3 isteri = MIsteri
Misteri Century
By: daniri
Bisnis Indonesia, Selasa, 25 November 2008
Tak biasa undangan makan siang datang dari Wadirut Bank Century Hamidy. Akan tetapi, itu terjadi pada Selasa, 28 Oktober 2008. Pernah dia mengajak bertemu menjelang akhir 2005, saat PT Bank Century Tbk, bank hasil merger dari Danpac, Pikko dan CIC itu, sedang giat berkonsolidasi setelah penggabungan.
Akhir bulan lalu, Hamidy tidak sendiri. Dia didampingi Deni Daruri, Direktur Eksekutif Center for Banking Crisis. Pokok perbincangan adalah perlunya pemerintah memberikan blankeet guarantee, hal yang sudah menjadi diskusi umum para bankir.
Satu-satunya sinyal yang diberikan Hamidy adalah adanya penarikan dana di Bank Century, setelah penjaminan penuh di Singapura, Malaysia dan Australia. Dia mensinyalir dana bank kini beralih ke negara-negara itu. Kesulitan likuiditas membayangi Bank Century.
Benar. Rabu 13 November, sejak pagi hari beredar kabar bank ini mengalami kesulitan likuiditas bersama sejumlah bank lain. Rumor yang kemudian membuat Erick J. Adriansjah, pemasar PT Bahana Securities ditangkap polisi dengan tuduhan menyiarkan kabar bohong dan pencemaran nama baik.
Namun, sore harinya BI membenarkan bila Bank Century tidak bisa ikut kliring hari itu karena ketiadaan prefund sebagai syarat transaksi. Bank sentral membantah empat bank lain bernasib serupa.
Hamidy tidak bisa dikontak. Pun sang dirut, Hermanus Hasan Muslim tak berhasil dihubungi.
Manajemen Bank Century baru muncul Minggu, 17 November dengan membawa kabar bila PT Sinar Mas Multiartha Tbk, sayap usaha Sinar Mas Group, berniat mengambil alih 70% saham.
Namun, masalah belum selesai. Operasional Bank Century terus berjalan diikuti kabar terjadinya penarikan dana oleh para deposannya. Menunggu Sinar Mas menyelesaikan uji tuntas, menurut Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Rudjito, ’sama halnya membiarkan likuiditas bank ini makin bleeding’.
.
.
Awalnya adalah surat berharga valas
2005 BI menemukan surat berharga valas milik Century tidak memiliki peringkat, dan tidak diperdagangkan di pasar sekunder. Jumlahnya ada beberapa versi, terakhir disebut US$210 juta.
2006 Pemegang saham berani menjamin surat berharga itu dengan dan di rekening penampung US$230 juta. Pada saat yang sama First Gulf menyuntik modal Bank Century US$10,5 juta.
2007 Sebagian utang jatuh tempo terbayar
2008 30 Oktober & 3 November sebanyak US$56 juta surat berharga jatuh tempo, gagal bayar. Tak ada dana escrow account mengalir ke Bank Century. Bank itupun mengalami kesulitan likuiditas.
Sumber: Diolah, 2008 .
Lalu, publik sudah mahfum, Jumat pekan lalu LPS akhirnya mengambil alih Bank Century, sambil menunggu masuknya investor baru. Ekuitas bank ini telah minus saat pengambilalihan dilakukan. Malah rasio kecukupan modal telah negatif 2,3%, jauh dari syarat minimal BI 8%.
Pemegang saham
Ke mana para pemegang lama? Maaf, dua dari pemegang saham pengendali yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Alwarraq adalah warga negara asing, yang sudah tentu tak ada di Indonesia. Rafat merupakan pengusaha keturunan Pakistan yang mengendalikan usaha di Inggris dan Singapura, Hesham berkewarganegaraan Arab Saudi.
Konon, bersama Robert Tantular-pemegang saham pengendali lainnya-kedua orang terakhir kali bertemu Bank Indonesia 15 November. Sejak, 21 November Robert bersama tujuh pengurus Bank Century termasuk Hermanus dan Hamidy telah dicekal bepergian ke luar negeri oleh pemerintah.
Inilah repotnya berhubungan dengan pemilik asing. Bank Indonesia tak bisa leluasa meminta pertanggungjawaban. Meminta Direktorat Imigrasi melalukan cekal, sama saja menghalangi kedua orang itu balik ke Indonesia.
Padahal, menurut BI, Rafat pernah menjamin surat-surat berharga non rating milik Bank Century dengan escrow account di Dresdner Bank Luxemburg sebesar US$230 juta. Bisnis memberitakan pada 19 Mei 2006, justru Dresdner yang memberikan jaminan.
Kala itu, Hamidy mengatakan Dresdner Bank akan menempatkan dana escrow account untuk jangka 3 tahun hingga 2009. “Artinya bila setelah melewati jangka waktu itu masih ada yang belum jatuh tempo dan kami pegang, Dresdner akan membelinya dengan harga par.”
Namun, saat sebagian surat berharga (US$56 juta) jatuh tempo pada 30 Oktober dan 3 November 2008, gagal bayar terjadi. Belum jelas, mengapa dana pada rekening penampung itu tidak mengalir ke Bank Century begitu default terjadi.
Gagal bayar surat berharga menjadikan Bank Century kesulitan likuiditas, karena pada saat yang sama harus menyediakan dana pencadangan kerugian. Berharap pada pinjaman antarbank juga sulit, mengingat likuiditas perbankan sedang seret. Pada saat yang sama, beberapa perusahaan besar deposan bank itu menarik dananya.
Aset surat berharga yang jatuh tempo dan telah gagal bayar itu adalah bagian dari total US$210 yang dimiliki Bank Century sejak 2005. Pada 2006 dan 2007, tagihan yang jatuh tempo masih bisa dibayar. Kini tersisa US$140 juta yang jatuh tempo hingga 2014.
Sejak awal bank itu memegang surat berharga, menurut Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah, bank sentral sebenarnya telah menunjukkan ketidaksetujuannya. Malah, Bank Century sempat memegang surat utang Pemerintah RI kepada lembaga keuangan multilateral.
Masih menurut Fadjrijah, surat utang itu kemudian diganti dengan surat berharga lain. Beberapa di antaranya berasal dari Nomura Bank dan National Bank Australia. “Pada Februari 2006 pemegang saham memberikan jaminan melalui AMA [Asset Management Agreement].”
Sebelum dijamin dengan dana escrow account, BI menemukan surat berharga valas yang macet di PT Bank Century Tbk US$163 juta dari total US$246,08 juta. Hasil audit BI yang ditandatangani Direktur Pengawasan Intern Lukman Boenjamin-saat itu-menyatakan klasifikasi macet karena tidak memiliki rating notes dan unsecured serta umumnya bersifat private placement dan tidak memiliki pasar sekunder.
Portofolio surat berharga yang begitu besar hanyalah salah satu misteri di Bank Century. Secara total, hingga September 2008, seperlima dari aset bank itu (Rp3,14 triliun) berupa surat berharga.
Sebagai sebuah lembaga intermediasi, agak aneh bila sebuah bank banyak menguasai surat berharga. Bank Century juga hanya memilik portofolio kredit Rp5,21 triliun, atau hanya 47%, dari dana yang dihimpunnya. Malah setahun sebelumnya, hanya sepertiga dana pihak ketiga yang disalurkan menjadi kredit.
Misteri kedua adalah status para pemegang sahamnya. Sebanyak 55,88% saham Bank Century justru berada di publik. Sisanya sempat beberapa kali berpindah tangan pada beberapa investor institusi.
