HUKUMAN ITU P0L1T1s ab1s (SBY BAPAK PILKADA TIDAK LANGSUNG)

akhirnya terbukti RAKYAT MENANG MUTLAK
ketum parpol terkait lapindo lumpur menjilat ludahnya sendiri dengan gagal menjadi calon apa pun
ketum parpol terkait korupsi padahal iklannya anti korupsi juga menjilat ludah orang lain, karena terpaksa menonton saza
JakartaCNN Indonesia -- Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, Sumarno mengatakan Pilkada Jakarta merupakan miniatur pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sehingga pelaksanaan Pilkada Jakarta harus menjalankan prinsip demokrasi yaitu keberagaman.

"Pilkada Jakarta miniatur implementasi pelaksanaan demokrasi karena prinsip demokrasi adalah meskipun ada perbedaan dan keberagaman namun bukan menjadi persoalan," katanya saat membuka Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di Kawasan Monas, Jakarta, Sabtu (29/10), dilansir Antara

Sumarno mengatakan, pelaksanaan kampanye Pilkada Jakarta berlangsung sekitar 107 hari dan dalam kurun waktu itu akan terlihat berbagai jenis kampanye dengan beragam alat peraga masing-masing pasangan calon.

Namun menurut dia, dari semua perbedaan alat peraga kampanye itu ada titik kesamaan bahwa semuanya adalah warga Jakarta harus tetap bersatu dalam bingkai keberagaman tersebut.

"Kenapa perlu mengkampanyekan Kampanye Damai dan Berintegritas karena kita semua tentu tidak ingin muncul kekisruhan, konflik dan perpecahan dari adanya perbedaan dalam Pilkada Jakarta," ujarnya.

Menurut dia, kegiatan Deklarasi Kampanye Damai tersebut juga melibatkan semua tim sukses pasangan calon sebagai wujud agar kedamaian pilkada bukan hanya harus dimiliki pasangan calon saja.

Dia mengatakan swafoto tiga pasangan calon ketika tes kesehatan yang viral di media sosial, merupakan pesan tegas dan harus ditindaklanjuti timses hingga akar rumput untuk tetap bersatu dalam bingkai keberagaman.

"Kegiatan Deklarasi Kampanye Damai ini melibatkan Timses, ini pesan moral untuk wujudkan kedamaian bukan hanya pasangan calon," katanya.

Komisioner KPU Pusat, Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan Deklarasi Kampanye Damai merupakan ikhtiar agar semua pihak memiliki komitmen menjadikan kampanye Pilkada berlangsung damai.

Menurut dia, perlunya komitmen damai menjaga persatuan dan kesatuan karena itu merupakan hal penting diatas segalanya.

"Penyelenggara Pemilu juga berkomitmen untuk mandiri dan independen," ujarnya.

Fery mengatakan, pelaksanaan Pilkada Jakarta juga disaksikan dunia internasional sehingga diharapkan menjadi miniatur pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

Menurut dia, semua pihak harus komitmen menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga pelaksanaan Pilkada berkualitas.

(rel)



 Jakarta detik - Anggota Fraksi Partai Demokrat (PD) Sutan Bhatoegana mengungkap peristiwa yang terjadi usai fraksinya walk out di paripurna pengesahan UU Pilkada. Bhatoegana menuturkan ada telepon dari SBY yang diterima Ketua Harian Syarief Hasan dan Sekjen Edhie Baskoro Yudhoyono tak lama setelah Fraksi PD walk out.

"Pak Syarief lagi marah-marah di lantai 9, masuk telepon SBY. Pak SBY telepon Pak Syarief dan Ibas," ujar Bhatoegana saat berbincang dengan detikcom, Minggu (28/9/2014) malam.

Mantan Ketua Komisi VII DPR ini mengaku tak tahu detail isi percakapan antara SBY dengan Syarief dan Ibas. Hanya sebagian percakapan yang dia tahu. Menurutnya, SBY marah atas aksi walk out itu.

"Kelihatannya SBY marah, malah perintahkan Pak Syarief kalau anak-anak masih ada di luar suruh masuk lagi," tutur Sutan.

SBY lalu menyuruh Ketua Fraksi Nurhayati Ali Assegaf untuk kembali ke ruang paripurna dan menemui Priyo Budi Santoso untuk melobi agar pengesahan UU Pilkada dipending. Namun upaya Nurhayati sudah telat.

"Akhirnya Bu Nur ke luar ruangan, tapi ternyata sudah dihitung-hitung (voting-red). Sudah lah, lonceng kematian itu. Jadi telat barang itu. Marah dia, padahal anak buahnya sendiri yang buat," lanjutnya.



Merdeka.com - Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat dinilai memberikan teladan mengerikan untuk generasi mendatang. Sebab, tokoh PAN Amien Rais yang dulu memperjuangkan pilkada langsung, kini justru menolaknya.

Sementara, Demokrat malah memilih walk out dalam paripurna. Akibatnya, pendukung pilkada langsung kalah suara saat voting.

"Ada kata bijak Kongfutse bisa direnungi bahwa kematian yang indah bukanlah banyaknya harta yang ditinggalkan tapi begitu banyak yang bersedih, mendoakan dan banyaknya mengiringi dalam pemakaman. Itulah yang kita lihat kematian Bung Karno dan para orang-orang dimuliakan Allah," kata Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti Fahmi Habsy, Sabtu (27/9).

Fahmi mempertanyakan sikap Amien Rais dan SBY itu. Sebagai tokoh nasional pastinya mereka menginginkan dikenang dan dihormati saat meninggal kelak.

"Akrobatik kedua tokoh yang bertolak belakang antara ucapan dan perbuatan di RUU Pilkada adalah sebuah 'tragedi bangsa' cukup ditampilkan di era saat ini saja. Mungkin sejarah mencatat tak ada legacy bernilai yang ditinggalkan SBY dan Amien Rais diakhir hidupnya untuk kami dan generasi masa datang. Semoga Tuhan mengampuni kita semua," pungkas Fahmi.

 TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

"Ini merupakan tragedi politik," kata Amir melalui pesan pendek, Jumat, 26 September 2014. (Baca: Pilkada Via DPRD, Bupati dari Golkar Gugat ke MK)

Amir mengatakan upaya yang dapat dilakukan untuk menjegal RUU Pilkada tidak langsung adalah melakukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. "Yaitu dengan mengajukan uji materi," kata Amir. (Baca: Kasus Annas Jadi Dalih Demokrat Walkout RUU Pilkada)

Ketua Umum partai berlambang mirip logo mercy itu, Susilo Bambang Yudhoyono, juga sudah menginstruksikan Dewan Kehormatan untuk mencari kader yang menjadi dalang walkout Fraksi Demokrat dalam sidang penentuan pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, Kamis, 25 September 2014. (Baca: RUU Pilkada Sah, Ahok Angkat Tangan)

"Ketua Umum telah memerintahkan Dewan Kehormatan Demokrat untuk memeriksa dan mengusut tuntas dalang tragedi politik memalukan ini," kata Amir. Namun, Amir tidak menjelaskan lebih jauh sanksi apa yang akan diberikan untuk kader yang membelot. (Baca: RUU Pilkada, Demokrat Dinilai Bohongi Publik)

Sebelumnya, dalam sidang paripurna DPR, Kamis, 25 September 2014, Fraksi Demokrat melakukan walkout dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Ada 129 kader Demokrat yang meninggalkan ruang sidang. Di ruang itu hanya tersisa enam anggota Dewan dari Demokrat yang semuanya memilih opsi pilkada langsung di antaranya Gede Pasek Suardika. Tapi suara itu tak cukup menolong terpilihnya opsi pilkada langsung. Berdasarkan rekapitulasi voting, fraksi pendukung pilkada lewat DPRD, yakni PAN, PPP, Gerindra, PKS, dan Gerindra unggul dengan 256 suara.

Tiga fraksi pendukung pilkada langsung, yakni PDI Perjuangan, Hanura, dan PKB mengantongi 135 suara. Walhasil, RUU Pilkada disahkan. Pengesahan itu memastikan pemilihan kepala daerah dilakukan lewat DPRD, tidak lagi secara langsung oleh rakyat.

DEVY ERNIS


RMOL. Pemilihan kepala daerah secara langsung maupun tidak langsung sama-sama demokratis. Dalam UU Pemerintah Daerah pun, hanya menyebutkan bahwa pilkada dipilih secara demokratis. Dalam pasal itu tidak menyebutkan bahwa pemilukada harus langsung atau pun tidak langsung.

"Pasal itu menyebutkan dipilih secara demokratis,” kata jelas Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jimly Asshiddiqie dalam keterangan persnya, Jumat (26/9).

Hanya saja, dia menyayangkan pengesahan RUU Pilkada yang mengatur pemilukada tidak langsung. Ini artinya perubahan secara drastis. Masyarakat yang tadinya bisa memilih pemimpinnya kini tidak bisa.

“Terkesan set back dalam mengelola negara,” katanya.

Sebaiknya, lanjut Jimly, ada evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilukada jangan berubah secara drastis. Misalnya, saja pelaksanaan Pemilukada untuk kabupaten atau kota dipilih secara langsung, sedangkan untuk pemilihan gubernur  melalui DPRD.

Alternatif lain, daerah dengan status kota  pemilukada langsung mengingat penduduknya merupakan masyarakat urban. Sedangkan untuk daerah dengan status kabupaten pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

“Mestinya jangan dipukul rata. Tapi apapun kita harus menghormati terhadap undang-undang karena ini sudah disahkan,” tutup mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. [zul]
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Saiful Mujani Research and Consulting Djayadi Hanan mengakui musim pemilihan umum memunculkan banyak lembaga survei yang tak kredibel atau "abal-abal". Lalu, bagaimana ciri lembaga survei yang abal-abal tersebut?  (Baca di sini: Bekas Bos Lembaga Survei Pro-Prabowo Buka-bukaan)

Menurut Djayadi, alat utama survei adalah metodologi penelitian. Metodologi survei di belahan dunia mana pun, kata Djayadi, hampir sama. Seperti teknik mengambil sampel, membuat kuesioner, menentukan margin error, mengambil data di lapangan, mengecek data asli atau palsu, serta mengolah dan menginterpretasi data. (Baca: Begini Cara Lembaga Survei 'Abal-abal' Bekerja)

Yang terpenting, ujar Djayadi, orang tersebut harus memiliki kapasitas peneliti, hasil dan proses survei terbuka untuk publik, serta bisa diaudit. "Kalau lembaga survei tidak melakukan itu, berarti dia abal-abal," kata Djayadi ketika dihubungi, Selasa, 15 Juli 2014. (Baca: Survei yang Menangkan Prabowo Ini Muncul Tiba-tiba)

Lembaga survei, kata Djayadi, boleh saja menerima klien dari kandidat calon presiden, calon kepala daerah, ataupun partai. "Tapi untuk kepentingan internal dan tidak mempublikasikannya," ujar Djayadi. Apabila dipublikasikan, lembaga survei tersebut harus menyebutkan sumber dananya dan metodologi yang digunakan.

Bekas Direktur Eksekutif Indonesia Network Election Survei (INES) Irwan Suhanto mengaku survei INES yang selalu menempatkan elektabilitas Prabowo Subianto di atas Joko Widodo merupakan pesanan Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra. Dia mengatakan memesan hasil survei menjadi hal yang lumrah. INES, kata Irwan, memang menjadi alat propaganda Gerindra.

Sesama pelaku yang berkecimpung di dunia survei, Djayadi mengaku tidak tahu banyak soal INES. "INES jarang melakukan survei," katanya.

LINDA TRIANITA


July 10
JAKARTA, Indonesia — Jakarta Governor Joko “Jokowi” Widodo and former army general Prabowo Subianto are both claiming victory in Indonesia’s presidential election based on unofficial “quick counts,” raising the specter of prolonged political instability in Southeast Asia’s largest economy.
Here is a look at which candidate has the stronger case for claiming victory, and what might happen in the coming days and weeks.
___
WHAT IS A QUICK COUNT?
Researchers tally votes at a random sample of polling stations, allowing them to make a reliable projection of the national vote. Civil society organizations have used the method to accurately forecast election results in scores of countries over the last 15 years. Proponents say making this data available reduces the risk of fraud in the aggregation process. Quick counts have accurately forecast the results of regional and national elections in Indonesia since 2009.
___
WHAT HAS HAPPENED THIS TIME AROUND IN INDONESIA?
At least 12 organizations, among them research groups and media organizations, carried out their own quick counts. Of those, eight show Widodo with a lead of between 4 percent and 5 percent. The rest project a Subianto victory by between 1 percent and 4 percent. Most of those projecting a Widodo victory have been carried out by independent organizations with a long track record of running quick counts and other opinion surveys, and have predicted the results of earlier elections, making them far more credible. Two of those projecting a Subianto win have been carried out by television stations openly supporting his bid.
___
WHAT NOW?
All eyes are on the Election Commission of Indonesia, which is counting the votes and says it will announce them by July 22. If Widodo wins, as is considered highly likely given the quick count data, then Subianto could challenge the vote in the Constitutional Court if he can find evidence of fraud or other irregularities. Judges can reject the petition outright if they believe it lacks merit. If they agree to hear the case, they must rule before August 24.
___
IS SUBIANTO LIKELY TO KEEP UP THE FIGHT?
Subianto and the business, military and political elite backing his bid have invested many millions in trying to win the election. Most analysts don’t expect them to give up now. But Subianto faces an uphill challenge. Few expect that he will concede on the basis of the quick counts, but public opinion is likely to turn against him if official results show that he has lost decisively. Widodo fears that voter fraud could still take place, and has urged his supporters to closely monitor the count. Corruption remains rampant in Indonesia and many of its state institutions are vulnerable to political pressure and bribery. Last month, the former head of the Constitutional Court was sentenced to life imprisonment for accepting bribes while ruling on a regional election dispute.



