won at all cost (MENGHALALKAN SEGALA CARA untuk MENANG)
saat Yesus tertindas, Yesus berbelas
keutamaan 10 hari terakhir Ramadhan dan Lailatul Qadar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said tentang adanya pertemuan "rahasia" antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Executive Chairman Freeport McMoRan James R Moffett pada 6 Oktober 2015 telah menjadi bola liar. Bahkan, kehebohan itu menyulut wacana dari sebagian kalangan DPR untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Freeport.
Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu mewacanakan pembentukan pansus tersebut. Selain untuk mengungkap pertemuan "rahasia" itu, pansus itu pun dimaksudkan untuk menilik kaitannya dengan proses divestasi 51,2% saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Menanggapi kehebohan ini, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, menilai bahwa tidak ada urgensi bagi Komisi VII DPR RI untuk membentuk pansus tersebut. Apalagi, jika itu menitikberatkan pada pertemuan Presiden Jokowi dan Moffet.
Fahmy mengatakan, pertemuan Jokowi-Moffet yang heboh di media sebagai pertemuan "rahasia" sebenarnya pernah diungkapkan oleh Sudirman Said pada November 2015. "Namun tidak terjadi kehebohan pada saat itu," kata Fahmy yang juga mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, melalui keterangan tertulisnya kepada Kontan.co.id, Minggu (24/2).
Fahmy menilai, paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mengapa pernyataan tersebut kini menghebohkan. Pertama, momentum pernyataan Sudirman Said berdekatan dengan tahun politik Pilpres 2019.
Kedua, posisi Sudirman Said bukan lagi sebagai mantan Menteri ESDM, melainkan sebagai Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ketiga, berbeda dengan pernyataan pada November 2015, Sudirman Said kini terkesan mendramatisir pernyataannya tentang pertemuan “rahasia” Jokowi-Moffet.
Dramatisasi itu, lanjut Fahmy, tampak dari pengungkapan Sudirman Said yang lebih mengedepankan adanya pertemuan “rahasia” Jokowi-Moffet ketimbang substansi pertemuan.
Kalau pun Sudirman Said mengungkapkan substansi pertemuan, Fahmy menilai itu diungkapkan tidak secara utuh, sehingga menimbulkan multi tafsir. Alhasil, tak bisa dihindarkan dramatisasi itu menimbulkan kehebohan.
"Padahal, substansi pertemuan itu, yang sudah pernah diungkapkan sebelumnya, sesungguhnya biasa-biasa saja, tidak ada hal yang baru" ujar Fahmy.
Kendati Sudirman Said tidak mengatakan sebagai pertemuan “rahasia” Jokowi-Moffet, namun Sudirman mengatakan pertemuan secara diam-diam antara Jokowi dan bos Freeport itu menjadi cikal bakal keluarnya surat tertanggal 7 Oktober 2015 dengan nomor 7522/13/MEM/2015.
"Isi surat itu sebenarnya sangat normatif, yang berisi rencana perpanjangan operasi Freeport di Indonesia, sejauh Undang-undang Indonesia memungkinkan perpanjangan itu," sambung Fahmy.
Pada saat itu, Moffet membutuhkan semacam surat jaminan izin ekspor konsentrat dan perpanjangan operasi Freeport. Surat itu dibutuhkan oleh Moffet untuk mendongkrak harga saham Freeport McMoren (FCX), induk PTFI, di Bursa Wall Street New York, yang lagi terpuruk pada titik nadir.
Fahmy mengungkapkan, pada awal tahun 2013, harga saham FCX masih bertengger sekitar US$ 62 per saham. Pada perdagangan awal Oktober 2015, harga saham FCX terpuruk menjadi sekitar US$ 8,3 per saham, sempat semakin terpuruk lagi menyentuh sekitar US$ 3,96 per saham.
Salah satu sentimen penyebab penurunan harga saham FCX itu adalah tidak adanya kepastian izin ekspor konsentrat dan perpanjangan KK Freeport dari pemerintah Indonesia.
Pada saat itu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa perundingan perpanjangan Kontrak Karya (KK) PTFI baru akan dilakukan pada 2019, atau 2 tahun sebelum KK berakhir, seperti yang diatur oleh Undang-undang.
Sehingga, pernyataan Sudirman Said secara tersirat mengatakan substansi pembicaraan Jokowi-Moffet hanya sebatas pada permintaan semacam surat jaminan izin ekspor konsentrat dan perpanjangan operasi Freeport. Hal itu dibutuhkan untuk kembali menaikkan harga saham FCX.
"Tidak ada pembahasan terkait pembelian saham Freeport, seperti yang heboh di media masa baru-baru ini. Hanya, surat, yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said dengan seizin Jokowi, berdampak menurunkan bargaining positionTim Perunding Divestasi 51,2% Saham Freeport," kata Fahmy.
Alhasil, Fahmy menganggap setelah Pemerintah Indonesia berhasil melakukan divestasi 51,2% saham PT FI, setelah 51 tahun hanya menguasai 9,36% sahamnya, apa pun substansi pembicaraan Jokowi-Moffet dan surat Sudirman Said sudah tidak relevan lagi.
Jadi, kendati usulan pembentukan Pansus merupakan hak konstitusional yang melekat pada anggota DPR RI, namun dalam hal ini Fahmy menilai hal tersebut tidak relevan.
"Sehingga hanya wasting time alias buang-buang waktu saja. Akan lebih bermanfaat dan produktif untuk merampungkan Perubahan UU Migas, yang sudah delapan tahun belum juga selesai," tandasnya.
🐲
Ahok supports the president's strict anti-drug policy and is now on the frontline against corruption. He is considered to be an energetic and assertive reformer.
"The governor is on the same page as Jokowi," Alex Flor of the Berlin-based human rights organization, Watch Indonesia, told DW. "He is adhering to the president's policies," Flor added.
Ahok will stand for a re-election in February 2017. Until a few weeks ago, his chances of extending his term looked bright. Generally speaking, he is supported by the majority of the people in Jakarta.
Mass demonstrations
It is clear that Ahok's opponents are more opposed to his ethnicity and religion than to his policies. In contrast to most of the country's top politicians, Ahok is not only of Chinese origin, he is also a Christian, making him the first non-Muslim governor of Jakarta in 50 years.
Islamist groups strongly disapprove of the governor and Ahok has received multiple death threats in the past few months. There were mass demonstrations during the beginning of November in Jakarta organized by the radical "Islamic Defenders Front" (FPI). More than 100,000 protesters demanded the resignation of the governor, and even his indictment for blasphemy.
Many Indonesians believe Ahok represents a progressive, democratic and diverse Indonesia
The demonstration came after comments by Ahok in which he allegedly criticized the Muslim holy book, the Koran. He had quoted a Koran verse that could be interpreted as a warning against choosing a non-Muslim leader.
"If you cannot vote for me because you're afraid of being condemned to hell, you do not need to feel uneasy, as you are being fooled," said Ahok.
A wave of protests followed, finally leading to Ahok's apology. Seeing that this did not quell the demonstrations, the governor was forced to appear before the police to refute the blasphemy accusations against him. But the rebuttal did not help. This week, authorities in Jakarta confirmed that official investigations had been launched against him.
Not only could these charges lead to him losing his position as governor, if convicted, he could be sentenced to several years of imprisonment.
A political trial?
Questions remain as to whether the FPI alone was the driving force behind the protests and accusations against Ahok. It is speculated that the trial may have ulterior political motives, aimed at defaming Ahok ahead of the elections next year.
Islamist groups strongly disapprove of the governor
"Rumors abound that former president Susilo Bambang Yudhoyono and other opposition politicians may have sponsored the protests," said Indonesia expert Flor.
One of Yudhoyono's sons is running against Ahok in the coming gubernatorial elections. "It can't be proven, but it is possible," Flor added. "The participants in the mass demonstrations were mostly people from the rural areas. Normally, they would not care who is elected as Jakarta's governor since they don't live in the city."
A majority of Jakarta's inhabitants do not agree with the move to prosecute Ahok for blasphemy. Uhammadiyah and Nadhlatul Ulama, the two biggest Muslim organizations in the country, have distanced themselves from the mass protests.
"Objectively speaking, these blasphemy allegations cannot be justified," Flor argued, adding that it is unlikely that Ahok will be convicted. But the case could be prolonged to force the politician to withdraw from the gubernatorial race. "It won't be much use to him if he is acquitted three weeks before the election," Flor added.
President Jokowi has remained noticeably silent amidst the controversy surrounding his close aide
A threat to Jokowi?
President Jokowi has remained noticeably silent amidst the controversy surrounding his close aide. "The objective of the whole campaign against Ahok is to target President Jokowi, and he knows it," said Flor.
According to the expert, this is a reason why Jokovi hasn't parted ways with Jakarta's governor. Instead, Jokowi has underlined his faith in Indonesia's judicial system to execute a fair trial.
"The president has also been touring multiple police and military bases around the country to emphasize the plurality of Indonesia. This shows how deeply worried the president is that the Ahok episode could lead to a bigger political turmoil," added Flor.
👻
Dua Tokoh Anti Ahok
29 April 2017 00:29
Wakil Presiden Jusuf Kalla berjabatan tangan dengan putri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, saat keduanya menghadiri pernikahan putri Komandan Komando Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) TNI Letjen Agus Sutomo di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jumat malam (28/4). JK dan Rachma sama-sama dikenal sebagai tokoh yang tidak menghendaki Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali berkuasa di Jakarta. JK memberikan dukungan kepada Anies dalam Pilkada Jakarta yang lalu. Sementara Rachma yang juga Wakil Ketua Umum Gerindra kerap menyampaikan kritik atas kepemimpinan Ahok. RMOL
👻
TEMPO.CO, Jakarta - Berbagai figur terkenal hadir dalam perayaan ulang tahun Wakil Presiden Jusuf Kalla ke-75. Ada menteri, ada juga kepala daerah terpilih.Dua di antaranya pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan- Sandiaga Uno, yang hadir sekitar pukul 09.30, Senin, 15 Mei 2017.
Berita lain: Wapres JK Berharap Jamu Indonesia Mendunia
Pantauan Tempo, Anies dan Sandi hadir mengenakan pakaian batik lengan panjang. Sandi hadir lebih dulu, baru kemudian Anies menyusul.
Tiba di rumah dinas Kalla di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Sandi langsung mencium tangan Kalla yang menyambutnya. Kalla sempat terlihat kaget ketika Sandi tiba-tiba mencium tangannya. Namun kemudian ia tersenyum mengingat banyak awak media mengabadikan momen tersebut.
Setelah momen tersebut diabadikan, Anies dan Sandi tampak berbincang-bincang dengan Kalla. Belum diketahui apa yang dibicarakan ketiganya.
Kalla lahir di Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, pada 15 Mei 1942. Dia merupakan anak kedua pasangan Haji Kalla dan Athirah dari 17 bersaudara. Ayahnya memiliki usaha dengan bendera Kalla Group.
ISTMAN M.P.
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK mengaku sudah mendengar soal dirinya "diserang" atau dituduh rasis di berbagai media sosial. Menanggapi hal itu, ia menyatakan merasa tidak diserang. "Saya tidak pernah baca apa yang ada di media sosial. Jadi saya tidak merasa diserang," ujar JK setelah merayakan ulang tahunnya ke-75, Senin, 15 Mei 2017.
Seperti diketahui, sejumlah serangan atau kabar bohong soal JK beredar di media sosial seusai pilkada DKI Jakarta. Salah satunya adalah kabar bohong perihal dia mengimbau publik tidak mengirim bunga ke pasangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Saiful Hidayat karena tak bermanfaat.
Baca juga:
Saran Kalla ke Sandiaga: Kamu Harus Belajar Hormat
Contoh serangan yang lain adalah kabar dirinya mengatur vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada Ahok perihal kasus penistaan agama. Serangan itu berbentuk gambar JK bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.
Adapun serangan terakhir adalah beredarnya berita JK yang mengkaitkan kesenjangan ekonomi dengan faktor ras (pribumi dan keturunan Cina). Hal itu membuat JK dituduh rasis di sejumlah media sosial.
Baca pula:
Wakil Presiden Jusuf Kalla Rayakan Ulang Tahun Ke-75
JK berujar isu yang ia hadapi sekarang sudah biasa terjadi. Karena itu, dia tak kaget ataupun peduli dengan serangan terhadapnya di media sosial. Lagipula, pada kenyataannya, ia dekat dengan pengusaha atau pekerja dari ras mana pun, tak terkecuali keturunan Cina.
"Teman dekat saya kan keturunan Cina juga, itu Sofjan Wanandi. Dia kan dari pagi, sore, hingga malam sama saya," ucapnya.
ISTMAN M.P.
👅
Seperti diketahui, sejumlah serangan atau kabar bohong soal JK beredar di media sosial seusai pilkada DKI Jakarta. Salah satunya adalah kabar bohong perihal dia mengimbau publik tidak mengirim bunga ke pasangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan Djarot Saiful Hidayat karena tak bermanfaat.
Baca juga:
Saran Kalla ke Sandiaga: Kamu Harus Belajar Hormat
Contoh serangan yang lain adalah kabar dirinya mengatur vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada Ahok perihal kasus penistaan agama. Serangan itu berbentuk gambar JK bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.
Adapun serangan terakhir adalah beredarnya berita JK yang mengkaitkan kesenjangan ekonomi dengan faktor ras (pribumi dan keturunan Cina). Hal itu membuat JK dituduh rasis di sejumlah media sosial.
Baca pula:
Wakil Presiden Jusuf Kalla Rayakan Ulang Tahun Ke-75
JK berujar isu yang ia hadapi sekarang sudah biasa terjadi. Karena itu, dia tak kaget ataupun peduli dengan serangan terhadapnya di media sosial. Lagipula, pada kenyataannya, ia dekat dengan pengusaha atau pekerja dari ras mana pun, tak terkecuali keturunan Cina.
"Teman dekat saya kan keturunan Cina juga, itu Sofjan Wanandi. Dia kan dari pagi, sore, hingga malam sama saya," ucapnya.
ISTMAN M.P.
👅
Bisnis.com, JAKARTA -- Maraknya isu rush money (penarikan uang) dipandang sebagai hal yang serius oleh anggota Komisi XI DPR RI, M. Sarmuji.
Semberi menegaskan tidak ada alasan untuk melakukan penarikan tunai secara besar-besaran, ia menyebutkan siapa pun penyebar isu rush pasti bermaksud buruk. Mereka ingin memancing di air keruh, dan tidak menutup kemungkinan memiliki motif politik.
