d13 HARD terror1$m : (11)

THE FINAL MOMENTS OF ISIL:




Jakarta - Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pelemparan bom di depan Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Lima tersangka itu merupakan jaringan teroris dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

"Kelima tersangka semua terkait JAD," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Kombes Rikwanto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (18/11/2016).

Rikwanto mengatakan, kelima tersangka termasuk Juhanda ini sudah lama di jaringan teror. Ada juga yang merupakan resedisis kasus yang sama dan sering melakukan tindakan terorisme.

"Jadi 5 org ini pemain lama di JAD," ujar mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya itu.

Terkait teror ini ada 20 orang yang diamankan. Kini tersisa 16 orang yang masih berstatus terperiksa dalam kasus ini. Penentuan status mereka masih menunggu masa pemeriksaan selama 7X24 jam.

Ada lima korban yang mengalami luka akibat pelemparan bom ini. Satu di antaranya yakni Intan Olivia meninggal dunia setelah mendapat perawatan di rumah sakit karena mengalami luka bakar yang berdampak pada pernafasan.

Ledakan bom molotov itu terjadi seusai jemaah melakukan ibadah, Minggu (13/11). Juhanda yang melemparkan bom molotov berhasil ditangkap ketika hendak melarikan diri ke Sungai Mahakam. 
(idh/idh)


😭
ISLAMNKRI.COM - Usai Heboh petisi online minta polri jalankan proses hukum buni yani yang sudah ditandatangani oleh 100 ribuan orang lebih, kini muncul petisi online minta ormas FPI dibubarkan & Dilarang keberadaannya Karena dianggap meresahkan warga dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa

Petisi online di change.org ini dibuat oleh akun andreas limongan warga bandung dengan judul " Segera Bubarkan ormas anarkis FPI dan Tetapkan jadi ormas terlarang !"

Berikut ini isi lengkap petisi online meminta FPI dibubarkan dan dijadikan sebagai ormas terlarang yang dibuat oleh warga bandung bernama andreas limongan lewat situs change.org:

Sejak era reformasi bergulir dan demokrasi digaungkan, kami sebagai warga negara bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengucapkan terima kasih kepada pihak pemerintah beserta jajaran aparatur negara yang telah berupaya mengawal perjalanan kehidupan demokrasi di tengah bangsa ini. Namun seiring perjalanan kami dalam menyongsong harapan bangsa di depan, tidak sedikit kerikil dan batu-batu tajam harus membuat Ibu Pertiwi berdarah dan menangis.

Perjuangan belumlah usai dalam menegakkan keadilan di tengah masyarakat dan melestarikan alam demokrasi di tengah bangsa ini. Halangan dan hambatan datang silih berganti. Badai belum berlalu.

Kami merasakan bahwa di tengah harapan, impian, dan semangat kebangsaan yang dilandasi rasa persaudaraan dan toleransi, ternyata muncul ancaman serius dari pihak-pihak tertentu atau oknum-oknum ormas yang seringkali menebarkan ancaman dan teror dalam setiap aksinya.

Baru-baru ini aksi anarkis dan kekerasan oleh salah satu ormas yang terjadi di ibu kota kian menambah duka Ibu Pertiwi. Kita telah menyaksikan bagaimana ormas yang menamakan dirinya sebagai FPI berani melancarkan aksi demonstrasi dengan kekerasan tanpa mengindahkan norma, hukum, etika, dan nilai-nilai agama sehingga berpotensi dapat memicu kerusuhan, menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mencederai demokrasi dan hukum di Republik Indonesia.  

Dengan ini kami rakyat Indonesia yang menandatangani petisi ini mengajukan permohonan kepada Pemerintah RI dan Pihak Yang Berwenang untuk segera membekukan dan membubarkan ormas anarkis FPI (Front Pembela Islam), dengan pertimbangan dan alasan sebagai berikut:

1. Keberadaan ormas tersebut diyakini dapat mengancam empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini, yakni: Pancasila, UUD’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

2. Sepak terjang ormas tersebut selalu kental dengan aksi-aksi anarkis, kekerasan, dan intimidasi di tengah masyarakat yang telah terbukti dapat mengancam ketertiban dan keamanan milik warga masyarakat.

3. Sejak berdiri di awal era reformasi, FPI telah ratusan kali melakukan kekerasan, mengganggu keamanan dan ketertiban, menyebarluaskan rasa permusuhan dan kebencian, baik antar suku, antar agama, ras, gender, antar golongan bahkan menyerang instansi maupun perorangan.

4.  Asas ormas tersebut bertentangan dengan UU RI Nomor 17 thn 2013 ttg Organisasi Kemasyarakatan Bab II pasal 2 yang berbunyi: Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5.  Ciri ormas tersebut bertentangan dengan UU RI Nomor 17 thn 2013 ttg Organisasi Kemasyarakatan Bab II pasal 3 yang berbunyi: Ormas dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

6. Tujuan ormas tersebut bertentangan dengan UU RI Nomor 17 thn 2013 ttg Organisasi Kemasyarakatan Bab III pasal 5 poin c, d, f, dan g yang berbunyi: 

(c) menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;

(d) melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat;

(f) mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;

(g) menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; 

7. Ormas ybs dinilai tidak mampu menjalankan kewajiban seperti yang diatur di dalam UU RI Nomor 17 thn 2013 ttg Organisasi Kemasyarakatan Bab VI pasal 21 poin b, c, dan d yang berbunyi: 

(b) menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 

(c) memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;

(d) menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;

Demikian petisi ini dibuat dan marilah kita memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bangsa dan negara ini senantiasa dilindungi dan diberkahi untuk selamanya.

Salam Persatuan dan Salam Damai untuk Indonesia !

Petisi online ini Ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo

Hingga Berita ini diturunkan oleh islamnkri.com, Petisi online yang meminta ormas FPI dilarang & Dibubarkan yang dibuat oleh andreas limongan ini sudah ditandatangi oleh sebanyak 18.466 pendukung dan jumlahnya terus bertambah

Mau ikutan tandatangani petisi online ini? silahkan saja klik link dibawah ini :

Segera Bubarkan ormas anarkis FPI dan Tetapkan jadi ormas terlarang !

Editor: Tim islamnkri.com


TEMPO.COJakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil Siradj, mengatakan sekitar 7 persen anak muda Indonesia bersimpati terhadap gerakan radikal Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS. Sebanyak 58 orang mati dari sekitar 1.200 warga negara Indonesia yang bergabung dengan kelompok tersebut.

"Saya rasa ada ancaman terhadap generasi muda untuk mencintai Indonesia, Pancasila sudah mengendor, dan ini kita perlu perkuat kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Said saat ditanya tujuan pengucapan sumpah setia dalam peringatan Hari Santri Nasional di Lapangan Monas, Jakarta, Sabtu, 22 Oktober 2016.

Said menegaskan Indonesia adalah negara santun, toleran, dan menghormati kebinekaan. Indonesia, kata dia, memiliki banyak budaya, suku, dan aliran yang beragam. "Beda dengan Timur Tengah yang entah kapan bisa selesai perang saudaranya," ujar dia.

Ia mengatakan di Irak sebanyak satu juta lebih tewas sejak 2002 karena perang. Di Suriah sudah 400 ribu warganya tewas karena perang. "Yaman sudah 50 ribu, Libya terus bergejolak, Somalia berantakan. Tapi Indonesia, berkat komitmen kita dengan kebinekaan, akan aman sampai hari kiamat," ujar dia.

Pesan kebinekaan diungkapkan Said dalam peringatan Hari Santri Nasional 2016. Sebanyak 50 ribu santri mengikuti acara peringatan ini di seluruh Indonesia. Peringatan di Lapangan Monas ini juga dihadiri Wakapolri Komisaris Jenderal Syarifuddin, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, dan ribuan santri.

Syarifuddin juga menyoroti konflik sosial di negara-negara Timur Tengah yang terus terjadi tersebut dengan modus yang beragam dengan target tertentu. Indonesia yang banyak rumpun bangsa masih bisa bersatu meski masih terjadi singgungan-singgungan. "Persatuan kita masih bisa mengatasi konflik tersebut. Perbedaan ini untuk khazanah keindahan bangsa, bukan ancaman bangsa," kata dia.

ARKHELAUS W.




Kabar24.com, JAKARTA - Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian mengatakan sosok Sultan Azianzah, 22 tahun, menjadi pendiam setelah kerap bermain Internet di sebuah warung Internet.

"Tersangka sering main Internet dan kecenderungannya berubah menjadi pendiam dan sering menghilang. Perilakunya banyak berubah," kata Tito di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, setelah menjenguk anak buahnya, Kapolsek Benteng Ajun Komisaris Efendi, yang menjadi korban penyerangan Sultan.

Rupanya, kata Tito, setiap online di Internet, Sultan membuka dan membaca website ISIS.
"Dia suka online dan membuka website-website milik ISIS, termasuk chatting dengan kelompok ISIS langsung," ujar Tito, Jumat (21/10/2016).

Tito pun menyebut, kecurigaannya bahwa Sultan berhubungan, salah satunya, dengan kelompok Bahrun Naim. Bahrun merupakan satu dari tiga tokoh warga negara Indonesia yang membaiatkan diri untuk bergabung dengan ISIS. Selain Bahrun, ada Bahrumsyah dan Salim Mubarok alias Abu Jandal. Ketiganya saat ini berada di Suriah.

Tito juga menyebut, di balik tiga orang itu, terdapat satu tokoh yang menjadi panutan ideologis, yakni Aman Abdurrahman. Saat ini dia masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.