Suasana membingungkan yang diterima masyarakat berkaitan dengan hasil Quick Count Pilpres 2014, membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat suara.
SBY pun berharap agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam masa penghitungan suara.
Langkah tersebut menurut SBY dinyakini dapat meredakan situasi kisruh, setelah pasangan Prabowo-Hatta & Jokowi-JK saling mengklaim kemenangan dalam pilpres ini.
“Saya telah berkomunikasi dengan Ketua KPU Husni Kamil Malik yang berada di Sumatera Barat. Saya senang Ketua KPU menyambut baik, kita lihat saja implementasinya seperti apa” ungkap SBY di Rapat Kabinet Paripurna, 11 Juli 2014.
SBY juga mengatakan jika KPU hendaknya mengajak kedua pasangan calon untuk mengawasi bersama proses penghitungan suara di seluruh tingkat.
Hal ini penting agar pada saat pengumuman pada 22 Juli mendatang, keduanya dapat menerima keputusan KPU karena dilakukan secara akuntabel, cermat, dan transparan.
SBY tidak lupa menyampaikan kepada para menteri, bahwa kedua pasangan capres-cawapres telah berjanji menahan diri hingga pengumuman KPU. Keduanya juga telah sepakat tak akan mengerahkan massa atau menggelar acara syukuran yang berlebihan hingga ada penetapan resmi.
“Terlepas dari pertemuan saya dengan kedua capres-cawapres, kita akui memang ada ekspresi kemenangan pihak tertentu yang saya anggap wajar. Luapan kegembiraan syukur yang saya sebut sebagai ekspresi kemenangan” tambah SBY.
Selain KPU, SBY juga menyatakan peran pers atau media sangat penting untuk menjaga keamanan dan ketertiban setelah pemungutan suara. Ia berharap tak ada media yang terlalu berat sebelah dalam pemberitaan sehingga lebih fair dan berimbang.
“Dengan demikian, pers tetap dapat kepercayaan dari masyarakat” pungkas SBY.
JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan peneliti Indonesia Research Center (IRC), Asep Saepuddin, mengungkapkan permainan di balik survei-survei yang dilakukan lembaga itu. Menurut Asep, untuk menentukan sebuah lembaga survei kredibel atau tidak, perlu dilihat dari jejak rekam dan metodologi yang dipakai lembaga itu.
Asep menuturkan, survei yang dilakukan IRC sering kali ditujukan untuk kepentingan politik tertentu, terutama saat pemiliknya terjun ke dunia politik.
"Survei ini biasa dilakukan untuk dongkrak elektabilitas dan popularitas owner. Kadang dipakai juga untuk pilkada-pilkada, di mana (pemilik) di sana ikut meng-endorse sehingga terkesan ada peningkatan kinerja," ujar Asep kepada Kompas.com, Kamis (10/7/2014) malam.
Salah satu cara yang digunakan untuk memengaruhi hasil survei, kata Asep, adalah dalam tahap penentuan sampel. Asep menuturkan, jika penelitian dilakukan secara obyektif, penentuan sampel disesuaikan dengan data penduduk dari Badan Pusat Statistik. Namun, yang dilakukan IRC tidak demikian.
"Karena keterbatasan dana, sampling yang seharusnya bersifat probabilistik (acak, tanpa tujuan tertentu) diubah menjadi non-probabilistik (bertujuan tertentu, subyektivitas peneliti)," ujar Asep.
Dia mencontohkan, sampel yang diambil oleh IRC sering kali hanya melibatkan sampel yang terjangkau aksesnya. Selain itu, apabila ditujukan untuk kepentingan politik tertentu, IRC mengambil sampel di basis pendukung tertentu.
"Sehingga, hasilnya pun sesuai dengan keinginan klien. Saya bisa katakan, tingkat kesadaran akan penggunaan metodologi penelitian yang tepat sangat rendah di IRC. Sebagian besar rezim lama di IRC hanya memikirkan penghematan dana. Bagi peneliti, masalah dana seharusnya nomor sekian, yang terpenting metodologinya benar dan bisa dipertanggungjawabkan," papar Asep.
Terkait dengan hasil hitung cepat yang berbeda-beda, Asep juga meminta masyarakat untuk kritis. Asep menyarankan agar publik melihat siapa pemilik lembaga-lembaga survei itu dan jejak rekamnya selama ini dalam melakukan survei ataupun hitung cepat.
IRC adalah lembaga survei yang digunakan oleh kubu Prabowo-Hatta untuk mengklaim kemenangan. Berdasarkan hasil hitung cepat IRC, Prabowo-Hatta unggul dengan dukungan 51,11 persen dan Jokowi-Jusuf Kalla 48,89 persen.
Liputan6.com, Palembang - Kendati pernah tinggal dan besar di wilayah Kecamatan Talang Ubi, Penukal Abab Lematang Ilir Kabupaten Pali, Sumatera Selatan, namun ternyata tidak mempengaruhi pada jumlah suara untuk Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 1 ini.

Bahkan, dari hasil rekapitulasi surat suara, pasangan nomor urut 2, Jokowi-JK menang mutlak. Dulu Hatta Rajasa pernah berdiam di Bumi Pali. Saat kecil, Hatta Rajasa pernah tinggal di Pendopo saat ayahnya jadi Camat Pendopo, Pali, Sumsel.

Berdasarkan hasil rekapitulasi di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) se-Kecamatan Talang Ubi di 6 Kelurahan dan 14 Desa, partisipasi pemilih sebesar 73,61 persen.

Hasil suara pasangan Jokowi-JK mendulang suara sebanyak 24.835 suara atau 68,32 persen. Sedangkan pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta memperoleh 11.514 suara atau  31,67 persen.

Untuk angka Golput sendiri di Talang Ubi cukup meningkat. Di tahun lalu, golput pada pileg lalu hanya sekitar 22 persen saja, di tahun ini meningkat menjadi 26,39 persen.

Adapun jumlah suara sah sebanyak 36.348, yang tidak sah 244 suara. Sehingga total jumlah suara sah dan tidak sah 36.592 suara. Menurut Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Talang Ubi, M Taufiq, rekapitulasi tingkat PPK akan dilaksanakan pada tanggal 13 Juli.

"Mudah-mudahan satu hari selesai. Sehingga pada sorenya bisa langsung kita kirim ke KPU Muaraenim," katanya kepada Liputan6.com, Jumat (11/7/2014).
(Yus Ariyanto)
- See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2076445/di-tempat-hatta-rajasa-pernah-tinggal-jokowi-jk-menang-telak#sthash.GgJApQnm.dpuf















Liputan6.com, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal PKS Fahri Hamzah dikabarkan menjadi sasaran kemarahan capres nomor urut 1 Prabowo Subianto atas kekalahan dalam hitung cepat (quick count) Pilpres 2014 yang diselenggarakan sejumlah lembaga survei. Kekalahan Prabowo di 8 lembaga survei itu disebut-sebut sebagai imbas dari kicauan 'sinting' Fahri.

Melalui akun twitter-nya, Fahri menulis kata sinting saat mengkritisi janji Jokowi untuk menetapkan 1 Muharam sebagai Hari Santri. Kicauan ini pun memicu kemarahan kalangan santri. Hal inilah yang dituding sebagai penyebab perpindahan massal kalangan santri dari Prabowo ke pasangan lawan, Jokowi-JK.

Namun Fahri membantah tudingan itu. Dia mengaku, hubungannya dengan Prabowo dalam keadaan baik-baik saja.

"Saya lagi sama Pak Prabowo. Itu operasi intelijen. Tim mereka jahat sekali," kata Fahri dalam pesan singkat kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (11/7/2014). Namun Fahri tak menjelaskan siapa tim yang dimaksudnya.

Senada dengan Fahri, juru bicara timses Prabowo-Hatta, Tantowi Yahya juga membantah kabar ini. Dia menyatakan, informasi marahnya Prabowo pada Fahri adalah isapan jempol belaka.

"Tidak benar itu, itu gosip. Sama dengan ketika digosipkan Pak Prabowo tampar Ahmad Dhani," ucap Tantowi.

Sebelumnya, lewat akun Twitter pribadinya, @fahrihamzah pada Kamis 27 Juni lalu, berkicau, "Jokowi janji 1 Muharam hari Santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!"
Menurut Fahri, perkataan yang dilontarkannya di akun twitter itu bersifat pribadi dan informal. Kata-kata itu hanya gambaran ekspresi semata.

"Itu kan informasi pribadi. Informal. Jangan sensitif dengan itu. Orang Indonesia punya ekspresi seperti itu. Gile, sinting, kalau anak gaul sekarang sadis. Itu ekspresi," kata Fahri, Kamis 3 Juli 2014 lalu. (Yus)
(Nadya Isnaeni )
- See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2076580/tweet-sinting-bikin-kalah-fahri-dimarahi-prabowo#sthash.ApLFX9Js.dpuf
Liputan6.com, Palembang - Kendati pernah tinggal dan besar di wilayah Kecamatan Talang Ubi, Penukal Abab Lematang Ilir Kabupaten Pali, Sumatera Selatan, namun ternyata tidak mempengaruhi pada jumlah suara untuk Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 1 ini.

Bahkan, dari hasil rekapitulasi surat suara, pasangan nomor urut 2, Jokowi-JK menang mutlak. Dulu Hatta Rajasa pernah berdiam di Bumi Pali. Saat kecil, Hatta Rajasa pernah tinggal di Pendopo saat ayahnya jadi Camat Pendopo, Pali, Sumsel.

Berdasarkan hasil rekapitulasi di tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) se-Kecamatan Talang Ubi di 6 Kelurahan dan 14 Desa, partisipasi pemilih sebesar 73,61 persen.

Hasil suara pasangan Jokowi-JK mendulang suara sebanyak 24.835 suara atau 68,32 persen. Sedangkan pasangan nomor urut 1 Prabowo-Hatta memperoleh 11.514 suara atau  31,67 persen.

Untuk angka Golput sendiri di Talang Ubi cukup meningkat. Di tahun lalu, golput pada pileg lalu hanya sekitar 22 persen saja, di tahun ini meningkat menjadi 26,39 persen.

Adapun jumlah suara sah sebanyak 36.348, yang tidak sah 244 suara. Sehingga total jumlah suara sah dan tidak sah 36.592 suara. Menurut Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Talang Ubi, M Taufiq, rekapitulasi tingkat PPK akan dilaksanakan pada tanggal 13 Juli.

"Mudah-mudahan satu hari selesai. Sehingga pada sorenya bisa langsung kita kirim ke KPU Muaraenim," katanya kepada Liputan6.com, Jumat (11/7/2014).
(Yus Ariyanto)
- See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2076445/di-tempat-hatta-rajasa-pernah-tinggal-jokowi-jk-menang-telak#sthash.GgJApQnm.dpuf
JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah pindaian atau scan formulir C1 yang diunggah di situs kpu.go.id menampilkan data yang tidak valid. Ada sejumlah kejanggalan, di antaranya, beberapa formulir C1 bahkan menampilkan kolom dengan jumlah suara kosong alias yang tidak terisi.

Berdasarkan penelusuran Kompas.com pada situs KPU dengan link pilpres2014.kpu.go.id, sejumlah formulir C1 dari beberapa daerah ternyata tidak diisi sesuai dengan prosedur, misalnya hasil pindai formulir C1 TPS 47, Kelurahan Kelapa Dua, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten.

Dalam pindaian formulir C1 itu, tercantum perolehan suara calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebanyak 814 suara. Sementara itu, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh suara sebanyak 366 suara. Adapun total suara sah sebanyak 380 suara. Formulir tersebut tidak ditandatangani saksi dari pihak pasangan Jokowi-JK.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, satu tempat pemungutan suara (TPS) maksimal memfasilitasi 800 orang pemilih.

Kejanggalan lain tampak pada hasil pindai formulir C1 TPS 4 Kelurahan Selabatu, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat. Formulir C1 TPS tersebut yang ditampilkan di situs KPU tidak mencantumkan perolehan suara masing-masing calon dan total suara sah. Semua kolom pada halaman 4 formulir tersebut kosong. Padahal, formulir sudah ditandatangani anggota Kelompok Penyelenggara Pemilu (KPPS) dan Saksi kedua pasangan calon.

Formulir lain yang juga janggal adalah C1 TPS 2 Kelurahan Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah total suara yang ditampilkan di formulir tidak sama dengan suara yang diperoleh semua pasangan calon. Pada C1 itu tertera perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta adalah 175 suara, Jokowi-JK sebanyak 155 suara. Semantara itu, total perolehan suara sah sebanyak 290 suara.

Seperti formulir C1 lainnya yang menampilkan angka yang janggal, formulir C1 itu juga dibubuhi tanda tangan anggota KPPS dan saksi pasangan calon

Liputan6.com, Jakarta - Setelah mengepung kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama berjam-jam dan sempat menerobos masuk ke ruang rapat utama ketika berlangsung konferensi pers para komisioner, Koalisi Relawan Jokowi-JK akhirnya diterima oleh KPU.

Utusan relawan yang berjumlah 7 orang diterima Kepala Biro Teknis KPU Joyo Wardono di kantor KPU Jakarta, Kamis (10/7/2014). Utusan relawan yang terdiri dari Muchtar Pakpahan perwakilan dari SBSI, Yopi Lasut dari Getar, Ammarsyah dari Forum Alumni, Yanes Yosua Frans dari WLJ, Bambang Wasis dari Bejo, Lius dari Seknas dan Sihol Manullang dari Bara JP akhirnya berhasil membuat kesepakatan dengan KPU.

Berikut kesepakatan KPU dengan Koalisi Relawan dari keterangan tertulis yang diterima Liputan6, Jumat (11/7/2014):

1. KPU akan segera mengumumkan lembaga survei yang telah memperoleh akreditasi dari KPU.
2. KPU akan bersikap netral dan tidak memihak salah satu capres.
3. KPU setuju, relawan dapat menghadiri semua proses penghitungan, mulai dari tingkat PPK hingga di KPU (pusat).
4. Para migran di Hong Kong yang belum mengikuti pencoblosan, akan diberi kesempatan mencoblos.

