ayo Moderasikan Teologi Supremasi

23/03/2010 - 21:14
Alumni IPNU: NU Harus Kawal Moderasi Paham Keagamaan
Abdullah Mubarok


INILAH.COM, Makassar - Fenomena radikalisasi pemikiran keagamaan yang menjadi embrio terorisme menjadi salah satu isu yang perlu disikapi peserta Muktamar NU ke-32 di Makassar. Hal ini juga menjadi perhatian serius Alumni Ikatan Pelajar NU.

Ketua Umum Majelis Alumni IPNU Hilmi Muhammadiyah menegaskan pentingnya merawat tradisi pemikiran keagamaan yang mengedepankan "jalan tengah" dan mengaktualisasikan nilai kehidupan pesantren ke dalam perilaku organisasi.

"Nilai kepesantrenan yang perlu diaktualkan adalah semangat kesederhanaan, kemandirian, dan paradigma pemikiran yang moderat jauh dari ekstrimitas dan liberalitas" ujar Hilmi Muhammadiyah usai Pembukaan Muktamar di Celebes Convention Center, Selasa (23/3).

Sekretaris Jenderal Majelis Alumni IPNU Asrorun Niam Sholeh menambahkan bahwa NU memiliki tanggung jawab sosial untuk mengarusutamakan paham keagamaan moderat yang berbasis pada nilai Ahlussunnah wal Jamaah.

"Radikalisme pemahaman keagamaan jelas tidak memiliki akar tradisi yang sejalan dengan semangat wasthiyyah. Demikian juga pada kutub lain, pemahaman keagamaan yang liberal juga tidak memiliki basis dalam ajaran Islam", ujarnya.

Sementara itu, memasuki hari pertama Muktamar, muncul beberapa tokoh NU yang disebut-sebut layak memegang kepemimpinan NU lima tahun mendatang. Di jajaran Syuriyah, di samping Dr KH MA Sahal Mahfudh, ada KH Hasyim Muzadi, KH Tholhah Hasan, KH Ma'ruf Amin, KH Musthafa Bisri, dan Habib Luthfi.

Sedangkan di jajaran Tanfizdiyah ada KH Said Aqil Siradj, KH Salahudin Wahid, Drs H Slamet Effendi Yusuf, MSi, H. Masdar Farid Mas'udi, Drs H Ahmad Bagja, dan Prof Dr Ali Mashan Musa. Namun, dalam pantauan di arena muktamar, yang mulai menguat untuk Tanfidziyah adalah KH Said Aqil Siraj dan KH Salahudin Wahid.

Sementara itu, untuk posisi Sekretaris Jenderal PBNU nama yang hampir bisa diterima semua tokoh pimpinan NU adalah Drs H Hilmi Muhammadiyah, MSi yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Alumni IPNU dan Wakil Ketua PP LDNU.

Ketika dikonfirmasi lebih lanjut, putra Makassar ini menjawab bahwa aktifitas di NU itu intinya adalah pengabdian, dan jabatan apapun adalah amanah. Saat didesak tentang kesiapannya menjadi sekjen, Hilmi menegaskan kesiapannya jika amanah itu diberikan.

"Pada periode Pak Hasyim yang pertama saya telah diberi amanah menjadi wakil sekjen, jadi urusan kesekjenan bukan hal baru. Apapun yang diamanahkan muktamar kita harus siap" ujar kandidat
Doktor Universitas Indonesia ini merendah. [bar]

Selasa, 23/03/2010 21:44 WIB
Muktamar NU
Said Aqil: Terorisme Bertentangan dengan Ajaran Islam
M. Rizal Maslan - detikNews

Jakarta - Calon ketua umum PBNU Said Aqil Siradj menilai terorisme bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu, jika dia terpilih menjadi ketua umum PBNU, bersama Muhammadiyah, NU akan berupaya melakukan pendekatan agar tidak ada lagi aksi-aksi teror yang didasarkan atas nama agama.