"Isu rush money adalah teror terhadap ekonomi nasional. Mereka yang mengisukan adalah mereka yang menginginkan situasi negara memburuk," tegas Sarmuji di Jakarta, Minggu (20/11/2016).
Mengapa ada kemungkinan motif politik di dalamnya? Menurutnya, karena isu ini dihembuskan mengiringi momentum demo besar tanggal 4 November lalu.
Dengan mengembuskan isu rush, sambung dia, mereka berharap ada eskalasi yang dipicu oleh memburuknya situasi ekonomi. Mereka sadar benar, gejolak politik tidak akan bisa membesar tanpa ada keterpurukan ekonomi.
"Mereka yang mengembuskan isu rush pasti sudah menyusun skenario lanjutan jika benar terjadi rush. Oleh karena itu penting dilakukan konsolidasi nasional untuk menghadang skenario politik yang mereka susun," katanya.
Politisi Golkar itu mengatakan, apa yang dilakukan oleh Presiden dengan bersilaturahmi ke segenap kekuatan sosial politik sudah benar. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan Presiden harus diikuti dengan koordinasi yang baik di antara institusi pemerintah, baik BIN, Kepolisian, Kementerian dan lembaga, OJK, BI, Perbankan dan institusi lain.
"Kepolisian dan BIN harus segera menelusuri siapa yang menyebarkan isu rush dan menyelidiki motifnya. JIka tidak, mereka dengan mudah akan membuat isu baru dengan tujuan instabilitas," katanya.
🙏
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengakui ada agenda politik dari pihak tertentu di balik perkara penistaan agama yang menyeret calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Hal itu terlihat dari adanya pihak-pihak yang menginginkan Ahok mundur dari pencalonan di saat hukum tak memungkinkannya untuk mundur.
"Agenda politik itu ya ada aja tiap hari," ujar Wiranto saat dicegat di Istana Kepresidenan, Jumat, 18 November 2016.
Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait dengan kasus penistaan agama. Namun, hal itu tidak membuatnya mundur dari pencalonan karena Persatuan Komisi Pemilihan Umum melarang calon untuk mengundurkan diri dari pencalonan. Jika mengundurkan diri, akan dianggap melakukan tindak pidana.
Hal itu tidak memuaskan beberapa pihak. Majelis Ulama Indonesia misalnya, menyarankan Ahok tetap mundur atas pertimbangan moral. Menurut MUI, meski dilarang undang-undang, secara moral Ahok sudah tidak pas mencalonkan diri karena obligasinya pun sudah kehilangan pijakan.
Hal ini diyakini berbagai pihak ada kepentingan politiknya. Wiranto melanjutkan, bahwa agenda politik di balik suatu tindakan sebenarnya adalah hal yang wajar. Namun, agenda politik itu harus yang bersifat konstruktif, bukan destruktif.
Agenda politik yang bersifat konstruktif adalah yang bersifat mengkritisi pemerintah dengan tujuan membangun. Sedangkan agenda politik yang non-konstruktif adalah agenda yang tujuannya menimbulkan kekisruhan dan kegaduhan.
Wiranto tidak menuding siapa yang beragenda politik konstruktif dan mana yang tidak dalam perkara Ahok. Namun, menurut dia, sebaiknya politikus-politikus yang ada saat ini sepakat untuk beragenda politik yang konstruktif saja agar situasi politik di Indonesia tidak kembali panas seusai demo 4 November yang mendesak Ahok dihukum. Lagi pula, kata ia, proses hukum sudah berjalan.
"Selama tokoh politik punya tanggung jawab yang sama tentang negeri ini, punya pemahaman yang sama, saya kira enggak akan ada situasi politik panas," ujar Wiranto.
ISTMAN M.P.
👀👀
TEMPO.CO, Jakarta - Polisi mendatangi kampus Universitas Nasional (Unas) di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin, 7 November 2016. Mereka meminta kampus menyerahkan Lalu Ismail Ibrahim, mahasiswa semester 5 Program Studi Sosiologi, FISIP. Sosok Ismail Ibrahim tertangkap kamera tengah menyeruduk aparat kepolisian saat demonstrasi di Monas, Jakarta Pusat, Jumat malam, 4 November 2016.
Unjuk rasa yang diikuti ribuan umat Islam itu menuntut polisi mengusut dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Purnama alias Ahok. Dalam foto yang beredar lainnya, Ismail Ibrahim terlihat mengenakan atribut organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ismail berdiri di antara kerumunan kelompok HMI dengan menggunakan topi berwarna hitam.
Baca Juga
Dituduh Menista Jokowi, Ini 3 Pembelaan Ahmad DhaniFakta Mengejutkan Mahasiswa Unas yang Dituduh Provokator
Sosok Ismail itu kemudian dipajang oleh Ustad Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym lewat akun Twitternya @aagym.
Manager Marketing dan Public Relations Unas, Dian Metha Ariyanti mengatakan sejak foto Ismail beredar di media sosial, keberadaan mahasiswa dari Nusa Tenggara Barat itu mendadak hilang. "Sudah coba kami hubungi, tapi kami tidak bisa kontak karena memang handphone-nya mati. Sejak Minggu, Kaprodi (Kepala Program Studi) coba kontak sudah tidak bisa dihubungi lagi," kata Metha kepada Tempo, Senin, 7 November 2016.
Metha menyangsikan keberadaan foto-foto itu. Meski begitu, kata Metha, tindakan Ismail tidak ada kaitannya dengan pihak Unas. "Jangan dikaitkan dengan Unas karena kami tidak tahu menahu dan itu tindakan pribadi dari Ismail sendiri," katanya. Pihak kampus mengaku masih menunggu klarifikasi atas tindakan yang dilakukan Ismail.
Metha mengatakan pihaknya juga menyerahkan kasus tersebut kepada pihak kepolisian. "Marilah kita coba untuk tidak menuduh macam-macam dahulu. Kita coba azas praduga tidak bersalah dulu," ujar Metha.
Baca Pula
Sosok Mahasiswa yang Dituduh Provokator Demo 4 NovemberSejak Demo 4 November, Ismail Disebut Hilang Kontak
Kalangan Unas memang tidak yakin dengan tuduhan polisi bahwa Ismail sebagai provokator ricuhnya demo 4 November 2016. "Ismail bukan mahasiswa yang suka demo. Semangat belajarnya tinggi ditengah kesulitan ekonomi keluarganya," kata salah seorang dosen Unas.
Orang tua Ismail adalah petani di NTB. Untuk membiayai hidup di Jakarta, Ismail tinggal di rumah orang satu kampungnya di kawasan Pasar Minggu. Ismail membersihkan rumah, mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. "Untuk menghemat biaya, ke kampus dia naik sepeda. Dia berjuang keras untuk membiayai hidupnya di Jakarta," kata dosen itu.
Tahun lalu dia terpilih menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Sosiologi FISIP Unas. Kawan-kawannya memilih karena Ismail pernah menjadi pengurus periode sebelumnya, bukan karena kepandaian dan aktivitasnya. Ismail juga menjadi anggota HMI komisariat Unas. Saat mahasiswa Unas unjuk rasa mengenai kenaikan biaya sidang skripsi, Ismail tidak ikut serta. "Dia yang mengadakan dialog antara mahasiswa dengan rektorat," katanya.
LARISSA HUDA | UWD
Liputan6.com, Jakarta - Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengatakan, pihaknya menangkap lima kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang diduga terlibat kerusuhan pada demo 4 November lalu di lima lokasi berbeda. Penangkapan itu dilakukan pada Senin, 7 November malam kemarin.
Awi merinci, kelima pelaku melawan petugas saat unjuk rasa kasus dugaan penistaan agama itu terjadi. Pertama adalah II atau Ismail Ibrahim. Mahasiswa salah satu universitas di Jakarta itu beralamat di Sekretariat HMI, Jalan Sultan Agung, Manggarai, Jakarta Selatan.
BACA JUGA
"Dia ditangkap di sebuah rumah anggota DPD RI di Pejaten Barat," jelas Awi.
"Yang kedua AH atau Ami Jaya Halim asal Ujung Pandang. Dia ditangkap di kantor HMI," lanjut dia.
Ketiga RR atau Ramadhan Reubun asal Maluku Tenggara. RR beralamat di kawasan Utan Kayu Utara, Matraman, Jakarta Timur dan merupakan anggota HMI Jakarta Utara.
"Kita tangkap di tempat biliar di Jakarta Pusat," ujar Awi.
Keempat adalah MRB atau Muhammad Rijal Berkat (26) yang tinggal di kawasan Pademangan Barat, Jakarta Utara. Dia ditangkap di daerah Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat.
"Kelima RM atau Rahmat Muni alias Mato. Asal dari Pulau Guru dan ditangkap di Jalan Anyer No 8, Jakarta Pusat," ujar Awi.
Kelimanya melanggar Pasal 214 juncto 212 terkait melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pejabat yang sedang melakukan tugas. Mereka terancam hukuman kurungan penjara selama 7 tahun.
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem Irma Suryani Chaniago meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia memeriksa dua Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Pemeriksaan itu, terkait dengan keributan yang terjadi dalam demonstrasi 4 November 2016.
Alasannya, menurut Irma, Fadli dan Fahri tidak bertanggung jawab mengawal massa hingga unjuk rasa bubar. "Jangan cuma cari panggung," ujarnya, Sabtu, 5 November 2016.
Sebelumnya, massa melakukan aksi unjuk rasa menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diadili karena penistaan agama, Jumat, 4 November 2016. Massa terkonsentrasi mulai dari Istana Negara hingga sekitar Patung Arjuna Wijaya di persimpangan Jalan M.H. Thamrin dan Medan Merdeka.
Baca: Saat Pendemo Kepung Istana, Rupanya Ini yang Diperbuat Ahok
Massa bergerak seusai salat Jumat dari Masjid Istiqlal dan berhenti di depan Istana. Fadli dan Fahri ikut dalam demonstrasi tersebut. Mereka naik dalam mobil bak terbuka dengan Imam Besar Front Pembela Islam, Rizieq Shihab.
Mobil bak terbuka itu bergerak ke Istana. Rizieq beberapa kali berorasi menuntut Ahok dihukum. Fadli dan Fahri juga beberapa kali mengangkat tangan untuk meramaikan aksi.
Aksi berjalan damai hingga selepas magrib. Demo yang dijadwalkan selesai pukul 18.00 itu menjadi ricuh sekitar pukul 20.00. Hampir lima jam setelah demonstrasi menjadi ricuh, Presiden Joko Widodo melakukan konferensi pers.
Simak: Rumah Ahok Digeruduk, Begini Cara Pendemo Mengelabuhi Polisi
Jokowi menuding ada aktor politik kerusuhan tersebut. "Kita lihat, itu telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi," ujarnya seusai rapat koordinasi di Istana Kepresidenan, Sabtu dinihari, 5 November 2016.
Jokowi tidak menjelaskan lebih lanjut siapa aktor politik yang ia tuding itu. Ia melanjutkan pernyataannya dengan menyesalkan bahwa aktor politik itu telah membuat demonstrasi yang seharusnya berakhir damai menjadi ricuh dan berdampak ke daerah lain.
Terakhir, Presiden Joko Widodo meminta di mana pun pengunjuk rasa kemarin untuk segera pulang ke daerah masing-masing dengan tertib dan tidak terprovokasi. Ia tidak ingin ada lagi kericuhan lanjutan Sabtu ini.
HUSSEIN ABRI DONGORAN | VINDRY | ISTMAN
"Kami dari Rumah Gerakan 98, menghargai aspirasi dari massa yang berunjuk rasa pada Jumat, 4 November 2016. Persoalannya, peristiwa tersebut, telah ditunggangi oleh sejumlah elit DPR RI, yang seharusnya mengedukasi massa agar mempercayakan penanganan kasus tersebut dalam ranah hukum," kata juru bicara Rumah Gerakan 99, Sayed Djunaidi.
Sayed melihat proses berlangsungnya aksi unjuk rasa, yang sudah mengarah kepada tindakan makar itu membungkus kepentingan politik terselubung atas nama kasus dugaan penistaan agama. Tidak berlebihan bila aksi ini sebenarnya menjadikan Ahok sebagai sasaran antara.
"Sesungguhnya, unjuk rasa puluhan ribu orang itu untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo. Ini adalah tindakan makar. Tindakan makar ini diperkuat dengan orasi massa aksi yang menyerukan penurunan Presiden Joko Widodo dan telah berubah menjadi anarkis," tuturnya.
Lebih jauh Rumah Gerakan 98 menyerukan tindakan secepatnya demi menyelamatkan keutuhan NKRI yang merupakan konsensus bangsa yang final. (*)
Merdeka.com - Anies Baswedan akhirnya ditunjuk oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai calon gubernur DKI Jakarta 2017. Penunjukan Anies mengejutkan, sebab Anies diketahui merupakan mantan timses Jokowi di Pilpres 2014 yang kerap mengkritik Prabowo Subianto.
Kini Prabowo justru menunjuk Anies sebagai calon gubernur berdampingan dengan kadernya Sandiaga Uno yang diplot sebagai calon wakil gubernur. Penunjukan Anies juga dilakukan selang beberapa jam jelang pendaftaran cagub cawagub DKI ditutup oleh KPUD.
Pada Pilpres 2014 lalu, Anies menjadi juru bicara pemenangan Jokowi-JK. Selayaknya jubir, Anies kerap melontarkan kritik-kritiknya kepada lawan Jokowi-JK yakni Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Kala itu, Anies pernah mengkritik visi dan misi Prabowo di Pilpres. Dia menganggap bahwa program Prabowo-Hatta banyak yang 'mencontek' visi dan misi milik Jokowi-JK.
"Peniruan itu berarti sama dengan pengakuan dari kehebatan Jokowi-JK," kata Anies di Hotel Golden Tulip Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis 26 Juni 2014 lalu.
Anies juga pernah mengkritik gaya promosi Prabowo yang jor-joran mengeluarkan iklan di media massa. Hal itu, menurut dia, tak akan berdampak pada hasil di Pilpres 2014.
"Kita tahu siapa Prabowo karena sudah beriklan selama 6 tahun di televisi terus-menerus. Cara berpolitik dengan biaya luar biasa mahal, tidak membuat politik menjadi lebih sehat," ujar Anies di sela-sela acara Rakornas Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, Kamis 29 Mei 2014 lalu.