Liputan6.com, Tangerang - Orangtua Sutan Azianzah (22), penyerang tiga polisi di Pos Polisi Cikokol, Tangerang, Banten meminta maaf kepada masyarakat, terkait aksi teror yang dilakukan putranya tersebut.
"Orangtua minta maaf, saya salut sama orangtua dan meminta maaf atas kejadian ini," kata Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan saat menjenguk tiga polisi korban penyerangan di RS Siloam, Jumat (21/10/2016).

"Pernah menghilang beberapa bulan ke Ciamis dan dijemput paksa keluarganya," Iwan menjelaskan.Iwan, sapaan akrab Kapolda, mengakui Sutan pernah berada di sebuah pesantren di Ciamis, Jawa Barat. Namun, dia dijemput paksa keluarga beserta polisi setempat di pesantren tersebut.
Pihak keluarga, kata mantan Kapolda Jawa Barat ini, cukup terkejut dengan aksi yang dilakukan Sutan kemarin. Sebab, Sutan selama ini dikenal tertutup dan tidak banyak berkomunikasi dengan kakak-kakaknya.
"Memang cukup tertutup," kata Iwan.
Keluarga juga cukup kaget dengan barang bukti yang didapat, salah satunya adalah peluru. Ketika kakaknya mengecek di tempat penyimpanan peluru dan senjata, ternyata benar pelurunya hilang dari tempat penyimpanannya.
"Kakaknya enggak tahu pelurunya diambil. Pas dicek, ternyata benar hilang," tutur mantan Kadiv Hukum Polri ini.
Iwan meyakini pelaku penyerangan adalah tunggal. "Pelaku tunggal, tidak ada jaringan ke atas," kata Iwan.
Sutan tewas dalam perjalanan ke RS Polri, Kramatjati, Jakarta Timur. Dua peluru di paha dan satu di perut bersarang setelah dia menyerang dan melukai tiga polisi PolresTangerang. Satu di antara korban adalah Kapolsek Tangerang Kota Kompol Effendi.

"Saat ini Kapolsek masih berada di ruang ICU. Kalau Pak Sukardi sudah pulang. Pak Bambang rawat inap," kata Kapolresta Tangerang Kombes Irman Sugema kepadaLiputan6.com, Jumat (21/10/2016).


(CNN)President Barack Obama pledged Wednesday to "defeat" those who threaten the world with terrorism.
The United States will "continue to go after ISIL aggressively until it's removed from Syria and from Iraq and finally destroyed," Obama said, using another name for ISIS.
"The world has to be united against terrorism," Obama said, adding that "that's a top priority of ours." He added that "we can and we will" defeat terrorism.
At the same time, he said, ISIS "is not an existential threat" to the U.S.
He was speaking at a news conference in Argentina the day after more than 30 people were killed in terrorist attacks in Brussels.

    Without naming GOP presidential candidate Ted Cruz, Obama also slammed the Texas senator's plan to carpet bomb ISIS when asked about the idea at the news conference.
    "Not only is that contrary to our values," the President said, but, he added, "that would be an extraordinary mechanism for ISIL to recruit more people."
    The President is in Buenos Aires for the second stop of a Latin America trip that started in Cuba.
    It's the first visit by a U.S. president for bilateral talks in almost 20 years and is meant to cement ties with Argentina's newly established centrist government, but Obama mentioned Tuesday's terrorist attacks in Europe in his opening remarks.

    Obama was also questioned about political criticism from Republican presidential candidates that his approach to fighting ISIS isn't working and that he's not focused enough on it.
    Obama dismissed the suggestion and the approach many in the GOP are advocating.
    "When it comes to defending the United States or its allies and our core interests, I will not hesitate to use military force where necessary," Obama said.
    "But how we do that is important," he added. "We just don't go ahead and blow something up just so we can go back home and say we blew something up. That's not a foreign policy."
    The President pointed to Cruz's own family history as a reason why the latter's policies wouldn't work, particularly his suggestion Tuesday that police patrol American Muslim communities.
    "I just left a country that engages in that kind of surveillance," Obama said of his previous stop in Cuba, "which by the way the father of Sen. Cruz escaped for America, the land of the free."
    Later Wednesday, Obama described the Republican Party as deeply split after drifting from the "mainstream" in an effort to oppose his policies. But he said the potential damage inflicted by a Republican president wouldn't necessarily be longstanding.
    "Even if we end up with someone I might not consider a great president, there's a limit to some of the damage they can do," Obama said, citing the separation of powers in the federal system. "I'm sure Republicans feel the same way about me."
    Obama has said previously that he's confident a Democrat will be elected to replace him, and praised both Vermont Sen. Bernie Sanders and his former secretary of state, Hillary Clinton, for addressing income inequality in their campaigns.
    But he said that even if neither of them win the White House, the country would be safeguarded from long-term deterioration.
    "I'm confident the American people will make a good choice," he said, adding: "We usually can recover from mistakes."
    In the earlier news conference, Obama argued that one reason the U.S. has been insulated from more attacks is that its Muslim community is "successful, patriotic, integrated" and not ghettoized.
    "Any approach that would single them out and treat them for discrimination would not only be wrong," Obama said, "it would be counterproductive because it would reduce the anti-bodies we have to reduce terrorism."

    But he defended the measures he's put in place, saying that airstrikes on ISIS' leaders, infrastructure and financial system, have reduced the terrorist group's territory by about 40%.
    He also cited the work of U.S. Special Operations forces working with Iraqis, efforts to go after ISIS couriers and to disrupt the connection between strongholds in Mosul, Iraq, and Raqaa, Syria.
    "While we're doing that, we're also extra vigilant" to work to prevent attacks," Obama said, "but as I said before, this is difficult work."
    "It's challenging to find, identify very small groups of people who are willing to die themselves and can walk into a crowd and detonate a bomb," Obama said.
    The death toll from the attacks at Brussels' airport and the city's Maelbeek metro station now stands at 31, with about 270 people injured and many still unaccounted for, including American citizens.
    State Department officials said they are making "every effort" to account for the welfare of all U.S. citizens in the city and are still working through an accounting of all its personnel at the embassy. "Approximately a dozen" Americans were injured in the attack, the officials said.
    The suicide attacks, claimed by ISIS, were carried out by a group that included two brothers with a history of violent crimes, Khalid and Ibrahim El Bakraoui, Belgian authorities said.
    Belgian media reported that one person was arrested Wednesday, while counterterror official Paul Van Tigchelt warned Wednesday that there were others involved in the plot who remained at large in Belgium and still posed a threat.

    (Karen J. Greenberg is the director of the Center on National Security at Fordham Law School, focusing on national security, terrorism and civil liberties. Her newest book, "Rogue Justice: The Making of the Security State," will be out in May. The opinions expressed here are her own.)

    By Karen J. Greenberg

    The death count from Tuesday's separate bombing attacks in Brussels continued to climb Wednesday, with Belgium police reporting at least 31 dead and nearly 270 injuried. The atrocities are tragic and unacceptable. But the West should understand that this is what winning may look like in the battle against Islamic State. The attackers' coordinated strikes could well stem more from a sense of weakness, than strength.

    Islamic State has recently taken a series of serious hits at its power and prowess. First, and most important, its territory in Iraq and Syria - the "caliphate" that has attracted foreign fighters from around the globe - has been steadily diminishing in size over the past 15 months, and the territorial losses are escalating. Since January 2015, the militant group has lost an estimated 22 percent of its territory in Iraq and Syria - with 8 percent of those losses in 2016.

    This past month, a cache of thousands of Islamic State documents was leaked to the European media. In Arabic, the documents consisted of Islamic State member forms, including such biographical information as names, ages, education, skills and whether or not the individuals were still alive.

    Then, four days before the Brussels bombings, the supposed mastermind of the November Paris attacks, Salah Abdeslam was captured in the neighborhood where he grew up in Belgium. Authorities have announced that he is cooperating,with law enforcement presumably providing them with information about his network, its plans and potentially the names and plans of individuals who pose an imminent threat to the safe and security of Europe.

    This combination of circumstances - severe territorial losses in Iraq and Syria, leaks of revealing documents and the capture of someone who likely knows the extent of the wider network and its future plans - may have pushed the Brussels cell to the point of panic. True, the network's plan had been laid out, its weapons amassed, its suicide bombers chosen. Yet the Brussels attacks may still have been a sign of a group feeling cornered and on the run.

    One reason the West may be missing this point is that the Brussels bombings trigger fears associated with the now iconic details of previous al Qaeda attacks. The images of an internationally known target, with mass civilian casualties, multiple suicide bombers and the use of explosives - this is the al Qaeda playbook, which those who call themselves the Islamic State have now taken up.

    The attacks on transportation systems in Brussels, the airport and the subways, recall the London bus and subway bombings in 2005 and the Madrid train station bombing in 2004 - which together resulted in hundreds of deaths. Pointedly, as an attack on a world-renowned international center, home of the North Atlantic Treaty Organization and the European Commission, where individuals of many different nationalities were destined to be among the victims, it is reminiscent of 9/11.

    But there is a noteworthy difference between the earlier al Qaeda attacks and this Islamic State attack in Brussels. With 9/11, as well as in Madrid and London, al Qaeda was on the rise, waking up the world to its destructive capacity.

    Osama bin Laden tried several times before 9/11 to get the attention of the United States - but failed. The coordinated bombings of the U.S. embassies in Kenya and Tanzania in 1998; the bombing of the USS Cole, a guided-missile destroyer, in 2000; and the bombing of the U.S. Air Force barracks at Khobar Towers in Saudi Arabia in 1996 - all were taken in stride, the concern largely of U.S. law-enforcement officials and journalists. The destruction of the World Trade Center on 9/11 changed all that.