Aksi pengepungan kantor KPU dipicu oleh hasil hitung cepat (quick count) perolehan suara pemilu presiden 9 Juli 2014 yang berbeda di antara beberapa lembaga survei.

Dari 12 lembaga survei yang menyelenggarakan quick count, 8 lembaga survei menyatakan pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla menang dalam pilpres. Ke delapan lembaga tersebut yakni CSIS Cyrus Network, Litbang Kompas, RRI, SMRC, LSI, Indikator Politik Indonesia, Populi Center, dan Poll Tracking.

Sedangkan 4 lembaga survei lainnya menyatakan pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa unggul. Hasil quick count 4 lembaga ini ditayangkan oleh TVONE, RCTI, MNC dan Global TV. Keempat lembaga survei itu yakni Puskaptis, IRC, JSI dan LSN. (Ein)
- See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2076319/4-kesepakatan-koalisi-relawan-jokowi-jk-dengan-kpu#sthash.4lC3icmL.dpuf
Liputan6.com, Jakarta - Setelah mengepung kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) selama berjam-jam dan sempat menerobos masuk ke ruang rapat utama ketika berlangsung konferensi pers para komisioner, Koalisi Relawan Jokowi-JK akhirnya diterima oleh KPU.

Utusan relawan yang berjumlah 7 orang diterima Kepala Biro Teknis KPU Joyo Wardono di kantor KPU Jakarta, Kamis (10/7/2014). Utusan relawan yang terdiri dari Muchtar Pakpahan perwakilan dari SBSI, Yopi Lasut dari Getar, Ammarsyah dari Forum Alumni, Yanes Yosua Frans dari WLJ, Bambang Wasis dari Bejo, Lius dari Seknas dan Sihol Manullang dari Bara JP akhirnya berhasil membuat kesepakatan dengan KPU.

Berikut kesepakatan KPU dengan Koalisi Relawan dari keterangan tertulis yang diterima Liputan6, Jumat (11/7/2014):

1. KPU akan segera mengumumkan lembaga survei yang telah memperoleh akreditasi dari KPU.
2. KPU akan bersikap netral dan tidak memihak salah satu capres.
3. KPU setuju, relawan dapat menghadiri semua proses penghitungan, mulai dari tingkat PPK hingga di KPU (pusat).
4. Para migran di Hong Kong yang belum mengikuti pencoblosan, akan diberi kesempatan mencoblos.

Aksi pengepungan kantor KPU dipicu oleh hasil hitung cepat (quick count) perolehan suara pemilu presiden 9 Juli 2014 yang berbeda di antara beberapa lembaga survei.

Dari 12 lembaga survei yang menyelenggarakan quick count, 8 lembaga survei menyatakan pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla menang dalam pilpres. Ke delapan lembaga tersebut yakni CSIS Cyrus Network, Litbang Kompas, RRI, SMRC, LSI, Indikator Politik Indonesia, Populi Center, dan Poll Tracking.

Sedangkan 4 lembaga survei lainnya menyatakan pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa unggul. Hasil quick count 4 lembaga ini ditayangkan oleh TVONE, RCTI, MNC dan Global TV. Keempat lembaga survei itu yakni Puskaptis, IRC, JSI dan LSN. (Ein)
- See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2076319/4-kesepakatan-koalisi-relawan-jokowi-jk-dengan-kpu#sthash.4lC3icmL.dpuf
TEMPO.CO, Kediri - Ibadah salat tarawih di Masjid Al Ikhlas, Kediri, geger gara-gara sang penceramah menyisipkan kampanye Prabowo dalam khotbahnya, Minggu malam 6 Juli 2014. Kontan para jamaah riuh memprotes perilaku ustad tersebut.

Tak ada yang ganjil saat Ibrahim, imam masjid sekaligus khatib yang ditunjuk takmir Masjid Al Ikhlas Perumahan Persada Sayang Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, memimpin salat isya yang disusul dengan tarawih. Lebih dari 100 jamaah dengan khidmat mengikuti sang imam hingga jeda penyampaian khotbah.

Ibrahim membuka khotbah singkatnya dengan himbauan menjaga perilaku selama bulan ramadan. Materi itu pun berkembang pada adab bertutur dan bersikap santun dalam menghadapi pemilihan presiden, khususnya masyarakat yang terlibat kegiatan tim sukses.

Para jamaah yang semula tekun mendengarkan mulai gelisah dan kasak kusuk ketika Ibrahim menyinggung pernyataan Trimedya Panjaitan, pengurus Partai Demokrasi Indonesia yang akan mencabut peraturan daerah syariah jika Joko Widodo memimpin. "Itu pernyataan ngawur," kata Ibrahim, Ahad, 6 Juli 2014. (Baca juga: Kampanye Ilegal, Pro Prabowo Pukul Pengawas Pemilu)

Selanjutnya, kata dia, juga mengecam penetapan 1 Muharam sebagai hari santri yang dicanangkan pasangan Jokowi-JK. Menurut Ibrahim, penetapan 1 Muharam menjadi hari santri sangat mengecilkan makna tahun baru Islam. Karena itu dia meminta kepada tim sukses Jokowi untuk belajar dulu soal agama sebelum menentukan sesuatu.

Kegusaran para jamaah pecah ketika sesi khotbah yang hampir seluruhnya mengecam Jokowi ini berujung pada sanjungan terhadap capres lainnya Prabowo Subianto. Menurut dia serangan soal pelanggaran HAM yang ditujukan selama ini adalah salah alamat. "Itu kan tanggung jawab komandannya Prabowo yang memerintah, bukan dia," katanya.

Kontan satu per satu jamaah berceletuk dan meneriaki Ibrahim yang dianggap keluar jalur. Mereka meminta materi khotbah tidak ditarik-tarik ke ranah politik dan tetap menjaga netralitas. Beberapa jamaah pria bahkan dengan lantang menuding sang khatib sebagai tim sukses capres tertentu. "Sebenarnya sampeyan mau ndukung siapa?" teriak seorang jamaah di barisan kelima.

Celetukan itu pun disahuti jamaah lain yang meminta khotbah dihentikan dan dilanjutkan saalat witir. Dan entah karena kurang konsentrasi akibat teriakan jamaah, Ibrahim pun mengakhiri witir pada rakaat kedua dari tiga rakaat yang ditetapkan.

Subani, salah satu jamaah yang juga takmir masjid menyesali materi ceramah yang disampaikan khatib. Dia tidak menduga jika forum masjid pun akan dikotori dengan kampanye politik seperti itu. "Beliau (Ibrahim) adalah tokoh Golkar, namun janganlah urusan pilpres dibawa-bawa," katanya.

HARI TRI WASONO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Fadli Zon, tak ambil pusing capresnya, Prabowo, mendapat yel-yel sindiran 'Culik Ba' dari para pendukung kubu lawan, Jokowi-JK, saat jeda debat di Hotel Bidakara, Jakarta pada Sabtu (5/7/2014) malam.
Bagi Fadli Zon, teriakan yel-yel sindiran 'Culik Ba' tersebut hanya ungkapan dari orang stres. "Itu 'kan ekspresi orang stres. Nggak perlu ditanggapi," kata Fadli Zon usai debat capres-cawapres di Hotel Bidakara.
Debat final capres-cawapres yang disiarkan langsung dari Hotel Bidakara kali ini tidak hanya pertarungan milik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Masing-masing pendukung kedua pasangan tersebut juga beradu nyanyian dan yel-yel saat debat memasuki waktu jeda untuk iklan.
Di waktu yang tidak disiarkan oleh stasiun televisi itu, para pendukung bernyanyi dan meneriakkan yel-yel dukungan untuk capres-cawapres jagoannya dan adapula teriakan yel-yel berbentuk sindiran untuk capres-cawapres kubu lawan.
Mulanya, 50 pendukung Prabowo-Hatta yang mengenakan kemeja putih dan celana krem menyanyikan lagu 'Prabowo Presidenku'. Sementara, para pendukung Jokowi-JK dengan kekuatan yang sama menyanyikan lagu 'Salam 2 Jari'.
Namun, di pertengah hingga pengujung acara debat, para pendukung Prabowo-Hatta melancarkan serangan yel-yel sindiran 'Buka Dulu Topengmu' untuk Jokowi.
Diketahui, Jokowi merupakan capres yang berlatar belakang Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Dia mendapat isu tidak sedap mulai latar belakang agama hingga isu keturunan etnis.
Mendengar kubu lawan meneriakkan Yel-yel 'Buka Dulu Topengmu', 50 pendukung Jokowi-JK yang mengenakan kemeja kotak-kotak, langsung membalasnya dengan meneriakkan 'Culik, Ba...!'.
Mereka beberapa kali meneriakkan 'Culik, Ba..!' sembari memperagakan gerakan kedua telapak tangan di depan wajah ke arah Prabowo.
Diketahui, sepanjang Pileg dan Pilpres 2014 ini, pencapresan Prabowo kerap dikaitkan dengan dugaan keterlibatan penculikan sejumlah aktivis pada 1998. Sebelum terjun ke dunia bisnis dan politik, Prabowo pernah menjadi Danjen Kopassus dan Pangkonstrad.
Meski mendapat serangan tidak mengenakkan dari masing-masing pendukung kubu lawan, Prabowo dan Jokowi tak menghiraukan. Mereka beranjak ke balakang panggung saat jeda debat final itu.

UNGARAN, KOMPAS.com — Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut satu, terkesan kerap mengidentikkan dirinya dengan figur Presiden pertama RI Soekarno. Baik penampilan fisik maupun gaya pidatonya pun banyak dinilai mengikuti gaya sang Proklamator.

Ternyata, gaya Prabowo ini tak luput dari perhatian Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang tak lain adalah putri dari Soekarno. Megawati melontarkan kritik kepada Prabowo yang berusaha menyamai penampilan dan gaya ayahnya.

"Lha ngopo yo, kok niru-niru bapakku? Lha apa tidak punya bapak sendiri?" kata Megawati saat memberikan pengarahan kepada ribuan kader dan simpatisan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Alun-alun Bung Karno, Ungaran, Jumat (4/7/2014).

"Lha saya saja enggak pernah niru bapak saya. Biarlah Bung Karno tetap menjadi Bung Karno," imbuhnya.

Rakyat Indonesia, lanjut Megawati, harus diberikan akses yang seluas-luasnya mengenai rekam jejak kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden agar tidak salah memilih. "Jangan terkecoh gagahnya, gantengnya, tapi lihat rekam jejaknya," kata dia.

Dalam kesempatan itu, Megawati juga berbicara mengenai cita-cita proklamasi yang belum terwujud hingga saat ini, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

"Apa cita-cita proklamasi sudah terwujud? Ini yang akan kita perjuangkan bersama Jokowi-JK," kata Mega.


JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Tantowi Yahya, meminta agar pertanyaan Hatta yang tertukar soal Kalpataru dan Adipura tidak terlalu dibesar-besarkan.

Tantowi menjelaskan, pertanyaan mengenai kota bersih dan ramah lingkungan yang diajukan Hatta memang sudah disiapkan oleh tim sukses sejak awal. Namun dalam kondisi debat, menurut Tantowi, bisa terjadi permasalahan teknis yang akhirnya membuat Kalpataru dan Adipura tertukar.

"Saya rasa itu bukan hal yang harus dibesar-besarkan dan di-blow up. Dalam kondisi seperti itu bisa saja tertukar. Kalpataru dan Adipura itu kan dua nama dan satu tujuan. Sama-sama untuk penghargaan lingkungan. Jadi kebalik bagi saya bukan sesuatu kebodohan," kata Tantowi saat dihubungi, Minggu (6/7/2014).

Tantowi kemudian mencontohkan debat antara cawapres lalu. Menurut Tantowi, saat itu Hatta bertanya soal bonus demografi, sementara JK justru menjawabnya dengan bonus demokrasi. Menurut Tantowi, hal-hal seperti itu fatal dan harus di-blow up oleh media.

"Bonus demografi artinya pertumbuhan penduduk usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif sehingga negara mendapat keuntungan. Kalau bonus demokrasi itu apa, tidak ada itu bonus demokrasi," ujarnya.

Dalam debat semalam, Hatta bertanya mengenai pandangannya terhadap penghargaan Kalpataru. Saat menyampaikan pertanyaannya, Hatta mengatakan bahwa Kalpataru adalah penghargaan tertinggi yang banyak diinginkan kota-kota.

Jusuf Kalla pun mengoreksi pertanyaan Hatta itu. Seharusnya, penghargaan untuk kota di bidang lingkungan adalah Adipura. Kalpataru sendiri adalah penghargaan di bidang lingkungan untuk perseorangan atau kelompok.


TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti mengatakan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa merupakan ancaman bagi demokrasi Indonesia masa mendatang.

“Ada sebuah fakta yang tidak terbantahkan karena Prabowo sendiri yang mengatakan Indonesia harus dipimpin seorang yang diktator,” kata Ikrar saat dihubungi Tempo, Minggu, 29 Juni 2014.

Ikrar mengatakan apa pun yang terkait dengan Adolf Hitler merupakan hal yang tabu dan haram untuk dibangkitkan. Di Eropa, terutama Jerman, isu kebangkitan fasisme dan Nazi dianggap sebagai sebuah bahaya.

Menurut Ikrar, sejarah telah membuktikan bahwa ideologi yang berbau fasisme dan Nazi merupakan ideologi yang berbahaya. Namun yang disesalkan oleh Ikrar, Prabowo-Hatta justru ingin dibangkitkannya di Indonesia.

Ikrar menduga slogan Indonesia Bangkit yang menjadi andalan Prabowo-Hatta hampir sama dengan slogan yang dipakai oleh rezim pemerintahan Jerman di bawah kendali Hitler, yakni Deutschland, Erwache!, yang berarti Jerman, Bangkitlah!