Selain itu, Anies juga pernah meragukan ketegasan seorang Prabowo. Dia mengkritisi program kerja Prabowo-Hatta jika terpilih jadi presiden kala itu.
"Kalau Pak Prabowo misalnya tegas soal perekonomian, yang bener tuh yang mana? Ekonomi yang mau open pada market Internasional atau mau nasionalistik tertutup. Retoriknya nasionalis tertutup, tapi ketika diskusi bicaranya terbuka. Di mana tegasnya?" katanya usai hadir di sebuah diskusi dengan tema 'The Final Round: Siapakah Pemenang Pilpres 9 Juli 2014' di Hotel Haris, Jakarta, Minggu 29 Juni 2014 lalu.
Kini, pengkritik Prabowo tersebut justru diusung oleh Partai Gerindra dan PKS
sebagai cagub DKI Jakarta. Prabowo menilai, Anies Baswedan mampu membawa perbahan bagi kehidupan Jakarta.
"Setelah melalui suatu proses yang sangat panjang, bahkan dikatakan sudah berjalan lebih dari delapan bulan. Dari Gerindra dan PKS telah menjalankan fungsi kami sebagai pembawa aspirasi rakyat, tugas kami adalah untuk membawa aspirasi rakyat," ujar Prabowo di kediamannya, Jl Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (23/9).
Prabowo mengklaim, Anies dan Sandiaga diusung karena muncul berdasarkan keinginan warga ibu kota. Di mana, ada beberapa elemen yang meminta terjadinya proses pergantian kepemimpinan.
"Permintaan rakyat untuk sebuah perubahan mendasar di DKI. Terutama yang kami tangkap adalah rakyat DKI, bahkan rakyat Indonesia mengharapkan gubernur baru di DKI," tandasnya.
INILAHCOM, Jakarta - Pelanggaran yang diduga pada pelaksanaan Pilpres 2014 dibeberapa daerah dinilai sebagai emergency alias darurat dalam pelaksanaan pesta demokrasi di tanah air.
Tim kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Firman Wijaya mengatakan, pelanggaran itu sebagai darurat kepercayaan terhadap lembaga negara khususnya KPU sebagai penyelenggara Pilpres.
Kata Firman, pelanggaran tersebut sebagai kejahatan pesta demokrasi yang sudah terencana. Sebab, selain mengerahkan massa untuk memilih, salah satu pelanggaran itu adalah dengan modus menggunakan dokumen Pileg.
"Ini situasi emergency (darurat) dalam penyelenggaraan Pilpres. Tidak mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki kewenangan, ini kan dokumen resmi," kata Firman, kepada INILAHCOM, Jakarta, Senin (21/7/2014).
Firman mengatakan, pihaknya telah mengantongi bukti kerungan Pilpres itu untuk segera diproses secara hukum. Dengan data-data itu, Firman optimis akan menang dalam proses hukum nanti.
"Kita sangat optimis menang, alasannya memadai, pelanggarannya kan ada. Soal itu dinilai signifikan silahkan saja, kita buka data," tegas Firman.
Sebelumnya, Firman mengatakan bahwa salah satu dugaan kejahatan Pilpres yang ditemukan adalah pemakaian form Pemilihan Legislatif (Pileg) pada pelaksanaan Pilpres 9 Juli yang lalu.
"Kita menemukan pelanggaran ini sudah terencana. Tim kami memotret sejak awal, misalnya dokumen pileg dilakukan untuk pilpres," kata Firman. [mes]
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tetap melaksanakan proses rekapitulasi suara nasional hari ini,
Senin (21/7/2014), walau ada ancaman dari tim hukum capres Prabowo
Subianto dan cawapres Hatta Rajasa yang mengancam mempidakan KPU.
"Kami tetap menggelar rapat rekapitulasi suara seusai aturan yang sudah ditentukan," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik di kantor KPU, Jakarta, Senin (21/7/2014).
Terkait ancaman kubu Prabowo-Hatta yang akan memidanakan KPU
bila tetap menggelar rekapitulasi suara yang dinilai cacat hukum, Husni
tidak terlalu memedulikan ancaman tersebut. "Itu kan (ancamannya) dari
tim kuasa hukumnya saja," ujarnya.
Sebelumnya tim hukum Prabowo-Hatta, Alamsyah mengatakan banyak terjadi kecurangan di berbagai daerah dan memberikan batas waktu KPU hingga Senin (21/7/2014 pagi. Jika rekapitulasi nasional tetap dilanjutkan, maka tim pasangan nomor urut satu akan melaporkan KPU ke ranah hukum.
"Apabila
ini tetap dilaksanakan, kita melihat perkembangan sampai besok. Ketika
besok masih dilakukan, baru kita ambil action," kata tim hukum Prabowo-Hatta Alamsyah di hotel Faur Season, Jakarta.
kontan JAKARTA. Tim Hukum Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum ke Mabes Polri, Senin
(21/7) sore nanti. Sebelum membuat laporan ke Mabes Polri, mereka akan
terlebih dulu membuat laporan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP).
Laporan-laporan tersebut dilakukan terkait langkah KPU yang tetap melakukan rekapitulasi nasional hari ini.
Sebelumnya, Prabowo mengimbau KPU untuk menunda rekapitulasi nasional karena masih terjadi banyak kecurangan di berbagai daerah. Prabowo merasa KPU tidak layak mengumumkan hasil rekapitulasi jika berbagai persoalan belum diselesaikan.
"Kalau tetap dilanjutkan, siang nanti akan ada orang-orang kita yang ke DKPP untuk melaporkan. ke Mabes Polri mungkin sore," kata Ketua Tim Hukum dan Advokasi Prabowo-Hatta, Habiburokhman, saat dihubungi, Senin pagi.
Habiburokhman menyadari bahwa waktu untuk mendesak KPU agar menghentikan rekapitulasi semakin sempit. Selasa (22/7), KPU rencananya mengumumkan hasil rekapitulasi dan menetapkan pemenang pilpres. "Oleh karena itu, kita lakukan berbagai cara, termasuk kemungkinan terburuk," ujar dia.
Habiburokhman merasa bahwa pihaknya saat ini sudah mendapatkan dukungan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), baik di daerah maupun di pusat. Bawaslu merekomendasikan pemungutan suara ulang di sejumlah TPS yang bermasalah.
"Tidak ada pilihan lain selain KPU menjalankan rekomendasi Bawaslu. Baru lanjutkan rekapitulasi. Alasan kok tidak ada waktu. Kita punya banyak waktu sampai 8 Agustus," ujarnya.(Ihsanuddin)
Laporan-laporan tersebut dilakukan terkait langkah KPU yang tetap melakukan rekapitulasi nasional hari ini.
Sebelumnya, Prabowo mengimbau KPU untuk menunda rekapitulasi nasional karena masih terjadi banyak kecurangan di berbagai daerah. Prabowo merasa KPU tidak layak mengumumkan hasil rekapitulasi jika berbagai persoalan belum diselesaikan.
"Kalau tetap dilanjutkan, siang nanti akan ada orang-orang kita yang ke DKPP untuk melaporkan. ke Mabes Polri mungkin sore," kata Ketua Tim Hukum dan Advokasi Prabowo-Hatta, Habiburokhman, saat dihubungi, Senin pagi.
Habiburokhman menyadari bahwa waktu untuk mendesak KPU agar menghentikan rekapitulasi semakin sempit. Selasa (22/7), KPU rencananya mengumumkan hasil rekapitulasi dan menetapkan pemenang pilpres. "Oleh karena itu, kita lakukan berbagai cara, termasuk kemungkinan terburuk," ujar dia.
Habiburokhman merasa bahwa pihaknya saat ini sudah mendapatkan dukungan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), baik di daerah maupun di pusat. Bawaslu merekomendasikan pemungutan suara ulang di sejumlah TPS yang bermasalah.
"Tidak ada pilihan lain selain KPU menjalankan rekomendasi Bawaslu. Baru lanjutkan rekapitulasi. Alasan kok tidak ada waktu. Kita punya banyak waktu sampai 8 Agustus," ujarnya.(Ihsanuddin)
Editor: Yudho Winarto
Sumber: Kompas.com
JAKARTA, KOMPAS.com
- Tim hukum pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa,
memberi batas waktu Komisi Pemilihan Umum hingga Senin (21/7/2014) pagi.
Jika rekapitulasi nasional tetap dilanjutkan, maka tim Prabowo akan
melaporkan KPU ke ranah hukum.
"Ini kan apabila ini tetap dilaksanakan, kita melihat perkembangan sampai besok. Ketika besok (rekapitulasi nasional) masih dilakukan, baru kita ambil action," kata Anggota Tim Hukum Prabowo Hatta, Alamsyah, usai pertemuan Prabowo dengan sejumlah elite koalisi merah putih di Hotel Four Seasons Jakarta, Kamis (20/7/2014) siang.
Dalam pertemuan tertutup tersebut, Alamsyah dan sejumlah anggota tim hukum lainnya memaparkan kepada Prabowo dan elite koalisi mengenai kecurangan yang terjadi di berbagai daerah. Mereka sepakat KPU harus menghentikan proses rekapitulasi nasional yang saat ini sudah berjalan.
"Jadi sekarang kita belum bicara itu (proses hukum) dulu, kita baru bicara minta rekapitulasi ditunda. Tapi kalau sampai besok rekapitulasi masih terus jalan, kita baru akan bertindak," ujarnya.
Terkait gugatan ke Mahkamah Konstitusi sendiri, Alamsyah belum mau berandai-andai. Pasalnya, dia masih melihat peluang Prabowo-Hatta meraih kemenangan. Alamsyah juga tidak mau berandai-andai bahwa pihaknya akan kalah.
"Kalau untuk ke MK, setelah hasil penetapan baru kita putuskan karena tidak tahu apakah kita terkait atau pemohon. Kalalu kita menang kan jadi pihak terkait, kalau kita kalah jadi pihak pemohon," ujarnya.
"Ini kan apabila ini tetap dilaksanakan, kita melihat perkembangan sampai besok. Ketika besok (rekapitulasi nasional) masih dilakukan, baru kita ambil action," kata Anggota Tim Hukum Prabowo Hatta, Alamsyah, usai pertemuan Prabowo dengan sejumlah elite koalisi merah putih di Hotel Four Seasons Jakarta, Kamis (20/7/2014) siang.
Dalam pertemuan tertutup tersebut, Alamsyah dan sejumlah anggota tim hukum lainnya memaparkan kepada Prabowo dan elite koalisi mengenai kecurangan yang terjadi di berbagai daerah. Mereka sepakat KPU harus menghentikan proses rekapitulasi nasional yang saat ini sudah berjalan.
"Jadi sekarang kita belum bicara itu (proses hukum) dulu, kita baru bicara minta rekapitulasi ditunda. Tapi kalau sampai besok rekapitulasi masih terus jalan, kita baru akan bertindak," ujarnya.
Terkait gugatan ke Mahkamah Konstitusi sendiri, Alamsyah belum mau berandai-andai. Pasalnya, dia masih melihat peluang Prabowo-Hatta meraih kemenangan. Alamsyah juga tidak mau berandai-andai bahwa pihaknya akan kalah.
"Kalau untuk ke MK, setelah hasil penetapan baru kita putuskan karena tidak tahu apakah kita terkait atau pemohon. Kalalu kita menang kan jadi pihak terkait, kalau kita kalah jadi pihak pemohon," ujarnya.
JAKARTA, Indonesia (AP) — Indonesian presidential candidate Prabowo
Subianto alleged Friday there had "been quite massive incidences" of
fraud in general elections, which he said might prevent him from winning
the most divisive polls in the fragile democracy's history.
The Suharto-era general has been claiming to be ahead in the vote count, whose official results will be announced next week.
But
in an interview with The Associated Press, Subianto for the first time
suggested he might lose to his challenger, former Jakarta governor Joko
Widodo, due to voting fraud.
"Half of the Indonesian people support me," he said. "In my conviction, is it more than half, if there is no cheating."
Several
reputable organizations have carried out "quick count" of a sample of
the votes that show Widodo with a small but decisive lead. The quick
counts have accurately forecast past regional and national elections in
Indonesia, and independent analysts say there is no reason to think
otherwise this time.
Subianto's insistence that he was on course
for victory, and his allegations of fraud, have led to speculation in
some quarters that the superrich candidate might be trying to himself
fix the results or will refuse to concede. That would put pressure on
the country's democratic institutions and could possibly lead to
violence.
The 63-year-old said he may well challenge the result in
the Constitutional Court because of the alleged vote fraud. The court,
whose past chief justice is serving a life sentence for accepting a
bribe to rule in favor of a plaintiff in a regional election dispute,
has two weeks to rule.
"We will see, if there is indication and
evidence of massive fraud and massive and systematic cheating, then we
will not accept the result," he said.
He gave no details behind his allegations.
Subianto's
bid was backed by a coalition of the country's' largest political
parties, though he acknowledged the parties might switch to Widodo.
Political parties in Indonesia are vehicles to get power and the spoils
that come with it, meaning that they often jump to the winning side in
an election.
"Whatever will be, will be," he said. "Coalitions are created, coalitions are ended. Even in a marriage, you can get divorced."
Widodo,
known by his nickname Jokowi, declared victory hours after the July 9
polls based on the quick counts, but has put off any celebration or
transition planning until the official count in the sprawling country of
260 million people is announced on July 22.
Widodo is a former
furniture exporter with a vastly different pedigree to past Indonesian
leaders, who have mostly been drawn from the country's business and
military elite. He rose from political obscurity because of his
reputation for good governance and concern for the poor. His supporters
also include members of the elite, but he is nevertheless promising a
new kind of leadership in the world's most populous Muslim nation.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Capres Koalisi Merah Putih, Prabowo
Subianto mengaku bisa memenangkan Pilpres 9 Juli lalu, kalau tidak
dicurangi. Pasalnya, kepada Associated Press, Prabowo menyatakan, didukung separuh lebih pemilih.
Pernyataan
tersebut mendapat sorotan pengamat politik Universitad Padjajaran
(Unpad) Bandung, Muradi. Menurut dia, Prabowo harus membuktikan
ucapannya terkait kecurangan itu. Pasalnya, tuding dia, yang banyak
melakukan kecurangan di lapangan adalah tim Koalisi Merah Putih.
"Saya
balik bertanya, faktanya yang banyak melakukan kecurangan itu dia dan
timnya. Dia didukung separuh lebih juga dari mana? Kalau dari, dia hanya
memenangkan 10 dari 33 provinsi. Klaim dia sudah terbantahkan," kata
Muradi kepada Republika Online, Sabtu (19/7).