    Shortly before the Paris attacks, which claimed the lives of 137 people, President Barack Obama remarked on the West's successes against Islamic State in Syria and Iraq. Some analysts surmised, after the deadly attacks, that these territorial setbacks in the Middle East had frustrated Islamic State and led its members to turn to Europe as a more accessible venue for their portfolio of destruction.

    Why does it matter whether this possible shift in focus is a sign of weakness or strength, of frustration or confidence? Because it provides insights into how the West should react to the Brussels attacks.

    For starters, law enforcement - the front line of this asymmetrical war outside of the Levant - should do exactly what it has been doing: find the perpetrators, identify the members of their wider network and seize the weapons and the persons responsible for the bombing attacks.

    But the larger question of fear is at issue here. If the Brussels attacks are indeed a desperate sign of panic on the part of Islamic State, then the proper response to Brussels is not fear, but a sense of sorrow and loss. We - the public, the media, public officials and politicians - would do well not to yield to the inaccurate and inflame our sense of vulnerability and weakness. The defensiveness of Islamic State on the run may well reap far more violence before the group's death throes. But the West should not be deterred from keeping up its pressure on Islamic State at home and abroad.

    The realities of terrorism call for constant vigilance as a fact of life, and will for a long time to come. No more and no less. (Karen J. Greenberg)
    NEO: While Russian warplanes obliterate ISIL positions along with other terrorist organizations in Syria, targeting their Turkey-linked supply lines and oil infrastructure, the regular Syrian army, supported by Iranian special forces units and Hezbollah squads, is slowly reclaiming territory it had previously conceded. In this situation the only logical question one may ask is what should be done about ISIL and allied Islamist groups in Iraq, where the fighting stalled a couple of months ago?
    After all, the better part of ISIL militants are already leaving Syria with their families to seek shelter in Iraq, knowing that they won’t stand a chance once France and Russia join their anti-terrorist efforts. At the same time the US is applying an increasing amount of pressure on Turkey in an attempt to force the closure of the Turkish-Syrian, which will block the escape route for militants bound for Europe. Turkey has been a transit point for militants all along, since they easily obtain financial support from Saudi Arabia and Qatar once they decide that they want to spread terror in Europe. Therefore, the whole “caliphate” is going to be redeployed in Iraq, occupying the western and northwestern parts of the countrylargely populated by Sunni Arabs.
    Lately, analysts from the US, EU, Russia and the Arab countries have been engaged in calculations regarding all the possible scenarios for Iraq, once tens of thousands of militants move there to carry on with their criminal activities. All experts seem to agree on one thing: despite the urgent need to put an end to ISIL and other Islamist groups, the situation in Syria and Iraq differ drastically from each other.
    The most striking difference is that the sitting legitimate government of Bahsar al-Assad, despite all the hardship, has manged to preserve the better part of Syria’s state institutions, including the army, police, security services, etc. As for the regime of Saddam Hussein, it was toppled back in 2003 during the US-led invasion and occupation actively supported by the United Kingdom. The ruling Ba’athist elites were replaced overnight by Iraqi collaborators of Washington only to be deposed later on by the representatives of the Shia’a majority. This led to a series of ethnic and religious conflicts which resulted in local Sunnis and Kurds being forced out from country’s political scene.
    One should note that the US has managed to dispose of all of Saddam’s people in the government and security structures, while convincing the Shia’a majority that it’s “all right” to subject local Sunnis to oppression. At the same time, Washington was encouraging the Kurds of northern Iraq to undermine the authority of the central government in Baghdad. All these facts have put Iraq on the brink of the division along ethnic and religious lines. At some point the world could have easily witnessed the creation of Shia’a-stan, Sunni-stan, and Kurdistan, connected by some form of weak confederation.
    And then there was a sudden appearance of a powerful “third force” – ISIL – which managed to capture 40% of Iraq’s territory in mere weeks. And here one is forced to underline what all other experts prefer to keep silent about. The phenomenon of ISIL’s strength had initially little in common with radical Islamism, in fact it was a form of consolidation of Iraqi Sunnis, whether those were officers of the former Saddam-led army or some offended Sunni tribes, that were acting behind the cover of small terrorist groups to pronounce a “caliphate”. They were forced to do it because they felt betrayed by Washington who promised them they would be represented in the government once Saddam was out the door. This situation was further aggravated by the fact that American instructors failed to prepare an effective armed force to replace the disbanded Iraqi army. As a result, the new armed forces were fleeing the battlefield en masse when faced with ISIL, leaving behind all the weapons that Washington provided them.
    One must admit that the strengthening of ISIL and the weakening of the Iraqi state was aggravated by Tehran‘s actions, which opposed any attempts to allow Sunnis to get back on the political stage in Iraq, since Iran has been trying to strengthen its influence in the country exclusively through the support it provided the Shia’a. And then, out of their stupidity and short-sightedness, Saudi Arabia and Qatar decided to provide financial assistance to the Sunni militants, in order to derail both Tehran’s and Washington’s policies.
    There’s little doubt that Baghdad is not nearly as sound an ally to Moscow as Damascus is. While Russia has decades of military, trade, economic, cultural and humanitarian cooperation with Syria, the Iraqi government is aiming at cooperating with Iran, since it strongly depends on its support. Iranian military presence in Iraq is a matter of paramount importance for Baghdad, just like the presence of American troops. Today there’s more than 8,500 US troops being deployed in Iraq, where they train Iraqi forces and protect American diplomatic missions, especially the US embassy in Baghdad. Additionally, one must bear in mind that there’s over 10,000 American military contractors operating in Iraq, most of them are retired US military and intelligence operatives that are tasked with the protection of American assets in the country. There’s little doubt that those are engaged in military operations, should the situation on the ground demand it. Additionally, one should remember that as soon as the tough, but charismatic former prime minister Nouri al-Maliki tried to pursue military cooperation with the Russian Federation, he was quickly replaced by a soft and obedient Haider al-Abadi.
    So Russia will not be able to provide the same level of assistance to Iraq that it has been providing to Syria, since Iran, the United States and Saudi Arabia all fear that this oil-rich country will again be in the sphere of Russia’s influence, as it was the case during Saddam Hussein’s reign. After all, a country that can influence Syria and Iraq, while forming a partnership with Iran, is able to single-handedly control the entire Middle East.
    It’s crucial to remember that it’s way more complicated to fight ISIL in Iraq than it is in Syria. In Syria, Russia is largely perceived as a friend, so regular army units welcome the close air support it provides them with. Yet, one must honestly acknowledge that many Sunnis in Iraq, especially among those who were loyal to Saddam, look at Russians as traitors since they failed to save them from the US-led invasion.
    At the same time Iraqi oil reserves surpass those one can find in Syria, in fact it has similar or larger reserves than Saudi Arabia. In addition, it has been established that Iraq has substantial natural gas reserves, which will begin being extracted as soon as 2016. The country has a more advanced industrial potential than Syria and can become one of the most industrialized countries in the Arab World. This means that a lot of players are going to become involved in the struggle for Iraq.
    The Kurdish factor is playing an important role in Iraqi policies. Local Kurds were granted autonomy back in 1992, becoming virtually independent from the central government. The years after the American occupation have only strengthened this trend, allowing Kurds to expand the territories they control into neighboring provinces. They have also stated their claim over the largest oil field in northern Iraq. The rise of ISIL has only helped them to strengthen their positions, since they’ve been turned into resilient fighters that can beat the disorganized Iraqi army hands down. The Kurdish militia – the Peshmerga – has not simply managed to stall ISIL advancement in the north of Iraq, they successfully recaptured a number of key control points such as the city of Sinjar, and they are not going to give them back to anybody – one should have no illusions over this.
    At the initial stage of Russian operations in Syria, Baghdad was pretty optimistic about it, while allowing Russia to fire cruise missiles across its territory, but then it had to be become more restrained due to the pressure the United States and Tehran were applying on it. Iraq was even thinking about asking Russia to bomb Islamists that occupy a certain part of its territory.
    Apparently, there’s still a lot of people that failed to realize that Washington has been dreaming to get Russia stuck in a major military engagement in the Middle East all along. Moreover, certain Russian military figures have started arguing that, since ISIL cannot be destroyed without a ground operation in Iraq, Moscow is bound to send Russian troops, that would work together with Iranian forces and US troops. And all this against the background of the escalating Russian-Turkish face-off.
    The question then is what should Moscow do when the scattered forces of ISIL flee to Iraq?
    The answer is simple – avoid being drawn into a large-scale ground engagement which will inevitably result in a second “Afghanistan scenario.” One should never forget the misery with which the US has left both Iraq and Afghanistan. Clearing up somebody else’s mess is an ungrateful job, especially if we are speaking about the mess that was produced by Washington’s policy of “democratization” of the Middle East. Of course, it makes sense to continue military cooperation with Iraq and even provide this country with military equipment, but only on a commercial basis. In the worst case scenario, Baghdad can still pay for weapons with oil or allow Russian companies to develop its oil fields and be engaged in major infrastructural projects that may facilitate the economic recovery of Iraq. As for the anti-terrorist center in Baghdad, Russia can carry on sharing intelligence information in the fight against ISIL, while bringing in additional countries to participate in this process, such as France.
    But what’s even more important: is to provide maximum military and political assistance to the Iraqi Kurds. There’s no scenario under which it will remain a part of the Iraqi state. And the current Kurdish autonomy in Iraq aims to become an independent Kurdish state, which will also get the Kurdish areas in Southeast Anatolia, Turkey. An independent and strong Kurdistan – is a natural ally of Russia, which will be countering the aggressive policy of Ankara and to a certain degree restrain the excessive ambition of Tehran, which is eager to assume the role of a regional leader, while not taking into account Russia’s interests. And, strange as it may sound, Israel may also become a natural ally of Russia in this matter, whose position towards the neo-Ottoman aspirations of “Sultan” Erdogan, and concerns about the Middle Eastern ambitions of Tehran, which aims at getting nuclear weapons while assisting radical Islamist groups in Lebanon and Palestine in their struggle against Israel, is completely justified.
    As for friendly Arab countries, they will understand Russia – they themselves are tired of Turkish imperial aspirations and Iranian claims for leadership in the Middle East. As for the sitting authorities in Baghdad, they have created preconditions for Kurdistan’s independence themselves, at the same time Iraqi Sunnis are more concerned with getting their own autonomy rather than standing in the way of the Kurds. In an extreme case, at this stage, one can raise the question of creating a confederate Iraqi state, since this will completely eliminate the Islamist threat.
    Peter Lvov, Ph.D in political science, exclusively for the online magazine “New Eastern Outlook”.  