Musikus Ahmad Dhani, pendukung Prabowo-Hatta, juga tampil memakai atribut Nazi dalam video kampanye. Menjadi hal aneh karena tim pemenangan dan kubu Prabowo tidak mempersoalkan sikap Dhani tersebut.

Beberapa waktu lalu, Allan Nairn, seorang jurnalis investigasi, membocorkan wawancaranya dengan Prabowo. Dalam wawancara tersebut, Prabowo banyak berbicara mengenai fasisme, kediktatoran, sampai pada hal yang menyinggung sosok Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Dalam penggalan wawancara, Prabowo mengatakan, “Indonesia belum siap untuk demokrasi.” Prabowo juga berujar, “Indonesia butuh rezim otoriter yang jinak. Keragaman etnis dan agama adalah penghalang demokrasi,” seperti dikutip dari blog Allan Nairn.

Menurut Ikrar, pernyataan yang diujarkan Prabowo itu sangat berbahaya bagi Indonesia. Karena itu, Ikrar berharap masyarakat Indonesia dapat terbuka mata hatinya ketika memilih calon presiden. “Jangan sampai Indonesia kembali dipimpin rezim yang otoriter,” tutur Ikrar.

Namun Ikrar yakin masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah, dapat menjadikan fakta ini sebagai pertimbangan untuk memutuskan pilihannya pada 9 Juli mendatang.


DINI PRAMITA

detik Jakarta - Keamanan sebelum dan sesudah Pilpres menjadi prioritas TNI AD dalam bantuannya terhadap kepolisian. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Budiman mengatakan hasil quick qount mempengaruhi jalannya keamanan Pilpres.

"(Hasil quick count) Kalau selisihnya tipis kita lebih waspada, tapi kalau selisihnya lebih dari 5 persen itu akan lebih aman," ujar Budiman usai teleconference dengan seluruh Kodam di Indonesia di Mabes TNI AD, jalan Veteran, Jakarta Pusat, Minggu (6/7/2014).

TNI AD akan terus memantau bagaimana hasil quick count pada 9 Juli nanti. Sebelum ada keputusan resmi hasil Pilpres 2014 dari KPU, TNI AD akan terus mewaspadai adanya konflik antar dua kubu pasangan capres dan cawapres usai Pilpres.

"Tugas TNI adalah membantu kepolisian dalam pengamanan pemilu, siapkan personel BKO (Bantuan Kusus Operasional) pada kepolisian dan aparat terirotial membantu pelaksanaan penyelenggaraan pemilu," jelasnya.

"Mulai hari ini seluruh anggota TNI AD melakukan siaga pengamanan sampai dengan waktu keputusan hasil yang dilakukan KPU," sambungnya.

Pengamat: Prabowo-Hatta Gunakan Koppasus dan BIN Untuk Distribusi Dana Kampanye‏

Pengamat politik, Boni Hargens (kanan) (ANTARA/Andika Wahyu)
Jakarta, GATRAnews - Tim pemenangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, diinfokan mengadakan pertemuan dengan elemen tentara untuk mendistribusikan uang kemenangan pada tanggal 9 Juli nanti.

Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens saat diskusi di hotel Gren Alia, Cikini, Jakarta, Jumat (4/7). "Dari info A1 yang saya terima ada pertemuan antara timses (tim sukses) Prabowo-Hatta dengan Koppasus dan BIN (Badan Intelejen Negara) di sekitar Mako (markas komando) Cijantung untuk distribusi dana dan intimidasi menjelang Pilpres 9 Juli nanti," jelas Boni.

Boni pun menuturkan, bahwa masuknya unsur aparat negara tersebut disalah satu kubu Capres atas perintah incumbent (petahanan) yang mendukung salah satu kandidat Capres. "Tetapi, saya tidak bisa sebut nama (tokoh yang menginstruksikan)," ungkapnya.

Dirinya pun berpendapat, bahwa langkah sinergi antara Koppasus dan BIN untuk mengwujudkan survei-survei bayaran yang akhir-akhir ini muncul. "Yang membuat data bahwa elektabilitas Prabowo-Hatta diatas Jokowi-Jusuf Kalla," tuturnya. Atas dasar itulah, Boni menarik kesimpulan bahwa ini merupakan langkah kecurangan yang pernah dilakukan Gloria Macapagal Arroyo salah satu kandidat capres di Filipina pada tahun 2001-2010.

Penulis: RVN
Editor: Nur Hidayat

 http://statik.tempo.co/data/2014/06/06/id_295535/295535_620.jpg
  
bawaslu menyatakan gambar grafik di atas adalah KAMPANYE GELAP ya ....
JAKARTA, KOMPAS.com - Salah seorang juru kampanye nasional pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Adian Napitupulu menilai, skor telak dalam debat kandidat diraih jagoan yang diusungnya. Kesalahan fatal kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa terletak saat Hatta salah memberikan pertanyaan.

"Dari enam sesi, Jokowi-JK unggul di tiap sesi. Tapi di sesi lima, tentang Kalpataru dan Adipura, Hatta gol bunuh diri, jadi total tujuh untuk Jokowi-JK, dan kosong untuk Prabowo-Hatta," ujar dia kepada Kompas.com, Minggu (6/7/2014).

Adian merasa lucu atas momen di sesi kelima tersebut. Hatta ditengarainya hendak menjadikan pertanyaan tersebut untuk mempertontonkan kepintaran sekaligus membuat Jokowi tampak bersalah. Hal itu terlihat dari pertanyaan Hatta yang mengarah bahwa Solo dan Jakarta tidak pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru.

"Tapi akibat ketidakpahaman Hatta terhadap penguasaan istilah. Maksudnya Hatta itu kan Adipura, bukan Kalpataru. Yang terjadi malah sebaliknya, Hatta mempertontonkan ketidakmengertiannya," lanjut Adian.

Calon legislatif terpilih periode 2014-2019 itu mengingatkan bahwa kemenangan terhadap debat memiliki korelasi kuat dengan kepastian mewujudkan kesejahteraan kepada rakyat. Melalui debat, kata Adian, publik mengetahui mana pemimpin yang mampu mengartikulasi program, visi dan misi.

Adian mencontohkan, jika pemimpinnya hanya mengejar bagaimana menambah jumlah lahan pertanian tetapi tidak memikirkan bagaimana memasarkan produk, proses produksi, bahkan faktor irigasinya, tentu publik menganggapnya sesuatu yang tak ideal untuk didukung.

"Korelasi antara pernyataan yang disampaikan dalam debat dengan perwujudan kesejahteraan telah disampaikan Jokowi-JK di dalam debat tadi malam," ujar dia.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan acara debat terakhir dalam masa kampanye Pilpres 2014, Sabtu (5/7/2014) malam. Rektor Universitas Diponegoro, Prof Sudharto P Hadi PhD dipilih dalam debat dengan tajuk "Pangan, Energi dan Lingkungan".



TEMPO.CO, Jakarta - Markas Besar Kepolisian RI secara resmi menetapkan dua penggagas tabloid Obor Rakyat, Setiyardi Budiono dan Darmawan Sepriyossa, sebagai tersangka sejak Kamis malam, 3 Juli 2014.

"Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sudah ditandatangani dan dikirim ke Kejaksaan Agung," kata Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Herry Prastowo, Jumat, 4 Juli 2014.

Menurut Herry penetapan Setiyardi dan Darmawan sebagai tersangka setelah penyidik memeriksa sejumlah saksi, seperti pimpinan pondok pesantren yang menerima tabloid itu, serta Dewan Pers. "Kesaksian Dewan Pers melengkapi alat bukti untuk menetapkan keduanya sebagai tersangka," katanya.

Setiyardi dan Darmawan dijerat dengan Pasal 9 ayat 2 (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Sebab penerbitan tabloid itu tidak dilakukan oleh sebuah badan hukum.

AMOS SIMANUNGKALIT
TEMPO.CO, Jakarta -Surat Kabar The Jakarta Post mendeklarasikan dukungan terbuka pada pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden tahun ini. Dukungan tersebut dimuat dalam editorial berjudul 'Endorsing Jokowi' yang dimuat dalam edisi Jumat, 4 Juli 2014. Berikut adalah isi lengkap dukungan yang dimuat di kolom opini, halaman 6 Jakarta Post terbitan hari ini:

Ketika kita memasang taruhan amat tinggi, tak ada lagi netralitas. Selagi berusaha terbaik untuk tetap objektif dalam pemberitaan, kami harus tetap berdiri di atas landasan kebenaran moral ketika mengambil sebuah keputusan berat.

Kami tak diam saat reformasi. Begitupun kami tak pernah segan ketika ada penyalahgunaan kekuatan atau hak azasi yang dilanggar.

Orang-orang baik tak boleh terus bergeming. Bicara lantang ketika menyaksikan sebuah penyiksaan, kami teguh menolak gelombang kekuatan yang menakutkan.

Dalam simpang masa kehidupan bangsa, ada saatnya orang-orang terpanggil untuk membuat kesempatan-kesempatan yang hakiki. Bukan semata mendukung satu calon ketimbang calon lain, tetapi lebih kepada pilihan moral untuk menentukan nasib bangsa.

Rusia mengalaminya pada 1996, dalam pemilihan antara petahana Boris Yeltsin yang independen melawan Gennady Zyuganov dari Partai Komunis. Inilah pilihan moral pada harapan melawan kenangan masa lalu. Dan Rusia memilih harapan.

Dalam lima hari ke depan, negara ini juga akan menentukan pilihan moralnya. Dalam pemilu yang tak pernah terjadi di tempat lain -- kampanye yang mengadu domba dengan konsekuensi yang membahayakan -- warga Indonesia dibutuhkan untuk ikut menentukan masa depan struktur politik negara ini dengan sebuah coblosan di atas kertas suara.

Jakarta Post, dalam sejarahnya yang menginjak 31 tahun, tak pernah sekalipun menyokong salah satu kandidat dalam pemilu. Selama itu sudut pandang kami selalu jelas, kami selalu berdiri di atas kekalutan politik.

Tapi dalam pemilu seperti ini, kami punya keterikatan moral untuk bertindak. Kami tak mengharapkan dukungan kami bisa menggiring suara pencoblos. Tapi kami tak bisa duduk diam saja ketika pilihan lain terlalu buruk untuk dipertimbangkan.

Tiap kandidat dalam pemilihan presiden kali ini punya kualitas yang disampaikan lewat deklarasi politiknya. Selama tiga pekan, mereka membedah kualitas mereka publik. Pemilih akan terpengaruh atau sebaliknya, namun juga ada kelompok besar yang hingga kini masih belum menentukan pilihan. Misalkan, kelompok yang baru mempertimbangkan siapa yang tak akan mereka pilih berdasarkan nurani mereka.

Dan pertimbangan yang telah kami ambil ini berdasarkan apa yang telah kami perjuangkan dengan kesungguhan: pluralisme, hak azasi, masyarakat sipil, dan reformasi.

Kami tergugah karena salah satu kandidat telah berani menolak transaksi kekuasaan berdasarkan kepercayaan politik. Dalam waktu yang sama, kami merasa takut karena kandidat lain malah merangkul kelompok Islam garis keras dalam bagiannya. Kelompok radikal tanpa toleransi, mereka yang suka menyulut isu memecah belah bangsa untuk kepentingan jangka pendek semata.

Lebih lanjut, kami bingung dengan ingatan singkat bangsa tentang kejahatan HAM di masa lalu. Seseorang yang telah mengaku menculik aktivis -- yang dilakukan atas inisiatif sendiri -- tak layak duduk di pusat kendali negara demokrasi dengan penduduk terbanyak ketiga di dunia ini.

Demokrasi kita tak akan makin kuat jika pola pikir masyarakat tetap terganjal dalam pandangan keamanan berbasis militer adalah hal yang ideal. Sebuah pandangan yang menganggap supermasi masyarakat sipil adalah penyokong keberhasilan militer.

Memang bangsa ini tetap harus bangga terhadap militernya, tapi hanya kebanggaan terhadap mereka yang mengenakan seragam loreng itu untuk mengabdi pada demokrasi, sebuah pemerintahan yang dikehendaki rakyat.

Ketika satu kandidat mengajak untuk melupakan masa lalu, satu lainnya malah mengenang keromantisan masa Soeharto.

Satu telah memutuskan untuk menolak sekongkol politik dan bisnis dalam pemilihan presiden ini, yang lain masih terpaku pada transaksi politik era Orde Baru yang mengkhianati jiwa demokrasi.

Jarang sekali dalam sebuah pemilihan, kita memiliki sebuah pilihan yang begitu pasti. Tak pula ada kandidat lain yang mencontreng seluruh kriteria di daftar negatif kami. Maka karena itu, kami tak bisa tak melakukan sesuatu.

Maka itu, Jakarta Post merasa wajib untuk secara terbuka mendukung Joko 'Jokowi' Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan 9 Juli 2014. Ini bukan dukungan yang enteng. (Baca juga: Dewan Pers: Keberpihakan Jakarta Post Lazim)

Ini adalah sebuah dukungan yang amat kami percayai, benar secara moral.

M. ANDI PERDANA
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pers menganggap apa yang dilakukan surat kabar Jakarta Post (baca: Jakarta Post Umumkan Dukungan ke Jokowi-Kalla), yang hari ini memutuskan sikap untuk mendukung calon presiden Joko Widodo, sebagai hal yang lazim. "Asal dukungan itu disimpan di kolom editorial," ujar anggota Dewan Pers, Nezar Patria, saat dihubungi Tempo, Jumat, 4 Juli 2014.

Hal ini, menurut Nezar, lazim dilakukan di surat-surat kabar internasional. "Saya kira tak ada masalah di sini, bukan berarti dengan itu independensinya jadi tidak ada," ujar ia.

Nezar menjelaskan media massa masih bisa bersikap dan memberikan perspektif dalam sebuah kasus. "Media harus membagi semacam referensi terhadap publik, jadi itu tak ada salahnya," ujarnya. Asal, sekali lagi ia menegaskan, pernyataan sikap itu disampaikan dalam kolom opini.