Dosen
Fisip Unpad itu mengimbau agar Prabowo legowo menerima kenyataan. Kalau
memang kalah terima saja kekalahan itu. Muradi mempertanyakan, di mana
jiwa ksatria dan kenegarawanan Prabowo yang selalu dibicarakannya itu.
"Dia
membantah apa yang dibicarakannya sendiri. Dia mengatakan siap kalah
dan menang, tapi terlihat tidak siap kalah dan melakukan manuver untuk
memenangkan diri sendiri," kritiknya.
Muradi melanjutkan,
menyangkut pernyataan panglima Kostrad itu yang menyatakan ada
kecurangan pemilu, indikasi itu sama saja Prabowo secara tersirat
mengakui kekalahannya.
"Dia itu menyatakan sudah kalah. Poin kecurangan tersebut saya
pribadi malah bertanya mereka sebenarnya sudah kalah, tapi merasa
menang? Itu ilusi politik," sentilnya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tindakan kubu Prabowo
Subianto dan Hatta Rajasa meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda
sidang rekapitulasi suara 22 Juli dinilai menyesatkan.
"Sebab, rekap sudah dilakukan perjenjang secara sistem kepemiluan di
Indonesia," ujar Aryos Nivada, peneliti Aceh Institute, dalam
pernyataannya, Sabtu (19/7/2014).
Atas usulan ataupun wacana itu, imbuh pengajar di Universitas Syiah
Kuala ini, kubu Prabowo–Hatta telah melakukan pendelegitimasian peran
dan fungsi KPU.
Anehnya lagi, terang Aryos, usulan penundaan itu tidak masuk akal
karena rekap nasional belum berlangsung. Alhasil, mekanisme keberatan
tidak memberikan kepastian legal.
"Amatan saya tindakan penundaan menunjukan sikap reaksioner
berlebihan tanpa landasan rasional dan legalitas hukum yang kuat.
Cenderung dipengaruhi untuk memberikan ruang agar memberikan waktu untuk
melakukan strategi politik lainnya," terangnya.
Jika secara institusi KPU mengikuti usulan itu, KPU berpeluang
dikontrol sehingga menghilangkan atau melunturkan sikap independen dan
profesional dari institusi KPU tersebut.
Sebelumnya, kubu Prabowo-Hatta mengklaim menemukan banyak indikasi kecurangan di beberapa daerah terkait proses Pilpres 2014.
Karena itu, kubu Prabowo-Hatta meminta KPU menunda sidang pleno rekapitulasi suara yang sedianya digelar 22 Juli.
"Kami
akan kirim surat ke KPU minta penundaan rekap di daerah masalah dan
penundaan rekap hasil pilpres," ujar anggota Tim Pembela Merah Putih
Didiek Supriyanto di Rumah Polonia, Jakarta Timur, Sabtu (19/7/2014).
Di
tempat yang sama, anggota tim lainnya Habiburokhman mengatakan salah
satu contoh temuan indikasi pelanggaran adalah banyaknya pemilih yang
memilih tidak sesuai domisilinya tanpa menggunakan form A5.
Hal
itu terjadi di sejumlah provinsi termasuk di DKI Jakarta. Oleh karena
itu pihaknya meminta KPU untuk menunda penghitungan suara dan menggelar
pemilihan suara ulang di sejumlah daerah yang diindikasikan ada
kecurangan.
detik Makassar, -
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pusat Muhammad optimis
suasana Pilpres 2014 ini bakal terus kondusif. Kekhawatiran adanya
kekacauan pengumuman pemenang Pilpres oleh KPU tidak akan terjadi.
"Potensi kekacauan pada saat penetapan Presiden memang selalu ada, namun dari hasil koordinasi Bawaslu dengan Mabes Polri, TNI, BIN dan KPU, Alhamdulillah semuanya bisa mengkonsolidasikannya, supaya kekhawatiran itu tidak terjadi," ujar Muhammad saat ditemui detikcom di sela rapat pleno penghitungan suara Pilpres di Sulsel, yang diselenggarakan di hotel Grand Clarion, Makassar, sabtu (19/7).
Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, ini juga menginformasikan bahwa pada Minggu besok (20/7), Presiden SBY akan mempertemukan dua capres, bersama penyelenggara negara dan pimpinan-pimpinan lembaga negara di Istana Presiden, guna menyongsong penetapan presiden.
"Hal ini merupakan upaya-upaya untuk membuat teduh suasana perpolitikan bangsa kita, saya pikir semua elemen bangsa harus ambil peran signifikan untuk menghadirkan situasi kondusif jelang penetapan," pungkas Muhammad.
Sementara itu, Muhammad juga menilai proses penyelenggaraan Pilpres kali ini lebih baik dari penyelenggaraan Pileg lalu, berkat hasil evaluasi dan catatan kritis pada para penyelenggara Pemilu di daerah dan pusat.
"Di Pileg lalu, banyak persoalan di tingkat bawah yang tidak tuntas, kemudian jadi PR di tingkat atas hingga pusat, kami memberi catatan kritis pada KPU untuk setiap dugaan pelanggaran di suatu tingkat harus diselesaikan di tingkatan tersebut secara optimal dan solutif, jangan dibiarkan ngambang persoalannya atau persoalannya dibiarkan naik ke tingkat atas," tandas Muhammad yang pada kunjungan dinasnya ini dibarengi pulang ke kampung halamannya di Makassar.
"Potensi kekacauan pada saat penetapan Presiden memang selalu ada, namun dari hasil koordinasi Bawaslu dengan Mabes Polri, TNI, BIN dan KPU, Alhamdulillah semuanya bisa mengkonsolidasikannya, supaya kekhawatiran itu tidak terjadi," ujar Muhammad saat ditemui detikcom di sela rapat pleno penghitungan suara Pilpres di Sulsel, yang diselenggarakan di hotel Grand Clarion, Makassar, sabtu (19/7).
Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, ini juga menginformasikan bahwa pada Minggu besok (20/7), Presiden SBY akan mempertemukan dua capres, bersama penyelenggara negara dan pimpinan-pimpinan lembaga negara di Istana Presiden, guna menyongsong penetapan presiden.
"Hal ini merupakan upaya-upaya untuk membuat teduh suasana perpolitikan bangsa kita, saya pikir semua elemen bangsa harus ambil peran signifikan untuk menghadirkan situasi kondusif jelang penetapan," pungkas Muhammad.
Sementara itu, Muhammad juga menilai proses penyelenggaraan Pilpres kali ini lebih baik dari penyelenggaraan Pileg lalu, berkat hasil evaluasi dan catatan kritis pada para penyelenggara Pemilu di daerah dan pusat.
"Di Pileg lalu, banyak persoalan di tingkat bawah yang tidak tuntas, kemudian jadi PR di tingkat atas hingga pusat, kami memberi catatan kritis pada KPU untuk setiap dugaan pelanggaran di suatu tingkat harus diselesaikan di tingkatan tersebut secara optimal dan solutif, jangan dibiarkan ngambang persoalannya atau persoalannya dibiarkan naik ke tingkat atas," tandas Muhammad yang pada kunjungan dinasnya ini dibarengi pulang ke kampung halamannya di Makassar.
detik Jakarta -
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menegaskan pengumuman
hasil rekapitulasi Pilpres 2014 pada tanggal 22 Juli 2014 tak perlu
ditunda. Ini karena semua tahapan Pilpres berjalan lancar.
"Tak
ada alasan menunda pengumuman tanggal 22 Juli 2014," kata anggota DKPP
Valina Singka Subekti kepada detikcom, Sabtu (19/7/14).
Menurut
Valina, semua tahapan mulai dari rekapitulasi tingkat PPS (Panitia
Pemungutan Suara), PPK (Panitia Pemilih Kecamatan), hingga tingkat
provinsi semua berjalan tepat waktu. Maka dipastikan rekapitulasi di
tingkat KPU pusat juga akan tepat waktu.
"Meski ada keberatan
dari saksi-saksi, tapi itu bisa diselesaikan. Pemungutan suara ulang
juga sudah dilaksanakan. Saya harap pengumuman rekapitulasi bisa tepat
waktu," kata Valina.
Selain berharap, Valina juga yakin KPU bisa
menyelesaikan proses rekapitulasi tepat pada waktunya, yakni pada
tanggal 22 Juli 2014 sebelum pukul 24.00 WIB. KPU bisa menyelesaikan
tahapan Pileg 2014, maka seharusnya mereka juga bisa menyelesaikan
tahapan Pilpres 2014 dengan cantik.
"Pilpres ini kan lebih sederhana dari Pileg," tandas Valina.
Kubu
Prabowo-Hatta meminta KPU menunda sidang pleno rekapitulasi suara yang
sedianya digelar 22 Juli. Permintaan penundaan ini telah disampaikan ke
KPU melalui surat.
INILAHCOM, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli
Zon mengatakan pihaknya menemukan adanya dugaan kecurangan Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014 di enam provinsi.
Enam provinsi
yang terindikasi ada kecurangan adalah di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa
Tengah, Sumatera Utara, Lampung dan Sumatera Selatan. Hal itu diketahui
dari laporan tim sukses Prabowo-Hatta yang dalam beberapa hari ini
melakukan pengawalan suara di sejumlah daerah.
"Ini kecurangan
masif, kasus di daerah selama beberapa hari ini sejak dilakukan
pengawalan suara untuk Prabowo-Hatta," ujarnya di Rumah Polonia, Jakarta
Timur, Sabtu (19/7/2014)
Menurutnya, selain kecurangan itu
dirasakan sangat merugikan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, tapi
juga telah mencederai proses demokrasi.
Adapun bentuk kecurangan
yang ditemui diantaranya banyak pemilih yang menggunakan hak pilihnya
Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang bukan tempat tinggalnya tanpa
menggunakan formulir A5. Dan anehnya itu dapat lolos dari pimpinan
wilayah serta petugas KPPS.
Karena itu dirinya meminta agar
dilakukan pemungutan suara ulang di wilayah-wilayah tersebut dan menunda
pengumuman hasil rekapitulasi suara yang sejatinya digelar KPU pada 22
Juli 2014 nanti.
Seperti diketahui, Bawaslu DKI Jakarta telah
merekomendasi ke KPU DKI untuk mengadakan pemungutan suara ulang (PSU).
PSU ini atas pengaduan tim Prabowo-Hatta yang menemukan adanya pemilih
yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKtb) yang tidak
sesuai dengan domisili.
Bawaslu menemukan ada 5000 TPS yang
terindikasi terjadi kecurangan. Namun dari ribuan tersebut hanya 13 TPS
saja yang dilakukan PSU.[bay]
detik Jakarta -
Kubu Prabowo-Hatta mengklaim menemukan banyak indikasi kecurangan
di beberapa daerah terkait proses Pilpres 2014. Oleh karena itu kubu
Prabowo-Hatta meminta KPU menunda sidang pleno rekapitulasi suara yang
sedianya digelar 22 Juli.
"Kami akan kirim surat ke KPU minta
penundaan rekap di daerah masalah dan penundaan rekap hasil pilpres,"
ujar anggota Tim Pembela Merah Putih Didiek Supriyanto di Rumah Polonia,
Jakarta Timur, Sabtu (19/7/2014).
Di tempat yang sama, anggota
tim lainnya Habiburokhman mengatakan salah satu contoh temuan indikasi
pelanggaran adalah banyaknya pemilih yang memilih tidak sesuai
domisilinya tanpa menggunakan form A5. Hal itu terjadi di sejumlah
provinsi termasuk di DKI Jakarta.
Oleh karena itu pihaknya
meminta KPU untuk menunda penghitungan suara dan menggelar pemilihan
suara ulang di sejumlah daerah yang diindikasikan ada kecurangan.
Penundaan penghitungan tersebut menurut Habiburokhman diatur dalam UU
Pilpres.
"UU mengatur pleno hasil penghitungan suara 1 bulan
setelah dilakukan pencoblosan yaitu jatuh pada 8 Agustus 2014. Kemudian,
KPU membuat peraturan KPU pleno tanggal 22 Juli, ada baiknya KPU
menunda pleno tersebut karena waktu masih cukup," paparnya.
Anggota
tim lainnya, Firman Wijaya mengatakan temuan kecurangan tersebut
merupakan ancaman serius terhadap kualitas dan legalitas Pilpres 2014.
Oleh karena itu pihaknya akan menempuh proses hukum hingga ke Mahkamah
Konstitusi.
"Kita akan mengajukan Pemilihan Suara Ulang (PSU )ke MK," tuturnya.
the interpreter Jakarta Governor Joko Widodo, best known as Jokowi, has won the race
to become the next president of Indonesia. His rival Prabowo Subianto
has refused to concede, however, setting up a showdown over the results that could last until late August.
We know Jokowi won because a collection of established polling firms,
respected for their accuracy, released what are known as 'quick counts'
yesterday afternoon. Quick counts are not exit polls, but neither are
they official results. Quick counts are conducted by sending observers
out to a representative sample of polling places to witness the initial
tabulation of votes cast at each polling station. Polls in Indonesia
closed at 1pm yesterday, and poll workers at each station immediately
set about counting each vote in broad daylight and full public view so
that voters could check the results with their own eyes against the
final tally. The quick counts are based on observation of those initial
counts, and have historically been accurate to within 1% of the official
result.
The five most established organisations fielding quick counts — the
Centre for Strategic and International Studies, Saiful Mujani Research
and Consulting, Indikator, Kompas, and Radio Republik Indonesia — showed
a Jokowi margin of victory of between 3.8% and 5.9%. A handful of less
established firms, some of which are affiliated with Prabowo supporters,
put out polls showing a Prabowo victory at widely varying margins.
The General Election Commission (KPU) will now conduct several
further counts at the district, provincial, and finally national level.
Under the elections law, it is due to release its final tally on either
21 or 22 July. Later that week, challenges to the official result can be
filed with the Constitutional Court, which will hear those challenges
in August and rule on them between 22-24 August.
Prabowo has every right to await the official count by the KPU and to
challenge the result in the Constitutional Court. We should remember
that the chair of Jokowi's party, former President Megawati
Sukarnoputri, did just that in 2009 when her opponent's margin of
victory was a much higher 34%. I cannot forsee any scenario in which
Prabowo would not exhaust every legal avenue available to challenge the
result. He has come too far and invested too much time and money to not
do so. Assuming he takes this as far as he can, the KPU and
Constitutional Court would not be able to declare Jokowi the winner of
the election until late August.