    http://journal-neo.org/2015/12/01/what-fate-awaits-iraq-once-isil-got-beaten-in-syria/


    TEMPO.COJakarta - Serangkaian bom, ledakan granat, dan pistol menghajar Jakarta pada Kamis, 14 Januari 2016 lalu. Sejumlah orang tewas, termasuk setidaknya empat dari mereka yang diduga teroris. Saat para pembunuh berdarah dingin itu beraksi, fotografer Tempo, Aditia Noviansyah, berada di lokasi kejadian dan merekam aksi pelaku teror bom itu. 

    Lelaki itu berdiri di Jalan Thamrin arah Bundaran Hotel Indonesia. Aditia menembak pelaku dengan kameranya, lensa 70/200. Lelaki bertopi Nike tersebut terlihat bersama seseorang yang mengenakan pakaian biru dan rompi hitam. Belakangan diketahui pria bertopi Nike itu adalah Afif atau Sunakim

    Kepala Kepolisian RI Jenderal Badroddin Haiti memastikan lelaki itu bernama Afif. Menurut Badrodin, Afif ditangkap pada 2010 dan diganjar hukuman penjara 7 tahun karena terlibat pelatihan militer di Jalin Jantho Aceh. Pelatihan ini dianggap sebagai persiapan melakukan teror. “Kami sedang selidiki mengapa dia sudah bisa keluar dari penjara,” kata Badrodin. Sunakim tewas dalam peristiwa itu. Dari sejumlah narasumber yang Tempo temui, Afif selama ini menyatakan baiat terhadap ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). 

    Perkara teroris mengenakan topi Nike ini menjadi perbincangan, bahkan polemik. Ada yang bilang pelaku bukan bagian dari ISIS hanya karena mereka mengenakan busana merek terkenal. Diskusi pun melebar ke soal gamis atau bukan gamis, jenggot atau tak berjenggot, celana cingkrang atau menutup mata kaki, dan seterusnya.

    Mantan narapidana kasus terorisme, Kurnia Widodo alias Bobi, tidak kaget ketika menyaksikan Afif mengenakan celana jins biru, sepatu kets, t-shirt, dan topi yang semuanya branded. Menurut Kurnia, dalam pengajian dan dalam kehidupan normal sehari-hari, kebanyakan lelaki dewasa yang aktif dalam gerakan Islam memang mengenakan pakaian panjang, gamis atau jubah. Mereka meyakini pakaian ini sesuai dengan sunah atau anjuran Nabi Muhammad. Mereka juga banyak yang berjenggot. 

    Namun, kata Kurnia, ketika seseorang mendapat tugas untuk ‘amaliyah’ atau tugas operasi melakukan serangan, mereka boleh mengenakan pakaian apa pun. Biasanya, mereka mengenakan pakaian yang lazimnya dikenakan banyak orang agar tidak mengundang perhatian. Jenggot pun bisa mereka babat bersih. “Mereka boleh pakai jins, kaus, atau pakaian yang selama ini dianggap tidak Islami,” kata Kurnia, Jumat, 15 Januari 2016.

    Menurut Kurnia, soal pakaian dan penampilan, ketika melakukan amaliyah, sangat situasional. Kurnia Widodo pernah ditangkap polisi pada Agustus 2010 lalu dengan tuduhan masuk kelompok Cibiru, Bandung. Ketika itu, polisi menangkap lima orang tersangka yang dideteksi akan meledakkan Markas Besar Kepolisian RI dan sejumlah gedung kedutaan besar di Jakarta. Seorang di antaranya yang ditangkap adalah Kurnia Widodo, sarjana Teknik Kimia lulusan Institut Teknologi Bandung. 

    Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis mereka terbukti melakukan tindak pidana terorisme sehingga dihukum selama enam tahun penjara. Kini Kurnia sudah bebas setelah mengajukan pembebasan bersyarat. Ia yang masuk ITB tahun 1992 itu menjalani hukuman selama tiga tahun dan delapan bulan. Sekarang Kurnia Widodo menyatakan tidak sehaluan dengan sejumlah kawannya yang bergabung dengan ISIS. “Menegakkan syariat Islam ada tahapannya, tidak asal menyerang,” kata Kurnia.

    Hal yang sama diungkapkan Arifuddin Lako, yang pernah ditangkap polisi karena masuk dalam jaringan pelaku teror di Poso dan Palu. Arifuddin pernah mendekam di penjara karena terbukti terlibat dalam penembakan jaksa di Palu. Kini Arifuddin telah bebas dan kembali ke Poso. “Saya ke mana-mana pakai jins dan t-shirt, bukan gamis,” katanya. Ia tahu, dalam jaringannya ketika itu, banyak pria yang mengenakan gamis atau jubah.

    SUNUDYANTORO


    TEMPO.COJakarta - Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso mengatakan Indonesia sedang dalam siaga satu ancaman terorisme. Hal ini merupakan buntut penangkapan sembilan orang terduga teroris di beberapa daerah sejak tiga hari lalu. 

    "Ya (siaga satu). Begitu juga yang di luar negeri, sudah saya kumpulkan hari ini, makanya saya harus kembali ke kantor untuk memberi pengarahan kepada mereka," ujarnya di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Senin, 21 Desember 2015.

    Sebelumnya, Polri menerima informasi bahwa akan ada aksi teror pada Desember. Informasi serupa diperoleh Biro Penyelidik Amerika Serikat (FBI) dan pihak keamanan dari Singapura. Menurut Sutiyoso, BIN sudah menyiagakan semua anggota di Indonesia. "Belajar dari pengalaman di Paris, pokoknya tingkatkan kewaspadaan, ke aparat saya seperti itu," ujar mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

    Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan hal serupa. "Kami lakukan langkah preventif siaga satu, kami tempatkan personel terbuka-tertutup di seluruh tempat yang bisa jadi ancaman terorisme," ujarnya. Ia mengatakan akan memperketat obyek-obyek vital dan tempat berkumpulnya masyarakat serta kantor pejabat.

    Badrodin mengatakan target utama teroris saat ini adalah polisi dan warga Syiah. "Sasaran itu, pejabat kepolisian dan eks anggota Densus 88. Kedua, kantor-kantor kepolisian. Ketiga, kelompok tertentu yang ditegaskan itu Syiah," ucapnya.

    Sutiyoso mengimbau masyarakat berperan aktif dalam aksi pencegahan ini. "Kembali, kuncinya pada masyarakat. Kalau ada yang aneh atau tak lazim, harus cepat lapor kepada kami," ucapnya.

    Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap sejumlah terduga teroris di sejumlah kota sepanjang akhir pekan lalu. Juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, menyebutkan para terduga teroris tersebut berencana menebarkan teror pada Natal dan tahun baru.

    EGI ADYATAMA


    INILAHCOM, Mojokerto - Tim Gegana Polda Jawa Timur menggerebek rumah terduga teroris Moch Choirul Amin (38) di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
    Tim Gegana Polda Jawa Timur tidak menemukan bahan peledak. Diduga Amin bos pabrik senjata di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
    "Densus 88 anti teror mengamankan sejumlah barang bukti berupa satu set komputer, satu laptop, dua hardisk, satu set stempel palsu, dua buah pisau, dua surat keterangan pindah palsu," ujar Kapolsek Trowulan, AKP M Sulkan, Minggu (20/12/2015).
    Sebagaimana diberitakan, Densus 88 melanjutkan penggerebekan di salah satu rumah terduga teroris di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto usai menggrebek rumah Indraji di Jalan Empu Nala No.78.
    Rumah di Dusun Trowulan RT 4 RW 2, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto tersebut milik Moch Choirul Amin (38).
    Densus 88 anti teror melakukan penggerebekan sekitar pukul 21.00 WIB. Selama dua jam, Densus 88 anti teror mengamankan sejumlah barang bukti dari dalam rumah serta istri dan kelima anak terduga teroris. [beritajatim]
    - See more at: http://nasional.inilah.com/read/detail/2261297/amin-diduga-bos-pabrik-senjata#sthash.5qykciik.dpuf

    KOMPAS.com — Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones kepada VOA memastikan bahwa Umar Jundulhaq (19), putra pelaku bom bunuh diri di Bali, Imam Samudera, tewas dalam sebuah pertempuran di kota Deir ez-Zur, Suriah, pada 14 Oktober lalu.