Dalam konten berita, setiap surat kabar diwajibkan untuk tetap menaati kode etik jurnalistik. Sehingga menurutnya, pernyataan dukungan terhadap suatu kasus tak bisa ditempatkan di halaman depan surat kabar.

Hari ini Jakarta Post menulis dalam editorialnya untuk mendukung salah satu pasangan calon presiden Joko Widodo. "Kami dukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam pemilu Juli mendatang. Dukungan ini kami yakini secara moral, benar," bunyi editorial berjudul 'Menyokong Jokowi' yang dimuat dalam edisi hari ini.

M. ANDI PERDANA
 TEMPO.CO, Jakarta - Surat kabar The Jakarta Post menyatakan dukungannya kepada pasangan calon presiden nomor urut dua, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dukungan itu akan dimuat dalam tajuk harian media tersebut yang terbit pada hari ini, Jumat, 4 Juli 2014.

Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat mengatakan dukungan itu dilakukan setelah melalui pertimbangan yang matang. "Dukungan kepada calon presiden baru pertama kali dilakukan dalam sejarah The Jakarta Post," ujarnya ketika dihubungi Tempo, Kamis, 3 Juli 2014.

Dia mengatakan keputusan tersebut memang tidak melibatkan seluruh anggota staf redaksi. Keputusan dilakukan setelah berdiskusi dengan jajaran direktur dan editor senior di koran berbahasa Inggris tersebut. "Kami menyatakan dukungan karena melihat pemilihan presiden kali ini begitu penting dalam menentukan masa depan Indonesia," ujar pria yang akrab disapa Dimas ini. (baca juga: #AkhirnyaMilihJokowi Jadi Trending Topic Dunia)

Tajuk ini adalah sikap dari surat kabar The Jakarta Post. Namun, dia menjamin dalam pemberitaan The Jakarta Post akan tetap berusaha proporsional antar kandidat. "Dalam pemberitaan kami akan tetap memberikan porsi yang sama. Reporter tetap bebas menulis berita tanpa harus memihak para kandidat," ujarnya. (baca juga: Sherina Dukung Jokowi)

Dukungan kepada Joko Widodo diberikan karena ia memiliki kesamaan ideologi dengan The Jakarta Post. Dimas menyebutkan ada empat hal penting yang menjadi pertimbangan The Jakarta Post. Joko Widodo dianggap lebih memiliki nilai-nilai pluralisme, tidak memiliki masalah hak asasi manusia (HAM), mendukung perbaikan masyarakat sipil, dan setia pada semangat reformasi. "Hal tersebut tidak kami lihat dimiliki oleh pesaingnya," ujarnya.

Langkah serupa pernah dilakukan oleh media The New York Times di Amerika Serikat. Dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat 2012, The New York Times menyatakan dukungannya terhadap Barack Obama.

AMOS SIMANUNGKALIT

 There is no such thing as being neutral when the stakes are so high. While endeavoring as best we can to remain objective in our news reporting, our journalism has always stood on the belief of the right moral ground when grave choices must be made.

We were not silent during reformasi. Neither have we been shy when power is abused or civil rights trespassed.

Good men and women cannot stay idle and do nothing. Speak out when persecution occurs, stand firm in rejecting the tide of sinister forces.

At certain junctures in a nation’s life, its people are called upon to make stark choices. No longer is it a mere ballot cast for one candidate over another, but rather a moral choice on the fate of the nation.

Russia faced such a choice in 1996, during a runoff between independent incumbent Boris Yeltsin against Gennady Zyuganov representing the old-guard Communist Party. It was a moral choice for hope versus remnants of the past. They chose hope.

In five days this nation too will make a moral choice. In an election like no other — divisive in its campaigning, precarious in its consequences — Indonesians will be required to determine the future of our body politic with a single piercing of a ballot paper.

The Jakarta Post in its 31-year history has never endorsed a single candidate or party during an election. Even though our standpoint is often clear, the Post has always stood above the political fray.

But in an election like no other, we are morally bound to not stand by and do nothing. We do not expect our endorsement to sway votes. But we cannot idly sit on the fence when the alternative is too ominous to consider.

Each candidate in the presidential election has qualities in his declared platform. They have been dissected at length the past three weeks. And voters will sway one way or another based on it. Yet there is also a sizable part of society who are undecided in their preference.

In such a case, perhaps one can consider who not to vote for as their reasoning for that moral choice.

Our deliberations are dictated on the values by which the Post has always stood firmly for: pluralism, human rights, civil society and reformasi.

We are encouraged that one candidate has displayed a factual record of rejecting faith-based politics. At the same time we are horrified that the other affiliates himself with hard-line Islamic groups who would tear the secular nature of the country apart. Religious thugs who forward an intolerant agenda, running a campaign highlighting polarizing issues for short-term gain.

We are further perplexed at the nation’s fleeting memory of past human rights crimes. A man who has admitted to abducting rights activists — be it carrying out orders or of his own volition — has no place at the helm of the world’s third-largest democracy.

Our democracy will not consolidate if people’s mind-set remains wedged in a security approach in which militarism is an ideal. A sense that one candidate tends to regard civilian supremacy as subordinate to military efficacy.

This nation should be proud of its military, but only if those in uniform acknowledge themselves as servants of the democratic, civilian governance.

As one candidate offers a break from the past, the other romanticizes the Soeharto era.

One is determined to reject the collusion of power and business, while the other is embedded in a New Order-style of transactional politics that betrays the spirit of reformasi.

Rarely in an election has the choice been so definitive. Never before has a candidate ticked all the boxes on our negative checklist. And for that we cannot do nothing.

Therefore the Post feels obliged to openly declare its endorsement of the candidacy of Joko “Jokowi” Widodo and Jusuf Kalla as president and vice president in the July 9 election. It is an endorsement we do not take lightly.

But it is an endorsement we believe to be morally right.

 Jakarta - Candaan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva yang mengatakan bila keberatan dengan putusan MK, masyarakat dipersilakan mengadu ke Tuhan dan mendoakan hakim konstitusi masuk ke neraka berbuntut panjang. Hamdan didesak meminta maaf kepada publik terkait ucapannya yang bersedia didoakan masuk neraka jika keputusan yang diambil hakim MK dianggap salah.‎

"Kalau banyak orang doakan dan mengamini, kasihan Pak Hamdan dan kawan-kawan apa benar mau masuk neraka. Yang pasti Pak akil sudah divonis seumur hidup. Jadi,Sebaiknya minta maaf saja." kata Ketua Tim Lawyer Penyelamat Persidangan Pemilu Legislatif, Djamaluddin Koedoeboen kepada wartawan, Kamis (3/7/6).

Djamaluddin mengaku kecewa, karena putusan MK di sidang gugatan pileg yang hanya mengabulkan 23 gugatan dari 900-an perkara yang masuk. Selain permintaan maaf, Djamalludin juga mengingatkan potensi kehilangan suara pilihan rakyat di TPS sangat mungkin terjadi pada Pilpres 9 juli mendatang. Ia mencontohkan, MK mengabaikan keterangan saksi ,anggota KPPS dan bukti penghilangan 4000 lebih suara salah satu partai di Dapil Jaksel.

"Sebentar lagi Pilpres. Kita harus selamatkan suara rakyat di TPS-TPS. hasil sulap suara yang ditetapkan oknum KPU dan dibiarkan oleh MK sangat mencederai demokrasi, hanya akan menghasil pemimpin-pemimpin korup," ungkapnya.

Djamaluddin juga mengatakan, pihaknya mendesak agar kewenangan MK untuk mengadili perselisihan hasil pemilu dikurangi. Hasil penghitungan suara merupakan surat keputusan dari KPU.

Sementara itu, Ketua YLBHI Alvon mengamini bahwa MK memiliki beban berat dalam menangani perkara-perkara sengketa atau perselisihan hasil penghitungan suara di Pileg dan nanti di Pilpres. "Bukan saya setuju atau tidak itu dipangkas. Tapi siapa yang nanti jadi juri dalam kecurangan pemilu dan memutus review hasilnya. Sekarang tidak ada lembaga lain kecuali MK," jelasnya.

Alvon sendiri menilai saat ini tugas berat MK yaitu menangani perselisihan antar lembaga, pembubaran partai politik, impechment, pengujian UU dan ditambah dengan PPHPUD. "Lebih baik di buat lembaga khusus yang menangani sengketa hasil pemilu ini, aku nggak tahu siapa? Tapi kalau kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK berat," pungkasnya.


TRIBUNNEWS.COM, PINRANG – Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Pinrang merekomendasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pinrang untuk mencekal ribuan surat calon Presiden RI Prabowo, yang dialamatkan ke sejumlah kepala sekolah.
"Kalau tidak malam ini, atau besok pagi, kami akan mengeluarkan rekomendasi untuk KPU agar mencekal ribuan surat yang akan ditujukan kepada kepala sekolah. Ini juga hasil konsultasi kami dengan bawaslu Sulsel," kata Ketua Panwaslu Pinrang, Ruslan Wadud, Rabu (2/7).
Menurut Ruslan, rekomendasi tersebut dikeluarkannya, setelah mempelajari isi surat tersebut. Dan hasilnya, mengandung indikasi pelanggaran secara administrasi. "Sudah ada dua surat kami ambil sebagai contoh. Intinya, surat itu sudah mengadung nilai pelanggaran secara administrasi, makanya kami hanya merokemendasikan ke KPU," kata Ruslan.
Ribuan surat Prabowo tertahan di Kantor  PT Pos Pinrang.  Kepala Kantor PT Pos Kabupaten Pinrang, Sri Agung, memastikan surat itu akan tetap diantar sesuai alamat yang dituju. “Intinya kita Pihak Pos, hanya menerima dan mengatar saja," kata Sri.
Menurutnya, ada sekitar 2.048 surat Prabowo yang dikirim via PT Pos Pinrang. “Dari data, di Kabupaten Pinrang ini tercatat sekira 2.048 surat Prabowo. Yang telah kita bagi sekira 1.000 surat.  Ini semacam surat biasa, jadi penerima tidak perlu bertanda tangan,” kata Sri Agung.


TEMPO.CO, Jakarta - Allan Nairn, jurnalis investigasi asal Amerika Serikat buka suara tentang dua kandidat presiden Indonesia. Meski beropini negatif tentang calon presiden Prabowo Subianto, pandangannya tak lantas positif terhadap calon presiden Joko Widodo. (Baca: Wawancara Tempo dengan Jurnalis Allan Nairn)

"Jokowi dikelilingi pembunuh, Wiranto dan Hendro. Tapi Prabowo adalah pembunuh itu sendiri," ujarnya dalam kunjungan ke kantor Tempo, Rabu 2 Juli 2014. Menurut Allan, jika Jokowi menang, itu bukan jaminan penegakan hak asasi manusia di Tanah Air. "Situasinya terbuka. Banyak hal terjadi jika Jokowi menang, bisa memburuk atau bisa lebih baik."

Namun, dia berusaha meyakinkan, jika Prabowo terpilih, penegakan HAM suram. "Dengan Prabowo, itu tidak mungkin. Kesempatannya kecil." (Baca: Siapa Allan Nairn yang Bongkar Rahasia Prabowo?)

Baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama didukung purnawirawan TNI. Dalam barisan Jokowi ada nama Abdullah Mahmud Hendropriyono, kepala Badan Intelijen Negara 2001-2004. Hendro dekat dengan Ketua Umum partai pengusung Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Sementara Wiranto, Panglima TNI pada 1998-1999 menyokong Jokowi melalui partainya, Hanura.

Hendropriyono dianggap otak pembunuhan aktivis HAM, Munir dan pembantaian Talangsari, Lampung. Sementara Wiranto dituduh bertanggung jawab atas pembantaian Santa Cruz di Dili, Timor-Timur pada 1991 dan pelanggaran HAM dalam unjuk rasa reformasi 1998.

Ihwal pernyataan Allan yang pernah mewawancarai Prabowo, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan tidak pernah mengenal Allan Nairn. Anggota tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, ini tidak yakin terhadap tulisan yang dipublikasikan Alan di sebuah blog. ”Kami tidak tahu tulisan hasil wawancara itu benar atau tidak. Saya rasa tidak benar,” ujar Fadli saat dihubungi, Jumat, 27 Juni 2014.

ATMI PERTIWI
TEMPO.CO, Jakarta - Penggagas tabloid Obor Rakyat Setiyardi Budiono mengklaim membiayai sendiri penerbitan tabloidnya yang dicetak hingga 100 ribu eksemplar. Klaim ini banyak diragukan kebenarannya. Sebab, biaya untuk pengiriman ke berbagai pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah saja mencapai Rp 200 juta.

Lalu, berapa sebenarnya gaji bulanan Setiyardi sebagai asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah Velix Wanggai? Dari penelusuran Tempo diperoleh informasi gaji bulanan Setiyardi adalah Rp 11.746.500. Rinciannya, tunjangan kinerja sebesar Rp 8.659.000 dan tunjangan jabatan Rp 3.087.500.

Selain jadi asisten Velix, Setiyardi juga dekat dengan Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam Andi Arief. Menurut sumber Tempo, Andi Arieflah yang membawa Setiyardi bekerja di gedung Sekretariat Negara dan menempatkannya di bawah Velix. Andi, Setiyardi, dan Velix belum bisa dimintai konfirmasi. (Baca: Polisi Tak Bisa Cegah Peredaran Obor Rakyat)

Setiyardi tersinggung saat ada yang meragukan kemampuanya membiayai pencetakan tabloid yang mendeskreditkan calon presiden Joko Widodo itu.

"Itu menghina saya. Menganggap saya tidak mampu membiayai penerbitan," katanya seusai diperiksa di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Senin, 23 Juni 2014.

Setiyardi mengklaim menerbitkan Obor Rakyat dilakukannya setelah cuti sebagai asisten Velix.