In a speech to supporters on Wednesday night, Prabowo told them to
'have patience, follow the law, and try to be polite.' But Jokowi
supporters expressed grave concern that Prabowo might use his muscle to
disrupt or taint the vote counting. Prabowo has cultivated ties with underworld figures as well as nationalist and Islamist thugs. He can also call on considerable reserves of cash — he disclosed
$140 million in assets to the election commission earlier this month —
and neither the KPU nor the Constitutional Court have avoided
Indonesia's unfortunate history of graft. In just the past year, the
former chief justice of the Constitutional Court was caught selling rulings in electoral cases. The KPU's computer system is also thought to be vulnerable to tampering. These are serious concerns in Indonesia's young democracy.
Given Prabowo's mercurial reputation, we cannot rule out the
possibility of political turmoil in the coming weeks. Yet even as
Indonesians prepare to closely monitor vote tabulations and electoral
challenges, many told me that there was a feeling in Jakarta last night
that the country had turned a new page. Despite warnings from the
authorities to stay home in order to avoid clashes, hundreds turned up
to witness Jokowi declare victory at the Proclamation Monument just
before sunset, and continued on to break the fast and celebrate into the
evening in the city's iconic Hotel Indonesia traffic circle. Perhaps,
as CSIS researcher Evan Laksmana suggested from Jakarta, the 'outpouring of public support and celebration of Jokowi' would discourage anyone from attempting to subvert the result.
jpnn JAKARTA –
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (Pena 98),
Adian Napitupulu, menegaskan sangat tidak mungkin terjadi kerusuhan
yang dilakukan oleh organisasi rakyat pada penetapan calon presiden 22
Juli mendatang.
Sebab membuat kerusuhan serentak secara
nasional bukan pekerjaan mudah. Kerusuhan secara nasional menurut Adian,
hanya mampu dilakukan kekuatan terorganisir secara masif, dengan
struktur ketat dan berdisiplin tinggi, memiliki sistem organisasi yang
bersifat instruktif, memiliki sumber daya manusia yang terampil dalam
jumlah banyak dan memiliki dana yang sangat besar untuk mampu
memobilisasi sejumlah besar orang di banyak kota.
“Nah kalau kita periksa, nyata bahwa
sampai saat ini tidak ada organisasi rakyat yang memiliki kriteria
tersebut di atas. Dengan demikian maka kerusuhan yang dilakukan oleh
organisasi rakyat sangat tidak mungkin terjadi,” katanya di Jakarta,
Kamis (17/7) malam.
Karena itu Adian menyerukan kepada
seluruh penyebar fitnah yang menyatakan akan ada kerusuhan, segera
menghentikan teror dengan menakut-nakuti dan menciptakan permusuhan
serta saling curiga di antara rakyat Indonesia.
“Kepada seluruh Rakyat Indonesia kami
menyerukan untuk tidak takut dan jangan termakan teror-teror. Jangan
biarkan para penyebar fitnah dan teror tertawa terbahak-bahak karena
merasa berhasil mengadu domba dan menakut-nakuti kita sesama Rakyat
Indonesia,” katanya.
Langkah lain, Adian juga mengajak
seluruh rakyat Indonesia untuk dengan berani mengatakan lewat sikap
bahwa fitnah dan teror tidak boleh menang di Indonesia. Fitnah dan teror
katanya, tidak boleh menguasai hati dan pikiran rakyat.
“Fitnah dan teror tidak akan mampu
membuat kita bergeser satu jengkal pun apalagi membuat kita jadi
pengungsi di negeri sendiri,” katanya.(gir/jpnn)
JAKARTA, KOMPAS.com —
Peneliti senior Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo,
menyayangkan sikap kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang akan
mengerahkan massa untuk menjaga Komisi Pemilihan Umum saat penetapan
presiden terpilih pada 22 Juli mendatang. Menurut dia, pengerahan massa
yang disebutkan untuk menjaga keamanan itu tidak tepat karena sudah ada
personel TNI dan Polri yang bertugas. (Baca: 22 Juli, Relawan Prabowo Akan Dikerahkan Jaga KPU)
"Pengerahan
massa justru membuat KPU dan masyarakat terintimidasi. Kan kita sudah
ada aparat, untuk apa lagi ada pengerahan massa?" kata Karyono di
Jakarta, Jumat (18/7/2014) sore.
Terlebih lagi, lanjut Karyono,
sebelumnya Prabowo sudah berkali-kali mengatakan bahwa dia siap menerima
keputusan rakyat. Artinya, menurut dia, jika nantinya KPU menetapkan
Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan wakil presiden,
Prabowo harus menerima.
"Bahkan, Prabowo dalam tanda kutip
memaksa Jokowi untuk menyampaikan hal serupa. Tapi, pernyataan siap
kalah Prabowo ini tidak diimbangi dengan sikap di lapangan. Dia
seharusnya mencerminkan pernyataan siap kalah siap menang dengan
tindakan. Pengerahan massa itu sama sekali tidak mencerminkan siap
kalah," katanya.
Sebelumnya,
anggota Dewan Penasihat Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Yunus Yospiah,
mengatakan, pihaknya akan mengerahkan ribuan relawan untuk menjaga KPU
pada 22 Juli. Namun, menurut dia, pengerahan relawan itu bukan bertujuan
untuk menimbulkan kerusuhan, melainkan untuk menjaga suasana damai.
INILAHCOM, Jakarta - Anggota Tim Kampanye Nasional (Timkamnas)
Prabowo–Hatta, Moekhlas Sidik mengatakan, Prabowo–Hatta selalu
menggunakan cara damai dalam menyikapi dan mengawal penghitungan suara
yang dilakukan oleh KPU.
“Pada intinya kami dari
Timkamnas Prabowo–Hatta berkomitmen penuh untuk mengawal suara secara
damai, bukan mengepung dan memaksa dengan cara pengerahan massa ke KPU
(Komisi Pemilihan Umum) seperti yang diisukan oleh beberapa pihak
belakangan ini,” ujar Moekhlas, Jumat (18/7/2014).
Ia juga
menjelaskan, bahwa Timkamnas Prabowo–Hatta justru siap membantu keamanan
dan kenyamanan bagi KPU dalam melaksanakan tugasnya.
“Saya
menghimbau kepada seluruh pendukung dan simpatisan Prabowo–Hatta untuk
terus menjaga suasana aman dan kondusif menjelang pengumuman hasil
penghitungan suara yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Juli nanti,”
imbuhnya.
Moekhlas menyarankan kepada simpatisan Prabowo-Hatta untuk tetap menjaga optimisme kemenangan dengan kegiatan yang positif.
"Jagalah
optimisme kita sambil terus memperbanyak doa, Insya Allah pada 22 Juli
nanti Prabowo-Hatta akan terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden
untuk memimpin negeri ini lima tahun kedepan,” tandasnya. [gus]
Prabowo’s game plan
The scale of Jokowi’s victory is such that too many votes would need to be shifted to Prabowo’s side of the ledger in order to steal the result.
Let’s be clear about one thing: Joko Widodo (Jokowi) has won Indonesia’s July 9 presidential election. If the formal vote counting and tabulation process concludes without massive fraud, he will be sworn in as the country’s new president on October 20 of this year.
The reason we can be sure of this despite the absence of an official announcement by the General Election Commission (KPU) is the availability of quick counts carried out by Indonesia’s credible survey institutions. Quick counts occur when a survey institute places field workers in a sample of polling booths and, when the formal counting of the ballots at the polling booth is complete, those workers convey the results (usually by telephone) to a central collation center. If the sample polling booths are properly selected and sufficiently great in number and the count is administered correctly, well-organized quick counts can predict the final outcome of the formal count within a very narrow margin of error.
On voting day, within hours of the polls closing, 8 of these institutions released their results showing that Jokowi had won the election by a solid margin:
Critically, most of these organizations are widely respected for their integrity, professionalism, and technical skills in survey methodology — a reputation they earned by producing highly accurate quick counts since 2004, when direct local and presidential elections were introduced. Even RRI (Radio of the Indonesian Republic), the country’s state broadcaster — a relative newcomer to the business of quick counts — had drawn praise for its performance in the 2014 legislative elections; indeed, its quick count came closest to the actual result. The fact that all of Indonesia’s credible survey institutions coincided in finding a Jokowi victory, and by a broadly similar margin, means it is all but a statistical impossibility that Jokowi will not emerge victorious in a properly conducted formal KPU count.
On the basis of these quick counts, Jokowi on Wednesday, July 9, claimed victory in the election (though he used typically casual language in doing so) and he called on his followers to closely monitor the formal counting of ballots in the next two weeks. However, at the same time, four organizations produced quick counts of their own that showed a Prabowo Subianto victory, albeit by narrower margins.
On the basis of this smaller number of quick counts, Prabowo Subianto has also claimed victory. Consequently, Indonesia is now set for a period of significant political confusion, uncertainty, and even instability, in the weeks leading to the formal announcement of the results by the KPU on July 22.
How can this confusion have arisen? We wish to be very clear that this is not a matter of a range of equally credible quick counts showing a wide range of potentially legitimate results. Rather, the confusion is part of Prabowo’s strategy to steal the election, a strategy that evidently has been long in the making. Reportedly, one of Prabowo’s chief campaign strategists, Rob Allyn, has been known not only for his expertise in negative campaigning but also for producing surveys which create the impression that an electorally weak candidate is competitive, and using the subsequent confusion among the electorate to maneuver this candidate into a more favorable position. Allyn has been known for this strategy in Mexican elections. It seems Indonesia is fertile ground for the same method.
Step 1. Muddy the statistical waters.
Over the last decade or so, as well as an array of highly professional survey institutes, it is widely recognized that many organizations have arisen that are willing to tailor their survey results to favor their clients, and even to falsify surveys altogether. They typically do so when producing voter surveys, in the belief that some Indonesian voters are more likely to back a winner and that falsely high survey result will thus boost a sponsor’s chance of being elected.
Though we have no direct evidence that the organizations producing the quick counts favoring Prabowo were paid to falsify their results, their track records give us every reason to be highly suspicious — indeed to be certain — that manipulation of some sort has taken place. For example, one of the organizations mentioned above, LSN (Lembaga Survei Nasional; National Survey Institute) has a consistent record of producing survey findings that show results for Prabowo and his Gerindra party that are much higher than the findings of established pollsters. As early as 2009, LSN predicted in the parliamentary elections then that Gerindra would get 15.6% of the votes—it eventually ended up with 4.5%. In the 2014 parliamentary elections, LSN issued a very early quick count even before polls had closed—stating that Gerindra would come first with 26.1%, obviously hoping that last-minute voters would bandwagon. At the end, Gerindra finished third with 11.8%. Two days before the presidential elections, LSN issued a poll that showed Prabowo leading by 9 percentage points—although other, credible pollsters had Jokowi leading by between 2% to 4%.
Puskaptis, another pollster whose quick count saw Prabowo ahead on the evening of July 9, has a similarly questionable history. In 2013, the head of Puskatis, Husin Yazid, had to be rescued from an angry crowd protesting against his manipulation of a quick count in the gubernatorial elections in South Sumatra. JSI (Jaringan Suara Indonesia; Indonesia Vote Network), for its part, has almost no track record, except for falsely predicting Governor Fauzi Bowo’s victory against Jokowi in Jakarta in 2012, and for claiming in the same year that 64% of Indonesians thought that Prabowo was the most suitable candidate for the Indonesian presidency. Finally, IRC (Indonesian Research Center) is reportedly owned by Hary Tanoesoedibjo, a media tycoon aligned with Prabowo. In June 2014, IRC predicted that Prabowo would win the presidency against Jokowi with 48% to 43% — using a thus far unheard-of methodology: it combined the polling numbers of all presidential candidates into an index and redistributed them based on whether they now supported Prabowo or Jokowi. It is hard to think of a less professional approach to opinion polling.
It is unsurprising, then, that these organizations came to the quick count results that they published on July 9. And it is equally telling that all these organizations released their findings on tvOne—the television channel owned by Prabowo ally Aburizal Bakrie which has produced blatantly pro-Prabowo coverage throughout the election. In the lead-up to the presidential elections, tvOne had signed an exclusive contract with Poltracking, a new but relatively reputable institution. On the morning of voting day, however, Poltracking was told by tvOne that other institutions would join the quick count coverage of the pro-Prabowo station. Knowing about the questionable reputation of these institutions, Poltracking resigned from the contract with tvOne at 10am on July 9. It later announced a quick count result that, like other credible survey institutions, saw Jokowi as the winner. The others, as explained above, followed tvOne’s very obvious preference and published the quick counts that falsely declared Prabowo to have won.
Step 2. Steal the results.
Why produce fake quick results? Votes have already been cast, so the intention cannot be to influence voter behavior. The purpose is clear: to buy time and sow public confusion about the election result, while preparing other methods to produce a victory in the formal count.
There are two ways through which Prabowo could potentially win at this stage. The first would be to wait for the formal announcement of the result and then challenge it in the Constitutional Court. The margin of Jokowi’s victory, however, means that even if the Prabowo camp can find examples of maladministration in the count here and there — it will almost certainly be able to do this because Indonesian elections are far from flawless in their execution — it will not be able to overturn the result through a formal challenge. Jokowi’s current advantage is an estimated 6.5 million votes; thus, Prabowo would have to swing around 3.3 million votes to draw even with Jokowi or gain a slight lead. No Constitutional Court decision, whether on cases at the local or national level, has ever shifted this amount of votes from one candidate to another. In rare cases, the Court agreed to move a few hundred or few thousand votes — but nothing of this magnitude. Similarly, the Court has ordered re-votes in some cases, but mostly in individual voting stations or districts.
This leaves one other option: manipulation of the formal counting and vote tabulation process. We know from other Indonesian elections — most recently the April legislative election — that vote ‘trading’ in the counting process is widespread. Candidates can and do bribe election officials at every level — from the individual polling booths up through the various levels of village, subdistrict, district and then provincial level commissions that collate the results — to shift votes from one party or candidate to another, to enter votes ‘on behalf’ of voters that did not turn up at the booth, or engage in other forms of manipulation. In the April legislative elections, fraud was massive but likely had little effect on the overall share of the votes attained by different parties because candidates from all parties engaged in such practices in highly fragmented and uncoordinated patterns.