"Saya sering dan sudah melakukan dialog dengan Ketua Umum PP MUhammadiyah, Din Syamsuddin bahwa teroris bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam ayat Al Qur'an sendiri disebutkan, 'Apakah kamu (Muhammad) akan memaksakan orang menjadi seorang mukmin semua?' Nabi SAW menjawab tidak," kata Said kepada wartawan di arena Muktamar di Makassar, Selasa (23/3/2010).

Menurut Said, hingga kini belum ada warga nahdliyin (NU) yang terlibat aksi terorisme di Indonesia. "Secara kongkret selama ini NU bisa mengendalikan. Warga NU itu ada 60 juta, tidak ada satupun warga NU yang terlibat teroris. Seperti penangkapan di Lamongan dan tempat lainnya, itu bukan warga NU," paparnya.

Dalam kesempatan ini, Said juga mengimbau agar tidak ada kelompok-kelompok tertentu yang berupaya mengubah Indonesia menjadi negara agama. NU akan mengawal Indonesia tetap sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
(zal/yid)
WAWANCARA TERSANGKA TERORISME
Yudi: Dulmatin yang Mengatur Semuanya
Selasa, 30 Maret 2010 | 03:26 WIB

Yudi Zulfahri (27) adalah salah satu tersangka terorisme yang ditangkap polisi dari Polres Aceh Besar di Jantho pada 22 Februari 2010. Pemuda Aceh ini berperan penting dalam menghubungkan jaringan teroris lama di Pulau Jawa dengan warga lokal Aceh. Yudi pula yang menjadi salah satu orang kepercayaan Dulmatin untuk mewujudkan proyeknya—yang belakangan diakui Yudi terburu-buru—yakni mendirikan basis pelatihan militer di Jantho, Aceh Besar.

Yudi aktif menghubungkan jaringan di Pulau Jawa dengan Aceh sehingga kerap hilir mudik Aceh, Jakarta, Bandung, Depok, Pamulang (Tangerang Selatan, Banten). Pamulang merupakan lokasi persembunyian Dulmatin hingga tewas disergap Satuan Tugas Antiteror Polri pada Selasa 9 Maret 2010.

Berikut ini adalah kelanjutan petikan wawancara dengan Yudi yang dilakukan di Banda Aceh, 17 Maret 2010. Petikan wawancara sebelumnya berjudul ”Yudi: Awalnya Saya Hanya Ingin Belajar Agama” (Kompas, 29 Maret 2010). Dalam tulisan tersebut Yudi menceritakan awal ketertarikannya memperdalam ilmu agama Islam sehingga berhubungan dengan orang-orang yang berpaham bahwa pemerintah harus menegakkan hukum syariah Islam di Indonesia. Yudi juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah lokal di Nanggroe Aceh Darussalam yang dinilainya tidak serius menegakkan syariah di tanah Serambi Mekkah itu.

Bagaimana awalnya kenal dengan Sofyan Tsauri?

Saya kenal dengan Sofyan Tsauri (polisi desersi dari Polres Depok) karena dikenalkan rekanan distributor buku di Lenteng Agung (Jakarta Selatan), Pak Azzam. Dia (Azzam), setelah tahu saya PNS yang keluar, lalu cerita punya teman polisi yang juga ingin keluar dari kepolisian. Sofyan juga rumahnya tak jauh dari situ, di Kelapa Dua (Depok) waktu itu. Saya akhirnya kenal baik dengan Sofyan karena dia juga koleksi buku-buku soal jihad. Dia lalu ajak saya bisnis soft gun (senjata mainan). Saya ikut kerja sama dia dan batal kerja dengan Azzam.

Sofyan juga ikut pengajian dengan Ustaz Kamal, murid Ustaz Aman Abdurrahman?

Inginnya begitu. Tetapi komunitas Ustaz Aman keberatan awalnya karena Sofyan masih polisi waktu itu. Lalu, Maret 2008 saya kembali ke Aceh lagi. Saya coba bangun komunitas yang sepaham, yang saya kenal melalui pengajian Abu Nur, yang saya ikuti.

Beliau juga kecewa dengan penegakan syariah di Aceh yang tidak serius. Tetapi beliau tidak beraliran seperti pengajian Ustaz Aman dan Ustaz Halawi terkait orang-orang yang tidak sepaham. Kami dakwah ke mana-mana (di Aceh).

Lalu bagaimana komunikasi dengan jaringan di Jawa?

Ustaz Kamal menyusul saya ke Aceh, dan tinggal di Aceh, ikut dakwah. Akhir 2008 lalu Sofyan datang bersama istrinya (orang Aceh) untuk mudik. Saya temukan dengan komunitas di sini. Lalu bicarakan soal pelatihan. Semua semangat. Saya juga temui Abdul Razak, mantan Gerakan Aceh Merdeka yang masih ingin berjuang. Sofyan lalu menghubungi temannya di Jawa Tengah soal rencana itu.

Lalu, awal 2009, Sofyan ke Aceh lagi dengan Mus’ab (salah satu buronan terorisme). Orang dari Solo (Jawa Tengah). Kami (komunitas yang dibangun Yudi di Aceh) lalu carikan ruko kosong di Ketapang (Banda Aceh) untuk tempat tinggal sementara Sofyan dan Mus’ab. Sekitar tiga hari kemudian, datang lagi orang yang mengaku bernama Yahya (belakangan diketahuinya adalah Dulmatin). Dia diundang datang oleh Mus’ab. Kita lalu bicarakan soal rencana pelatihan, tetapi belum teknis. Kami (termasuk Dulmatin) sempat silaturahmi ke Ustaz Muslim di Lhok Seumawe. Tak bicarakan soal pelatihan.

Kira-kira Maret 2009 Yahya datang lagi. Waktu itu digelar pelatihan FPI (Front Pembela Islam) di Lhok Seumawe untuk mujahidin yang mau dikirim ke Palestina (belakangan batal). Komunitas saya tak ada yang ikut, nonton saja, karena kita punya rencana pelatihan sendiri. Yahya juga lihat, tidak lama lalu pulang. Tetapi tak lama tiba-tiba datang lagi (ke Aceh) dengan Ubeid dan Abu Tolud (keduanya buron. Ubeid adalah mantan narapidana terorisme). Kami menyambung lagi pembicaraan soal pelatihan dan jemaah kami. Cuma beberapa hari, mereka kembali ke Jakarta, pakai (pesawat) Lion.

Bagaimana dengan Sofyan?

Kira-kira Mei 2009, Sofyan datang dengan Abdullah Sonata (mantan narapidana terorisme yang bebas April 2009) dan Maulana (buronan lama percobaan pembunuhan mantan Ketua MPR Matori Abdul Jalil, tahun 1999). Kami lalu survei tempat latihan di Payabakung, Aceh Utara. Tetapi Sonata tidak setuju karena masih dekat kampung. Baru kemudian cari lagi dengan bantuan Abu Rimba (mantan anggota GAM) dapat tempat di Jantho, Aceh Besar.

Bagaimana dengan persiapan teknis?

Saya akhirnya sering ke Jakarta karena sekaligus ikut kursus bahasa Arab di Bandung. Saya sering ketemu dengan Yahya dan Sonata di masjid di terminal bus Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tiap akhir pekan ketemu Yahya di Pamulang, kadang di rumah makan di Depok. Saya ketemu Ustaz Yusuf (buron) di Pamulang. Yahya atur semuanya. Dia seperti bekerja sendiri. Saya ditugaskan bantu pasok senjata lewat Sofyan. Yahya kasih saya uang, saya kasih Sofyan, lalu Sofyan yang atur, tak tahu bagaimana. Satu pucuk Rp 17 juta (M-16 dan AK-47).

Uang Yahya dari mana?

Tidak tahu. Dia kasih saya tunai. Intensif kumpulkan senjata satu per satu sekitar Oktober 2009. Dari saya dan Sofyan enam pucuk, sisanya (total 15 pucuk) Yahya yang atur. Akhirnya, Januari 2009 saya disuruh Yahya balik ke Aceh untuk buka kamp itu. Tetapi mungkin karena terburu-buru, bulan Februari sudah ketahuan polisi. (Sarie Febriane)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02