Sebelum merger, orang mengenal Chinkara Capital Ltd secara tiba-tiba memiliki saham yang cukup besar di tiga bank sekaligus yakni PT Bank CIC International Tbk, PT Bank Pikko, dan PT Bank Danpac. Mengetahui hal ini, konon, BI mendorong Chinkara menggabungkan bank miliknya menjadi Bank Century guna mempermudah pengawasan.
Tak lama setelah bergabung, nama Chinkara perlahan lenyap. Ini terjadi karena Bank Century beberapa kali melakukan penerbitan saham baru. Dari sinilah nama First Gulf muncul, menjadi pembeli siaga pada setiap aksi korporasi itu. Seorang pejabat BI menyebut, tak ada beda pemilik antara Chinkara dan First Gulf Asia Ltd.
Motif pengalihan
Motif pengalihan saham Chinkara ke First Gulf dengan Rafat dan Hesham dibelakangnya tetap menjadi misteri. Pejabat bank sentral lain curiga, kedua orang itu masih memiliki saham Bank Century yang kini tersebar di publik.
Tak adanya pemegang saham mayoritas menjadi misteri berikutnya. Keadaan ini mengingatkan pada kasus Unibank, yang tiba-tiba sahamnya tersebar di belasan institusi beberapa bulan sebelum bank itu ditutup pada 30 Oktober 2001.
Hasilnya, tak satu pun pemegang saham yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
Mengenai hal ini, Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad berkelit, pemegang saham akhir bank ini adalah Rafat, Hesham, dan Robert Tantular. “Memang ketentuannya minimal 25%, tetapi bisa juga merujuk pada pemegang saham dominan. Tiga orang itu jelas yang betanggung jawab.”
Sejak awal tahun, Bank Century telah diselimuti isu pengalihan saham. Beberapa lembaga keuangan besar, seperti Malayan Banking Berhard (Maybank), Hana Bank, Korea Sinhan Bank, The Hongkong Shanghai Banking Corporation, dan Nur Islamic Bank adalah beberapa di antaranya.
Bahkan, mengutip Fadjrijah, pada Juni-Juli Hana Bank telah memasuki negosiasi final untuk mengambil alih bank ini.
“Sebelum memperoleh BII, Maybank juga akan masuk. Hana menarik diri karena perekonomian Korea juga terimbas krisis cukup parah. Ini menunjukkan bank ini sebenarnya memiliki prospek untuk dikembangkan.”
Kini, setelah 100% saham Bank Century diambil alih, LPS berniat kembali membangun kepercayaan publik terhadap bank ini. Lembaga tersebut juga tengah fokus memperbaiki arus kas perusahaan, terutama kondisi likuiditas dengan menyediakan dana talangan (bailout) sesuai yang dibutuhkan.
Bank Century juga dilarang menyalurkan kredit untuk sementara, berusaha mencari deposan baru, dan berharap para nasabah tetap menyimpan dananya.
Bila situasinya terus membaik, LPS membuka kemungkinan investor baru masuk, termasuk Sinar Mas yang sedang dalam proses uji tuntas.
Namun, nasib para pemegang saham publik yang menguasai 55,88% belum jelas.
Ini kembali menjadi misteri, terkait saham mereka yang mendadak menjadi kertas tak berharga. (hery.trianto@bisnis.co.id)
.
Oleh Hery Trianto
Wartawan Bisnis Indonesia
Alarm Nyaring dari Sentral Senayan
Pemeriksaan Bank Indonesia menemukan banyak penyelewengan di Bank CIC, termasuk dana triliunan rupiah dari fasilitas kredit pemerintah Amerika. Kas negara segera jebol lagi?
TELEPON di redaksi berdering Kamis malam pekan lalu. Peneleponnya seorang wanita yang bersuara halus. Ia mengimbau TEMPO supaya menulis kasus Bank CIC Internasional "tidak berdasarkan rumor tak jelas, tapi menurut fakta." Wanita itu pun bersedia mempertemukan TEMPO dengan Robert Tantular, bekas pemilik CIC yang dinyatakan tak lulus uji kelayakan pada 1999 lampau, yang dia lukiskan sebagai orang lugu yang tak paham cara menangani pers. Si empunya suara mengenalkan diri: Susaningtyas Kertapati, anggota parlemen dari PDI Perjuangan yang konon punya hubungan dekat dengan Presiden Megawati. Wow, ada apa gerangan sampai anggota dewan yang terhormat jadi begitu repot mengangkat telepon? Nuning, begitu Susaningtyas disapa, tak membidangi urusan keuangan dan perbankan. Di Senayan ia kini duduk di komisi pertahanan dan luar negeri. Robert, yang lahir dan tinggal di Jakarta, kecuali tiap akhir pekan terbang ke Singapura, rasanya pun bukan konstituennya. Daerah pemilihan Nuning adalah Blora, di Jawa Tengah sana. "Saya cuma ingin membantu teman lama," katanya menjelaskan. Lebih dari urusan pertemanan, wakil rakyat seperti Nuning memang sudah sepatutnya menaruh perhatian terhadap permasalahan yang tengah melilit CIC, bank devisa yang memiliki aset Rp 9,7 triliun dengan 38 kantor pemasaran. Tapi mestinya, ketimbang memikirkan pemiliknya, yang lebih penting diperhatikan adalah nasib 1.000 karyawannya, nasabah, dan juga keutuhan kas negara. Bukan apa-apa. Soalnya, dering alarm telah nyaring terdengar dari Gedung Sentral Senayan, Jakarta, kantor pusat CIC. Menurut dokumen autentik Bank Indonesia (BI) tertanggal 22 Juli 2002, yang salinannya bisa diperoleh mingguan ini, pemeriksaan yang digelar intensif pada 16 Juli-30 November tahun lalu ternyata menemukan lubang besar di brankas CIC. "Manajemen bank telah melakukan pemberian kredit dalam jumlah besar yang melanggar prinsip kehati-hatian. Beberapa pelanggaran di antaranya memiliki unsur tindak pidana," begitu tim audit BI menyimpulkan. Rasio kecukupan modal (CAR)-nya dinilai jeblok hingga minus 83,06 persen dan ada kekurangan modal senilai Rp 2,67 triliun. Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK)-nya pun membelalakkan: 852,18 persen ke 15 debitor tak terafiliasi dan 639,44 persen kepada 5 debitor grup. Sudah begitu, manajemen bank dinyatakan telah berupaya mengelabui tim pemeriksa dengan memberikan dokumen yang tak benar. Tak pelak, mulai Maret hingga September ini CIC dijebloskan dalam daftar bank berstatus pengawasan khusus. Lebih celaka lagi, menurut sumber TEMPO, sebenarnya telah tiga kali CIC terperosok dalam kategori gawat itu. Yang pertama pada 1999 dan yang kedua pada Januari-Juni tahun lalu. Cuma, anehnya, tak sekecap pun pengumuman dilansir ke muka publik sebagaimana seharusnya. Baru Selasa pekan lalu, status CIC—bersama Bank IFI—dipampangkan di situs BI, sehari setelah TEMPO mengirim surat mempertanyakan kejanggalannya kepada Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, pejabat yang paling bertanggung jawab dalam urusan ini. Menurut rilis BI, brankas CIC kini mulai berkilat lagi. Meski belum mencapai ambang sehat 8 persen, CAR-nya sudah positif 5,29 persen. Untuk menambal modal, CIC dijelaskan telah menyuntik Rp 270 miliar ditambah US$ 35 juta. Pun telah menyelesaikan kredit dan tagihan lainnya senilai Rp 1,087 triliun. Lantas apa yang terjadi dengan CAR tahun lalu yang mencapai minus 80 persen lebih? Data sahih ini dibantah Deputi