korupsi = kejahatan = antizakat = antiTuhan

Ketika agama turut dikorupsi
Zakat tidak menyucikan harta hasil korupsi

Negeri ini memang negeri yang korup. Tak salah jika peringkat kita tetap bertengger di atas. Yang sungguh paradoks sekaligus sangat memprihatinkan adalah, ternyata agama pun dikorupsi di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini.
Betapa tidak. Kasus yang terakhir terkait dengan pembongkaran mafia pajak di Surabaya, misalnya, ternyata ada tersangkanya yang dikenal dermawan membagi-bagikan zakat, berkali-kali naik haji, dan menyumbang tempat ibadah. Dalam kasus Gayus, hakim dan penyidik juga disebut-sebut menggunakan uang haram itu untuk umrah ke Tanah Suci.

Begitu juga dalam kasus cek perjalanan yang menyangkut Miranda Goeltom, di antara rentetan jawaban "lupa", ada terdakwa yang ingat menggunakan sebagian uang sogokan Rp500 juta untuk membantu rombongan ziarah ke Israel. Kasus sejenis juga pernah terjadi di Buleleng, Bali, saat anggota DPRD diusut karena menggunakan dana APBD untuk tirtayatra (ziarah) ke India dan sisanya dibagi-bagi.

Beberapa contoh di atas menjelaskan kepada kita ternyata korupsi turut menjarah konsep keberagamaan kita. Zakat, misalnya, sekadar dijadikan sebagai cara untuk menyucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil korupsi dan praktik kemaksiatan lainnya. Dengan wisata spiritual haji seolah-olah para koruptor merasa bisa membersihkan diri dengan menziarahi tempat suci.

Persoalannya, kenapa orang beragama dan bertuhan tidak bisa mencegah dari menggelincirkan dirinya ke perbuatan senista korupsi? Ketika gairah (ritual) keagamaan terus terjaga, kenapa tingginya tingkat korupsi terjaga juga?

Agama dan korupsi

Pada prinsipnya, setiap agama tidak sekadar mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah secara vertikal (hablun minallah), tetapi juga sekaligus beribadah secara horizontal (hablun minannas). Semua bentuk ritual dalam agama apa pun, termasuk Islam, seperti zakat dan haji, memiliki dimensi individual dan sosial.

Karena itulah, agama-agama tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk mementingkan dirinya sendiri menuju ke jalan rohani Tuhan, tetapi juga menginginkan pengikutnya menuju jalan sosial-kemanusiaan. Dalam ritual zakat dan sedekah lainnya yang diajarkan dalam Islam, misalnya, jika dicermati sesungguhnya amat kental nuansa sosialnya. Ironisnya, makna zakat acapkali disalahmanfaatkan oleh sebagian umat Islam, seperti para mafia pajak dan pejabat korup itu, sehingga kehilangan makna substansialnya.

Zakat yang sejatinya bermakna penyucian harta (tazkiyat al-mal) malah dipahami sekadar sebagai cara untuk menyucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil korupsi. Dengan pemahaman ini jelaslah, zakat kehilangan makna substansialnya untuk menyucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal. Harta yang diperoleh dari praktik korupsi dianggap suci dan halal setelah dibayarkan zakatnya kepada kaum fakir-miskin. Inilah wujud dari pemahaman yang formalistik, lahiriah, dan tidak mengambil makna terdalam dari hakikat agama.

Padahal, harta yang diperoleh dari praktik korupsi selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah tempat penyucian terhadap segala praktik haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi teologis bahwa orang yang telah melakukan korupsi mendapatkan laknat dari Tuhan dan tidak mendapatkan keberkahan dalam hartanya.

Shalahuddin al-Jursyi, seorang tokoh HAM dari Tunisia dalam karyanya, Al-Islamiyyun wa Al-Taqaddamiyyun (2000), mengatakan perbuatan korupsi (al-ikhtilash) telah mencederai cara pendistribusian kekayaan negara yang disimpangkan sehingga bisa menimbulkan kesengsaraan, ketidakadilan, sekaligus kemarahan dari masyarakat (al-ijtimaiyyah).

Bukankah harta yang dikorupsi adalah uang rakyat, yang di dalamnya terdapat hak kaum fakir-miskin dan mereka yang perlu mendapat perlindungan ekonomi? Di manakah letak kepedulian sosialnya, jika ia mengorup harta orang banyak demi memperkaya diri sendiri? Karena itulah, korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Dalam konteks ini, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak. Di sinilah zakat memberikan motivasi teologis betapa harta kita hendaknya diperoleh dengan cara yang halal, bukan mengambil harta orang banyak dengan cara yang haram.

Apa pun alasanya, jika harta kita tidak diperoleh dengan cara yang halal, meskipun telah dibayarkan zakatnya, digunakan untuk pergi haji, atau menyumbang tempat ibadah, maka tidak secara otomatis menjadi suci. Ibaratnya, mana bisa bersih mandi dengan air kencing? Buktinya, kini mereka menelan kehinaan setelah perbuatan itu terbongkar.

Uraian di atas kian menegaskan, bahwa koruptor ternyata telah "mengorupsi agama". Mereka merasa bisa berbuat nista dengan asumsi toh bisa ditebus dengan zakat atau haji. Apa kata akhirat? Jalan menuju Tuhan saja dikorupsi. Mereka tega membawa-bawa perilaku beragamanya saat korupsi. Ini jelas-jelas penghinaan kemuliaan agama.

Kini saatnya ormas dan tokoh agama menjadi garda terdepan meneguhkan diri dalam perang suci melawan korupsi. Tidak cukup sekadar fatwa antikorupsi. Dalam praktik, mereka kalah menonjol jika dibandingkan dengan LSM dalam mewujudkan sikap antikorupsi sekaligus mengawasi kinerja aparat.

Sudah saatnya lembaga-lembaga keagamaan mendirikan semacam corruption watch, pengawas parlemen, pengontrol pengadilan, atau pengawas kepolisian. Ini memang kerja yang tidak nyaman dan menguras tenaga-pikiran. Akan tetapi, bukankah hanya bernyaman-nyaman dan membiarkan umat tercekik korupsi adalah "dosa besar"? Wallahu a'lam.

Oleh Maksun
Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN