sens0r media ala ANA$

Senin, 25/07/2011 11:27 WIB
Pembersihan Demokrat
Datang dari Swiss, Menghilang di Cikeas
Deden Gunawan - detikNews




Jakarta - Swiss, pertengahan Juni 2011. Presiden SBY sedang melakukan kunjungan untuk acara ILO. Di sela-sela acara itu, tiba-tiba saja ia memanggil seseorang 'istimewa' jauh-jauh dari Jawa Timur untuk datang.

Orang istimewa itu adalah Ketua DPD Partai Demokrat Jatim Sukarwo. Ia datang untuk diajak diskusi tentang PD yang saat itu tengah gonjang-ganjing akibat ulah mantan bendahara umumnya, M Nazaruddin.

Ikut dalam diskusi itu Menko Polhukam Djoko Suyanto dan sejumlah elit PD.
Saat itu SBY minta Sukarwo ikut memikirkan masalah PD. Mantan aktivis GMNI itu juga diminta membersihkan jaringan HMI di PD wilayah Jatim.

Dalam pertemuan itu tercetus rencana Kongres Luar Biasa (KLB). Sukarwo dan Djoko Suyanto diplot untuk menggantikan Anas Urbaningrum. Tapi sebulan kemudian setelah pulang ke tanah air, rencana itu kemudian berubah total. Saat SBY akhirnya jumpa pers di Cikeas pada 11 Juli 2011, ia menegaskan tidak akan ada KLB.

“SBY akhirnya memilih jalan menjebloskan Anas lewat hukum. Sebab kalau lewat KLB , Ibas bakal ikut keseret, selain itu Anas nanti terkesan dizalimi,” kata sang sumber.

Djoko Suyanto hingga kini belum bisa dimintai konfirmasi soal kabar tersebut.

Pertengahan 2001. Peristiwa bersejarah bagi PD bermula dari lantai 6 Gedung Bank Artha Graha. Tepatnya di ruang kerja mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara era orde baru, T.B. Silalahi. Di sinilah SBY untuk pertama kalinya mengungkapkan keinginan untuk menjadi presiden Indonesia.

Pada pertengahan 2001, SBY masih menjabat Menko Polhukam era Presiden Megawati. Dia menemui TB Silalahi didampingi Sudi Silalahi, yang waktu itu masih menjabat Sekretaris Menko Polhukam.

Kepada TB Silalahi, SBY minta pendapat apakah dirinya layak menjadi presiden. “Apakah saya pantas jadi presiden?" kata SBY seperti ditirukan sumber detikcom.TB Silalahi pun kemudian menjawab, sangat pantas. Mendengar jawaban itu, SBY kemudian meminta bantuan kepada TB Silalhi untuk membantunya.
"Abang saya anggap sebagai mentor saya. Jadi tolong bantu."

Setelah itu, pertemuan SBY dan TB Silalahi semakin intens. Untuk memenuhi komitmennya membantu SBY, TB Silalahi kemudian menyusun pembentukan parpol yang kemudian diberi nama Partai Demokrat.

TB Silalahi membenarkan ia yang menggodok pembentukan PD. "Pembentukan partai (PD) hanya untuk syarat saja. Supaya bisa mengantarkan SBY jadi presiden," terangnya kepada detikcom.

Karena hanya sekadar syarat, pengurus partai dipilih secara langsung. Para pendiri partai tidak terlalu memusingkan siapa yang menjabat sebagai ketum atau pengurus. Sebab tujuan mereka hanya satu yakni mengantarkan SBY menjadi presiden. Sementara untuk urusan partai dikelola sambil lalu saja.

Tapi para pendiri ini tidak menyangka jika PD ternyata melesat dengan cepat. Pada Pemilu 2004, PD meraih suara sebanyak 7,45% (8.455.225) dari total suara dan mendapatkan kursi sebanyak 57 di DPR.
Dengan begitu PD meraih peringkat ke 5 Pemilu Legislatif 2004. Raihan ini tentu saja merupakan sebuah prestasi bagi PD sebagai partai baru.

Meski begitu, pengurus partai menganggap raihan suara PD hanya pengaruh peningkatan popularitas SBY. Itu sebabnya semua kegiatan atau keputusan PD semua bermuara kepada SBY. Apalagi ketua umumnya Hadi Utomo, yang terpilih pada Kongres I PD merupakan adik ipar SBY.

Anggapan elite PD mulai berubah setelah partai ini menjadi pemenang pemilu dengan mendapat suara dukungan 21.703.137 atau 20,4% pada Pemilu 2009.

Eforia pun langsung terjadi di internal PD. Dengan kemenangan itu, kader PD merasa melonjaknya suara PD bukan hanya imbas popularitas SBY, melainkan hasil kerja mereka.

"Memang menjelang Pemilu 2009 terjadi peningkatan jumlah kader maupun simpatisan. Tapi perekrutan yang dilakukan tidak selektif. Para pengurus hanya mencari kuantitas saja. Bukan kualitas," ujar Silalahi.

Seiring banyaknya kader-kader baru di PD, sikap partai pelan-pelan berubah terhadap SBY. Pada awal berdirinya PD merupakan kumpulan para pendukung SBY alias fans club SBY. Belakangan sejumlah kader PD menginginkan perubahan paradigma itu dengan menjadikan PD sebagai partai modern yang tidak mengkultuskan figur SBY.

Bentuk perubahan sikap sejumlah elit partai mulai terlihat saat Kongres II PD di Bandung, Agustus 2010. Saat itu, SBY dan orang-orag dekatnya menginginkan Andi Mallarangeng menjadi Ketua Umum PD mengantikan Hadi Utomo. Pertimbangannya, pada 2014 Andi bakal diusung sebagai cawapres mendampingi Ani Yudhoyono sebagai capres.

Tapi rencana yang disusun orang-orang dekat SBY ini kandas. Sebab Anas ternyata sudah melakukan gerilya ke sejumlah DPD untuk mencari dukungan. Anas juga tidak mau menyerah ketika SBY memintanya untuk tidak maju sebagai calon ketum. Akhirnya Anas pun terpilih jadi Ketum PD. Kemenangan Anas ini merupakan kemenangan pertama kubu Anas terhadap SBY dan para pendukungnya.

Setelah itu, kubu SBY kembali menelan pil pahit ketika rencana mengusung Ani Yudhoyono sebagai capres 2014 mendapat penolakan dari kubu Anas. Padahal survei internal sudah dilakukan untuk mengukur elektabilitas Ani.

"Rencana itu buyar setelah Ruhut membocorkannya ke publik. Hingga akhirnya SBY menyatakan keluarganya tidak akan maju di Pilpres 2014," jelas sumber detikcom di internal PD.

Pertarungan atara kubu SBY dan Anas bukan hanya terjadi dalam penentuan sikap politik di tingkat nasional. Di tingkat daerah, dalam Pemilukada perseteruan juga terjadi dalam menetapkan calon yang didukung PD, misalnya dalam Pemilukada di Sulut.

Bukan itu saja, pasca Anas jadi ketum, para pendiri PD merasa tersingkirkan. Mereka tidak punya lagi hak suara di dalam partai. Tapi belakangan peta kekuatan itu mulai berubah. Kubu Anas saat ini mulai blingsatan pasca kasus korupsi yang dilakukan mantan bendahara umum PD Muhammad Nazaruddin. Apalagi Nazar semakin gencar melakukan serangan terhadap Anas, yang merupakan teman dekatnya di PD.

Tapi kabar perseteruan SBY dan Anas dibantah sejumlah elit PD. Mereka menyatakan hubungan Anas dan SBY baik-baik saja. Meski awalnya tidak mendukung Anas, kini SBY sudah menerima kepemimpinan Anas.“SBY dan Bu Ani itu suka loh sama Anas,” kata sumber detikcom
.
Ketua DPP PD Kastorius Sinaga menduga ada pihak-pihak tertentu yang ingin menghancurkan PD dan SBY. Namun Kastorius tidak mau menjelaskan pihak yang dimaksud.

Sebenarnya munculnya isu konflik antara SBY dan Anas memang tidak bisa dielakkan. Hal ini lantaran elite PD tidak menaati aturan main partai. Semua berbicara sendiri-sendiri sehingga memunculkan ada perpecahan.

"Ini semua karena ada beberapa elite yang tidak bisa kontrol diri. Mereka asyik berseteru dengan teman partainya sendiri. Wajar kalau orang luar melihatnya ada perpecahan,” kata pengamat politik dari Uvolution Indonesia Andi Syafrani.

(ddg/nrl)
Anas Benarkan Istrinya Pernah di PT Dutasari
Jum'at, 15 Juli 2011 | 07:25 WIB
Besar Kecil Normal
foto

Anas Urbaningrum bersama istrinya Athiyyah Laila. TEMPO/Kink Kusuma Rein

Berita terkait

Perusahaan Istri Anas Kebagian Proyek BUMN
LP Cipinang Dipasangi Jammer
Pengejaran Nazaruddin Harus Jelas Sampai Kapan
KPK Belum Cukup Bukti Jadikan Alex Noerdin Tersangka
Dikabarkan Terima Fee, Gubernur Alex Noerdin Kumpulkan Pembantunya

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengatakan bahwa Athiyyah Laila pernah aktif di PT Dutasari Citralaras. Namun, istrinya itu kini tidak lagi mengurusi perusahaan tersebut.

"Sudah mundur sebelum saya menjadi anggota DPR pada 2009," kata Anas melalui pesan pendek kepada Tempo tadi malam. Ia tak mau menjawab lebih lanjut ketika ditanya bentuk kerja sama antara PT Dutasari dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk. "Tolong tanya kepada orang yang tepat."

Adapun Athiyyah mengaku tak pernah mendengar nama PT Dutasari. "Saya baru mendengar dari Anda," ujarnya kepada Tempo di rumahnya di Duren Sawit, Jakarta, kemarin.

PT Dutasari memiliki tagihan puluhan miliar rupiah ke perusahaan di bawah naungan badan usaha milik negara itu. Berdasarkan laporan keuangan PT Adhi Karya, pada 2008 membukukan utang kepada PT Dutasari sebesar Rp 64,49 miliar. Tahun berikutnya Rp 20,13 miliar dan pada 2010 sebesar Rp 3,9 miliar.

Berdasarkan dokumen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dimiliki Tempo, nama Athiyyah tertera sebagai Komisaris PT Dutasari dengan menguasai 1.650 lembar saham pada 30 Januari 2008. Dalam perubahan akta terakhir, 10 Maret 2008, nama Athiyyah masih tercantum.

Machfud Suroso, yang tercatat sebagai pemegang saham mayoritas (2.200 lembar saham) PT Dutasari, mengatakan juga sudah tak bergabung dengan perusahaan itu. "Waktu itu mau bikin hotel di Jakarta, tapi enggak jadi," katanya ketika dihubungi.

Ia kenal dengan Anas karena pernah menjadi adik kelasnya ketika sekolah. Machfud tak menjelaskan sekolah di mana. Adapun dengan Athiyyah, ia tidak begitu kenal. Menurut dia, PT Dutasari ditinggalkan pada 2009 ketika Anas baru terpilih menjadi anggota DPR.

Machfud lantas mendirikan perusahaan baru bernama PT Selaras Bangun Abadi. Perusahaannya ini berkantor di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. PT Selaras bergerak di bidang perumahan. "Saya tak main proyek," ujarnya.

Dia menambahkan, perusahaan yang pertama kali didirikan adalah PT Dian Kartika Jaya. Pada 1993, PT Dian menggarap proyek dari PT Adhi Karya. "Ngerjain pembangunan Gedung Puspiptek Tangerang," katanya. Sejak proyek itu selesai, PT Dian tak pernah lagi bekerja sama dengan PT Adhi Karya.

Ketika Tempo mendatangi kantor PT Dutasari di B-06 Plaza 3 Pondok Indah, Jalan T. B. Simatupang, Jakarta Selatan, kondisinya sepi dan tak terawat dibanding ruangan kantor perusahaan lain di kanan-kirinya.

Petugas resepsionis mengakui Machfud sebagai direktur utama, tapi sedang di luar kantor. Tak sampai semenit kemudian, seorang pria berpakaian safari biru tua yang mengaku bernama Roy mengatakan atasannya bukan Machfud, melainkan Andi Hermansyah. Perusahaan itu bergerak di bidang perkapalan.

DIANING SARI | ISMA SAVITRI | JOBPIE S
Perusahaan Istri Anas Kebagian Proyek BUMN
Jum'at, 15 Juli 2011 | 07:20 WIB




TEMPO Interaktif, Jakarta - Di tengah ribut-ribut soal mafia proyek, ternyata Athiyyah Laila, istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, memiliki bisnis. Ia menjadi komisaris dan pemegang saham PT Dutasari Citralaras yang bergerak di bidang perdagangan dan jasa.