"Secara etika, saya tidak boleh melibatkan institusi. Ini adalah pekerjaan pribadi," tuturnya, sembari menyatakan dirinya bebas berkarya lantaran tidak berstatus pegawai negeri.

Setiyardi mengaku menerbitkan tabloid itu lantaran merasa dibohongi calon presiden Joko Widodo yang pernah berjanji membenahi Jakarta sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Sabtu dua pekan lalu, Setiyardi mengaku bertanggung jawab atas penerbitan tabloid tersebut. Menurut dia, Obor Rakyat dicetak 100 ribu eksemplar per edisi, masing-masing 16 halaman. Setiap eksemplar, ujar dia, dicetak dengan biaya Rp 1.000 rupiah. “Biayanya murah karena jumlah halamannya tak banyak,” katanya. Kini, Obor Rakyat sudah memasuki edisi keempat.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pers Indonesia Bagir Manan mengatakan Obor Rakyat tidak layak dikatakan sebagai produk pers. Konsekuensinya, sang pemilik bisa dilaporkan ke kepolisian lantaran tulisan kontroversial yang dimuat tabloidnya.

"Apabila ada yang melapor, akan terjadi delik aduan yang bersifat pidana," kata Bagir saat dihubungi Jumat lalu.

Bagir mengatakan tabloid ini tidak memiliki badan hukum pers sebagai syarat utama untuk disebut sebagai produk pers. Selain itu, tutur dia, cara yang ditempuh Obor Rakyat untuk mendapatkan data atau tulisan tidak layak dikatakan sebagai kerja jurnalistik karena bersifat menuding dan tidak memberi kesempatan kepada tertuduh untuk melakukan klarifikasi. (Baca: Pesaing Obor Rakyat Dicetak 500 Ribu Eksemplar)

NURHASIM | AMOS SIMANUNGKALIT


 TEMPO.CO, Jakarta - Mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari pendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, membuat Ayu Azhari mundur dan berbalik arah mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Meski putra sulungnya, Axel Djody Gondokusumo merupakan anggota Partai Amanat Nasional. Peristiwa yang menimpa Ayu pun membuat anaknya ikut mendukung Jokowi.

“Anak saya bukan ikut saya, itu pilihan dia,” kata Ayu pada Tempo, Rabu, 25 Juni 2014.

Dukungan Ayu pada pasangan Prabowo-Hatta bermula dari lingkungannya, Ayu bercerita kalau mentor dan sahabatnya serta teman lingkup kerjanya hampir semua mendukung Prabowo. Belum lagi putra sulungnya juga yang menjadi anggota PAN. “Terus terang mendukung Prabowo karena ada anak di PAN,” ujarnya. Ayu pun beberapa kali mengikuti beberapa agenda kampanye pasangan capres nomor urut 1 tersebut.

Ayu mengatakan dirinya ikhlas mendukung Prabowo saat itu, menurutnya langkahnya saat itu merupakan cara dia mendukung perubahan. “Walau mungkin saya tidak ada artinya bagi dia (Prabowo), tapi kalau ada penggemar yang terinspirasi dan saya masih didengar, lalu mereka ikut memilih (Prabowo), berarti jadi amal ibadah buat saya,” kata Ayu.

Kejadian bermula ketika Ayu ingin menaiki panggung tempat Prabowo berorasi untuk turut serta memberikan dukungan saat kedua anaknya, Axel dan Sean, bernyanyi di panggung. Namun, ia dihalangi naik ke panggung untuk bernyanyi dan berorasi bersama kedua anaknya. Sejak kejadian itu, Ayu sadar bahwa lingkungan dan orang-orang yang berada di sekitar capres nomor urut satu tersebut merupakan orang-orang sombong yang borjuis.

AISHA SHAIDRA

 JAKARTA, KOMPAS.com — Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan bahwa sudah kehendak Tuhan Joko Widodo akan menjadi presiden RI berikutnya sehingga dia berpesan kepada Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah untuk tidak perlu menghina Jokowi.


"Jokowi sudah kehendak Tuhan menjadi presiden yang ke-7. Jadi kalau sudah kehendak Tuhan, sudahlah jangan hina-menghina. Itulah pesan aku kepada Fahri Hamzah," kata Ruhut saat dihubungi, Selasa (1/7/2014).

Menurut Ruhut, Fahri kalap karena menuding calon presiden Joko Widodo sinting. Dia berpendapat, Fahri melakukan segala cara untuk memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

"Tapi kalau aku lihat itu bentuk daripada kekalapan saja dari Fahri. Dia kalap karena mereka kan sudah mimpi," ujar Ruhut.

Mimpi yang dimaksud Ruhut adalah mimpi PKS jika Prabowo-Hatta menjadi presiden dan wapres. Menurut dia, bukan rahasia umum, kubu Prabowo-Hatta membagi-bagikan kursi menteri kepada mitra koalisi pendukungnya.

"Dia sudah ngimpilah. Tapi kalau kalah, segala cara mereka lakukan. Bukan hanya kampanye hitam lagi kepada Jokowi, tapi pembunuhan karakter. Itu yang sangat kita sesalkan," ucapnya.

Anggota DPR-RI itu mengaku sudah tidak heran dengan sepak terjang Fahri yang kerap menghina Jokowi. Dia mengatakan, sebelumnya Fahri juga kerap menghina Partai Demokrat dan Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono.

Tweet yang dianggap menghina Jokowi itu ditulis Fahri pada Kamis (27/6/2014). Melalui akun Twitter @fahrihamzah, politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menulis, "Jokowi janji 1 Muharam hari santri. Demi dia terpilih, 360 hari akan dijanjikan ke semua orang. Sinting!"

Akibat tweet-nya itu, Fahri telah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu oleh Tim Advokasi Pemenangan Jokowi-JK. Bawaslu menerima laporan itu dan menyatakan akan memanggil Fahri secepatnya. "Saya siap dong," jawab Fahri ketika ditanya soal rencana pemanggilan oleh Bawaslu itu.

TRIBUNNEWS.COM, JAYAPURA - Ketua Tim Hukum Jokowi- Yusuf Kalla, Anthon Raharusun, SH,MH tetap akan menempuh jalur hukum kepada  Dr. Ali Muchtar Ngabalin selaku Koordinator juru bicara tim Kampanye Nasional dari Capres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa  terkait orasi yang disampaikannya beberapa waktu lalu.
Ngabalin  pada saat Deklarasi Kampanye Prabowo – Hatta di Bucen II Entrop Jayapura menyudutkan capres Joko Widodo dengan kata-kata seperti, Jangan pilih capres kurus krempeng, jangan pilih orang tidak tepati janji, jangan pilih orang yang menciderai amanat rakyat , belum selesai menjabat di solo dan Jakarta sudah mau jadi Presiden dan jangan pilih pemimpin yang rakus jabatan.

“Tadi siang Penyidik Reskrimum Polda Papua telah melakukan pemeriksaan tambahan dan sesuai dengan berita acara pemeriksaaan semua pertanyaan yang diajukan penyidik sudah dijawab sebagaimana dengan yang diketahui terkait pasal 214 UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berbunyi’ setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye," ucap Y. Anthon kepada Tribunnews.com usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Papua, jumat (27/6) siang kemarin.

Menurut Anthon, setiap Tim Kampanye bebas menyampaikan visi dan misi dari kandidat yang diusung, namun tidak boleh bicara sampai keluar konteks kampanye, apalagi sampai mengeluarkan kata-kata atau menjelek-jelek kandidat lain.

"Jadi tidak boleh tim kampanye mengeluarkan kata-kata di luar konteks atau sampai pada kata-kata pidana dan bila berani berkata seperti itu maka tanggung sendiri akibatnya," imbuhnya.

Menurut Anthon proses hukum ini untuk memberikan pembelajaran kedepan. Dalam hal kontes  berdemokrasi perlu menjaga etika agar tidak merugikan tim lainnya."Kami akan tetap tempuh proses hukum kepadanya sampai kepada pengadilan," tandasnya.

Anthon minta kepada Ali Mochtar Ngabalin agar meminta maaf atas kata-kata yang menyudutkan calon kandidat Presiden Jokowi- JK secara tertulis dimedia-media,sehingga kejadian ini ke depan tidak terulang lagi dan juga merupakan sebuah proses pembelajar khususnya dalam hal kontes berdemokrasi.

Sementara itu, Koordinator juru bicara tim Kampanye Nasional dari Capres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa Ali Muchtar Ngabalin yang dihubungi Tribunnews.com melalui sambungan telepon selulernya, Jumat, (27/6) malam tadi  enggan menanggapi laporan dari tim Jokowi itu. (CHAN)
 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kediaman anggota DPR RI Nova Riyanti Yusuf yang terkena musibah lemparan air keras pada mobilnya yang terparkir di garasi rumah dalam keadaan sepi. Mobil yang rusak juga masih di rumah Noriyu.

Noriyu tinggal di pemukiman elite kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Kondisi rumah politi muda itu pun malam terlihat sepi.

Pantauan Tribunnews.com pada Sabtu (28/6/2014) malam, suasana rumah Noriyu dalam keadaan sepi.Terlihat  sebuah mobil Yaris warna hitam di depan pagar rumahnya. Sedangkan sebuah mobil hitam yang dilempari air keras juga masih terparkir berjarak beberapa meter tidak jauh dari rumahnya itu.

Tidak jauh dari rumah Novi, terdapat pos pengamanan. Terlihat dua orang petugas pengamanan yang duduk di pos untuk berjaga komplek yang dikenal dengan kemanan yang ketat itu.

Rikan, seorang warga yang tinggal hanya tiga rumah dari rumah Noriyu mengatakan, kalau rumah Noriyu terlihat sepi sejak sore tadi. Dia mengakui, saat makan siang, seketiar pukul 12.00 WIB, ada beberapa polisi yang datang ke depan rumah Noriyu. Namun dia tak berani mendekat dan hanya melihat dari pandangan mata yang jauh.

Setelah sore hari, kondisi rumah tersebut sudah tidak kelihatan orang beraktivitas lagi.

"Dari pagi sampai siang rame. Ada dua mobil polisi datang," kata Rikan kepada Tribunnews.com di Jalan Alam Segar VII, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2014) malam.

"Kalau sepi dari sore, kalau siang waktu saya makan ketoprak qda dari polisi dari Polres Jakarta Selatan,"lanjut Rikan.

Sementara Puji, teman Rikan juga mengatakan hal senada, kalau sejak sore hingga malam ini dirinya tidak melihat sesuatu pergerakan akktivitas direpan rumah Novi.

Noriyu belum lama dipecat dari pimpinan Komisi IX DPR RI. Pemecatan Noriyu dari pimpinan Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu menyusul rumor dirinya tidak hadir pada deklarasi mendukung Prabowo-Hatta di Hotel Crowne Plaza, pada Senin (16/6/2014). Padahal anggota DPR dari Demokrat yang lain banyak hadir dalam deklarasi itu.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat) mengutuk keras upaya intimidasi dan penghalang-halangan yang dilakukan sejumlah pihak atas pelaksanaan deklarasi pembentukan organisasi relawan pendukung Jokowi-JK Almisbat kabupaten Garut.

Hal ini diungkapkan oleh Hendrik Sirait  Sekjen Almisbat, dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (28/6/2014).

Dijelaskan, upaya penghalang-halangan terjadi sejak beberapa hari lalu hingga  saat acara berlangsung.

Bentuk upaya penghalang-halangan itu adalah sebagai berikut;

Pada Jumat (27/6/2014) malam, pihak panitia acara dari Almisbat  dipanggil hingga dua kali oleh  Polres Garut dengann dalih  persoalan ijin, meski surat pemberitahuan tentang acara sudah sudah dilakukan oleh panitia.

Akhirnya setelah berdebat  alot, pihak Satintelkam Polres Garut memaksa panitia untuk menandatangani surat pernyataan yang intinya pihak Polres tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan acara.

"Pihak Kepolisian melarang pemasangan baliho Jokowi-JK di tempat pelaksanaan acara.dengan dalih keamanan. Selain itu atribut Jokowi-JK juga tidak boleh dipasangkan di tempat yang strategis Hal ini kontradiktif dengan atribut pasangan Prabowo-Hatta yang bertebaran di penjuru Kota Garut," papar Hendrik.

Kemudian, Sabtu (28/6/2014), listrik dibuat padam,  memaksa  panitia menyewa jenset. Meski acara deklarasi di Lapangan Nagrog Karangpawitan itu tetap berlangsung hingga tuntas.

"Namun suasana tidak kondusif dan intimidatif terjadi selama acara berlangsung. Suasana tidak kondusif itu mulai dari banyaknya petugas polisi, Korem dan petugas berpakain preman yang memasang muka tak ramah di sekitar lokasi acara, hingga suara bising yang berasal dari sound mesjid di sekitar lokasi acara  yang mengumumkan sesuatu yang tidak jelas," papar Hendrik.

Intimidasi juga terjadi terhadap  masyarakat yang mau bergabung dann hadir pada acara sehingga banyak yang mengurungkn niatnya untuk datang.

Ini, kata Hendrik,  semua dilakukan instruksi bupati yang diusung oleh partai Gerindra.

"Menyikapi kejadian tersebut Almisbat mengutuk keras tindakan upaya penghalang-halangan tersebut.
Almisbat menilai tindakan tersebut sebagai bentuk ketidaknetralan pihak Polres Garut atas pelaksanaan Pilpres yang jujur, adil dan bebas rasa ketakutan," kata Hendrik.

Lebih jauh Almisbat menilai merujuk pada kasus Garut ini, menurunnya elaktabilitas suara Jokowi-JK ternyata bukan karena faktor alami.

Namun, karena suasana mencekam akibat ketakutan  menyusul intimidasi,  teror dan ancaman yang dilakukan oleh instrumen negara terhadap mereka yang bersimpati pada pasangan Jokowi-JK.

