2,5% itu RADIKAL

2,5 Persen Masyarakat Memiliki Paham Radikal Sandro Gatra | Aloysius Gonsaga Angi Ebo | Senin, 5 Maret 2012 | 16:53 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Petrus Golose mengatakan, berdasarkan penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekitar 2,5 masyarakat Indonesia memiliki paham radikalisme. Namun, mempelajari paham radikalisme bukan berarti sebagai terorisme. Hal itu dikatakan Petrus saat rapat kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (5/3/2012). Rapat kerja itu membahas ratifikasi perjanjian kerjasama penanggulangan terorisme di tingkat ASEAN. Untuk itu, Petrus mengatakan, pihaknya akan terus meningkatkan upaya preventif bersama berbagai pihak agar 2,5 persen yang memiliki paham radikal itu tidak terkooptasi menjadi teroris. Petrus menambahkan, perlu ada perhatian terhadap dunia internet. Pasalnya, saat ini internet dijadikan media untuk penyebaran paham radikalisme. "Pengguna internet 30 juta lebih. Itu potensial penyebaran paham (radikal)," kata Petrus. Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan, terorisme masih tetap akan menjadi ancaman ke depan. Pasalnya, kata dia, sulit untuk menghapus ideologi orang yang sudah tertanam paham radikal. "Dengan deradikalisasi diharapkan orang sadar tidak melakukan aktivitas untuk suatu tujuan dengan kekerasan," kata Sutarman. Buku Berbau Radikalisme Dilarang Masuk Perpustakaan Taufiqurrahman | Glori K. Wadrianto | Senin, 6 Februari 2012 | 11:54 WIB \ PAMEKASAN, KOMPAS.com - Perpusatakaan Daerah Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, melarang masuknya buku-buku berbau radikalisme. Pelarangan itu, setelah banyaknya buku-buku tersebut dikirim melalui alamat yang tidak jelas. Buku-buku tersebut hanya disimpan di bank buku dan tidak untuk dikonsumsi publik. Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Pamekasan, Luqman Hakim menjelaskan, jika buku bertema radikalisme menjadi referensi dan bacaan pengunjung, dikhawatirkan hasil bacaan akan berpengaruh kepada yang bersangkutan. "Sengaja memang kita sweeping semua buku yang berbau aliran keras karena kita berfikir dampak negatifnya," kata Luqman, Senin (6/2/2012). Luqman mengakui, banyak kiriman buku yang disumbangkan oleh beberapa penerbit kepada perpustakaan daerah. Namun pihaknya tidak serta-merta menaruhnya di rak-rak buku. "Kami tentukan dulu melalui tim seleksi buku, mana buku yang layak untuk konsumsi publik dan mana yang tidak layak menjadi bahan bacaan publik," katanya. Dijelaskan Luqman, di antara buku berbau radikalisme yang dilarang adalah buku-buku yang mengarah kepada tindak kekerasan dan terorisme. "Tidak perlu saya sebutkan satu-satu bukunya. Tapi kalau sampulnya saja soal ledakan bom, sambil mengacungkan senjata dan pedang, sudah bisa diprediksi isinya," ujarnya. Tidak hanya buku, tetapi beberapa majalah dan buletin yang menyebarluaskan semangat terorisme juga tidak luput dari sasaran. "Dari 80 persen pengunjung yang datang ke perpustakaan adalah pelajar dan mahasiswa. Jika otak mereka sudah terisi dengan bacaan yang ekstrem, radikal dan sebagainya, pengaruh jangka panjangnya sulit untuk merubah pola fikirnya," imbuhnya. Ditegaskan Luqman, buku-buku berbau radikalisme jika dibandingkan dengan jumlah buku yang lainnya jauh lebih sedikit. "Puluhan saja jumlahnya. Tetapi yang sedikit dan berbeda dengan buku lainnya itu yang kecenderungannya dicari oleh pembaca," ungkap Luqman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN