinggal di Pawas, dekat Cotabato. Dulmatin memberikan kursus merakit bom. Abdullah Sunata bercerita, dia beberapa kali mengirim orang ke sana. Atas undangan Umar Patek dia sendiri pernah berkunjung ke Pawas pada Juli 2003. Belakangan, Hari Kuncuro alias Bahar yang menikah dengan Atika, adik bungsu Dulmatin, ikut bergabung. Pada 2003 Amerika Serikat melalui program Reward for Justice menjanjikan hadiah US$ 10 juta atawa Rp 93 miliar bagi yang bisa menangkap Dulmatin hidup atau mati.

Tapi Dul licin bagai belut. Ketika masih bersama MILF pada 2005 dia berhasil lolos dari gempuran udara militer Filipina. Bersama Abu Sayyaf—kelompok separatis kecil tapi jauh lebih militan daripada MILF—beberapa kali dia cuma nyaris tertangkap. Malah istri dan dua anaknya tertangkap pada 2006 dan dikirim pulang karena tak punya dokumen imigrasi.

Januari tiga tahun lalu Dulmatin dikabarkan terluka parah dan terpaksa bersembunyi setelah baku tembak dengan tentara Filipina di selatan Jolo. Bentrokan ini menewaskan pemimpin Abu Sayyaf, Jainal Antel Sali alias Abu Sulaiman. Namun, ketika tentara Filipina menyergap persembunyiannya di Pulau Simunul empat bulan kemudian, Dulmatin berhasil melarikan diri, membiarkan empat anaknya tertangkap dan dideportasi. Sejak itu dia dikabarkan ingin balik ke Indonesia.

Philipus Parera (Jakarta), Edi Faisol (Pemalang), Ahmad Rafi q (Solo), Jalil Hakim (Bali)

Dana Teroris Aceh Berasal Dari Ganja
SABTU, 13 MARET 2010 | 14:46 WIB
Besar Kecil Normal
Aparat polisi memeriksa korban tewas yang diduga teroris dalam kontak senjata di lintasan jalan negara, Leupung, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Jumat (12/3). ANTARA/Ampelsa

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerhati masalah terorisme Mardigu Wowiek Prasantyo menyatakan bahwa dana operasional para teroris yang bermarkas di Aceh kemungkinan besar berasal dari penjualan ganja. "Aceh itu kan kaya akan ganja, apalagi untuk dana operasi teroris itu memakan biaya yang besar," papar Mardigu di Warung Daun Cikini dalam diskusi "Polemik Masalah Terorisme", hari ini.

Mardigu membandingkan gerakan troris di Luar Negeri ,"Afghanistan misalnya, suplai dana teroris disana berasal dari penjualan opium, hal serupa juga terjadi di Amerika Latin," ujarnya.

Pelatihan teroris di Aceh, Mardigu menambahkan, memerlukan dana yang cukup besar. Imam Samudra misalnya pernah merampok toko emas untuk kegiatan teroris kelompok mereka. Hal serupa pernah dilakukan oleh Noordin M Top dengan merampok toko handphone untuk kelangsungan aksinya.

"Melihat Aceh yang kaya akan ladang ganja, pelatihan tersebut pasti dibiayai dengan penjualan ganja secara terlarang," kata Mardigu.

Ketika Mardigu mempersoalkan dana teroris itu diduga dari penjualan ganja, Azwar Abu Bakar, mantan Pelaksana Tugas Gubernur di Aceh, anggota Komisi I DPR dari fraksi PAN, yang hadir dalam diskusi itu menjawab, "Ganja memang mudah didapatkan di Aceh, tapi sulit untuk dibawa keluar," Papar Azwar

Gustidha Budiartie
Dari Mana Dana Teroris Aceh Mengalir
Minggu, 14 Maret 2010 | 06:47 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pemerhati masalah terorisme, Mardigu Wowiek Prasantyo, mengatakan bahwa pendanaan para teroris yang melakukan latihan di Aceh, yang sebagian anggota jaringannya ditangkap polisi beberapa hari yang lalu, kemungkinan besar berasal dari penjualan ganja.

“Aceh itu kan kaya akan ganja. Apalagi untuk dana operasi teroris memakan biaya yang besar,” kata Mardigu dalam diskusi bertema ”Polemik Masalah Terorisme” di Jakarta kemarin.