It will be unprecedented in Indonesia’s democratic experience for a candidate to try to steal the presidential result. But it is highly likely that Prabowo’s camp will make the attempt. Particularly vulnerable are areas (such as the island of Madura) where Prabowo supporters dominate local power structures and where Jokowi or his PDI-P had few scrutineers at the polling booths to record the results as they were counted (exit polls on voting day showed that Prabowo had observers at 88% of all voting stations, against Jokowi’s 83%). It’s also especially likely that such manipulation will occur in areas where governors are district heads are Prabowo supporters, and where they will be able to exert pressure on local officials to intervene in the count.
Where to now?
During the election campaign, Prabowo Subianto posed as a democrat. In fact, he protested regularly against being portrayed as a “dictator” — even in his last Facebook message to supporters before the election, he complained about the non-democratic image given to him by unspecified forces. Now, however, he delivers the final piece of evidence that he truly is a would-be autocrat who has no respect for the will of the people and would stop at nothing to win power, even if he has to lie and cheat his way to the presidency.
We think that it is likely that Prabowo will fail in his efforts. The scale of Jokowi’s victory is such that too many votes would need to be shifted to Prabowo’s side of the ledger in order to steal the result. However, we cannot be fully confident about this prediction: what we know about Prabowo’s ruthlessness, past experiences of widespread fraud in vote counting, the weakness of the PDI-P’s monitoring apparatus, the strength of the Prabowo’s political networks in the regions, and the vast material resources they have at their disposal all suggest that the Prabowo camp will be able to make a concerted effort to overturn the result. Doing so, however, will not be easy. The scale of the manipulation required means it will be relatively easy to detect, and it will invite massive resistance from Jokowi’s supporters. A major escalation of political conflict is possible.
Indonesian democracy is not out of danger. In a series of previous posts (here, here and here) we have warned that Indonesia’s post-Suharto democratic system would be endangered should Prabowo be elected president. He now looks prepared to destroy it in order to gain the post.
Bahasa Indonesia version:
Taktik Permainan Prabowo
Terdapat satu hal yang jelas: Joko Widodo (Jokowi) telah memenangkan Pemilihan Presiden Indonesia pada tanggal 9 Juli. Apabila perhitungan formal dan proses tabulasi berjalan tanpa ada kecurangan, dia akan dinobatkan menjadi presiden Indonesia yang baru pada 20 Oktober 2014.
Alasan yang membuat kami bisa yakin dengan hasil ini, walaupun belum ada pengumuman resmi dari KPU adalah adanya Hitung Cepat (Quick Count) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survey yang kredibel di Indonesia. Hitung Cepat dilakukan dengan menempatkan surveyor lapangan di lokasi TPS-TPS yang dijadikan sampel. Pada saat penghitungan suara secara resmi di TPS selesai, surveyor lapangan menyampaikan hasil TPS tersebut ke pusat penghitungan suara lembaga bersangkutan, yang biasanya dilakukan melalui telepon. Apabila penentuan sampel dilakukan dengan benar dan dalam jumlah yang banyak sesuai kaidah statistik serta pencatatan hasil dilakukan dengan akurat, hitung cepat yang terorganisir dengan baik dapat memprediksi hasil akhir dari penghitungan resmi dengan kemungkinan kesalahan (Margin of Error) yang sangat kecil.
Pada hari pemungutan suara, dalam rentang waktu beberapa jam setelah TPS ditutup, delapan lembaga survey telah merilis hasil mereka yang menyatakan bahwa Jokowi memenangkan Pilpres dengan selisih suara yang cukup besar.
Lembaga Survey | Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta |
Radio Republik Indonesia | 52,7 | 47,3 |
Lingkaran Survey Indonesia | 53,4 | 46,4 |
Populi Center | 51,0 | 49,0 |
CSIS | 51,9 | 48,1 |
Litbang Kompas | 52,3 | 47,7 |
Indikator Politik | 52,9 | 47,1 |
SMRC | 52,9 | 47,1 |
Poltrackting | 53,4 | 46,6 |
Berdasarkan hasil hitung cepat tersebut, Jokowi pada tanggal 9 Juli mendeklarasikan kemenangannya dalam Pilpres (walaupun tanpa menggebu-gebu), dia mengingatkan pendukungnya untuk secara cermat mengawasi hitungan resmi surat suara dalam dua minggu ke depan. Tetapi, pada saat yang sama, empat lembaga survey menghasilkan hitung cepat yang menunjukkan kemenangan Prabowo Subianto, walaupun hanya dengan selisih yang lebih tipis.
Lembaga Survey | Jokowi-Kalla | Prabowo-Hatta |
Puskaptis | 48,0 | 52,0 |
Indonesia Research Centre (IRC) | 48,9 | 51,1 |
Lembaga Survey Nasional (LSN) | 49,5 | 50,5 |
Jaringan Suara Indonesia (JSI) | 49,9 | 50,1 |
Bagaimana kebingungan ini bisa muncul? Kita harus menarik garis lurus bahwa hal ini tidak disebabkan oleh adanya lembaga-lembaga survey yang memiliki kredibilitas yang sama yang menghasilkan hasil hitung cepat yang sama legitimasinya. Sebaliknya, kebingungan ini adalah bagian dari strategi yang sengaja diambil untuk mengaburkan hasil pilpres yang sebenarnya membuka ruang untuk mencapai kemenangan melalui cara yang manipulatif, sebuah strategi yang telah lama dipersiapkan. Sebagaimana diketahui umum, salah satu penasehat strategi Prabowo, Rob Allyn, terkenal tidak hanya ahli dengan strategi kampanye negatif tetapi juga dengan memproduksi survey yang menciptakan kesan seolah-olah kandidat yang elektabilitasnya rendah adalah kandidat yang kompetitif, dan menciptakan kebingungan publik untuk melakukan manuver sehingga kandidat yang bersangkutan mendapatkan posisi yang diinginkan. Allyn sudah terkenal melakukan strategi ini di pemilu Meksiko dan sepertinya Indonesia merupakan lahan yang subur untuk melakukan metode yang sama.
Langkah 1: Memperkeruh Statistik
Selama sekitar sepuluh tahun terakhir, selain lembaga-lembaga survey professional yang kredibel, mudah diketahui ada banyak juga organisasi yang muncul di Indonesia yang bersedia merekayasa survey sesuai kebutuhan kliennya, bahkan juga memalsukan surveynya sekaligus. Mereka biasanya melakukannya dalam survey pemilih, dengan asumpsi bahwa sebagian pemilih Indonesia akan cenderung untuk mendukung calon yang diperkirakan akan menang, sehingga melakukan manipulasi survey dapat menaikkan elektibilitas sponsornya.
Walaupun kami tidak memiliki bukti bahwa lembaga survey yang menghasilkan hasil hitung cepat yang memenangkan Prabowo dibayar untuk merekayasa hasil hitung cepat yang mereka lakukan, rekam jejak mereka memberikan banyak alasan bagi kita untuk curiga –bahkan yakin- bahwa manipulasi telah terjadi. Sebagai contoh, salah satu dari organisasi yang disebutkan di atas, LSN (Lembaga Survey Nasional), memiliki rekam jejak yang menghasilkan hasil survey pemilih yang menunjukkan kemenangan Prabowo dan partai Gerindranya dengan selisih yang sangat jauh dibandingkan dengan lembaga survey yang kredibel dan mapan. Pada tahun 2009, LSN memprediksi perolehan suara Gerindra pada pemilu legislatif waktu itu akan mencapai 15,6 % suara – yang ternyata hanya memperoleh 4,5%. Pada pemilu legislatif 2014, LSN mempublikasikan hitung cepat awal yang bahkan dilakukan sebelum TPS ditutup yang menunjukkan Gerindra akan memenangkan pemilu dengan 26,1% suara, nampaknya dengan harapan bahwa pemilih yang belum mencoblos akan terpengaruh dan memilih Gerindra. Kenyataanya, Gerindra memperoleh posisi ketiga dengan 11,8%. Dua hari sebelum hari pencoblosan pemilu presiden, LSN mengeluarkan survey pemilih yang menunjukkan Prabowo memenangkan pilpres dengan selisih 9% suara – walaupun lembaga survey kredibel lainnya menunjukkan Jokowi yang memimpin dengan selisih 2-4% suara.
Puskaptis, lembaga lain yang menunjukkan bahwa Prabowo memenangkan pilpres pada 9 Juli sore, memiliki sejarah serupa yang layak dipertanyakan. Pada tahun 2013, kepala Puskaptis, Husin Yazid, harus diselamatkan dari amukan massa yang murka akibat manipulasinya dalam hitung cepat di Pilkada Sumatra Selatan. JSI (Jaringan Suara Indonesia); dalam pilpres kali ini, hampir tidak memiliki rekam jejak, disamping prediksinya yang salah tentang kemenangan Gubernur Fauzi Bowo melawan Jokowi di Pilgub Jakarta 2012. JSI juga mengklaim pada tahun yang sama bahwa 64% dari penduduk Indonesia menganggap Prabowo paling cocok untuk menjadi presiden Republik Indonesia. Terakhir, IRC (Indonesian Research Center) dilaporkan dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo, konglomerat media yang merapat di kubu Prabowo. Pada Juni 2014, IRC memprediksi bahwa Prabowo akan memenangkan pilpres melawan Jokowi dengan prosentase 48% berbanding 43% – menggunakan metodologi yang tidak dikatahui sebelumnya: yaitu mengkombinasikan perolehan suara masing-masing kandidat capres dalam survey sebelumnya dalam sebuah indeks dan mendistribusikannya ulang berdasarkan kecenderungan saat ini, apakah mereka memilih Prabowo atau Jokowi. Sangat sulit untuk memikirkan pendekatan yang lebih tidak professional dalam survey pemilih dibandingkan dengan yang ini.
Berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, tidak mengherankan apabila lembaga-lembaga ini menghasilkan hitungan yang kita saksikan pada 9 Juli. Tidak mengherankan juga bahwa semua lembaga ini mempublikasikan temuannya di TVOne –channel TV yang dimiliki sekutu Prabowo, Aburizal Bakrie yang telah menyiarkan secara terang-terangan dukungan kepada Prabowo selama pilpres. Menjelang 9 Juli, TVOne menandatangani kontrak eksklusif dengan Poltracking, lembaga survey baru dengan reputasi baik. Pada hari pemungutan suara, sayangnya, Poltracking diberi tahu oleh TVOne bahwa lembaga survey lain akan ikut hitung cepat yang disiarkan oleh TVOne. Mengetahui reputasi lembaga-lembaga ini yang dipertanyakan, Poltracking memutus kontrak dengan TVOne pada 9 Juli 2014 jam 10.00 pagi. Poltracking kemudian mengumumkan hasil hitung cepat, seperti lembaga kredibel lainnya, bahwa Jokowi memenangkan pilpres. Lembaga lainnya, seperti telah dijelaskan di atas, mengikuti keinginan TVOne dan mempublikasikan hasil hitung cepat yang telah termanipulasi yang memenangkan Prabowo.
Langkah 2: Curi hasilnya.
Untuk apa melakukan manipulasi terhadap hitung cepat? Masyarakat sudah mencoblos, jadi melakukan manipulasi tidak akan mempengaruhi pilihan pemilih atau elektibilitas seorang capres lagi. Dengan demikian, tujuannya sangat jelas: untuk mengulur waktu dan menciptakan kebingunan publik tentang hasil pilpres, dengan tujuan untuk memberikan ruang bagi metode lain untuk memproduksi kemenangan melalui hitungan resmi.
Terdapat dua langkah yang kemungkinan bisa dilakukan Prabowo untuk memenangkan pilpres saat ini. Yang pertama adalah menunggu pengumuman resmi dari KPU lalu mengajukan banding sengketa pemilu ke Mahkamah Konsitusi. Selisih peroleh suara yang memenangkan Jokowi, sepertinya, menunjukkan bahwa jika toh akhirnya kubu Prabowo bisa menunjukkan bukti kesalahan administrasi perhitungan di beberapa tempat – yang pasti akan dapat dilakukannya karena pemilu di Indonesia tidak steril dari kesalahan dalam penghitungan- hal ini tidak akan dapat membalikkan hasil pemilu melalui keberatan formal. Berdasarkan quick count dari lembaga yang kredibel, keunggulan Jokowi diperkirakan sekitar 6,5 juta suara; sehingga Prabowo harus membalikkan sekitar 3,3 juta suara untuk bisa mendapatkan posisi seimbang dengan Jokowi atau menang tipis. Tidak ada keputusan Mahkamah Konstitusi, baik dalam kasus lokal atau nasional, yang pernah membalikkan sedemikian banyak suara dari satu kandidat ke kandidat lainnya. Dalam kasus yang sangat jarang, MK memutuskan untuk memindahkan beberapa ratus atau ribu suara- tetapi tidak dalam skala sebesar ini. Dalam kasus lain yang serupa, MK akan meminta pemilihan ulang di beberapa tempat, tetapi umumnya akan dilakukan di beberapa TPS atau kabupaten saja.
Hal ini menyisakan satu pilihan terakhir: manipulasi terhadap penghitungan suara resmi dan proses tabulasi suara. Kita belajar dari pemilu Indonesia yang lain- khususnya dari pileg yang terakhir bulan April- bahwa jual beli suara dalam proses penghitungan terjadi di banyak tempat. Sebagian calon legislatif atau caleg pada waktu itu berhasil menyuap penyelenggara pemilu di berbagai level – mulai dari TPS dan terus berjenjang ke desa, kecamatan, kabupaten/kota lalu ke tingkat provinsi- untuk mengalihkan suara dari satu partai atau caleg ke partai atau caleg lainnya, menggelumbungkan suara dengan menggunakan surat suara kosong yang diperuntukkan bagi pemilih yang tidak datang ke TPS atau melakukan manipulasi lainnya. Pada pileg bulan April, penyelewengan terjadi sangat massif tetapi memiliki dampak yang sangat kecil terhadap perolehan total suara masing-masing partai secara nasional karena caleg dari semua partai terlibat dalam penyelewengan suara dalam pola yang terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi.
Belum pernah terjadi sebelumnya dalam pengalaman demokrasi Indonesia seorang capres dapat mencuri kemenangan dalam pilpres. Tetapi patut dicurigai bahwa kubu Prabowo sedang mempersiapkan langkah tersebut. Terutama di tempat-tempat yang rawan (seperti di Pulau Madura), dimana pendukung Prabowo mendominasi struktur politik lokal dan dimana kubu Jokowi atau PDIP-nya hanya memiliki sedikit saksi untuk mencatat hasil pemilu pada saat penghitungan suara di TPS (Exit Poll menunjukkan bahwa Prabowo memiliki saksi di 88% dari seluruh TPS sementara Jokowi hanya memiliki saksi di 83% TPS). Manipulasi juga sangat mungkin terjadi di daerah-daerah dimana gubernur dan walikota atau bupatinya adalah pendukung Prabowo, mereka dapat memberikan tekanan kepada aparat pemerintah lokal untuk mengintervensi penghitungan suara.