Direktur Pengawasan BI Sabar Anton Tarihoran. "Jangan termakan isu," katanya. Menurut dia, kondisi CIC baik-baik saja, juga tak ditemukan adanya pelanggaran BMPK. Kalaupun ada, cuma sebatas pelampauan dan itu pun kepada pihak tak terafiliasi. "Jauh-jauh hari kami sudah memaksa Robert Tantular tidak lagi campur tangan," ia menambahkan. Jadi beres, toh? Tunggu dulu. Menurut sumber tepercaya di BI, angka resmi itu jadi lumayan karena telah "dipoles" di sana-sini. Berdasarkan kalkulasi pemeriksa, CAR CIC sejatinya masih negatif berat, meski tak lagi separah tahun lalu. "Borok ini terus ditutupi. Kita sedang mengulangi kesalahan masa lalu," sumber itu meluapkan kekesalannya. Luapan kejengkelan itu bukan tanpa alasan. Pemeriksaan BI telah nyata-nyata menemukan segunung pelanggaran (lihat Deretan Lampu Merah). Yang paling mencolok adalah ketidakberesan sejumlah pemberian kredit luar negeri yang berkaitan dengan program fasilitas kredit dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Salah satunya menyangkut Public Law (PL) 416. Ini adalah program bantuan USDA kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk hibah senilai US$ 24 juta atau sekitar Rp 200 miliar. Dimulai sejak September 1999, donasi ini sementara disimpan di Chase Manhattan Bank, New York, dan baru akan dicairkan pada 31 Desember tahun ini. Dana ini lalu dipakai buat membeli kedelai untuk diekspor ke Indonesia. Chase ditunjuk sebagai bank penjamin surat kredit (letter of credit atau LC) importir. Jangka waktu pelunasannya 3 tahun. Kalau importir gagal bayar, Chase akan membayar klaim yang diajukan bank lokal yang ditunjuk—dalam hal ini CIC—sebesar maksimal 72 persen dari nilai LC. Singkat kata, impor pun berlangsung. Yang mendapat durian runtuh ini adalah tiga koperasi: Induk Koperasi Unit Desa pimpinan Nurdin Halid, Induk Koperasi Tahu Tempe Indonesia, dan Induk Koperasi Kesejahteraan Umat Dewan Masjid Indonesia. Masing-masing beroleh US$ 8 juta. Yang bertindak sebagai eksportir adalah PT Paramitra Langgeng Sejahtera Cabang Singapura, perusahaan milik sobat Robert Tantular. Tapi terjadilah sengketa, pembayaran lalu macet, dan CIC melayangkan klaim. Bau tak sedap mulai meruyak. Chase emoh menomboki karena menemukan banyak kejanggalan. Transaksi itu ternyata bukan impor, melainkan jual-beli dalam negeri dengan Paramitra di Indonesia. Ditelusuri perwakilan BI di Singapura, kantor cabang Paramitra di Negeri Singa bahkan tak pernah ada. Pemeriksa BI berkesimpulan soal ini tak lepas dari "adanya rencana penyelewengan terhadap fasilitas PL-416." Negara juga bisa rugi jika hibah menguap ditelan klaim. Sayang, pihak kedutaan Amerika bersikap tertutup. Melalui surat elektronik, Atase Pertanian Chris Rittgers cuma minta majalah ini mengeklik situs mereka, dan tak merespons pertanyaan yang berkaitan dengan inti kasus. "Soalnya, ini sangat sensitif," kata seorang pejabat di sana. Selain itu rupanya masih ada persoalan yang lebih besar. Kali ini menyangkut program lain USDA yang dinamai General Sales Marketing (GSM) 102: fasilitas jaminan kredit yang diberikan Commodity Credit Corporation (CCC), badan di bawah USDA, untuk mendorong ekspor komoditi pertanian dan peternakan negeri mereka. Dengan fasilitas ini, tenggang waktu pelunasan kredit diberikan selama 3 tahun dan dicicil tiap enam bulan. Ada 14 bank lokal yang direkomendasikan BI layak mengikutinya. Salah satunya CIC. Tapi pemerintah tetap menanggung risiko. Keikutsertaan bank lokal dijamin penuh. Kalau terjadi gagal bayar, kas negaralah yang mesti menalanginya ke CCC. Yang menarik, sejak 1999 sampai 2001, sekitar US$ 840 juta atau 80 persen alokasi dana yang dihimpun melalui fasilitas ini jatuh ke CIC. Ini jelas rezeki nomplok. CIC, yang sudah sekarat dihajar krisis, mendadak segar bugar. Dokumen BI menjelaskan sumber pendanaan CIC sebagian besar (60,9 persen) berasal dari dana pembayaran LC GSM. Tapi ternyata itulah yang akan membuat jantung rakyat Indonesia berdegup kencang. Audit BI menemukan, dana itu diputar secara amat agresif ke berbagai investasi jangka panjang, yang dilakukan bukan hanya secara tak pruden, tapi juga sarat kejanggalan. "Dalam jangka pendek, bank masih punya likuiditas yang baik. Namun, dalam jangka menengah seiring dengan banyaknya LC yang akan jatuh tempo, diperkirakan bank akan mengalami kesulitan likuiditas. Bank belum dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya mismatch kewajiban pembayaran LC GSM," begitu analisis pemeriksa BI. Sebagian besar dana pembayaran LC GSM, misalnya, dipakai untuk membeli surat berharga jenis Credit Link Note Republic of Indonesia (CLN-ROI) senilai US$ 225 juta yang berjangka 3-5 tahun dan berisiko tinggi: tak likuid dan nilai jualnya sangat rendah, sekitar 50 persen saja dari harga nominal. Lebih celaka lagi, US$ 50 juta di antaranya ternyata fiktif. Yang menarik, surat berharga itu dibeli melalui Chinkara Capital, perusahaan investasi yang didirikan di Kepulauan Bahama pada 1999, persis di tahun ketika CIC mulai digerojoki dana GSM. Chinkara memiliki cabang di Singapura. BI menengarai perusahaan ini tak lain adalah kuda troya Robert untuk tetap mengontrol banknya. Direktur Utama Chinkara, Ravat Ali Rizvi, juga duduk sebagai Komisaris Utama CIC. Masih ada fakta lain: penyaluran kredit, yang lalu macet, ke berbagai perusahaan kopong (paper company) yang diduga bikinan Robert. PT Paramitra Langgeng Sentosa, misalnya, mendapat fasilitas GSM senilai Rp 169 miliar dan kredit lainnya Rp 376,5 juta. "Ditemukan indikasi kuat bahwa Saudara Robert Tantular memanfaatkan Paramitra untuk memperoleh kredit dari bank," begitu kesimpulan yang ditarik auditor BI. Selain itu, setidaknya ada empat perusahaan papan nama lain yang menjadi bagian akal-akalan serupa. Penelusuran lapangan TEMPO membuktikannya. Salah satunya PT Primasari Niaga, yang menyedot kredit macet Rp 112,6 miliar. Kantornya cuma sebuah rumah-toko bekas kantor CIC yang kini kosong melompong di Klender, Jakarta Timur. Nama pemiliknya di akta, setelah ditelusuri, ternyata cuma seorang wanita penjual kue dan staf administrasi PT Century Mega Investindo milik Robert Tantular. Yang lain, PT Upaya Makmur Sentosa (penerima kredit Rp 94 miliar), malah "berkantor" di sebuah rumah petak di Pulo Asem, Jakarta Timur. Adil Mansur, si empunya rumah sekaligus bekas "direktur" perusahaan ini, mengakui perusahaan tersebut "tak memiliki aktivitas." Rumahnya pun dipinjam alamatnya doang oleh Hartawan Alwi, bosnya yang juga famili Robert. "Karena dia baik sama saya, ya, aktanya saya teken aja," ia berkisah. Begitu pula