Kasus Tabloid Obor Rakyat, survei Babinsa, dan terakhir intimidasi yang dilakukan Polres Garut, lanjutnya, semakin memperkuat adanya upaya menggerus suara pasangan Jokowi dan JK yang dilakukan secara sistematis dgn menggunakan instrumen negara.

"Almisbat  menyerukan kepada seluruh organ relawan untuk mengkonsolidasikan kekuatannya guna melawan teror dan intimidasi yang dilakukan oleh negara yang tidak lagi netral  dalam pelaksanaan Pilpres 2014," pungkas Hendrik.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan dari pihak-pihak yang dimaksudkan oleh Almisbat.

TEMPO.CO, Jakarta - Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut satu, pernah menyatakan bahwa Indonesia butuh kepemimpinan yang diktator dan otoriter seperti Jenderal Pervez Musharraf dari Pakistan.

Keinginannya itu ia sampaikan kepada Allan Nairn, jurnalis asal Amerika Serikat, pada sekitar pertengahan 2001, atau dua tahun tepat setelah Prabowo pulang dari Yordania. Saat itu Allan mewawancarai Prabowo di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, dan menuliskannya kembali dalam laman pribadinya, allanneirn.org. (Baca: Wartawan Investigasi Bongkar Rahasia Prabowo)

Prabowo, tulis Allan, menggambarkan keberanian Musharraf saat menjatuhkan perdana menteri negaranya yang berasal dari sipil. Lebih lanjut, Allan menggambarkan bagaimana Prabowo kelihatan berpikir keras apakah dapat seperti sosok yang diidolakannya itu.

"Apa saya cukup punya nyali," tanya Prabowo. "Apa saya siap jika disebut 'diktator fasis'?" Prabowo mengatakan, tulis Allan, Musharraf punya nyali. Namun, terkait dirinya sendiri, Prabowo membiarkan pertanyaan tersebut tak terjawab.

Keinginan Prabowo tersebut, tulis Allan, disampaikan saat membicarakan bagaimana model pimpinan Indonesia ke depannya. Allan menulis bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus tersebut tak sepakat dengan presiden yang berasal dari sipil.

"Militer pun bahkan tunduk pada presiden buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu saja!" kata Prabowo yang ditulis kembali Allan. "Lihat Tony Blair, Bush, Putin. Mereka muda, ganteng—dan sekarang presiden kita buta!”

Allan menulis, dalam perbincangan tersebut Prabowo tak henti-hentinya mengecam Gus Dur dan demokrasi. “Indonesia belum siap untuk demokrasi,” kata bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus seperti yang dituliskan Allan. Sebaliknya, tulis Allan, Prabowo malah rezim otoriter “Bukan keragaman etnis,” kata Prabowo.

Sebetulnya, jurnalis yang didapuk penghargaan Robbert F. Kennedy Memorial ini mengaku bahwa Prabowo bersedia diwawancarai asalkan semua informasi yang diberikan tak disebarluaskan atau off the record. Namun, hasil wawancara 13 tahun silam itu sengaja Allan keluarkan lantaran Prabowo hendak menjadi Presiden Republik Indonesia.

“Saya pikir kerugian yang saya hadapi ketika melanggar anonimitas tidak sebanding dengan kerugian yang lebih besar jika rakyat Indonesia pergi ke tempat pemungutan suara tanpa mengetahui fakta-fakta penting yang selama ini tidak bisa mereka akses,” tulis Allan dalam laman pribadinya itu.

Di lain pihak, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesi Raya Suhardi tak mau berkomentar banyak tentang hal tersebut. “Kok, jadi seperti pepatah gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak, ya?” kata Suhardi sambil tertawa kecil saat dihubungi.

Guru besar di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tersebut tak mau berkomentar lebih lanjut ihwal tudingan Allan kepada Prabowo. “Saya tak begitu dan tak punya komentar soal ini,” kata Suhardi.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan tidak pernah mengenal jurnalis investigatif Amerika, Allan Nairn. Anggota tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1, ini tidak yakin terhadap tulisan yang dipublikasikan Alan di sebuah blog. ”Kami tidak tahu tulisan hasil wawancara itu benar atau tidak. Saya rasa tidak benar,” ujar Fadli saat dihubungi, Jumat, 27 Juni 2014. (Baca: Tim Prabowo Bantah Diwawancarai Allan Nairn)

AMRI MAHBUB

kontan PAMEKASAN. Ketua Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Hatta, Mahfud MD, mengatakan, Pemimpin Redaksi Tabloid Obor Rakyat, Setiyardi, pernah meminta bantuan hukum kepada dirinya setelah keterlibatan Setiyardi dalam pembuatan Tabloid Obor Rakyat terungkap. Namun, Mahfud mengatakan, dia menolak mentah-mentah permintaan tersebut.

"Orangnya berkata mau minta bantuan hukum ke saya. Saya katakan tidak usah dibantu karena menjelek-jelekkan Jokowi. Biar dihukum saja dia," kata Mahfud saat ditemui setelah nyekar di makam ayahnya di Pamekasan, Sabtu (28/6/2014).

Karena pembuat tabloid Obor Rakyat sudah diketahui identitasnya, Mahfud berharap aparat langsung melanjutkan proses hukum sehingga tidak menimbulkan prasangka lainnya.

"Sekarang tidak usah nuduh kubunya siap-siapa, langsung saja tangkap pelakunya dan tanyakan apakah di belakangnya ada Capres yang terlibat atau tidak," tandasnya.

Mahfud sendiri tidak mau direpotkan dengan tudingan bahwa kubu Prabowo-Hatta berada di balik tabloid Obor Rakyat tersebut. Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, jika proses hukum dituntaskan, maka polemik tabloid yang disebarluaskan di sejumlah pesantren dan masjid tersebut dapat segera mereda. (Kontributor Pamekasan, Taufiqurrahman)
Editor: Barratut Taqiyyah
Sumber: Kompas.com

TEMPO.CO, Jakarta - Produser tayangan Seputar Indonesia Raymond Rondonuwu mengatakan berita bertopik dugaan bocornya materi debat capres ke kubu Joko Widodo yang ditayangkan Seputar Indonesia pada 12 Juni 2014 tidak memenuhi standar prosedur jurnalistik. "Apalagi untuk disiarkan sebagai informasi publik," tulis Raymond dalam surat terbuka yang ditujukan kepada pimpinan MNC Grup Hary Tanoesoedibjo. Surat ini diterima redaksi Tempo, Rabu, 25 Juni 2014.

Berita tersebut menampilkan dugaan bocornya materi debat calon presiden yang didasarkan pada pertemuan antara tim hukum Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, dan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di Satay House Senayan pada 8 Juni 2014. Berita ini menjadi besar sejak ditulis oleh www.asatunews.com. Pihak KPU sendiri sudah melayangkan somasi kepada asatunews.com atas pemuatan berita tersebut. Menurut Hadar, dirinya ke sana hanya untuk membeli makanan dan tak sengaja bertemu dengan Trimedya dan Budi Gunawan.

Raymond menyebut tiga alasan mengapa berita tersebut tak layak tayang. Pertama, kata Raymond, berita itu menyebut Komisi Pemilihan Umum tanpa menjelaskan siapa nama pemangku jabatan KPU yang disebut membantah. Kedua, berita juga hanya menyebut tim sukses Jokowi-JK tanpa menyebutkan nama. Ketiga, tidak mencantumkan kapan dan dimana kejadian berlangsung sebagai unsur-unsur 5W1H. "Asumsi 'semua juga tahu' tak berlaku dalam karya jurnalistik," kata Raymond.

Kemudian, menurut Raymond, berita tersebut juga tidak disertai dengan konfirmasi dari pihak-pihak yang bersangkutan. Raymond mengatakan dirinya sempat bertemu dengan pemimpin redaksi MNC Grup, Arya Sinulingga. Dalam pertemuan pada Kamis, 12 Juni lalu itu, Arya, menurut Raymond, mengatakan "sumber" berita tersebut tidak penting karena sudah diberitakan oleh banyak situs.

"Menurut saya, itu suatu kekeliruan yang sangat. Sebagai media berita yang sudah berusia seperempat abad, Seputar Indonesia sejatinya lebih dewasa dalam memilah  sumber-sumber yang akan dijadikan materi beritanya. Karena bukan lagi hal yang baru untuk menerapkan kaidah jurnalistik dalam menelusuri sumber suatu polemik demi menjaga kredibilitas dan pertanggungjawaban pada publik," kata dia. Akibat menolak menanyangkan berita tersebut, Raymond mendapat surat peringatan ketiga.

TIKA PRIMANDARI

 detik Jakarta - Sebuah pesta demokrasi dipastikan selalu melahirkan pihak yang kalah dan tidak puas. Termasuk juga di pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pilpres.


"Dalam setiap pemilu pasti ada yang menyebut ah itu curang, presiden itu curang," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato di Rakornas pemantapan Pilpres 2014 di Sentul, Bogor, Jawa Barat Selasa (3/6/2014).

Presiden pun kemudian balik bertanya, "bagaimana pemerintah mau curang?". Apalagi jika yang dituduh melakukan kecurangan adalah pemerintah pusat.

Menurut SBY saat ini kabinet pemerintahannya terdiri dari sejumlah anggota partai politik. Kepala daerah, baik gubernur, wali kota maupun bupati juga berasal dari beberapa partai yang berbeda.

"Jadi di mana curangnya, apa iya bisa mau curang. Kecuali jika presiden, gubernur, wali kota, satu partai mungkin saja bisa (terjadi kecurangan)," kata SBY.

Namun di pemilihan legislatif tahun ini SBY bersyukur, karena tuduhan bahwa pemerintah curang cenderung menurun. "Alhamdulillah, mungkin karena partainya presiden kalah. Tapi itulah bunganya demokrasi," papar SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat itu.

SBY berpesan meski pileg kemarin sudah berjalan sangat demokratis dan tertib, Komisi Pemilihan Umum tetap melakukan sosialisasi pilpres. Khususnya terkait peran dan tanggungjawab lembaga penyelanggara pemilu. Menurut SBY sosialisasi penting agar ketika terjadi masalah masyarakat tidak salah mengajukan pengaduan.
Jakarta detik - Pada saat rapat kabinet paripurna 19 Juli 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah memberikan peringatan pada bawahannya soal praktik korupsi. Kini, apa yang disampaikan SBY perlahan dibuktikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam rapat kabinet itu, SBY mengungkapkan keprihatinan dan kejengkelannya karena masih ada pejabat yang korupsi. Ketua Umum Partai Demokrat tersebut mendapat informasi yang sahih soal berbagai praktik kongkalingkong antara eksekutif dan legislatif.

"Sejak perencanaan sudah kongkalikong, pelaksaanannya kongkalikong. Sekarang pun masih ada yang berani di antara oknum parlemen kongkalikong dengan eksekutif, ini sekian anggarannya maka sekian persen dikeluarkan. Masya Allah, naudzubillah," ujarnya saat itu.

Presiden SBY terdengar jengkel ketika menyampaikan bahwa masih ada yang menganggap perang melawan korupsi yang digencarkannya sejak delapan tahun silam sebagai angin lalu. Dia mengingatkan bahwa menjadi tugas setiap menteri untuk mengawasi bawahan masing-masing agar tidak tergoda untuk menyalahgunakan uang negara.

"Kalau ada bawahan Saudara yang terlibat penyimpangan, main-main dengan APBN, dengan oknum di DPR dari komisi mana pun dan Saudara tahu tapi tidak menghentikan, berarti Saudara bersalah," tegas SBY.

SBY juga mengaku sudah mendengar informasi mengenai banyak hal terkait korupsi di kalangan pemerintahan. Namun, dia mempercayakan proses penegakan hukum kepada lembaga yang berwenang.

"Bantulah saya untuk bersama-sama Saudara menyelesaikan masa bakti yang tidak ringan dan di saat dunia sedang begini. Saya ingin bersama-sama sampai akhir masa bakti kabinet ini tahun 2014. Tetapi berpulang kepada kita semua, berpulang kepada Saudara semua, apakah bisa sama-sama menjaga amanah, apakah bisa sama-sama tidak tergoda untuk meladeni yang aneh-aneh," sambungnya.

Lima bulan setelah peringatan SBY tersebut, Andi Mallarangeng yang menjabat sebagai menteri pemuda dan olahraga, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang menyusul anak buahnya yang sudah terlebih dulu dibui. Andi akhirnya mundur sebagai menteri dan dari Partai Demokrat

Kini, berselang dua tahun setelah kasus Andi, ada lagi menteri yang terjerat korupsi. Dia adalah menteri agama Suryadharma Ali yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dana haji 2012-2013. Berbeda dengan Andi yang mundur sehari setelah jadi tersangka, Suryadharma belum mau melakukannya, setidaknya hingga hari ini.
JAKARTA. Partai Demokrat terlihat mati langkah menghadapi pemilihan presiden yang sudah menjelang. Semua pilihan yang sempat tersedia, sirna. Demokrat pun memilih menjadi penonton, menyaksikan pertarungan dua kubu, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Awalnya, Partai Demokrat tampak percaya diri dengan perolehan suara 10 persen dalam pemilu legislatif. Mereka menyebut capaian itu tak seburuk yang sempat diperkirakan banyak kalangan.

Capaian 10 persen itu masih menempatkan Partai Demokrat, partai pemenang dua pemilu berturut-turut, pada posisi empat besar setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, dan Partai Gerindra.

Namun, posisi yang masih diperhitungkan itu tak membuat Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono segera melakukan manuver. Dia hanya memberi sinyal khusus kepada Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk melakukan rekonsiliasi atas relasi mereka berdua yang retak sejak 2004, dan bertepuk sebelah tangan.

Selebihnya, SBY memilih diam pada saat tokoh-tokoh partai lain bergerilya mencari dukungan. Padahal, banyak partai mencoba mendekati partai ini. Bukan mendapatkan jawaban dan kepastian, partai-partai yang sempat mendekat malah furstasi dengan sikap SBY.