Berdasarkan penelusuran Tempo, perusahaan tersebut terlibat dalam kegiatan bisnis dengan PT Adhi Karya. Ini terlihat dalam laporan keuangan Adhi Karya pada 2009 dan 2010. Perusahaan milik negara ini memiliki utang usaha kepada PT Dutasari sebesar Rp 64,49 miliar pada 2008. Setahun kemudian, nilai utangnya menjadi Rp 20,13 miliar. Adapun pada 2010, turun menjadi Rp 3,9 miliar.

Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya Kurnadi Gularso mengaku tidak mengetahui kerja sama perusahaannya dengan PT Dutasari. Sementara itu, Bambang Triwibowo, yang memimpin Adhi Karya dari 2008 hingga Juni 2011, tak menjawab ketika dihubungi tadi malam.

Jawaban Athiyyah Laila dan Anas Urbaningrum berbeda saat dimintai konfirmasi oleh Tempo secara terpisah. "Saya baru dengar (PT Dutasari)," kata dia di rumahnya di Duren Sawit, Jakarta. "Saya tak akan ngomong, itu fitnah," tegasnya. Tapi, Anas mengakui bahwa istrinya pernah menjadi komisaris perusahaan tersebut.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan tak ada larangan bagi keluarga politikus untuk berbisnis. "Asalkan tak memanfaatkan posisi strategis anggota keluarganya itu," ujar Saldi. Dia berharap apabila Athiyyah Laila berbisnis, tak memanfaatkan posisi suaminya.

DIANING S | HERU T | EVANA D | FEBRIYANA F | JOBPIE S
Anas Minta Hentikan Pemberitaan Negatif
Sandro Gatra | Nasru Alam Aziz | Selasa, 5 Juli 2011 | 16:30 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum meminta kepada media massa agar menghentikan pemberitaan negatif tentang dirinya yang berasal dari BlackBerry Messenger (BBM) mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin.

"Kami selaku kuasa hukum Anas Urbaningrum mengingatkan kepada siapa pun untuk menghentikan perbuatan tersebut jika tidak dapat membuktikan informasi yang berasal dari BBM M Nazaruddin," kata Patra M Zen, pengacara Anas, saat melaporkan Nazaruddin ke polisi di Mabes Polri, Selasa (5/7/2011).

Patra membuat laporan bersama pengacara lain, yakni Denny Kailimang dan Hinca IP Panjaitan, serta kader Partai Demokrat, Benny K Harman dan Ruhut Sitompul. Laporan itu diterima dengan nomor LP 412.

Benny mengatakan, Anas mengambil langkah hukum agar polisi mengusut apakah benar pesan itu dikirim oleh Nazaruddin. Jika pesan itu bukan dikirim oleh Nazaruddin, kata Benny, maka media yang memberitakan harus bertanggung jawab atas fitnah dan pencemaran nama baik.

Menurut Benny, hal tersebut diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP dan Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jika terbukti, maka ada ancaman penjara 6 tahun atau denda Rp 1 miliar.

"Kalau betul dia (Nazaruddin) yang memproduksi berita itu, maka dia harus bertanggung jawab. Namun jika tidak, berarti kalian menyebarkan berita apa (bohong) itu, ada deliknya," kata Benny kepada wartawan.

Ketika ditanya mengapa Anas yakin pernyataan itu tidak benar padahal belum diusut oleh KPK, Benny menjawab, "Makanya dia (Nazaruddin) datang dong ke sini untuk memberikan keterangan. Dia harus bertanggung jawab."

Nazaruddin menyebut Anas menerima suap senilai Rp 2 miliar dari pimpinan Badan Anggaran DPR, Mirwan Amir, terkait suap wisma atlet SEA Games. Selain itu, Anas juga disebut mengambil jatah uang Rp 7 miliar untuk media massa.

Demokrat Ancam Media Penyebar BBM Nazaruddin
Rabu, 06 Juli 2011 | 04:27 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Departemen Penegakan Hukum Partai Demokrat Benny Kabur Harman mengancam media yang menyebarkan tudingan yang dikirimkan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin melalui BlackBerry Messenger. "Pers bisa kena delik pasal penyebaran fitnah," ujarnya kepada wartawan di gedung DPR kemarin.

Benny meragukan isi BBM yang menyudutkan sejumlah politikus Partai Demokrat itu berasal dari Nazaruddin. Informasi BBM itu, kata Benny, bisa saja berasal dari orang lain yang mengaku sebagai Nazaruddin.