dengan PT Ira Gerbang Usaha. Terlacak di Jalan Sutan Iskandar Muda, Jakata Selatan, kantornya adalah sebuah ruangan 2 x 6 meter persegi di lantai dua sebuah toko ban mobil. Dan kata seorang saksi di situ, "PT Ira tidak memiliki karyawan." Penunggunya saja cuma datang tiga kali sebulan. Kantor PT Buana Nusa Jaya Sakti lebih "dahsyat" lagi: sebuah bangunan kusam di sebuah gang sempit di kawasan Kalibaru, Jakarta Pusat. Jelaslah, meski telah diharamkan cawe-cawe lagi di CIC, Robert rupanya masih kencang bergerilya. Diungkapkan dalam pemeriksaan BI, "Terdapat indikasi pemanfaatan bank untuk kepentingan pribadi/keluarga pengurus dan pihak terkait. Terdapat indikasi kuat bank dikendalikan oleh pemilik atau mantan pemilik, yaitu Chinkara Capital dan Robert Tantular." Setumpuk berkas yang diperoleh TEMPO pun membuktikannya. Di banyak dokumen transaksi tertera memo dari direksi minta persetujuan Robert. Pun ada di situ tulisan tangan Robert berisi perintahnya, lengkap dibubuhi paraf. Salah satunya juga bisa dilihat pada surat elektronik dari seorang pejabat Rabobank Singapura tertanggal 26 September 2000—setelah Robert dinyatakan tak lulus fit and proper test—yang bahkan langsung ditujukan ke Robert dan direksi CIC ihwal penerbitan LC senilai US$ 4,67 juta untuk keperluan jual-beli katoda tembaga. Yang lebih mengkhawatirkan seorang pengamat ekonomi, borok ini bisa merembet ke dua bank lain, Danpac dan Pikko, yang juga diduga telah dibeli Robert. Soalnya, Chinkara juga tercatat sebagai pemegang saham kedua bank yang sebelumnya dinilai lumayan sehat ini. "Jangan sampai penguasaan aset oleh perusahaan asing ini hanya dijadikan alat untuk menguasai dana pihak ketiga," katanya. Ia lalu mendesak BI supaya segera menindaklanjuti pemeriksaan itu, "Untuk menjamin kepentingan nasabah tak cuma di Bank CIC, tapi juga di Pikko dan Danpac." Syukurlah, aparat sudah mulai bergerak. Penasihat Hukum Eksekutif BI, Oey Hoey Tiong, menyatakan, "Jika dari pemeriksaan telah ditemukan pelanggaran, itu tak berarti menghilangkan unsur pidananya. Itu jelas tergolong penggelapan." Karena itulah, kata Oey lagi, bank sentral segera melimpahkannya ke kejaksaan. Hal senada dinyatakan Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jakarta, Muhamad Nursaid, "Itulah kenapa dilakukan penelitian." Sudah satu bulan ini jaksa menggelar penyelidikan. Sejumlah orang telah dimintai keterangan, termasuk Robert. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Darmin Nasution juga menyatakan telah mendengar ihwal dugaan penyelewengan itu. "Saya akan segera meminta penjelasan dari BI," katanya. Toh, pihak-pihak yang kena tuding menyuarakan sanggahan. Anton Tarihoran membantah sinyalemen ada pejabat BI yang bermain mata. "Sejauh yang saya tahu, tidak mungkin Aulia Pohan mau main-main begitu," ujarnya. Robert sendiri membantah suara miring ke arahnya. "Enggak ada urusan. Saya sudah tidak di CIC lagi," katanya kepada TEMPO. Begitu pula dengan direksi CIC. Menurut Hamidi, direktur operasional, rasio kecukupan modal banknya kini bahkan telah bertengger di angka 13,4. Pembayaran cicilan GSM-102 pun lancar-lancar saja (lihat Robert Tantular: "Itu Urusan Direksi"). Adapun Ravat Ali Rizvi selalu menghindar jika akan diwawancarai. Berkali-kali dikontak, warga negara Inggris keturunan India ini cuma bilang "lagi rapat" atau "sedang sibuk" sebelum mematikan telepon. Di luar saling bantah itu, buat analis perbankan Lin Che Wei, kisruh ini membuktikan satu hal: BI kembali terbukti gagal menjalankan fungsi pengawasannya. "Melihat pemeriksaan CIC telah dilakukan tahun lalu, sangatlah mengejutkan BI tak mengambil langkah lebih awal." Padahal, katanya lagi, rumusnya sudah jelas: menunggu sampai bank benar-benar ambruk sebelum mengambil tindakan cuma akan menghasilkan beban yang lebih besar ke pundak masyarakat banyak. Karaniya Dharmasaputra, Rommy Fibri, E. Karel Dewanto, Suseno
Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati
4 Oktober 2009 — ijrsh
ijrsh for okv
BUKU TAMU WAKIL RAKYAT
Info, Saran & Kritik (INTERAKTIF)
→ Silahkan menuliskan apa saja
kepada publik tentang tokoh ini.
.
- DAPIL
:
JAWA TENGAH 4
(Meliputi)
:
Kab. Wonogiri, Kab. Karanganyar, Kab. Sragen
- No. Anggota
:
A-9
- FRAKSI
:
Partai Hati Nurani Rakyat
- KOMISI
:
Hukum, HAM, Keamanan (Komisi III)
Menkeu Tunda Pelaksanaan Pinjaman Daerah Hingga Akhir 2002
14 Desember 2001
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah memutuskan untuk menunda pelaksanaan pinjaman daerah hingga berakhirnya tahun anggaran 2002. Penundaan juga berlaku bagi pemerintah daerah yang membuat perjanjian pinjaman baru. Sebelumnya, pemerintah telah menundanya pada akhir tahun anggaran 2001. Hal itu terungkap dalam siaran pers yang diterima Tempo News Room, Jumat (14/12).
“Kecuali yang dilakukan melalui pemerintah pusat,” ujar Menteri Keuangan Boediono. Seperti diketahui, selama ini daerah dapat mencari dan memperoleh pinjaman yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Namun, Boediono menambahkan bahwa dengan mempertimbangkan kepentingan nasional, pihaknya dapat menetapkan pengendalian lebih lanjut terhadap pinjaman daerah tersebut.
Sementara itu, penundaan pelaksanaan pinjaman daerah ini merupakan bagian dari langkah pengamanan agar desentralisasi fiskal dapat berjalan sesuai dengan rencana. Menkeu saat ini sedang berupaya agar pada akhir tahun 2001 dapat menghasilkan estimasi laporan keuangan pemerintah daerah kuartal pertama tahun 2001. Pada Juni 2002, keseluruhan estimasi laporan keuangan tahun 2001 tersebut diharapkan selesai.
Untuk anggaran pemerintah daerah tahun 2002, Boediono menjelaskan, akan diselesaikan dan dikonsolidasikan pada akhir Juni 2002. Sasaran strategisnya adalah masyarakat dapat mengetahui laporan kuartalan pelaksanaan anggaran pemerintah daerah, enam bulan sejak akhir kuartal tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, Menkeu mengharapkan BPKP (Badan pemeriksa Keuangan dan pembangunan) pada Januari 2002 dapat menyelesaikan pemeriksaannya atas alokasi dana kontinjensi tahun 2001 dan diharapkan pula sudah menyelesaikan pemeriksaan atas pemberian pinjaman pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada April 2002. (Ebnu Yufriadi)
By: daniri
Bisnis Indonesia, Selasa, 25 November 2008
Tak biasa undangan makan siang datang dari Wadirut Bank Century Hamidy. Akan tetapi, itu terjadi pada Selasa, 28 Oktober 2008. Pernah dia mengajak bertemu menjelang akhir 2005, saat PT Bank Century Tbk, bank hasil merger dari Danpac, Pikko dan CIC itu, sedang giat berkonsolidasi setelah penggabungan.