Partai Golkar misalnya, melalui Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad sempat mengeluhkan sikap SBY. Menurut Fadel, SBY tak mau menjalin kerja sama politik dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Prabowo pun belakangan mengaku kesulitan menemui SBY.

Partai Keadilan Sejahtera juga sempat menunggu manuver SBY. Namun, Ketua DPP PKS Sohibul Iman yang menjadi juru runding PKS, mengaku tak ada kemajuan dari pembicaraan dengan Partai Demokrat. Menurut Iman, Partai Demokrat tidak memiliki calon yang akan diusung. Di sisi lain, PKS sudah menjalin komunikasi lebih intensif dengan Partai Gerindra.

SBY berdalih Demokrat menunggu hasil Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat. Namun, ternyata elektabilitas 11 peserta konvensi juga tak mampu menyaingi Jokowi dan Prabowo. Pengumuman pemenang peserta konvensi juga baru dilakukan pada 16 Mei 2014, di saat hampir sebagian besar partai sudah memastikan bergabung ke salah satu di antara dua poros itu.

Poros ketiga

Setelah pengumuman perolehan suara sah nasional dilakukan Komisi Pemilihan Umum, Partai Demokrat baru menunjukkan gelagat berburu mitra koalisi. Hal ini terlihat dari pilihan SBY untuk membentuk poros ketiga di luar kubu Jokowi dan Prabowo. Baru pada saat itulah SBY akhirnya mau bertemu Aburizal. Pertemuan terjadi tepatnya pada Rabu, 14 Mei 2014.

Dalam pertemuan tersebut, SBY menawari Aburizal bergabung ke poros ketiga. SBY meminta Aburizal legawa bersama dirinya menjadi king maker dan tak maju sebagai bakal capres maupun cawapres.

SBY pun menginisiasi dibentuknya tim enam dari Partai Demokrat dan Partai Golkar untuk membahas poros baru ini. Namun, hasilnya mentok. Golkar dan Demokrat tak mencapai titik temu soal sosok yang akan diusung. Demokrat menginginkan Sultan Hamengkubuwono X. Sebaliknya, Golkar bersikeras mengajukan nama Aburizal Bakrie.

Setelah pembicaraan poros ketiga gugur, Golkar memilih merapat ke poros Prabowo di menit-menit terakhir. (Baca: Aburizal Bakrie, dari Capres, Cawapres, Hingga Tak Jadi Apa-apa). Demokrat pun cuma terdiam. Dalam penutupan rapat pimpinan nasional yang digelar pada Minggu (18/5/2014), mereka menyatakan tak akan masuk ke dalam salah satu poros yang ada.

Serba terlambat

Pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto, berpendapat tak masuknya Partai Demokrat dalam salah satu poros yang ada semata merupakan buntut dari kegamangan SBY sebagai ketua umum partai itu, dalam penentuan langkah politik.

"Akhirnya, saat ini semua serba terlambat. SBY sudah mati langkah," kata Nico saat dihubungi Selasa (20/5/2014). Namun, dia berpendapat pilihan paling realistis bagi Partai Demokrat memang bersikap netral. Menurut dia, menjadi petahana yang bersikap netral bakal menjadi peninggalan SBY selepas masa jabatannya.

"Kalau pun salah satu pihak menang, dia bisa punya atau merasa berkontribusi, dalam artian dia bisa menjaga pemerintahan tetap bersikap netral. Selama ini kan incumbent selalu dikhawatirkan mengerahkan aparat keamanan, birokrasi, dan unsur negara lainnya," ucap Nico.

Nico pun menyarankan Partai Demokrat menjadi seutuhnya oposisi. Semenjak didirikan, ujar dia, Partai Demokrat selalu masuk dalam pemerintahan. Untuk meningkatkan kualitas para kadernya, kata Nico, Demokrat harus berani mengambil pilihan menjadi oposisi.

Setidaknya, hingga Selasa berakhir, Demokrat masih terlihat membulatkan tekad dengan pilihannya berada di luar poros politik yang ada. Biarlah kerap dianggap terlambat bersikap, bila memang ada manfaat yang lebih besar dari sebuah sikap menjadi oposisi atau setidaknya berada di luar pemerintahan.

"Saya kira daya tahan Partai Demokrat ini akan teruji saat berada di luar pemerintahan," kata Nico. Asal jangan sudah terlambat, kemudian tiba-tiba menggeliat di saat yang tak tepat hanya untuk memaksakan langkah yang sudah telanjur lambat. (Sabrina Asril)
Editor: Barratut Taqiyyah
Sumber: Kompas.com


Jakarta. In 2003, Indonesia’s chief security minister said he would not run for president the following year, amid mounting calls for him to do so. Come 2004, the man dubbed “the thinking general” ran — and won.
Fast-forward 10 years, and Susilo Bambang Yudhoyono is once again at the heart of a political melee, with parties, observers and the media scrutinizing his statements for what really matters: the things that go unsaid.
Yudhoyono announced on Sunday that his Democratic Party would not endorse any of the two candidates running in the July 9 presidential election, but — crucially — did not say that the party would retreat into the opposition for the next five years.
The Democrats won 61 seats at the 560-seat House of Representatives in the April 9 legislative election — a far cry from the 148 seats it has controlled since the 2009 poll.
But the party is in an unusual position: while having too few votes to nominate its own presidential candidate, it has just enough seats at the House to make it a valuable partner for the eventual winner of the presidential election.
That, says Dian Permata, a senior researcher at the Founding Father House, a think tank, ensures that the Democrats will still be a part of the government, no matter who becomes president.
“Whoever wins, you can bet that SBY will be part of that winning team,” he says.
House majority
It’s a simple numbers game: Prabowo Subianto, the candidate from the Great Indonesia Movement Party, or Gerindra, is backed by a five-party coalition that will control a combined 292 seats, or 52 percent, when the new House goes into session.
That should theoretically give a Prabowo administration the backing needed to push policies and legislation through the House.
But the support of the most powerful party in that coalition, the Golkar Party with 91 seats, is almost certain to be split, given that a Golkar stalwart and former chairman, Jusuf Kalla, is the vice presidential candidate to Prabowo’s rival, Joko Widodo of the Indonesian Democratic Party of Struggle, or PDI-P.
“Don’t forget, he’s got a long history with the Golkar faithful in eastern Indonesia, and he was also the party chairman,” says Agung Laksono, a Golkar deputy chairman and deputy speaker of the House. “This is the one thing that’s splitting Golkar, and it’s something that we need to address within the party.”
Joko, the favorite to win, is backed by four parties that will have 207 seats, or 37 percent. Even if the bloc managed to poach the support of all the Golkar legislators, that would only give it a very narrow majority of 53 percent.
That, says Dian, is what makes the Democrats — and their 61 seats — a hot property right now, and their chairman, Yudhoyono, a sought-after “kingmaker.”
Leaning toward Prabowo
Joko and Prabowo have met one-on-one with Yudhoyono on two separate occasions before they declared their respective running mates, when both blocs were still circling for coalition partners; and on Monday night, after declaring his bid, Prabowo met with the president again at the latter’s home in Cikeas, Bogor.
Since Prabowo announced last week that he would pick Hatta Rajasa of the National Mandate Party, or PAN, as his running mate, the speculation was that Yudhoyono, whose youngest son is married to Hatta’s daughter, would naturally lead the Democrats into Prabowo’s camp.
There were signs of exactly that after Monday night’s meeting, but also talk that Yudhoyono had laid down conditions for pledging his party’s support for Prabowo.
“I’m optimistic that the Democrats will vote for Prabowo,” Hatta told reporters on Tuesday.
He indicated that the support would come at the House level, given that the Democrats were not in the official coalition set to register Prabowo as a presidential candidate on Tuesday.
Zulkifli Hasan, a senior PAN member and the forestry minister in Yudhoyono’s cabinet, said separately that it was “just a matter of time” before the Democrats declared their support for Prabowo.
“The Democrats are going to come with the rest of us,” he said after Monday’s meeting, as quoted by Tempo.
He added the fact that Hatta, Yudhoyono’s longtime right-hand man, was on the ticket was the deciding factor because it would ensure that the programs begun in the Yudhoyono administration would be continued.
For his part, Prabowo said only that the meeting was a positive one and that “God willing, the Democrats will want to join.”
Syarief Hasan, the Democrats’ executive chairman, said the party would “very much support” Prabowo and Hatta if their platform and programs were in line with that of the current administration.
Reading between the lines
Observers say Yudhoyono’s explicit declaration on Sunday that the Democrats would not join either of the two coalitions is yet another of his Delphic statements.
The coalitions, they argue, are only really needed to meet the presidential threshold of 25 percent of votes necessary to nominate a candidate. Both the PDI-P and Gerindra have amassed enough partners to be able to do that, so for the Democrats to join before the registration deadline will be meaningless.
Yudhoyono’s statement, then, doesn’t obviate the possibility that the Democrats will side with one or another candidate after the registration — in the crucial campaign period when the party’s extensive grassroots base and well-oiled campaign machinery will be of huge importance to the chosen candidate.
“So even with Yudhoyono taking this ostensibly neutral stance, you can still read a lot into it, especially in the current conditions,” says Djayadi Hanan, the research director at Saiful Mujani Research and Consulting.
“We don’t yet know for sure whether Yudhoyono is secretly in support of Prabowo. But those two factors” — Sunday’s statement, followed by Monday’s late-night meeting — “can give the public the idea that SBY and the Democrats’ neutrality is really a show of support for Prabowo,” Djayadi told the Jakarta Globe on Tuesday.
For an incumbent unable to seek re-election, Yudhoyono has suddenly become one of the most important figures in the election. Ten years on, it appears, the general is still thinking. JAKARTA GLOBE


BOGOR, KOMPAS.com — Menteri Agama Suryadharma Ali datang ke Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (26/5/2014), sekitar pukul 11.50 WIB, untuk bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kedatangan Suryadharma ini terkait kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan haji yang menjeratnya.
Rencananya, Presiden SBY akan memutuskan nasib Suryadharma dalam kabinet. Pantauan Kompas.com, Suryadharma datang seorang diri sekitar pukul 11.50 WIB. Kedatangan Suryadharma disambut Presiden SBY, Wakil Presiden Boediono, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.
Begitu masuk, ekspresi Suryadharma terlihat lesu. Tak banyak senyum yang diumbarnya meski kilatan cahaya kamera wartawan mengarah kepadanya. Suryadharma langsung menghampiri Presiden SBY dan berjabatan tangan.
Tak seperti biasanya, Presiden SBY cukup lama menggengam tangan pembantunya itu. SBY pun berbisik pelan kepada sang menteri. "Yang sabar, Pak Suryadharma," ucap SBY sayup-sayup terdengar di antara kerumunan wartawan.
Presiden lalu melanjutkan pesannya kepada Suryadharma. Sementara itu, Suryadharma tampak lebih banyak diam dan menundukkan kepalanya, sambil sekali-sekali mengangguk atas perkataan Presiden.
Percakapan Presiden dan Suryadharma berlangsung sekitar 5 menit. Selanjutnya, Suryadharma menjabat tangan Wakil Presiden Boediono. Tak hanya menjabat, Boediono merangkul erat Suryadharma yang pada Pemilu Presiden 2009 mendukung pemenangan SBY-Boediono. Agung Laksono dan Sudi Silalahi kemudian bergiliran berjabat tangan dengan Suryadharma.
Presiden SBY akan mendengar penjelasan dari Suryadharma soal penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan haji. Sudi sempat menyatakan bahwa Presiden kemungkinan besar akan memberhentikan Suryadharma jika yang bersangkutan tidak mau mengundurkan diri.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, Suryadharma ditengarai menyalahgunakan wewenangnya sebagai menteri dalam proses pengadaan pemondokan haji, katering, perjalanan ibadah haji, dan transportasi. Suryadharma pun sudah dicegah bepergian ke luar negeri.
Sebelumnya, Suryadharma mengaku belum memikirkan untuk mengundurkan diri. Ia mengaku masih memikirkan pelaksanaan haji 2014. Ia merasa KPK hanya salah paham soal kasus yang menjeratnya.

 REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat politik Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara mengkritik sikap pendiri lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani yang berkampanye negatif terhadap Prabowo Subianto.

Menurut Igor apa yang dilakukan Saiful bertentangan dengan prinsip netralitas lembaga survei. "Selama ini dia berprinsip lembaga survei harus independen. Saiful mengingkari prinsipnya sendiri," kata Igor saat dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (12/6).

Igor menyatakan KPU perlu bersikap tegas terhadap SMRC. Sebab sebagai mitra KPU, netralitas SMRC patut dipertanyakan. "KPU selalu menekankan lembaga survei tidak memihak. Di KPU kan juga ada mekanisme sanksi dan teguran,” ujarnya.

Igor mengatakan Saiful bukan hanya berpihak tapi juga berkampanye negatif terhadap Prabowo. Padahal mestinya Saiful menyadari kapasitasnya sebagai pendiri SMRC yang memiliki reputasi baik di kalangan peneliti lembaga survei. "Saiful sudah keluar dari jalurnya sendiri," katanya.

Pernyataan keras Saiful terhadap ayah Prabowo, Soemitro Djohadikusumo juga dikritik Igor. Menurutnya Igor tidak pantas menyebut Soemitro sebagai pemberontak.

Betapapun, Soemitro memiliki peran besar terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia. "Semua orang yang paham sejarah menghormati dan mengakui hal itu," katanya.

Sebelumnya Saiful mengakui telah melakukan kampanye negatif terhadap Prabowo saat berbicara di forum warga Cinangka, Serang Banten, Ahad (8/6). Saiful mengatakan sikapnya itu terdorong oleh pandangan politik pribadi.

"Saya terang-terangan mengatakan agar warga tidak memilih Prabowo," kata Saiful.  Sementara itu Kubu Prabowo-Hatta juga sudah melaporkan Saiful ke Bawaslu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02