    Sidney menyatakan, (Umar) tewas dalam pertempuran di sekitar Bandara Deir ez-Zur di Suriah. "Saya bisa memastikan dia yang tewas. Saya sudah lihat foto mayatnya," ujarnya.

    Umar, menurut Sidney Jones, adalah satu dari 50 warga negara Indonesia yang tewas dalam pertempuan di Suriah sejak Maret lalu, baik dengan pasukan Kurdi maupun dengan pasukan Presiden Suriah Bashar Al Assad.

    Selain itu, ada juga yang tewas akibat pengeboman udara yang dilakukan pasukan koalisi, tetapi jumlahnya tidak banyak. Ada pula lima orang yang tewas karena menjadi pelaku bom bunuh diri.

    Saat ini, lanjut Sidney, masih ada sekitar 300-an warga negara Indonesia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS, tetapi 40 persen di antaranya perempuan dan anak-anak. Mereka ikut dengan suami mereka.

    Mereka yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS mayoritas mempunyai hubungan atau memiliki afiliasi dengan organisasi radikal yang ada di Indonesia. Namun, ada juga warga negara Indonesia yang sebelumnya tidak memiliki afiliasi apa pun dengan kelompok radikal ketika mereka direkrut.

    Mereka, tambah Sidney, biasanya direkrut melalui hubungan langsung, pengajian, dan tidak melalui internet.

    Tim ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Wawan Purwanto, membenarkan Umar Jundulhaq, anak pelaku bom bunuh diri di Bali, Imam Samudera, tewas di Suriah.

    "Rata-rata dimakamkan di sana, tidak dibawa ke sini karena kepergiannya sendiri dianggap menyalahi dari perundang-undangan, kewarganegaraan dalam negeri, jadi tidak dipulangkan. Sampai saat ini, tidak ada yang meninggal di Suriah dibawa pulang ke Indonesia. Itu tidak ada. Semua dimakamkan di sana," ujarnya.

    Direktur IPAC Sidney Jones mengakui bahwa sebenarnya jaringan-jaringan teroris di Indonesia telah lemah. Meski demikian, tambah dia, semua pihak tetap harus waspada karena apabila ada yang pulang dari Suriah, mereka memiliki kredibilitas dan keterampilan yang tinggi, seperti mahir menggunakan senjata dan berperang.

    Berdasarkan informasi yang dimilikinya, sudah ada tujuh orang warga negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS dan kembali ke Indonesia. Untuk itu, Sidney menyarankan agar aparat penegak hukum ataupun pemerintah melakukan pendekatan yang baik terhadap mereka.

    Sidney juga berharap program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah dapat lebih ditingkatkan lagi, seperti program untuk narapidana kasus teroris. Program ini, tambah dia, bisa diperkuat lagi agar penjara tidak dijadikan oleh teroris sebagai tempat yang subur untuk melakukan perekrutan.

    "Pasti ada satu atau dua yang mau melakukan jihad di Indonesia, tetapi paling sedikit kalau didekati oleh aparat keamanan di sini. Mereka bisa membedakan antara orang kecewa dan mungkin ingin kerja sama dengan pemerintah untuk mencegah orang lain berangkat dan orang-orang yang betul masih mempunyai niat yang kurang baik. Kalau orang terakhir seperti itu saya kira harus dipantau saja," katanya.

    BNPT menyatakan, dari 1.030 orang yang ditangkap dan ditahan karena kasus terorisme, masih ada 25 orang yang dinilai radikal, antara lain Abu Bakar Baasyir.
    Editor: Farid Assifa
    SumberVOA Indonesia

    MOHAMMAD BERTUTUR: RABU, 11 SEPTEMBER 2013 | 07:30 WIB Begini Hasil CCTV Soal Penembakan Polisi di KPK TEMPO.CO, Jakarta - Rekaman kamera CCTV yang dipasang di atas gedung Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan satu sepeda motor, datang dari belakang dan memepet sepeda motor Honda Supra X 125 bernomor polisi B-6671-TXL yang dikendarai Anggota Provost Polair Markas Besar Kepolisian Bripka Sukardi, dari sebelah kiri Sukardi. Tiba-tiba, terlihat Sukardi dan sepeda motornya jatuh dan tak bergerak. Sepeda motor yang memepet itu, berhenti sekitar satu meter di depan Sukardi. Dua orang yang berada di sepeda motor tak lekas turun, dan hanya melihat Sukardi. Sedetik kemudian, dari penampakan sepeda motor yang telah berhenti di sisi jalan sebelum Sukardi datang, turun satu orang yang kemudian berjalan kaki ke arah Sukardi. Di depan Sukardi, orang itu terlihat sedikit membungkuk ke arah Sukardi, lalu kembali menuju sepeda motornya yang sedang ditunggui seorang pengendara. Dua sepeda motor, yang memepet dan yang telah berhenti sebelumnya, sama-sama melaju ke arah Mampang Prapatan. Tempo melihat rekaman CCTV itu dari dua ponsel Blackberry berbeda, yang sama-sama menggunakan fasilitas video perekam untuk merekam CCTV yang diputar di sebuah layar monitor. Dua rekaman itu tak menghasilkan gambar yang tajam dan jelas. Meski begitu, tongkat pengatur lalu lintas dengan lampu merahnya yang terus-menerus menyala, meyakinkan pengendara yang jatuh itu adalah Sukardi, karena tongkat itu memang dibawa dia. Sukardi tewas ditembak, di Jalan HR Rasuna Said persis sebelum gerbang keluar kendaraan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, pada Selasa, pukul 22.20 Wib. Di depan gedung merupakan jalan raya yang terbagi dua. Sukardi terkapar di lajur sebelah kiri, yang menjadi lajur sepeda motor. MOHAMMAD RIZKI

    Di CCTV, Bripka Sukardi ditembak saat terlentang

    Densus Tangkap Pemilik Bom Kedubes Myanmar

    Pemilik Sepeda Motor Penembak Polisi Ditangkap

    SENIN, 19 AGUSTUS 2013 | 06:29 WIB Pemilik Sepeda Motor Penembak Polisi Ditangkap Pemilik Sepeda Motor Penembak Polisi Ditangkap Petugas laboratorium forensik melakukan olah TKP di lokasi penembakan dua anggota polisi oleh orang tidak dikenal di Pondok Aren, Tangeran, Banten (17/8). Kedua polisi tersebut tewas tertembak saat melakukan patroli. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat Foto Terkait Suasana Duka di Rumah Polisi yang Tewas Ditembak Suasana Duka di Rumah Polisi yang Tewas Ditembak Topik #Penembakan Polisi Besar Kecil Normal TEMPO.CO , Jakarta:Polisi menangkap Iwan Priadi, 44 tahun, di rumahnya di Kampung Cijeruk Hilir, Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya, Jawa Barat, kemarin pagi. Sumber Tempo di Kepolisian Resor Tasikmalaya mengatakan lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang ikan itu diduga sebagai pemilik sepeda motor Yamaha Mio, yang dikendarai penembak polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Jumat malam lalu. Dalam peristiwa itu, dua anggota Polsek Pondok Aren, Inspektur Dua Anumerta Kus Hendratna dan Ajun Inspektur Anumerta Ahmad Maulana, tewas ditembak. Istri Iwan, Dede Kurniasih, mengatakan suaminya dibekuk sekawanan lelaki bertubuh tinggi kekar ketika sedang tidur di kamar. “Tidak ada surat penangkapan,” ujarnya. “Mereka bilang soal motor, saya enggak ngerti.” Selain menggeledah seisi rumah dan membawa Iwan, sejumlah pria yang belakangan diketahui merupakan Tim Densus 88 itu mengambil telepon seluler milik Iwan. Di dalam rumah Iwan, terpampang berbagai poster anti-liberalisme. Ada pula poster bertulisan “Keluarga Besar Front Pembela Islam (FPI) Jawa Barat”, lengkap dengan foto Ketua FPI Rizieq Shihab. Dede mengatakan suaminya memang aktif di FPI. Ketua RT 3 RW 01 Kampung Cijeruk Hilir, Abdurahman, menyatakan Iwan dikenal sebagai pengurus FPI Kecamatan Kawalu. Polisi masih menutupi kepemilikan sepeda motor yang dipakai penembak. Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Ronny Frankie Sompie, belum bisa menjelaskan ihwal penangkapan Iwan. “Biarkan penyidik bekerja,” ujarnya. Adapun seorang penyidik di Polda Metro Jaya hanya menyatakan pelat sepeda motor itu berasal dari Bandung.(Selengkapnya baca di sini) CANDRA NUGRAHA | M. ANDI PERDANA | MUHAMAD RIZKI | TIKA PRIMANDARI | FRANSISCO ROSARIANS

    Dugaan Keterlibatan Syafei dalam Kelompok Teroris

    • Penulis :
    • Dian Maharani
    • Minggu, 18 Agustus 2013 | 11:49 WIB

    JAKARTA, KOMPAS.com — Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri meringkus Imam Syafei (21) karena ia diduga terlibat dalam sejumlah aksi teror. Pria itu juga masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kasus terorisme, di Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (17/8/2013).

    Syafei diketahui pernah mengikuti pelatihan membuat bom bersama tersangka teroris yang telah ditangkap sebelumnya yakni Rohadi, Sigit, Imam, dan Ovie. "Ia berlatih membuat bom yang dilatih oleh Sepriano alias Mambo," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie melalui pesan singkat, Minggu (18/8/2013).