Akhir bulan lalu, Hamidy tidak sendiri. Dia didampingi Deni Daruri, Direktur Eksekutif Center for Banking Crisis. Pokok perbincangan adalah perlunya pemerintah memberikan blankeet guarantee, hal yang sudah menjadi diskusi umum para bankir.
Satu-satunya sinyal yang diberikan Hamidy adalah adanya penarikan dana di Bank Century, setelah penjaminan penuh di Singapura, Malaysia dan Australia. Dia mensinyalir dana bank kini beralih ke negara-negara itu. Kesulitan likuiditas membayangi Bank Century.
Benar. Rabu 13 November, sejak pagi hari beredar kabar bank ini mengalami kesulitan likuiditas bersama sejumlah bank lain. Rumor yang kemudian membuat Erick J. Adriansjah, pemasar PT Bahana Securities ditangkap polisi dengan tuduhan menyiarkan kabar bohong dan pencemaran nama baik.
Namun, sore harinya BI membenarkan bila Bank Century tidak bisa ikut kliring hari itu karena ketiadaan prefund sebagai syarat transaksi. Bank sentral membantah empat bank lain bernasib serupa.
Hamidy tidak bisa dikontak. Pun sang dirut, Hermanus Hasan Muslim tak berhasil dihubungi.
Manajemen Bank Century baru muncul Minggu, 17 November dengan membawa kabar bila PT Sinar Mas Multiartha Tbk, sayap usaha Sinar Mas Group, berniat mengambil alih 70% saham.
Namun, masalah belum selesai. Operasional Bank Century terus berjalan diikuti kabar terjadinya penarikan dana oleh para deposannya. Menunggu Sinar Mas menyelesaikan uji tuntas, menurut Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Rudjito, ’sama halnya membiarkan likuiditas bank ini makin bleeding’.
.
Awalnya adalah | |
2005 | BI menemukan surat berharga valas milik Century tidak memiliki peringkat, dan tidak diperdagangkan di pasar sekunder. Jumlahnya ada beberapa versi, terakhir disebut US$210 juta. |
2006 | Pemegang saham berani menjamin surat berharga itu dengan dan di rekening penampung US$230 juta. Pada saat yang sama First Gulf menyuntik modal Bank Century US$10,5 juta. |
2007 | Sebagian utang jatuh tempo terbayar |
2008 | 30 Oktober & 3 November sebanyak US$56 juta |
Sumber: Diolah, 2008 .
.
Awalnya adalah surat berharga valas
2005 BI menemukan surat berharga valas milik Century tidak memiliki peringkat, dan tidak diperdagangkan di pasar sekunder. Jumlahnya ada beberapa versi, terakhir disebut US$210 juta.
2006 Pemegang saham berani menjamin surat berharga itu dengan dan di rekening penampung US$230 juta. Pada saat yang sama First Gulf menyuntik modal Bank Century US$10,5 juta.
2007 Sebagian utang jatuh tempo terbayar
2008 30 Oktober & 3 November sebanyak US$56 juta surat berharga jatuh tempo, gagal bayar. Tak ada dana escrow account mengalir ke Bank Century. Bank itupun mengalami kesulitan likuiditas.
Sumber: Diolah, 2008 .
Lalu, publik sudah mahfum, Jumat pekan lalu LPS akhirnya mengambil alih Bank Century, sambil menunggu masuknya investor baru. Ekuitas bank ini telah minus saat pengambilalihan dilakukan. Malah rasio kecukupan modal telah negatif 2,3%, jauh dari syarat minimal BI 8%.
Pemegang saham
Ke mana para pemegang lama? Maaf, dua dari pemegang saham pengendali yakni Rafat Ali Rizvi dan Hesham Alwarraq adalah warga negara asing, yang sudah tentu tak ada di Indonesia. Rafat merupakan pengusaha keturunan Pakistan yang mengendalikan usaha di Inggris dan Singapura, Hesham berkewarganegaraan Arab Saudi.
Konon, bersama Robert Tantular-pemegang saham pengendali lainnya-kedua orang terakhir kali bertemu Bank Indonesia 15 November. Sejak, 21 November Robert bersama tujuh pengurus Bank Century termasuk Hermanus dan Hamidy telah dicekal bepergian ke luar negeri oleh pemerintah.
Inilah repotnya berhubungan dengan pemilik asing. Bank Indonesia tak bisa leluasa meminta pertanggungjawaban. Meminta Direktorat Imigrasi melalukan cekal, sama saja menghalangi kedua orang itu balik ke Indonesia.
Padahal, menurut BI, Rafat pernah menjamin surat-surat berharga non rating milik Bank Century dengan escrow account di Dresdner Bank Luxemburg sebesar US$230 juta. Bisnis memberitakan pada 19 Mei 2006, justru Dresdner yang memberikan jaminan.
Kala itu, Hamidy mengatakan Dresdner Bank akan menempatkan dana escrow account untuk jangka 3 tahun hingga 2009. “Artinya bila setelah melewati jangka waktu itu masih ada yang belum jatuh tempo dan kami pegang, Dresdner akan membelinya dengan harga par.”
Namun, saat sebagian surat berharga (US$56 juta) jatuh tempo pada 30 Oktober dan 3 November 2008, gagal bayar terjadi. Belum jelas, mengapa dana pada rekening penampung itu tidak mengalir ke Bank Century begitu default terjadi.
Gagal bayar surat berharga menjadikan Bank Century kesulitan likuiditas, karena pada saat yang sama harus menyediakan dana pencadangan kerugian. Berharap pada pinjaman antarbank juga sulit, mengingat likuiditas perbankan sedang seret. Pada saat yang sama, beberapa perusahaan besar deposan bank itu menarik dananya.
Aset surat berharga yang jatuh tempo dan telah gagal bayar itu adalah bagian dari total US$210 yang dimiliki Bank Century sejak 2005. Pada 2006 dan 2007, tagihan yang jatuh tempo masih bisa dibayar. Kini tersisa US$140 juta yang jatuh tempo hingga 2014.
Sejak awal bank itu memegang surat berharga, menurut Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah, bank sentral sebenarnya telah menunjukkan ketidaksetujuannya. Malah, Bank Century sempat memegang surat utang Pemerintah RI kepada lembaga keuangan multilateral.
Masih menurut Fadjrijah, surat utang itu kemudian diganti dengan surat berharga lain. Beberapa di antaranya berasal dari Nomura Bank dan National Bank Australia. “Pada Februari 2006 pemegang saham memberikan jaminan melalui AMA [Asset Management Agreement].”
Sebelum dijamin dengan dana escrow account, BI menemukan surat berharga valas yang macet di PT Bank Century Tbk US$163 juta dari total US$246,08 juta. Hasil audit BI yang ditandatangani Direktur Pengawasan Intern Lukman Boenjamin-saat itu-menyatakan klasifikasi macet karena tidak memiliki rating notes dan unsecured serta umumnya bersifat private placement dan tidak memiliki pasar sekunder.
Portofolio surat berharga yang begitu besar hanyalah salah satu misteri di Bank Century. Secara total, hingga September 2008, seperlima dari aset bank itu (Rp3,14 triliun) berupa surat berharga.
Sebagai sebuah lembaga intermediasi, agak aneh bila sebuah bank banyak menguasai surat berharga. Bank Century juga hanya memilik portofolio kredit Rp5,21 triliun, atau hanya 47%, dari dana yang dihimpunnya. Malah setahun sebelumnya, hanya sepertiga dana pihak ketiga yang disalurkan menjadi kredit.