Menurut analisis Mardigu, apa yang dilakukan para teroris di Aceh ini meniru para pendahulunya. “Mereka mempraktekkan hand book Al-Qaidah dalam soal pencarian dana,” kata dia. Dalam hand book itu dijelaskan soal sistem pencarian dana pusat, dana sumbangan, dan dana rampasan.

Dana rampasan, misalnya, bisa didapatkan dari aktivitas kriminal, seperti pernah dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, yang merampok toko emas. Aksi terorisme Noor Din M. Top di Indonesia juga dibiayai melalui perampokan toko telepon seluler. Namun Imam Samudra pernah pula mendapatkan dana dari kiriman ganja di Aceh. Pola yang sama dilakukan oleh kelompok Taliban, yang dekat dengan Al-Qaidah, yang memperoleh dana dari perdagangan opium, yang memang cukup banyak di daerah tersebut.

Hasil penjualan ganja, kata pengamat terorisme Dynno Chressbon yang dihubungi secara terpisah, memang pernah dipakai membiayai terorisme. Ia mengungkapkan salah satu fakta persidangan kasus teroris yang menyebutkan bahwa pada 2000 Jamaah Islamiyah Aceh pernah mengirim ganja ke kelompok Imam Samudra di Batam untuk membiayai operasi pengeboman gereja di Medan.

Tapi Dynno tak yakin dana aksi terorisme kelompok Aceh ini berasal dari hasil penjualan ganja. Kalaupun itu dilakukan, tentu butuh waktu lama. Ia membuat kalkulasi seperti ini: harga ganja kering di Aceh sekitar Rp 250 per kilogram, di Medan menjadi sekitar Rp 300 ribu. “Lantas, berapa banyak ganja yang dibutuhkan untuk bisa membiayai operasi dan latihan teroris?” kata Dynno.

Dynno lebih yakin dana teroris Aceh berasal dari dana fa'i (uang hasil kejahatan) seperti perampokan di Bireuen, Aceh, dan Pandeglang, Jawa Barat, dalam kurun waktu 2006-2008. “Uang dari hasil perampokan bisa lebih besar dibanding menjual ganja,” katanya.

Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat asal Aceh, Azwar Abu Bakar, juga ragu terhadap sinyalemen itu. Menurut dia, ganja punya nilai ekonomis yang tinggi begitu dibawa keluar dari Aceh. Namun ia mengingatkan, membawa ganja keluar dari Aceh bukan perkara mudah karena ketatnya pengawasan. “Mudah memang mendapatkan ganja di Aceh, tapi sulit untuk dibawa keluar dari sana,” kata mantan Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam ini.

Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Irjen Edward Aritonang tak banyak menanggapi soal pendanaan teroris tersebut. “Kami hanya bergerak dari fakta. Sampai saat ini kami masih belum menemukan asal aliran dana operasi teroris di Aceh,” ujarnya

Abdul Manan | Gustidha Budiartie
Senin, 15/03/2010 12:36 WIB
Jaja Punya Banyak Bisnis Dari Perkebunan Sampai Bengkel
Chazizah Gusnita - detikNews

Jakarta - Pura Sudarma alias Jaja alias Umar Yusuf mendanai pelatihan teroris di Aceh Besar, NAD, dari kocek pribadinya. Jaja dikenal kaya dan punya banyak bisnis.

"Pak Jaja itu usahanya banyak. Ekspedisi Sajirah, kelola kebun di Pandeglang, Bengkel di Bandung, Jakarta, dan Serang," kata sumber detikcom di Jamaah Islamiyah, Senin (15/3/2010).

Kelompok Jaja merupakan gabungan dari 4 jaringan yakni Jamaah Islamiyah, Darul Islam, Jamaah Ansharut Tauhid, dam Majelis Mujahidin Indonesia. Keempat jaringan ini pernah digerebek di Ujung Kulon dan Garut beberapa waktu lalu oleh Densus 88. Namun seluruhnya lolos. Operasi mereka bukan mencari momentum misalnya saja karena rencana kedatangan Presiden AS Barrack Obama atau lainnya.

"Kita bukan cari momentum. Operasinya jelas mencari kesempatan. Yang digerebek ini dulu (Garut dan Ujung Kulon), terus lolos baru di Aceh ini," katanya.

Jaja tewas dalam baku tembak di Aceh Besar pada Jumat 12 Maret siang. Dia merupakan aktivis NII dari kelompok Banten. Dia diketahui pernah mendapatkan pelatihan di Afghanistan dan Mindanao.

(gus/iy)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02