    Kemudian yang bersangkutan juga pernah melakukan latihan militer (I'dad) di Gunung Salak pada Januari 2013. Syafei bahkan mengetahui dan terlibat perencanaan teror bom di Kedutaan Besar Myanmar. Perencanaan teror tersebut sudah digagalkan Polri.

    Syafei juga orang yang berperan mencari dana untuk aksi teror. "Dia pencari dana untuk halaqoh yang dipimpin oleh Rohadi," kata Ronny.

    Diberitakan sebelumnya, Syafei ditangkap di Jalan Raya Kemranjen, Desa Kebarongan RT 03/12, Bamyumas, Jawa Tengah, Sabtu (17/8/2013) sekitar pukul 09.35 WIB. Penangkapan Syafei merupakan pengembangan dari kelompok M Saiful Sabani alias Ipul (26) yang ditangkap sebelumnya di Jalan Malioboro, depan halaman Hotel Inna Garuda Yogyakarta.
    Motif Penjambretan, Olok-olok atas Kasus Sisca Penulis : Alsadad Rudi Minggu, 18 Agustus 2013 | 11:32 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Pemberitaan seputar kasus penembakan dua anggota polisi di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (17/8/2013), memunculkan beberapa komentar sinis yang menyatakan bahwa pelaku penembakan bukan teroris, melainkan penjambret. "Komentar seperti ini muncul akibat tidak adanya kepercayaan masyarakat sehingga polisi semakin tidak punya wibawa di mata masyarakat dan cenderung menjadi bahan olok-olok masyarakat," kata Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (17/8/2013). Neta menyayangkan penembakan anggota polisi di wilayah hukum Polda Metro Jaya tidak mendapat empati dari masyarakat. Namun dia juga menegaskan, tidak adanya empati masyarakat bisa jadi muncul akibat polisi yang selama ini dianggap tidak serius dalam penanganan suatu kasus, terutama kasus pembunuhan terhadap Franciesca Yofie. Dalam penanganan kasus pembunuhan yang terjadi di Cipedes, Bandung, Jawa Barat, Senin (5/8/2013) itu, Sisca yang pada awalnya diduga dibunuh secara terencana, pada akhirnya disimpulkan dibunuh "hanya" karena motif penjambretan. "Masyarakat melihat keanehan di balik kasus Sisca, tetapi hanya disikapi sembrono (oleh polisi), yang tidak serius dan tidak mau repot di mana polisi hanya berpatokan pada pengakuan tersangka yang akhirnya hanya berujung penyidikan yang menyesatkan," ujarnya. Oleh karenanya, Neta menyarankan agar polisi serius melakukan pembenahan, introspeksi, memperbaiki diri dalam pelayanan terhadap masyarakat, dan menunjukkan keseriusan serta sikap profesionalnya, terutama dalam penanganan kasus. Franciesca Yofie merupakan korban pembunuhan sadis. Dia tewas setelah disergap dua orang bersepeda motor di depan kosnya dan terseret sejauh 500 meter. Kedua pelaku juga membacoknya di bagian kepala. Sisca meninggal berlumuran darah dalam perjalanan ke RS Hasan Sadikin. Awalnya diduga Sisca dibunuh akibat dendam. Hal itu diperkuat dengan tidak adanya harta bendanya yang hilang. Beberapa hari kemudian, polisi menangkap dua orang pelaku, yaitu Wawan (39) dan Ade (24), setelah Ade menyerahkan diri ke Mapolsek Cipedes akibat merasa bersalah. Dalam perkembangan, kedua tersangka membantah berencana membunuh Sisca. Menurut keduanya, mereka hanya berniat mengambil tas dari mobil Sisca, tetapi Sisca berusaha melawan. Dalam upayanya itu, kata kedua tersangka, Sisca terjatuh dan rambutnya tersangkut pada gir sepeda motor yang dikendarai kedua tersangka, hingga terseret sejauh sekitar 500 meter. Dalam keadaan panik akibat terseretnya Sisca, Ade yang sedari awal telah membawa sebilah golok, langsung membacok kepala korban. Sabtu, 17/08/2013 17:13 WIB Dibekuk Densus 88, Safei Disebut Ortu Pemuda Pendiam yang Sulit Diatur Arbi Anugrah - detikNews Banyumas - Safei (21) terduga teroris yang ditangkap Tim Densus 88 di sebuah warung di Jalan Raya Buntu, Desa Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah. Dia ditangkap saat tengah mengantarkan keponakannya ke warung membeli permen. Safei ditangkap pada Sabtu (17/8/2013) sekitar pukul 10.00 WIB. Menurut orang tuanya, dalam keseharian, anaknya merupakan pribadi yang pendiam, namun sulit diatur. "Dia anaknya diam, tidak suka ngobrol sama bapaknya, yang saya tidak suka ya tingkahnya, yang suka membaca buku-buku Abu Bakar Baasyir," Kata Slamet Raharjo (65), orang tua Safei kepada wartawan di rumahnya di Rt 2/13 Desa Kebarongan. Dia menjelaskan, dirinya sudah tidak sanggup lagi megingatkan Safei. "Dia itu sukanya baca bukunya Abu Bakar Baasir, walaupun sudah sering diingatkan bahkan saya dimaki-maki tapi tetap saja dibaca, saya curiga kenapa membaca bacaan seperti itu. saya tidak tahu dia dapat buku itu dari mana," ujarnya. Menurut dia, setiap hari Safei memang membantu usaha pembibitan tanaman di halaman rumahnya, tapi kadang Safei sering pergi dan tidak pamit kepada orang tuanya. "Sering pergi tapi tidak pamit, kadang sampai dua bulan, ketika pulang sering minta uang yang keperluannya tidak jelas" jelasnya. Sementara Kapolres Banyumas AKBP Dwiyono saat di hubungi wartawan terkait penangkapan tersebut mengatakan jika prosedur tetap (Protap) berada di Mabes Polri. "Informasi jelasnya silahkan tanya ke Mabes Polri," jelasnya. Tim Detasemen Khusus Anti Teror 88 menangkap Safei (21) yang sedang membeli permen bersama seorang keponakannya di sebuah warung di Jalan Raya Buntu, Desa Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah yang berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya sekitar pukul 10.00 WIB. Di duga Safei terlibat dalam rencana pengeboman Kedubes Mianmar dan Viahara Budha. Dari informasi yang dikumpulkan, Imam Safei Bin Slamet Raharjo ditangkap Densus 88 karena di duga terlibat dalam rencana pengeboman Kedubes Mianmar dan Viahara Budha yang merupakan pengembangan dari penangkapan di Yogyakarta. Kamis, 08/08/2013 14:46 WIB Ka BIN Sinyalir Penembak Polisi dan Pegawai LP dari Kelompok Sama Rivki - detikNews Jakarta - Kepala BIN Marciano Norman, mengatakan serangkaian aksi teror yang menimpa anggota Polri dan Sipir penjara di Yogyakarta dilakukan oleh pelaku yang sama. Menurutnya, pelaku memanfaatkan momen-momen saat aparat sedang lengah. "Jadi penembakan kemarin pagi kemudian tadi pagi sipir di Yogya mengindikasikan bahwa memang ancaman yang selama ini mereka lemparkan terhadap aparat keamanan," kata Ka Bin Marciano di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta, Kamis (8/8/2013). Menurutnya, aksi teror yang terjadi akhir-akhir ini merupakan peringantan kepada seluruh aparat agar selalu waspada dalam bertugas. Dia meminta aparat agar selalu siap menghadapi teror. "Harus ditingkatkan kesiapan, karena kita tidak boleh ada korban lagi dan di sisi lain kita berikan dukungan sepenuhnya kepada BNPT untuk terus mengembangkan analisa-analisa," terangnya. Marciano juga menjelaskan modus pelaku teror selalu sama. Oleh karena itu kuat dugaan bahwa pelaku aksi teror akhir-akhir ini adalah orang yang sama. "Itu sinyalemen kuat dilakukan kelompok yang sama, yang pasti ada kaitan-kaitan dengan kelompok-kelompok itu," pungkasnya.

    Rohingya: Hentikan Teror atas Nama Rohingya di Indonesia!

    • Penulis :
    • Sandro Gatra, Ariane Meida
    • Selasa, 6 Agustus 2013 | 19:32 WIB


    JAKARTA, KOMPAS.com — Pengungsi Rohingya meminta kelompok-kelompok tak bertanggung jawab untuk menghentikan aksi teror atas nama Rohingya di Indonesia. Mereka turut menyesalkan aksi peledakan bom di Vihara Ekayana Arama. Tak hanya itu, mereka juga menyampaikan simpati kepada korban luka akibat ledakan bom yang meledak pada Minggu (4/8/2013).

    "Kami ada dalam kesusahan. Kami tidak mau orang lain susah lagi seperti kami," kata pengungsi Rohingya, Muhammad Hanif, kepada Kompas.com di Jakarta, Selasa (6/8/2013).

    "Kalau rakyat Indonesia merasa kasihan kepada orang Rohingya, kami minta tolong dengan sangat (peledakan bom di wihara) untuk dihentikan," tambah Hanif.

    Beberapa pengamat menduga peledakan bom ini berkaitan dengan aksi kekerasan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar. Dilaporkan, tak jauh dari serpihan bom di Ekayana, ada kertas bertuliskan "Kami Menjawab Jeritan Rohingya".

    Hanif mengatakan, peledakan bom tak menyelesaikan akar masalah konflik Rohingya dengan etnis mayoritas di Myanmar. Sebaliknya, aksi keji itu justru merugikan komunitas Rohingya dan warga Indonesia tak berdosa yang tak memiliki kaitan apa pun dengan konflik di Myanmar.