Misteri kedua adalah status para pemegang sahamnya. Sebanyak 55,88% saham Bank Century justru berada di publik. Sisanya sempat beberapa kali berpindah tangan pada beberapa investor institusi.
Sebelum merger, orang mengenal Chinkara Capital Ltd secara tiba-tiba memiliki saham yang cukup besar di tiga bank sekaligus yakni PT Bank CIC International Tbk, PT Bank Pikko, dan PT Bank Danpac. Mengetahui hal ini, konon, BI mendorong Chinkara menggabungkan bank miliknya menjadi Bank Century guna mempermudah pengawasan.
Tak lama setelah bergabung, nama Chinkara perlahan lenyap. Ini terjadi karena Bank Century beberapa kali melakukan penerbitan saham baru. Dari sinilah nama First Gulf muncul, menjadi pembeli siaga pada setiap aksi korporasi itu. Seorang pejabat BI menyebut, tak ada beda pemilik antara Chinkara dan First Gulf Asia Ltd.
Motif pengalihan
Motif pengalihan saham Chinkara ke First Gulf dengan Rafat dan Hesham dibelakangnya tetap menjadi misteri. Pejabat bank sentral lain curiga, kedua orang itu masih memiliki saham Bank Century yang kini tersebar di publik.
Tak adanya pemegang saham mayoritas menjadi misteri berikutnya. Keadaan ini mengingatkan pada kasus Unibank, yang tiba-tiba sahamnya tersebar di belasan institusi beberapa bulan sebelum bank itu ditutup pada 30 Oktober 2001.
Hasilnya, tak satu pun pemegang saham yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
Mengenai hal ini, Deputi Gubernur BI Muliaman Hadad berkelit, pemegang saham akhir bank ini adalah Rafat, Hesham, dan Robert Tantular. “Memang ketentuannya minimal 25%, tetapi bisa juga merujuk pada pemegang saham dominan. Tiga orang itu jelas yang betanggung jawab.”
Sejak awal tahun, Bank Century telah diselimuti isu pengalihan saham. Beberapa lembaga keuangan besar, seperti Malayan Banking Berhard (Maybank), Hana Bank, Korea Sinhan Bank, The Hongkong Shanghai Banking Corporation, dan Nur Islamic Bank adalah beberapa di antaranya.
Bahkan, mengutip Fadjrijah, pada Juni-Juli Hana Bank telah memasuki negosiasi final untuk mengambil alih bank ini.
“Sebelum memperoleh BII, Maybank juga akan masuk. Hana menarik diri karena perekonomian Korea juga terimbas krisis cukup parah. Ini menunjukkan bank ini sebenarnya memiliki prospek untuk dikembangkan.”
Kini, setelah 100% saham Bank Century diambil alih, LPS berniat kembali membangun kepercayaan publik terhadap bank ini. Lembaga tersebut juga tengah fokus memperbaiki arus kas perusahaan, terutama kondisi likuiditas dengan menyediakan dana talangan (bailout) sesuai yang dibutuhkan.
Bank Century juga dilarang menyalurkan kredit untuk sementara, berusaha mencari deposan baru, dan berharap para nasabah tetap menyimpan dananya.
Bila situasinya terus membaik, LPS membuka kemungkinan investor baru masuk, termasuk Sinar Mas yang sedang dalam proses uji tuntas.
Namun, nasib para pemegang saham publik yang menguasai 55,88% belum jelas.
Ini kembali menjadi misteri, terkait saham mereka yang mendadak menjadi kertas tak berharga. (hery.trianto@bisnis.co.id)
.
Oleh Hery Trianto
Wartawan Bisnis Indonesia
Alarm Nyaring dari Sentral Senayan
Pemeriksaan Bank Indonesia menemukan banyak penyelewengan di Bank CIC, termasuk dana triliunan rupiah dari fasilitas kredit pemerintah Amerika. Kas negara segera jebol lagi?
TELEPON di redaksi berdering Kamis malam pekan lalu. Peneleponnya seorang wanita yang bersuara halus. Ia mengimbau TEMPO supaya menulis kasus Bank CIC Internasional "tidak berdasarkan rumor tak jelas, tapi menurut fakta." Wanita itu pun bersedia mempertemukan TEMPO dengan Robert Tantular, bekas pemilik CIC yang dinyatakan tak lulus uji kelayakan pada 1999 lampau, yang dia lukiskan sebagai orang lugu yang tak paham cara menangani pers. Si empunya suara mengenalkan diri: Susaningtyas Kertapati, anggota parlemen dari PDI Perjuangan yang konon punya hubungan dekat dengan Presiden Megawati. Wow, ada apa gerangan sampai anggota dewan yang terhormat jadi begitu repot mengangkat telepon? Nuning, begitu Susaningtyas disapa, tak membidangi urusan keuangan dan perbankan. Di Senayan ia kini duduk di komisi pertahanan dan luar negeri. Robert, yang lahir dan tinggal di Jakarta, kecuali tiap akhir pekan terbang ke Singapura, rasanya pun bukan konstituennya. Daerah pemilihan Nuning adalah Blora, di Jawa Tengah sana. "Saya cuma ingin membantu teman lama," katanya menjelaskan. Lebih dari urusan pertemanan, wakil rakyat seperti Nuning memang sudah sepatutnya menaruh perhatian terhadap permasalahan yang tengah melilit CIC, bank devisa yang memiliki aset Rp 9,7 triliun dengan 38 kantor pemasaran. Tapi mestinya, ketimbang memikirkan pemiliknya, yang lebih penting diperhatikan adalah nasib 1.000 karyawannya, nasabah, dan juga keutuhan kas negara. Bukan apa-apa. Soalnya, dering alarm telah nyaring terdengar dari Gedung Sentral Senayan, Jakarta, kantor pusat CIC. Menurut dokumen autentik Bank Indonesia (BI) tertanggal 22 Juli 2002, yang salinannya bisa diperoleh mingguan ini, pemeriksaan yang digelar intensif pada 16 Juli-30 November tahun lalu ternyata menemukan lubang besar di brankas CIC. "Manajemen bank telah melakukan pemberian kredit dalam jumlah besar yang melanggar prinsip kehati-hatian. Beberapa pelanggaran di antaranya memiliki unsur tindak pidana," begitu tim audit BI menyimpulkan. Rasio kecukupan modal (CAR)-nya dinilai jeblok hingga minus 83,06 persen dan ada kekurangan modal senilai Rp 2,67 triliun. Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK)-nya pun membelalakkan: 852,18 persen ke 15 debitor tak terafiliasi dan 639,44 persen kepada 5 debitor grup. Sudah begitu, manajemen bank dinyatakan telah berupaya mengelabui tim pemeriksa dengan memberikan dokumen yang tak benar. Tak pelak, mulai Maret hingga September ini CIC dijebloskan dalam daftar bank berstatus pengawasan khusus. Lebih celaka lagi, menurut sumber TEMPO, sebenarnya telah tiga kali CIC terperosok dalam kategori gawat itu. Yang pertama pada 1999 dan yang kedua pada Januari-Juni tahun lalu. Cuma, anehnya, tak sekecap pun pengumuman dilansir ke muka publik sebagaimana seharusnya. Baru Selasa pekan lalu, status CIC—bersama Bank IFI—dipampangkan di situs BI, sehari setelah TEMPO mengirim surat mempertanyakan kejanggalannya kepada Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, pejabat yang paling bertanggung jawab dalam urusan ini. Menurut rilis BI, brankas CIC kini mulai berkilat lagi. Meski belum mencapai ambang sehat 8 persen, CAR-nya sudah positif 5,29 persen. Untuk menambal modal, CIC dijelaskan telah menyuntik Rp 270 