Kemana Sekarang?
Selama kampanye pilpres, Prabowo menempatkan diri sebagai seorang demokrat. Bahkan, dia memprotes berkali-kali atas persepsi dirinya sebagai seorang “diktator”- termasuk dalam pesan Facebook terakhirnya kepada para pendukungnya sebelum pilpres, dia memprotes gambaran dirinya sebagai orang yang tidak demokratis, walaupun Prabowo tidak menjelaskan siapa yang memberinya gambaran tersebut. Dengan adanya manipulasi hitung cepat dan perang opini tentang siapa sebenarnya yang menang pilpres, Prabowo memberikan alasan kuat bagi kita untuk berasumpsi bahwa dia berpotensi menjadi seorang otokrat yang tidak memiliki penghargaan atas keinginan rakyat dan tidak akan berhenti sampai mendapatkan kekuasaan.
Menurut kami, kalaupun terjadi, upaya untuk mencuri pilpres akan gagal. Skala kemenangan Jokowi cukup besar sehingga terlalu banyak suara yang harus dibalik untuk memenangkan Prabowo. Tetapi kita tidak bisa sangat yakin atas kesimpulan ini: apa yang kita ketahui tentang latar belakang Prabowo, sejarah manipulasi penghitungan dan tabulasi suara di pemilu atau pilkada lainnya di Indonesia, lemahnya monitoring saksi PDIP, kuatnya jaringan politik Prabowo di daerah dan melimpahnya dana yang dimilikinya, menunjukkan bahwa kubu Prabowo sangat berpotensi untuk melakukan langkah terorganisir untuk mengubah hasil pilpres. Walaupun untuk melakukannya tentu tidak mudah. Skala manipulasi yang besar akan membutuhkan cara-cara yang akan sangat mudah dideteksi dan akan membangkitkan perlawanan dari pendukung Jokowi. Kalau ada kecurangan dalam skala yang signifikan, konflik politik akan sulit terhindari.
Demokrasi Indonesia belum lepas dari bahaya. Dalam beberapa posting sebelumnya (disini, disini dan disini), kami sudah berkesimpulan bahwa demokrasi Indonesia paska Suharto berada dalam bahaya jika Prabowo terpilih menjadi presiden. Sekarang sudah muncul indikasi bahwa setelah gagal terpilih, sedang dipersiapkan langkah untuk merongrong institusi demokrasi sebagai bagian untuk merengkuh kekuasaan.
Edward Aspinall & Marcus Mietzner conduct research on Indonesian politics at the Department of Political and Social Change at the Australian National University’s College of Asia & the Pacific. They have been in Indonesia observing the 2014 legislative and presidential elections.
This piece was first published 10 July 2014 in the New Mandala website of the College of Asia and the Pacific, Australian National University (ANU).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Deklarasi koalisi
permanen yang digagas Prabowo-Hatta dengan partai-partai pendukungnya
di Tugu Proklamasi Senin (14/7/2014), bukanlah sesuatu yang luar biasa,
harus dikhawatirkan berlebihan.
Hal itu diungkapkan salah satu anggota timses Jokowi-JK Fahmi Habcy ,Selasa (15/7/2014).
"Wajar saja koalisi
permanen itu. Jika memahami teori perang Tsun Zu, dalam posisi lemah
tunjukkan kuat dan jika posisi kuat tunjukkan lemah. Kita perlu
melihatnya apakah koalisi permanen itu sedang menempatkan diri dalam posisi kuat atau posisi lemah," ujar aktivis 98 ini.
Koalisi permanen yang dibentuk, lanjut Fahmi, cenderung simptomian atau respon gejala ditengah kekhawatiran kemenangan Jokowi-JK menjadi final dan resmi.
Koalisi
permanen itu terbentuk atas dasar perhitungan politik meningkatkan
posisi tawar salah satu partai besar yang tergabung didalamnya, jika
kemudian hari kalkulasi politik harus dihitung ulang dan bergabung
dengan pemenang.
"Obama juga mengalami hal sama ketika partai
Republik menguasai pimpinan parlemen. Politik itu ada seni dan
tantangannya. Sejauh mana kita mampu mengkapitalisasi secara baik dan
niat nya untuk mensejahterakan rakyat. Ini dunia bung semua bisa
didudukkan dan dibicarakan," tandasnya.
"Yang perlu ditakuti Jokowi-JK adalah koalisi permanen Tuhan dan para Malaikat. Fokus nya saat ini, energi seluruh kader partai koalisi
dan relawan, lebih bermanfaat mengamankan kemenangan dan menghadang
kecurangan. Koalisi permanen itu dipikirkan setelah tanggal 22, atau pas
halal bihalal, " pungkasnya.
TEMPO.CO, Jakarta
- Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Fadli Zon membantah
tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa terlibat dalam kecurangan
surat suara di Malaysia. Menurut Fadli, tak ada laporan di dalam timnya
terkait kecurangan tersebut.
"Jangan menambahkan isu. Isu kecurangan di dalam negeri saja belum selesai," kata Fadli, Senin, 14 Juli 2014. (Baca: Begini Modus Kecurangan Pilpres di Malaysia)
Menurut Fadli, saat ini tim Prabowo-Hatta berfokus pada pengawasan rekapitulasi suara di dalam negeri. Pihaknya akan menindaklanjuti kecurangan yang terjadi di Indonesia. Fadli mengaku telah mengirim saksi ke wilayah Jawa, khususnya Jawa Tengah, untuk mengidentifikasi kecurangan penghitungan suara.
"Yang jelas, dari kami tak pernah menyuruh saksi di luar negeri untuk mencoblos nomor urut satu pada surat suara yang tak digunakan," kata Fadli. Soal pengawasan terhadap Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN), Fadli mengatakan timnya baru akan mengirimkan saksi pada pekan depan.
Di Malaysia ditemukan modus penggelembungan suara dengan memanfaatkan pengiriman surat suara via pos dan drop box. Seorang saksi mengatakan dari ribuan surat suara yang dikirim melalui drop box, ada yang dikirim ke kantor sejumlah partai politik cabang Kuala Lumpur. Jumlahnya bervariasi, antara 2.500 dan 3.000. (Baca: Begini Cara Mencurangi Hasil Pemilu di Luar Negeri)
Saksi Jokowi-Jusuf Kalla di Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia, Indah Ernawati, sempat menemukan kejanggalan saat penghitungan suara, pekan kedua Juli 2014. Pada satu kawasan di Selangor, semua surat suara tercoblos untuk Prabowo-Hatta. Penghitungan ini bersumber dari surat suara yang disalurkan lewat drop box. “Kami menuangkannya dalam berita acara keberatan,” kata Indah. Ia juga melaporkan temuannya ini ke pengawas pemilu.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kuala Lumpur Khairul Hamzah mengatakan panitia mendistribusikan surat suara melalui pos pada 27 Juni 2014 dan via drop box pada 1-3 Juli 2014. Surat suara yang dikirim lewat drop box diantar ke perusahaan yang mempekerjakan banyak tenaga kerja Indonesia. (Baca: Migrant Care Usut Kecurangan Pilpres di Malaysia)
YOLANDA RYAN ARMINDYA
"Jangan menambahkan isu. Isu kecurangan di dalam negeri saja belum selesai," kata Fadli, Senin, 14 Juli 2014. (Baca: Begini Modus Kecurangan Pilpres di Malaysia)
Menurut Fadli, saat ini tim Prabowo-Hatta berfokus pada pengawasan rekapitulasi suara di dalam negeri. Pihaknya akan menindaklanjuti kecurangan yang terjadi di Indonesia. Fadli mengaku telah mengirim saksi ke wilayah Jawa, khususnya Jawa Tengah, untuk mengidentifikasi kecurangan penghitungan suara.
"Yang jelas, dari kami tak pernah menyuruh saksi di luar negeri untuk mencoblos nomor urut satu pada surat suara yang tak digunakan," kata Fadli. Soal pengawasan terhadap Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN), Fadli mengatakan timnya baru akan mengirimkan saksi pada pekan depan.
Di Malaysia ditemukan modus penggelembungan suara dengan memanfaatkan pengiriman surat suara via pos dan drop box. Seorang saksi mengatakan dari ribuan surat suara yang dikirim melalui drop box, ada yang dikirim ke kantor sejumlah partai politik cabang Kuala Lumpur. Jumlahnya bervariasi, antara 2.500 dan 3.000. (Baca: Begini Cara Mencurangi Hasil Pemilu di Luar Negeri)
Saksi Jokowi-Jusuf Kalla di Kedutaan Besar Indonesia untuk Malaysia, Indah Ernawati, sempat menemukan kejanggalan saat penghitungan suara, pekan kedua Juli 2014. Pada satu kawasan di Selangor, semua surat suara tercoblos untuk Prabowo-Hatta. Penghitungan ini bersumber dari surat suara yang disalurkan lewat drop box. “Kami menuangkannya dalam berita acara keberatan,” kata Indah. Ia juga melaporkan temuannya ini ke pengawas pemilu.
Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kuala Lumpur Khairul Hamzah mengatakan panitia mendistribusikan surat suara melalui pos pada 27 Juni 2014 dan via drop box pada 1-3 Juli 2014. Surat suara yang dikirim lewat drop box diantar ke perusahaan yang mempekerjakan banyak tenaga kerja Indonesia. (Baca: Migrant Care Usut Kecurangan Pilpres di Malaysia)
YOLANDA RYAN ARMINDYA
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY punya pesan khusus untuk dua pasangan calon presiden yang sedang berlaga saat ini, Prabowo Subianto dan Joko Widodo.
Dalam video wawancara berdurasi 14 menit yang dilansir di akun
YouTube-nya, SBY meminta kubu Prabowo dan Jokowi bersiap menang, tapi
juga bersiap kalah.
"Baik Pak Prabowo maupun Pak Jokowi harus siap menang dan sekaligus siap kalah," kata SBY, seperti dikutip dalam akun YouTubenya dalam unggahan berjudul “Pesan Presiden SBY kepada Jokowi dan Prabowo. Video itu diunggah pada 5 Juli 2014. “Saya berharap yang menang tidak perlu arogan, yang kalah tidak perlu ngamuk."
SBY juga mengatakan Prabowo dan Jokowi tak perlu bermusuhan selamanya dan menyimpan dendam yang tak berkesudahan usai pemilih presiden selesai. "Ingat lima tahun lagi ada pilpres lagi, silakan berkompetisi lagi," kata SBY lagi.
Menurut SBY, usai pilpres dan sudah ada presiden terpilih, entah Prabowo atau Jokowi, harus bekerja sekeras-kerasnya untuk Indonesia. Setelah pilpres, kata SBY, sudah saatnya mewujudkan janji-janji yang diucapkan sebelum pemilu. (baca:Prabowo Mengejar, Jokowi Tancap Gas)
"Presiden sudah ditunggu rakyatnya. Sudah selesai pencitraan dan sudah selesai janji-janji, tetapi bekerja dan bekerja sekeras-kerasnya," kata SBY. Dia juga menanggapi soal kekhawatiran adanya kericuhan pasca pilpres. Kekhawatiran itu muncul karena dua pasangan capres memiliki elektabilitas yang sama kuat.
SBY mengingatkan pilpres 2004 dan 2009 berjalan damai, demokratis, aman dan lancar. Artinya, rakyat Indonesia telah mengukir sejarah. Meski kompetisinya berlangsung keras, tapi saat hasil pemilihan suara diumumkan, masing-masing bisa menerima hasilnya. (baca:Jokowi Diserang SBY dan Prabowo)
"Meskipun pada pilpres 2009 dulu jarak perolehan suara saya dengan kompetitor, baik Ibu Mega dan Pak JK, jauh. Beliau mengadukan ke MK, itu cara yang benar. Kalau nanti ada yang tidak terima, silakan gunakan saluran yang tepat sesuai UU berlaku," ujarnya.
AGUSTINA WIDIARSI
"Baik Pak Prabowo maupun Pak Jokowi harus siap menang dan sekaligus siap kalah," kata SBY, seperti dikutip dalam akun YouTubenya dalam unggahan berjudul “Pesan Presiden SBY kepada Jokowi dan Prabowo. Video itu diunggah pada 5 Juli 2014. “Saya berharap yang menang tidak perlu arogan, yang kalah tidak perlu ngamuk."
SBY juga mengatakan Prabowo dan Jokowi tak perlu bermusuhan selamanya dan menyimpan dendam yang tak berkesudahan usai pemilih presiden selesai. "Ingat lima tahun lagi ada pilpres lagi, silakan berkompetisi lagi," kata SBY lagi.
Menurut SBY, usai pilpres dan sudah ada presiden terpilih, entah Prabowo atau Jokowi, harus bekerja sekeras-kerasnya untuk Indonesia. Setelah pilpres, kata SBY, sudah saatnya mewujudkan janji-janji yang diucapkan sebelum pemilu. (baca:Prabowo Mengejar, Jokowi Tancap Gas)
"Presiden sudah ditunggu rakyatnya. Sudah selesai pencitraan dan sudah selesai janji-janji, tetapi bekerja dan bekerja sekeras-kerasnya," kata SBY. Dia juga menanggapi soal kekhawatiran adanya kericuhan pasca pilpres. Kekhawatiran itu muncul karena dua pasangan capres memiliki elektabilitas yang sama kuat.
SBY mengingatkan pilpres 2004 dan 2009 berjalan damai, demokratis, aman dan lancar. Artinya, rakyat Indonesia telah mengukir sejarah. Meski kompetisinya berlangsung keras, tapi saat hasil pemilihan suara diumumkan, masing-masing bisa menerima hasilnya. (baca:Jokowi Diserang SBY dan Prabowo)
"Meskipun pada pilpres 2009 dulu jarak perolehan suara saya dengan kompetitor, baik Ibu Mega dan Pak JK, jauh. Beliau mengadukan ke MK, itu cara yang benar. Kalau nanti ada yang tidak terima, silakan gunakan saluran yang tepat sesuai UU berlaku," ujarnya.