    "Kami hanya bermasalah dengan umat Buddha Myanmar yang berbuat kekerasan. Bahkan, tak semua umat Buddha di Myanmar melakukan kekerasan," kata Hanif.

    Editor : Hindra Liauw


    Senin, 22/07/2013 12:02 WIB

    2 Teroris yang Didor di Tulungagung Target Berbahaya, Perekrut 'Pengantin'

    Gagah Wijoseno - detikNews
    Jakarta - 2 Teroris yang didor di Tulungagung, Jawa Timur termasuk orang yang dicari. Kedua teroris yang tewas diketahui bernama Dayat dan Rizal.

    "Keduanya target berbaya," jelas Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai saat dikonfirmasi, Senin (22/7/2013).

    Ansyaad menjelaskan, kedua orang itu diketahui sebagai orang yang mengirimkan pembom bunuh diri ke Poso. "Dua orang ini terkait yang melakukan bom bunuh diri Mapolres Poso. Keduanya yang mengirimkan pelaku dari Tulungagung ke Poso," jelas Ansyaad.

    Saat disergap di warung kopi di Tulungagung, keduanya melawan dan menembak Densus 88 dengan senjata api. Keduanya juga membawa bom yang siap ledak.

    "Mereka ini memang membawa bom kemana-mana," tutupnya.




    (ndr/gah)
    01 Juli 2013
    Aparat Siaga I


    JAKARTA- Raibnya 250 dinamit merupakan masalah sangat serius. Satu dinamit saja hilang sudah menjadi ancaman, apalagi dalam jumlah besar. Diharapakan jajaran intelijen dan aparat keamanan untuk memprioritaskan penanganan dan menyatakan siaga satu. ”Saya kira masalah serius ini harus menjadi prioritas penanganan dan siaga satu untuk seluruh jajaran intelijen dan aparat keamanan baik polri maupun TNI. Satu dinamit hilang saja sudah menjadi tragedi,  apalagi 250 dinamit, sehingga melindungi masyarakat harus jadi prioritas utama,” ujar Tjahjo Kumolo, Minggu (30/6).
    Sekjen PDI Perjuangan itu mengaku tidak habis pikir. Empat truk pembawa dinamit yang dikawal polisi bisa kehilangan dinamit dengan mudahnya. ”Seperti gerakan bajing loncat yang merampas barang di atas truk yang berjalan, apakah gelagatnya sebuah sabotase yang terencana atau hanya sekadar kehilangan,” kata legislator dari Dapil I Semarang tersebut.
    Anggota Komisi yang membidangi pertahanan dan keamanan itu menegaskan, bila ada kelalaian dari pengawalan yang memadai maka seluruh pihak harus mewaspadai kehilangan dinamit tersebut. ”Masyarakat gelisah dengan hilangnya dinamit tersebut. Aparat harus mengusut tuntas pelaku yang berada di balik hilangnya ratusan dinamit tersebut. ”Sampai saat ini aparat belum bisa mengungkap siapa yang bertanggung jawab,’’tuturnya.
    Seperti diketahui, ratusan dinamit diketahui hilang pada Kamis (27/6/2013) pukul 07.30. Hilangnya dinamit  250 batang itu baru disadari saat truk sudah sampai ke tujuan, yaitu di Kecamatan Cigude, Bogor. Sebelumnya truk berangkat dari Subang, Jawa Barat. Adapun jalur yang dilewati truk adalah berangkat dari Subang, singgah di Marunda dan Cilincing, Jakarta Utara; melewati tol di Serpong, Tangerang; dan sampai akhirnya tiba di Bogor.
    Sempat muncul kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa dinamit-dinamit yang hilang telah dicuri oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki keahlian memanfaatkan bahan peledak untuk melakukan hal yang merugikan masyarakat. Kepolisian masih menelusuri hilangnya 250 dinamit milik perusahaan tambang PT Batu Sarana Persada. Polisi mengimbau masyarakat untuk melapor ke kepolisian terdekat bila menemukan bahan peledak tersebut.
    ”Kita imbau kepada masyarakat untuk melaporkan ke polisi bila menemukan bahan peledak, jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto. Sejauh ini, polisi belum menerima informasi dari masyarakat terkait keberadaan benda berbahaya itu. Sementara polisi telah memeriksa sekitar 10 saksi dalam peristiwa hilangnya bahan peledak tersebut.
    Rute Dicermati
    Dari Bandung, hingga kemarin aparat masih melacaknya. Mereka terus memetakan kemungkinan titik hilangnya bahan peledak tersebut berdasarkan rute perjalanan. Dalam kaitan itu, mereka menggali keterangan terhadap saksi-saksi yang terangkai dalam rantai pengiriman. Jumlahnya mencapai 15 orang. ”Kita telusuri seluruhnya,” tandas Kapolda Jabar Irjen Pol Suhardi Alius di Bandung.
    Menurut dia, sejumlah saksi yang diperiksa adalah empat sopir pengangkut berikut seorang kenek, lima pegawai PT Bina Sarana Persada yang merupakan tujuan akhir dinamit, dua pengawal kepolisian. Polisi, imbuh Suhardi, menekankan rentetan perjalanan sejak dari diambil dari PT Multi Nintrotama Kimia, Subang.  (dwi,di,dtc-80).
    (/)

    Ini Alasan DPO Terorisme Poso Menyerahkan Diri ke TNI

    Jum'at, 28 Juni 2013 14:27 wib
    Yoanes Lita - Sindo TV
    POSO - Sugiyatno (36) alias Su, DPO teroris di Poso, Sulawesi Tengah, mengemukakan alasannya menyerahkan diri ke Makodim 1307/Poso. Dia mengaku keputusan tersebut atas saran dan pertimbangan keluarga. Dia merindukan tiga anak laki-laki dan ayahnya yang saat ini sedang sakit.

    Lantas mengapa ke menyerahkan diri ke TNI? Sugiyatno menganggap menyerahkan diri ke TNI lebih menjamin keselamatannya. Dia khawatir bila menyerahkan diri ke polisi akan dianiaya dan diperlakukan tidak manusiawi.

    “Saya berharap mendapat jaminan keselamatan, nantinya tidak akan disiksa bila sudah diserahkan kepada polisi,” aku Sugiyatno, Jumat (28/6/2013).

    Motivasi menyerah, tambahnya, karena sudah tidak memiliki pilihan tempat lain untuk kabur. “Timbang hidup dalam pelarian terus, lebih baik menyerahkan diri. Kangen anak-anak, ayah saya sedang sakit,” ujarnya.

    Sugiyatno merupakan satu dari 22 terduga teroris yang diburu polisi. Dia diduga menyuplai logistik untuk kelompok bersenjata pimpinan Santoso di Gunung Biru dan Gunung Koroncopu.

    Namun, dia membantah dugaan tersebut dan mengaku tidak terlibat dalam tindak kekerasan dan terorisme di Poso pada 2012.

    Seperti diberitakan, pagi tadi sekira pukul 10.00 Wita, Sugiyatno diserahkan ke Mapolres Poso setelah menyerahkan diri ke Makodim 1307/Poso. Kedatangannya disambut hangat oleh Kapolres Poso, AKBP Susnadi, dengan memeluk tubuh pria tersebut.

    Polisi mememuji keputusan Sugiyatno menyerahkan diri dan berharap jejaknya diikuti DPO lainnya. Kapolres juga berjanji akan memerlakukan Sugiyatno dengan baik. (Yoanes Lita/Sindo TV/ris)
    JUM'AT, 21 JUNI 2013 | 18:12 WIB Keluarga Pelaku Bom Bunuh Diri Poso Bingung TEMPO.CO, Lamongan - Mantan aktivis Afghanistan dan Poso Ali Fauzi, 43 tahun, mengatakan bahwa pihak keluarga Zainul Arifin, yang diduga menjadi pelaku bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Poso, meminta agar Ali Fauzi membantu pemulangan jenazah Zainul ke kampung asalnya di Lamongan, Jawa Timur. “Saya baru dapat telpon dari ibunya Zainul, Nyonya Zumaroh. Istrinya Zainul juga meminta bantuan yang sama,” kata Ali Fauzi kepada Tempo, Jum’at, 21 Juni 2013. Ali Fauzi, adik kandung terpidana mati bom Bali Amrozi dan Ali Ghufron, itu diminta memfasilitasi pihak keluarga Zainul agar bisa bertemu dengan pejabat kepolisian di Mabes Polri Jakarta. Tujuan utamanya meminta agar jenazah Zainul dimakamkan di Desa Blimbing, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Pihak keluarga pun sudah menyiapkan liang lahat di pemakaman umum yang berlokasi di selatan Desa Blimbing. “Ibunya ingin melihat jenazah anaknya,” ujar Ali. Ali belum menyatakan kesanggupannya. Ali justru menghubungi seorang temannya –yang tidak mau disebutkan namanya—agar menjajaki kemungkinan membuka akses dengan Mabes Polri. Namun, kepada pihak keluarga, Ali menyarankan agar pihak keluarga mengikhlaskan jenazah Zainul Arifin dimakamkan di Kramat Jati, Jakarta Timur. Pihak keluarga bisa keJakartabisa ke Jakarta untuk bisa melihat jenazah Zainul sebelum dimakamkan. Diberitakan sebelumnya, informasi tentang tempat pemakaman jenazah Zainul Arifin masih simpang siur. Rabu lalu Juru bicara Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Ajun Komisaris Besar Polisi Soemarno mengatakan, jenazah Zainul akan dipulangkan ke Lamongan setelah diterbangkan ke Jakarta pada Rabu malam. Pihak keluarga Zainul sudah menunggu di Jakarta untuk menerima penyerahan jenazah, dan selanjutnya dibawa ke Lamongan. Namun pada hari yang sama, Kepala Desa Blimbing Tiha Mansyur mengatakan, sebaiknya jenazah Zainul dimakamkan di Poso. Ia sudah berkonsultasi dengan orang tua maupun kerabat Zainul. Mereka setuju jenazah Zainul tidak harus dimakamkan di kampung halamannya. SUJATMIKO