"Jadi, kalau bukan Nazaruddin yang mengirim, medialah yang harus bertanggung jawab karena menyebarluaskan berita yang salah," kata Benny, yang juga Ketua Tim Pencari Fakta Partai Demokrat dan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat.

Kuasa hukum Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Patra M. Zen, juga mengingatkan media agar tidak lagi memuat berita yang berasal dari pesan tersebut. "Kami mengingatkan kepada siapa pun untuk menghentikan dan membuktikan informasi dari BBM Nazaruddin," kata Patra setelah melaporkan Nazaruddin menyangkut pencemaran nama baik ke Markas Besar Polri kemarin.

Nazaruddin menebarkan tudingan kepada rekannya di Komisi X DPR, Angelina Sondakh; Wakil Ketua Badan Anggaran Mirwan Amir; Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng; serta Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terkait dengan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI, Jakabaring, Palembang. Seluruh tudingan ini dikirimkan Nazaruddin melalui pesan BlackBerry Messenger kepada beberapa media, termasuk Tempo.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria menilai tidak seharusnya Benny mengeluarkan pernyataan yang menyerang kebebasan pers. "Seharusnya Benny berfokus bagaimana caranya menyelesaikan kasus ini dan memulangkan Nazaruddin ketimbang menyerang media," kata Nezar kemarin.

Ia menambahkan, media sudah melakukan perimbangan berita atau cover both side karena melakukan konfirmasi kepada nama-nama yang disebut Nazaruddin.

Adapun Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Agus Sudibyo meminta Benny memahami isi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ia mengatakan, apabila Benny atau pihak lain keberatan dengan isi pemberitaan sebuah media, sebaiknya mengirim hak jawab ke media tersebut. Benny juga bisa mengadukan masalah tersebut melalui Dewan Pers. "Sebut medianya mana, tanggal serta isi aduannya, nanti kami selesaikan," kata Agus kemarin.

FEBRIYAN | RIKY FERDIANTO | TRI SUHARMAN | RAJU FEBRIAN

Nazaruddin, Bukan Demokrat Pertama yang Buron
Pertama kali yang masuk DPO adalah As'ad Syam, anggota DPR periode 2009-2014.
Rabu, 6 Juli 2011, 06:18 WIB
Arfi Bambani Amri


VIVAnews - Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat, mulai Selasa 5 Juli 2011 muncul di situs Interpol sebagai buron internasional. Namun, soal masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), Nazaruddin rupanya bukan anggota DPR periode 2009-2014 yang pertama.

Pertama kali yang masuk DPO adalah As'ad Syam, anggota DPR periode 2009-2014 yang juga dari Demokrat. Menariknya, As'ad yang terpilih dari daerah pemilihan Jambi ini resmi diberhentikan DPR pada hari yang bersamaan dengan foto Nazaruddin terpampang di situs Interpol.

As'ad masuk dalam DPO sejak 12 Juli 2010 karena keberadaanya tidak diketahui oleh Kejaksaan Tinggi Jambi yang hendak menjalankan vonis Mahkamah Agung. MA memvonis mantan Bupati Muaro Jambi itu empat tahun penjara dalam korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Sungai Bahar sebesar Rp4,5 miliar.

Kubu As'ad sendiri, seperti disampaikan Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Demokrat, Denny Kailimang, bukan hendak buron seperti ditetapkan kejaksaan. As'ad memasalahkan vonis Mahkamah Agung itu, baik secara formil mau pun secara administratif.

"Pertama, dia di tingkat Pengadilan Negeri divonis bebas, lalu jaksa melakukan permohonan kasasi," kata Denny Kailimang. "Ini persoalan, karena jaksa seharusnya tak bisa kasasi atas vonis bebas," ujar Denny yang juga berprofesi pengacara itu.

Masalah kedua, As'ad menilai ada kesalahan pengetikan. Nomor perkara yang diputuskan pengadilan negeri berbeda dengan nomor perkara yang diputuskan dalam kasasi Mahkamah Agung.

Dan As'ad pun menghilang dari publik sejak 12 Juli 2010 itu. Sampai kemudian, Rabu 4 Agustus 2010, malam, Kejaksaan mencokoknya di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan.

Keesokan harinya, As'ad diterbangkan ke Jambi untuk dieksekusi penjara di Lembaga Pemasyarakatan Muaro Bungo. Dan Selasa kemarin, As'ad pun diberhentikan sebagai anggota DPR. (umi)
• VIVAnews

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019