Ocehan Melulu @china matters

Etnis Tionghoa Harus Lepas dari Jebakan Sejarah Oleh: Herdi Sahrasad Nasional - Senin, 23 Januari 2012 | 07:55 WIB INILAH.COM, Jakarta - Perayaan Imlek kali ini seharusnya mendorong warga Tionghoa dan bumiputera makin berinteraksi secara terbuka, lepas dan bebas dengan semangat kebhinekaan dan ke-Indonesiaan. Keran kebebasan bagi warga etnis Tionghoa telah dibuka Presiden Abdurrahman Wahid di era kepemimpinannya. Kini, bagaimana warga tionghoa menilai kepemimpinan presiden SBY? Tentu beragam penilaian mereka. Ketua Komunitas Glodok Hermawi F Taslim menyatakan, kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat lemah. Khususnya dalam penanganan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kepemimpinan SBY yang lemah secara kamtibnas, dan ini tentu akan berpengaruh terhadap kepemimpinannya. Menurut Hermawi hal itu akan sangat berpengaruh pada kekuatan SBY dan partai Demokrat di pemilihan 2014 mendatang. Baginya, memang untuk menentukan pemimpin tidak lagi berpatokan pada persoalaan etnitsitas, namun pandangan publik terhadap kepemimpinan SBY yang sudah absen terhadap keamanan masyarakat sangatlah sulit untuk mendongkrak kredibilitas dan popularitas SBY maupun partainya. Sayang pula bahwa warga Tionghoa masih banyak yang eksklusif. Sehingga sejarawan JJ Rizal menilai warga keturunan Tionghoa yang masih bersikap eksklusif di masa kini sebagai kelompok yang masuk dalam jebakan sejarah kolonialisme. "Eksklusivitas orang Tionghoa itu dibuat oleh pemerintah kolonial, kalau saat ini masih ada orang Tionghoa yang tetap bersikap eksklusif, maka artinya mereka masuk dalam jebakan sejarah," kata JJ Rizal, di Jakarta, Sabtu. Rizal menuturkan, pada era kolonialisme warga keturunan Tionghoa dimanfaatkan oleh para penjajah Belanda sebagai perantara dengan warga pribumi. Hal itu, lanjut dia, membuat warga Tionghoa menjadi mesin ekonomi Batavia saat itu dan muncul sebutan "hantu uang" untuk mereka. Kemudian saat perekonomian etnis Tionghoa mulai meluas dan berkembang, menurut dia, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap warga etnis itu di 1740. "Mitos ini kemudian dilembagakan di zaman Orde Baru," katanya. Hal itu, membuat warga keturunan Tionghoa takut atau tidak tertarik untuk bergerak di bidang lain, misal politik atau menjadi pegawai pemerintah. Rizal menilai, orientasi menjadikan warga keturunan Tionghoa menjadi pedagang sangat berbahaya karena akan menimbulkan prasangka-prasangka. Oleh karena itu, ia mendorong untuk semua pihak bersikap makin terbuka satu sama lain dan bergaul tanpa batas-batas keetnisan. Meminjam diskursus Leo Suryadinata, kaum Tionghoa perlu untuk menjelaskan perannya di masa kini, termasuk pertanyaan tentang kewarganegaraan dan nasionalisme serta harus bebas dari jebakan sejarah yang muram di masa silam. Dalam kaitan ini, Ketua Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa, Esther Yusuf, menilai bahwa warga Tionghoa cenderung tidak berpolitik karena trauma masa lalu yang belum hilang. Memang pelajaran di masa lalu masih jadi peringatan keras. Banyak orang yang melarang anak-anaknya untuk berpolitik. Ia juga mengutip kesaksian sejumlah warga keturunan Tionghoa pada peristiwa 1998 yang gagal menjangkau aparat keamanan untuk melindungi mereka. Sungguh, seluruh etnis kita, tidak hanya Tionghoa, hendaknya mulai peduli dengan berbagai kebijakan dan peraturan yang ada di Indonesia karena hal itu berkaitan dengan kehidupan semua warga sehari-hari. “Harus bersatu dan berjuang bersama bagi Republik Indonesia tanpa diskriminasi dan ketidakadilan,” katanya. [berbagai sumber]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02