    Farouk Jadi Tersangka Teroris

    Senin, 10 Juni 2013 07:10 WIB

    Laporan Wartawan Tribun Timur, Abdul Azis
    TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR -- Kepala Biro Penerangan Umum (Penum) Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar, dikonfirmasi  mengatakan Umar Farouk (25) yang ditangkap di Kompleks Perumahan Permata Sudiang Raya, Blok H2 No 11, RT 2, RW 24, Jl Dg Ramang, Kelurahan Sudiang, Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Sabtu (8/6/2013), kemarin sudah ditetapkan sebagai tersangka terduga teroris.
    "Yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masih menjalani proses pemeriksaan di Makassar," katanya, Senin (10/06/13) dikonfirmasi melalui via selulernya.
    Saat ditanyakan mengenai jaringan tersangka, mantan Penum Mabes Polri ini enggan memberikan komentar lebih banyak kepada publik." Masih diselidiki jaringannya, anggota pun dilapangan terus melakukan penyelidikan di kota Makassar," ungkapnya.
    Diberitakan Tribun sebelumnya, Farouk dikabarkan menghilang dari rumahnya Sabtu malam saat hendak pulang ke rumahnya dan Sandal serta kopiahnya ditemukan di pinggir jalan di antara masjid dan kediaman imam masjid tersebut dan sebelum hilang sempat memimpin shalat Isya di Masjid Al-Musabbihin.
    Teroris Jadikan Poso Proyek Destabilisasi
    Selasa, 4 Juni 2013 | 8:21



    SEMARANG-Anggota Komisi III (Bidang Hukum dan Keamanan) DPR RI Eva Kusuma Sundari menilai Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menjadi "hot area" untuk latihan (exercise) proyek destabilisasi banyak pihak, terutama kelompok radikal teroris.

    "Poso kembali bergolak dan tampaknya menjadi 'hot area' (daerah panas) untuk 'exercise' proyek destabilisasi banyak pihak, terutama kelompok radikal teroris," kata Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI kepada Antara di Semarang, Senin malam (3/6).

    Eva mengemukakan hal itu ketika merespons aksi bom bunuh diri Senin pagi di Mapolres Poso yang menewaskan pelaku dan melukai seorang pekerja kebun.

    Salah satu dugaan kenapa kelompok teroris seperti mendapat energi lagi, menurut dia, adalah adanya napi-napi teroris kelas kakap, antara lain, desersi oknum TNI (Sabar Subagyo), mantan trainer Moro (Upik Lawanga), ahli bom (Santoso), dan penjagal (Basri) yang kabur dari penjara. Mereka berkumpul di Poso.

    Eva menduga faktor lemahnya pengawasan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) merupakan kesempatan teroris mengorganisasi dari tempat itu. "Sepatutnya mereka ditempatkan di lapas-lapas yang terpisah-pisah," ujarnya.

    Dugaan lain, lanjut Eva, adalah kebangkitan kelompok teroris juga merupakan dampak kampanye kelompok Islam moderat untuk pembubaran Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri yang tentu makin memperberat beban Densus 88.

    "Sepatutnya bom di Mapolres Poso pagi tadi menjadi peringatan bahwa persoalan terorisme masih merupakan ancaman serius bagi Islam dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Eva.

    Ia berharap agar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) segera menyelesaikan atau menyempurnakan Cetak Biru Strategi Nasional Penanggulangan Terorisme sehingga ada koordinasi dari lembaga-lembaga terkait program pemberantasan terorisme, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, dan Densus 88 Antiteror Mabes Polri.

    "'Blue print' ini penting untuk mengefektifkan program keseluruhan dan tentu untuk menghindari tumpang-tindih kegiatan dan pembiayaan-pembiayaan oleh lembaga-lembaga tersebut, baik dalam bentuk operasi intelijen maupun operasi pengendalian keamanan," katanya.

    Di lain pihak, kata Eva, "blue print" juga akan membantu kesatuan langkah dalam pemberantasan terorisme, misalnya, keputusan salah satu lembaga intelijen untuk merekrut eks teroris tanpa pertimbangan komprehensif bisa menyebabkan kegagalan operasi penindakan oleh lembaga lainnya.

    Menurut dia, cetak biru itu mendesak dan darurat mengingat ancaman kelompok radikal Islam sudah menjadi ancaman regional Asia-Pasifik. Dalam hal ini, Indonesia diharapkan dapat menjadi mediator konflik internal dengan kelompok muslim radikal di beberapa negara di kawasan tersebut.

    "Jika Poso masih jadi 'hot spot' (titik panas), Indonesia kehilangan legitimasi dan peran penting di dunia diplomasi, baik di tingkat regional maupun dunia," demikian Eva K. Sundari, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.(*/hrb)

    Markas Polres Poso Diguncang Bom Bunuh Diri
    Senin, 3 Juni 2013 | 8:57
    PALU-Seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan diri di halaman Markas Kepolisian Resor (Polres) Poso, Sulawesi Tengah, pada Senin sekitar pukul 08.25 WITA, kata Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah, AKBP Soemarno.

    Jenazah pelaku, yang katanya hancur, hingga kini belum dievakuasi dari lokasi ledakan.(ant/hrb)
    Nuaim Sempat Masuk JAT dan Bergabung ke Badri

    Oleh: Renny Sundayani
    nasional - Kamis, 16 Mei 2013 | 14:35 WIB

    INILAH.COM, Jakarta - Terduga teroris yang ditangkap di rumahnya Kelurahan Joyotakan, Kecamatan Serengan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (14/5/2013), berinisial N (Nuaim) mempunyai ikatan dengan pendiri Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Baasyir. Selain itu, Nuaim disebutkan pernah mengenyam di Jamaah Anshorut Tauhid , namun keluar.

    "Ya ada ikatan keluarga. Dulu pernah di JAT tapi kemudian keluar dan bergabung dengan kelompok Badri Hartono," kata Pengamat Teroris Noor Huda saat dihubungi, Kamis (16/5/2013).

    Sebelumnya, Nuaim diamankan Densus 88 Antiteror karena terkait dengan pimpinan teroris Solo, Badri Hartono alias Toni.

    Nu'aim yang ditangkap di Joyontakan RT 3 RW 4 Serengan, Solo, Jawa Tengah, pada Selasa petang kemarin berperan sebagai pemasok senjata kepada kelompok teroris. Keponakan pengasuh Ponpes Ngruki Abu Bakar Ba'asyir itu merupakan anggota kelompok teroris Abu Roban. [mvi]

    Rabu, 15/05/2013 22:10 WIB

    Teroris Abu Roban Rencanakan Aksi di Pilpres 2014

    Andri Haryanto - detikNews
    Jakarta - Abu Roban, tersangka teroris yang tewas di Batang pekan lalu, merupakan pelaku teror yang menjadi incaran Densus 88/Antiteror. Abu Roban alias Bambang Nangka dan sederet alias lainnya diketahui melakukan serangkaian perampokan untuk membiayai aksi terornya, termasuk merencanakan aksi saat Pemilihan Presiden 2014.

    Hal ini terungkap dari paparan tim Densus 88/Antiteror dalam pertemuan bersama Wakil Kapolri Komjen Nanan Sukarna beserta beberapa pimpinan media dan Dewan Pers, di Graha CIMB Niaga, Jl Jenderal Sudirman, Rabu (15/5/2013).

    Serangkaian aksi perampokan Abu Roban dan kelompoknya itu diketahui berdasarkan hasil penyidikan kepolisian. Dari situ terlihat rencana yang disusun, yaitu rencanan jangka panjang dan jangka pendek.

    Rencana jangka pendek, kelompok Abu Roban berupaya mengumpulkan logistik sebanyaknya berupa dana atau uang, persenjataan, amunisi, serta perekrutan anggota baru.

    "Hal ini persiapan dalam rangka rencana aksi teror yang akan dilaksanakan saat momentum Pilpres 2014," kata salah seorang personel Densus 88 dalam paparannya, Rabu (15/5/2013).

    Kelompok ini pun dalam rencana jangka pendeknya berupaya membuat usaha nyata guna memenuhi kesejahteraan anggota Mujahiddin Indonesia Barat (MIB). Usaha tersebut berupa penanaman pohon pisang Ambon di lahan seluas 2 hektare dan penjualan baju-baju bekas di Kendal.

    "Serta menjalin kerjasama dengan kelompok Mujahiddin lokal Indonesia, yaitu di Makassar, Poso, dan NTB," kata personel tersebut.

    Selain rencana jangka pendek, kelompok ini memiliki rencana jangka panjang, yaitu terwujudnya tujuan kelompok Mujahiddin Indonesia Barat (MIB), yaitu tegaknya Khalifah Islamiyah di Indonesia. Serta menjalin hubungan dengan Mujahidin luar negeri dengan maksud jika terjadi perang, Mujahiddin luar negeri membantu kelompok MIB.

    (ahy/mpr)

    Komentar

    Postingan populer dari blog ini

    Waktu ITU PALING AROGAN, tidak ada yang lebih arogan

    janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

    Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02