miliar ditambah US$ 35 juta. Pun telah menyelesaikan kredit dan tagihan lainnya senilai Rp 1,087 triliun. Lantas apa yang terjadi dengan CAR tahun lalu yang mencapai minus 80 persen lebih? Data sahih ini dibantah Deputi Direktur Pengawasan BI Sabar Anton Tarihoran. "Jangan termakan isu," katanya. Menurut dia, kondisi CIC baik-baik saja, juga tak ditemukan adanya pelanggaran BMPK. Kalaupun ada, cuma sebatas pelampauan dan itu pun kepada pihak tak terafiliasi. "Jauh-jauh hari kami sudah memaksa Robert Tantular tidak lagi campur tangan," ia menambahkan. Jadi beres, toh? Tunggu dulu. Menurut sumber tepercaya di BI, angka resmi itu jadi lumayan karena telah "dipoles" di sana-sini. Berdasarkan kalkulasi pemeriksa, CAR CIC sejatinya masih negatif berat, meski tak lagi separah tahun lalu. "Borok ini terus ditutupi. Kita sedang mengulangi kesalahan masa lalu," sumber itu meluapkan kekesalannya. Luapan kejengkelan itu bukan tanpa alasan. Pemeriksaan BI telah nyata-nyata menemukan segunung pelanggaran (lihat Deretan Lampu Merah). Yang paling mencolok adalah ketidakberesan sejumlah pemberian kredit luar negeri yang berkaitan dengan program fasilitas kredit dari Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Salah satunya menyangkut Public Law (PL) 416. Ini adalah program bantuan USDA kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk hibah senilai US$ 24 juta atau sekitar Rp 200 miliar. Dimulai sejak September 1999, donasi ini sementara disimpan di Chase Manhattan Bank, New York, dan baru akan dicairkan pada 31 Desember tahun ini. Dana ini lalu dipakai buat membeli kedelai untuk diekspor ke Indonesia. Chase ditunjuk sebagai bank penjamin surat kredit (letter of credit atau LC) importir. Jangka waktu pelunasannya 3 tahun. Kalau importir gagal bayar, Chase akan membayar klaim yang diajukan bank lokal yang ditunjuk—dalam hal ini CIC—sebesar maksimal 72 persen dari nilai LC. Singkat kata, impor pun berlangsung. Yang mendapat durian runtuh ini adalah tiga koperasi: Induk Koperasi Unit Desa pimpinan Nurdin Halid, Induk Koperasi Tahu Tempe Indonesia, dan Induk Koperasi Kesejahteraan Umat Dewan Masjid Indonesia. Masing-masing beroleh US$ 8 juta. Yang bertindak sebagai eksportir adalah PT Paramitra Langgeng Sejahtera Cabang Singapura, perusahaan milik sobat Robert Tantular. Tapi terjadilah sengketa, pembayaran lalu macet, dan CIC melayangkan klaim. Bau tak sedap mulai meruyak. Chase emoh menomboki karena menemukan banyak kejanggalan. Transaksi itu ternyata bukan impor, melainkan jual-beli dalam negeri dengan Paramitra di Indonesia. Ditelusuri perwakilan BI di Singapura, kantor cabang Paramitra di Negeri Singa bahkan tak pernah ada. Pemeriksa BI berkesimpulan soal ini tak lepas dari "adanya rencana penyelewengan terhadap fasilitas PL-416." Negara juga bisa rugi jika hibah menguap ditelan klaim. Sayang, pihak kedutaan Amerika bersikap tertutup. Melalui surat elektronik, Atase Pertanian Chris Rittgers cuma minta majalah ini mengeklik situs mereka, dan tak merespons pertanyaan yang berkaitan dengan inti kasus. "Soalnya, ini sangat sensitif," kata seorang pejabat di sana. Selain itu rupanya masih ada persoalan yang lebih besar. Kali ini menyangkut program lain USDA yang dinamai General Sales Marketing (GSM) 102: fasilitas jaminan kredit yang diberikan Commodity Credit Corporation (CCC), badan di bawah USDA, untuk mendorong ekspor komoditi pertanian dan peternakan negeri mereka. Dengan fasilitas ini, tenggang waktu pelunasan kredit diberikan selama 3 tahun dan dicicil tiap enam bulan. Ada 14 bank lokal yang direkomendasikan BI layak mengikutinya. Salah satunya CIC. Tapi pemerintah tetap menanggung risiko. Keikutsertaan bank lokal dijamin penuh. Kalau terjadi gagal bayar, kas negaralah yang mesti menalanginya ke CCC. Yang menarik, sejak 1999 sampai 2001, sekitar US$ 840 juta atau 80 persen alokasi dana yang dihimpun melalui fasilitas ini jatuh ke CIC. Ini jelas rezeki nomplok. CIC, yang sudah sekarat dihajar krisis, mendadak segar bugar. Dokumen BI menjelaskan sumber pendanaan CIC sebagian besar (60,9 persen) berasal dari dana pembayaran LC GSM. Tapi ternyata itulah yang akan membuat jantung rakyat Indonesia berdegup kencang. Audit BI menemukan, dana itu diputar secara amat agresif ke berbagai investasi jangka panjang, yang dilakukan bukan hanya secara tak pruden, tapi juga sarat kejanggalan. "Dalam jangka pendek, bank masih punya likuiditas yang baik. Namun, dalam jangka menengah seiring dengan banyaknya LC yang akan jatuh tempo, diperkirakan bank akan mengalami kesulitan likuiditas. Bank belum dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya mismatch kewajiban pembayaran LC GSM," begitu analisis pemeriksa BI. Sebagian besar dana pembayaran LC GSM, misalnya, dipakai untuk membeli surat berharga jenis Credit Link Note Republic of Indonesia (CLN-ROI) senilai US$ 225 juta yang berjangka 3-5 tahun dan berisiko tinggi: tak likuid dan nilai jualnya sangat rendah, sekitar 50 persen saja dari harga nominal. Lebih celaka lagi, US$ 50 juta di antaranya ternyata fiktif. Yang menarik, surat berharga itu dibeli melalui Chinkara Capital, perusahaan investasi yang didirikan di Kepulauan Bahama pada 1999, persis di tahun ketika CIC mulai digerojoki dana GSM. Chinkara memiliki cabang di Singapura. BI menengarai perusahaan ini tak lain adalah kuda troya Robert untuk tetap mengontrol banknya. Direktur Utama Chinkara, Ravat Ali Rizvi, juga duduk sebagai Komisaris Utama CIC. Masih ada fakta lain: penyaluran kredit, yang lalu macet, ke berbagai perusahaan kopong (paper company) yang diduga bikinan Robert. PT Paramitra Langgeng Sentosa, misalnya, mendapat fasilitas GSM senilai Rp 169 miliar dan kredit lainnya Rp 376,5 juta. "Ditemukan indikasi kuat bahwa Saudara Robert Tantular memanfaatkan Paramitra untuk memperoleh kredit dari bank," begitu kesimpulan yang ditarik auditor BI. Selain itu, setidaknya ada empat perusahaan papan nama lain yang menjadi bagian akal-akalan serupa. Penelusuran lapangan TEMPO membuktikannya. Salah satunya PT Primasari Niaga, yang menyedot kredit macet Rp 112,6 miliar. Kantornya cuma sebuah rumah-toko bekas kantor CIC yang kini kosong melompong di Klender, Jakarta Timur. Nama pemiliknya di akta, setelah ditelusuri, ternyata cuma seorang wanita penjual kue dan staf administrasi PT Century Mega Investindo milik Robert Tantular. Yang lain, PT Upaya Makmur Sentosa (penerima kredit Rp 94 miliar), malah "berkantor" di sebuah rumah petak di Pulo Asem, Jakarta Timur. Adil Mansur, si empunya rumah sekaligus bekas "direktur" perusahaan ini, mengakui perusahaan tersebut "tak memiliki aktivitas." Rumahnya pun dipinjam alamatnya doang oleh Hartawan Alwi, bosnya yang juga famili Robert. "Karena dia baik sama saya, ya, aktanya saya teken aja," ia berkisah. Begitu pula dengan PT Ira Gerbang Usaha. Terlacak di Jalan Sutan Iskandar Muda, Jakata Selatan, kantornya adalah sebuah ruangan 2 x 6 meter persegi di lantai dua sebuah toko ban mobil. Dan kata seorang saksi di situ, "PT Ira tidak memiliki karyawan." Penunggunya saja cuma datang tiga kali sebulan. Kantor PT Buana Nusa Jaya Sakti lebih "dahsyat" lagi: sebuah bangunan kusam di sebuah gang sempit di kawasan Kalibaru, Jakarta Pusat. Jelaslah, meski telah diharamkan cawe-cawe lagi di CIC, Robert rupanya masih kencang bergerilya. Diungkapkan dalam pemeriksaan BI, "Terdapat indikasi pemanfaatan bank untuk kepentingan pribadi/keluarga pengurus dan pihak terkait. Terdapat indikasi kuat bank dikendalikan oleh pemilik atau mantan pemilik, yaitu Chinkara Capital dan Robert Tantular." Setumpuk berkas yang diperoleh TEMPO pun membuktikannya. Di banyak dokumen transaksi tertera memo dari direksi minta persetujuan Robert. Pun ada di situ tulisan tangan Robert berisi perintahnya, lengkap dibubuhi paraf. Salah satunya juga bisa dilihat pada surat elektronik dari seorang pejabat Rabobank Singapura tertanggal 26 September 2000—setelah Robert dinyatakan tak lulus fit and proper test—yang bahkan langsung ditujukan ke Robert dan direksi CIC ihwal penerbitan LC senilai US$ 4,67 juta untuk keperluan jual-beli katoda tembaga. Yang lebih mengkhawatirkan seorang pengamat ekonomi, borok ini bisa merembet ke dua bank lain, Danpac dan Pikko, yang juga diduga telah dibeli Robert. Soalnya, Chinkara juga tercatat sebagai pemegang saham kedua bank yang sebelumnya dinilai lumayan sehat ini. "Jangan sampai penguasaan aset oleh perusahaan asing ini hanya dijadikan alat untuk menguasai dana pihak ketiga," katanya. Ia lalu mendesak BI supaya segera menindaklanjuti pemeriksaan itu, "Untuk menjamin kepentingan nasabah tak cuma di Bank CIC, tapi juga di Pikko dan Danpac." Syukurlah, aparat sudah mulai bergerak. Penasihat Hukum Eksekutif BI, Oey Hoey Tiong, menyatakan, "Jika dari pemeriksaan telah ditemukan pelanggaran, itu tak berarti menghilangkan unsur pidananya. Itu jelas tergolong penggelapan." Karena itulah, kata Oey lagi, bank sentral segera melimpahkannya ke kejaksaan. Hal senada dinyatakan Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jakarta, Muhamad Nursaid, "Itulah kenapa dilakukan penelitian." Sudah satu bulan ini jaksa menggelar penyelidikan. Sejumlah orang telah dimintai keterangan, termasuk Robert. Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Darmin Nasution juga menyatakan telah mendengar ihwal dugaan penyelewengan itu. "Saya akan segera meminta penjelasan dari BI," katanya. Toh, pihak-pihak yang kena tuding menyuarakan sanggahan. Anton Tarihoran membantah sinyalemen ada pejabat BI yang bermain mata. "Sejauh yang saya tahu, tidak mungkin Aulia Pohan mau main-main begitu," ujarnya. Robert sendiri membantah suara miring ke arahnya. "Enggak ada urusan. Saya sudah tidak di CIC lagi," katanya kepada TEMPO. Begitu pula dengan direksi CIC. Menurut Hamidi, direktur operasional, rasio kecukupan modal banknya kini bahkan telah bertengger di angka 13,4. Pembayaran cicilan GSM-102 pun lancar-lancar saja (lihat Robert Tantular: "Itu Urusan Direksi"). Adapun Ravat Ali Rizvi selalu menghindar jika akan diwawancarai. Berkali-kali dikontak, warga negara Inggris keturunan India ini cuma bilang "lagi rapat" atau "sedang sibuk" sebelum mematikan telepon. Di luar saling bantah itu, buat analis perbankan Lin Che Wei, kisruh ini membuktikan satu hal: BI kembali terbukti gagal menjalankan fungsi pengawasannya. "Melihat pemeriksaan CIC telah dilakukan tahun lalu, sangatlah mengejutkan BI tak mengambil langkah lebih awal." Padahal, katanya lagi, rumusnya sudah jelas: menunggu sampai bank benar-benar ambruk sebelum mengambil tindakan cuma akan menghasilkan beban yang lebih besar ke pundak masyarakat banyak. Karaniya Dharmasaputra, Rommy Fibri, E. Karel Dewanto, Suseno
Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati
4 Oktober 2009 — ijrsh
ijrsh for okv
BUKU TAMU WAKIL RAKYAT
Info, Saran & Kritik (INTERAKTIF)
→ Silahkan menuliskan apa saja
kepada publik tentang tokoh ini.
.
- DAPIL
:
JAWA TENGAH 4
(Meliputi)
:
Kab. Wonogiri, Kab. Karanganyar, Kab. Sragen
- No. Anggota
:
A-9
- FRAKSI
:
Partai Hati Nurani Rakyat
- KOMISI
:
Hukum, HAM, Keamanan (Komisi III)
Menkeu Tunda Pelaksanaan Pinjaman Daerah Hingga Akhir 2002
14 Desember 2001
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah memutuskan untuk menunda pelaksanaan pinjaman daerah hingga berakhirnya tahun anggaran 2002. Penundaan juga berlaku bagi pemerintah daerah yang membuat perjanjian pinjaman baru. Sebelumnya, pemerintah telah menundanya pada akhir tahun anggaran 2001. Hal itu terungkap dalam siaran pers yang diterima Tempo News Room, Jumat (14/12).
“Kecuali yang dilakukan melalui pemerintah pusat,” ujar Menteri Keuangan Boediono. Seperti diketahui, selama ini daerah dapat mencari dan memperoleh pinjaman yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Namun, Boediono menambahkan bahwa dengan mempertimbangkan kepentingan nasional, pihaknya dapat menetapkan pengendalian lebih lanjut terhadap pinjaman daerah tersebut.
Sementara itu, penundaan pelaksanaan pinjaman daerah ini merupakan bagian dari langkah pengamanan agar desentralisasi fiskal dapat berjalan sesuai dengan rencana. Menkeu saat ini sedang berupaya agar pada akhir tahun 2001 dapat menghasilkan estimasi laporan keuangan pemerintah daerah kuartal pertama tahun 2001. Pada Juni 2002, keseluruhan estimasi laporan keuangan tahun 2001 tersebut diharapkan selesai.
Untuk anggaran pemerintah daerah tahun 2002, Boediono menjelaskan, akan diselesaikan dan dikonsolidasikan pada akhir Juni 2002. Sasaran strategisnya adalah masyarakat dapat mengetahui laporan kuartalan pelaksanaan anggaran pemerintah daerah, enam bulan sejak akhir kuartal tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, Menkeu mengharapkan BPKP (Badan pemeriksa Keuangan dan pembangunan) pada Januari 2002 dapat menyelesaikan pemeriksaannya atas alokasi dana kontinjensi tahun 2001 dan diharapkan pula sudah menyelesaikan pemeriksaan atas pemberian pinjaman pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada April 2002. (Ebnu Yufriadi)
Komentar
Posting Komentar