AGUSTINA WIDIARSI
detik Yogyakarta, -
Dari sekian banyak formulir C1 yang telah diunggah ke situs KPU RI,
diketahui banyak hasil penghitungan suara yang janggal. Hal ini
memunculkan dugaan kuat adanya praktek kecurangan berupa penggelembungan
suara di daerah-daerah, khususnya di tingkat desa dan kecamatan. Apa
komentar Waketum Golkar Agung Laksono?
"Jelas sangat disesalkan (kalau benar ada kecurangan). Siapapun juga pemenangnya (harus menang dengan cara) yang bermartabat. Ini tanggung jawab penyelenggara, ya KPU ya Bawaslu," jelas Agung di Hotel Melia Purosani, Jl Suryatomo No 31, Yogyakarta, Senin (14/7/2014) malam.
"Jadi wasit jangan main," imbuhnya.
Menyoal modus kecurangan yang ditemui secata masif di berbagai daerah Agung memiliki pendapatnya sendiri. Ia menuturkan KPU pusat harus segera mengambil sikap dengan tegas agar tidak menjadi skenario yang direncanakan.
"Kalau masif ya gimana mau cuma semata-mata (human error atau kesalahan teknis). Ini bisa menjadi skenario dan jangan sampai itu benar menjadi skenario," pungkasnya.
"Jelas sangat disesalkan (kalau benar ada kecurangan). Siapapun juga pemenangnya (harus menang dengan cara) yang bermartabat. Ini tanggung jawab penyelenggara, ya KPU ya Bawaslu," jelas Agung di Hotel Melia Purosani, Jl Suryatomo No 31, Yogyakarta, Senin (14/7/2014) malam.
"Jadi wasit jangan main," imbuhnya.
Menyoal modus kecurangan yang ditemui secata masif di berbagai daerah Agung memiliki pendapatnya sendiri. Ia menuturkan KPU pusat harus segera mengambil sikap dengan tegas agar tidak menjadi skenario yang direncanakan.
"Kalau masif ya gimana mau cuma semata-mata (human error atau kesalahan teknis). Ini bisa menjadi skenario dan jangan sampai itu benar menjadi skenario," pungkasnya.
detik Jakarta -
Tujuh parpol pengusung Prabowo-Hatta mendeklarasikan koalisi
permanen pada hari ini. Pakar hukum tata negara yang juga politisi PBB
Yusril Ihza Mahendra menyebut koalisi akan pecah jika Prabowo-Hatta
kalah.
"Anggapan itu kan berandai-andai. Kalau kita lihat semangat dan spirit karena kesamaan cita-cita, saya yakin koalisi ini akan lebih mantap ke depan. Karena basisnya bukan untuk kepentingan semata, tapi karena cita-cita bersama. Kita yakin menang kok, engga ada skenario kalah sih," ujar Waketum Gerindra Fadli Zon saat berbincang, Senin (14/7/2014).
Fadli menekankan bahwa koalisi permanen dibentuk untuk melanggengkan posisi antara eksekutif dan legislatif di pemerintahan Prabowo nantinya. Dengan demikian koalisi ini memang dipersiapkan bukan sebagai oposan.
"Koalisi ini kan untuk di pemerintahan dan juga untuk di parlemen. Kita optimis di pemerintahan kita bisa menang, sehingga bisa lebih efektif kalau nanti di parlemen bisa lebih kuat," imbuh Fadli.
Sekretaris pemenangan Prabowo-Hatta ini juga memastikan tak akan ada yang membelot. Selain itu koalisi ini menjamin akan tegas bilamana ada anggotanya yang bermasalah.
"Karena persoalan korupsi itu persoalan perorangan. Jadi serahkan saja pada proses hukum," tandas dia.
"Anggapan itu kan berandai-andai. Kalau kita lihat semangat dan spirit karena kesamaan cita-cita, saya yakin koalisi ini akan lebih mantap ke depan. Karena basisnya bukan untuk kepentingan semata, tapi karena cita-cita bersama. Kita yakin menang kok, engga ada skenario kalah sih," ujar Waketum Gerindra Fadli Zon saat berbincang, Senin (14/7/2014).
Fadli menekankan bahwa koalisi permanen dibentuk untuk melanggengkan posisi antara eksekutif dan legislatif di pemerintahan Prabowo nantinya. Dengan demikian koalisi ini memang dipersiapkan bukan sebagai oposan.
"Koalisi ini kan untuk di pemerintahan dan juga untuk di parlemen. Kita optimis di pemerintahan kita bisa menang, sehingga bisa lebih efektif kalau nanti di parlemen bisa lebih kuat," imbuh Fadli.
Sekretaris pemenangan Prabowo-Hatta ini juga memastikan tak akan ada yang membelot. Selain itu koalisi ini menjamin akan tegas bilamana ada anggotanya yang bermasalah.
"Karena persoalan korupsi itu persoalan perorangan. Jadi serahkan saja pada proses hukum," tandas dia.
TEMPO.CO, Jakarta - Kader
Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah mengaku tak khawatir dengan
stigma watak otoriterianisme yang dialamatkan kepada Prabowo Subianto. "Ngapain juga harus takut. Indonesia ini dibangun oleh sistem," ujarnya kepada Tempo, 7 Juli 2014.
Menurut dia, sistem yang dibangun pasca-reformasi tidak mengizinkan kembali pelembagaan sistem otoriterianisme. "Sistem demokrasi di Indonesia itu sudah sangat kuat dan sudah melalui berbagai tahapan. Tapi sistem itu tak akan terbongkar," katanya.
Fahri menilai sosok Prabowo justru tepat untuk kondisi saat ini. "Kalau karakter dia bagus, dia justru akan memperkuat sistem yang ada saat ini. Tak mungkin dan mustahil bagi Prabowo merusak sistem itu. Siapa pun yang ingin kembali ke masa lalu, ia akan tergulung oleh zaman," katanya.
Survei yang dirilis Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia (UI) menyatakan gaya kepemimpinan calon presiden Prabowo Subianto cenderung otoriter. Ia pun memiliki motif berkuasa yang tinggi dan tingkat emosinya tidak stabil. Gambaran itu berbanding terbalik dengan watak pesaingnya, Joko Widodo.
Fahri pun menyangkal laporan Allan Nairn, jurnalis lepas asal Amerika, atas pengakuan Prabowo yang menilai Indonesia belum siap menerapkan sistem demokrasi. "Mana mungkin pernyataan belasan tahun lalu dipakai untuk membaca kondisi saat ini," ujarnya.
RIKY FERDIANTO
Menurut dia, sistem yang dibangun pasca-reformasi tidak mengizinkan kembali pelembagaan sistem otoriterianisme. "Sistem demokrasi di Indonesia itu sudah sangat kuat dan sudah melalui berbagai tahapan. Tapi sistem itu tak akan terbongkar," katanya.
Fahri menilai sosok Prabowo justru tepat untuk kondisi saat ini. "Kalau karakter dia bagus, dia justru akan memperkuat sistem yang ada saat ini. Tak mungkin dan mustahil bagi Prabowo merusak sistem itu. Siapa pun yang ingin kembali ke masa lalu, ia akan tergulung oleh zaman," katanya.
Survei yang dirilis Laboratorium Psikologi Universitas Indonesia (UI) menyatakan gaya kepemimpinan calon presiden Prabowo Subianto cenderung otoriter. Ia pun memiliki motif berkuasa yang tinggi dan tingkat emosinya tidak stabil. Gambaran itu berbanding terbalik dengan watak pesaingnya, Joko Widodo.
Fahri pun menyangkal laporan Allan Nairn, jurnalis lepas asal Amerika, atas pengakuan Prabowo yang menilai Indonesia belum siap menerapkan sistem demokrasi. "Mana mungkin pernyataan belasan tahun lalu dipakai untuk membaca kondisi saat ini," ujarnya.
RIKY FERDIANTO
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Abdillah Toha menyarankan agar Ketua Umum Hatta Rajasa yang maju sebagai calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto untuk tidak "ngotot" atas kemenangannya.
Toha berharap baik Hatta maupun Prabowo bersikap gentle, seperti
negarawan, sehingga tak menimbulkan potensi perpecahan bangsa Indonesia.
"Saya sarankan, mereka melihat kenyataan saja. Saya yakin di dalam
hati kecil, mereka sudah tahu mereka kalah. Sudahlah akui saja, jadi
gentlement, jadi negarawan, kan delapan lembaga survei ini melakukan
quick count tidak pernah salah," ujar Toha saat dihubungi Kompas.com,
Minggu (13/7/2014).
Menurut Toha, hasil hitung cepat dilakukan di hampir pemilu-pemilu
dunia. Hasil hitung cepat itu, lanjut Toha, dilakukan untuk mengontrol
jangan sampai terjadi kecurangan. Oleh karena itu, Toha mengaku
menyesalkan sikap Hatta yang justru lebih percaya pada lembaga survei
yang disebutnya "abal-abal".
"Jadi, maksud saya, ngotot untuk apa? Jangan kemudian nanti
menimbulkan kesan, kalau ada-apa. Bersikaplah negarawan. Menunggu hasil
KPU boleh, tapi terimalah hasil quick count lembaga yang profesional.
Tenangkanlah pendukung di bawah," ujarnya.
Toha menganggap sikap Hatta sangat berpengaruh kepada partai. Apabila
Hatta dengan jiwa besar menerima kekalahan, Toha mengaku PAN akan
dianggap partai yang berakal sehat.
"Tapi kalau partai ikut-ikutan ngotot suatu hal tidak benar, hanya
untuk mencari kemenangan dengan segala cara, PAN bisa saja ditinggal
kader-kadernya," kata dia.
Seperti diketahui, pasca pemungutan suara 9 Juli ini, sejumlah
lembaga survei mengadakan hitung cepat. Namun, hasil hitung cepat ini
ternyata berbeda-beda. Setidaknya ada 7 lembaga survei yang memprediksi
Jokowi-JK menang di antaranya yakni Cyrus Network-CSIS, Lingkaran Survei
Indonesia, Litbang Kompas, Populi Center, dan Indikator Politik.
Sementara empat lembaga survei memprediksi Prabowo-Hatta menang yakni
Jaringan Survei Indonesia (JSI), Lembaga Survei Nusantara (LSN), IRC,
dan Puskaptis.
Dengan hasil itu, masing-masing kubu pun mengklaim kemenangan. Ketua
Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sudah mendeklarasikan kemenangan bagi
kubu Jokowi-JK.
Di sisi lain, Prabowo sujud syukur dan berterima kasih kepada rakyat
Indonesia yang sudah memilihnya sebagai presiden Indonesia selanjutnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengumpulkan setiap
kandidat capres dan cawapres di kediamannya pada Kamis malam lalu agar
bisa menahan diri.
SBY pun sudah menginstruksikan jajaran TNI untuk siaga dalam level
tertinggi dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik
horizontal.
TEMPO.CO, Jakarta - Komentar Prabowo dalam wawancara dengan BBC dinilai
sebagai bentuk inkonsistensi calon presiden nomor urut satu tersebut.
Pernyataan-pernyataan Prabowo juga disebut kontroversial.
Musababnya,
pada satu sisi, dia selalu meminta pendukungnya tenang dan tidak
memandang kubu kompetitor sebagai lawan. Namun, di sisi lain, dia punya
penilaian buruk terhadap Jokowi, yang dipandangnya sebagai alat oligarki
dan berpura-pura bersikap rendah hati.
Menurut Firman Manan,
dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran,
saat dihubungi pada Sabtu, 12 Juli 2014, pernyataan seperti ini
kontraproduktif terhadap upaya menciptakan ketenangan di level akar
rumput. (Baca : Istana Bantah Kabar Kemenangan Prabowo)
Selain
itu, penilaian Prabowo terhadap lembaga survei sebagai lembaga
komersial, partisan, dan bagian dari desain besar untuk memanipulasi
persepsi merupakan pernyataan yang tidak berdasar. Sebab, selama ini
lembaga-lembaga survei itu menunjukkan kinerja dan rekam jejak yang baik
dari segi pertanggungjawaban metodologi dan integritas dalam melakukan
survei dan hitung cepat.
Pernyataan Prabowo juga dapat
menjustifikasi pandangan atas ketidakmampuannya mengendalikan emosi
dalam menghadapi dinamika politik di pemilihan presiden.
"Prabowo
sebaiknya menahan diri dan konsisten dengan pernyataannya untuk menjaga
ketenangan selama menunggu pengumuman resmi hasil pilpres," kata
Firman.
HADRIANI P.
JAKARTA, Indonesia — A day after Indonesia’s presidential elections
failed to produce a clear winner, Jakarta’s police chief promised to
prevent violence by cracking down on anyone celebrating prematurely.
With both candidates continuing to claim victory, the next leader of the
world’s third-largest democracy could be decided in court.
Wednesday’s third direct presidential vote went smoothly, but fears
of unrest surfaced after Jakarta Gov. Joko Widodo and ex-army general
Prabowo Subianto both declared a win after the quick count results were
released.
The apparent deadlock has raised fears of political instability in
the world’s most populous Muslim nation and Southeast Asia’s biggest
economy. It could not only stymie the economic development but also
stall the nation’s young democracy, which has just begun to flourish
after decades of authoritarian rule.
Widodo, known as Jokowi, came out ahead with 52 percent of the vote,
according to the three most credible unofficial quick counts. But
Subianto pointed to lesser-known surveys showing he came out on top, but
later said he would consider the election commission’s announcement in
two weeks as the “only formal result of the election.”
Both candidates met separately in private meetings with outgoing
President Susilo Bambang Yudhoyono on Wednesday night. Widodo emerged
afterward to urge supporters, who were setting off fireworks, waving
flags and riding motorbikes around the heart of the capital, to stand
down.
“We appeal to the party’s members and sympathizers, volunteers and
supporters, you don’t need to parade to celebrate the presidential
election victory. It’s better for us to pray and give thanks,” he said.
“We need to minimize friction that could arise.”
Yudhoyono also urged both sides to “restrain themselves” and not allow their supporters to publicly declare victory.
“We will not hesitate to take firm action,” said Jakarta police
chief Maj. Gen. Dwi Priyatno. He added that security forces were working
closely with both camps “to anticipate everything that could cause
friction among people and lead to massive rash acts.”
The election commission, which began tallying the votes, will produce
the official results by July 22. But if either candidate refutes the
outcome due to evidence of fraud or other voting irregularities, the
case will go to the Constitutional Court. The judges have two weeks to
make a ruling after receiving complaints.
Subianto, who has ties to the country’s political and business elite
and was once married to former dictator Suharto’s daughter, has already
raised concerns about the quick count’s legitimacy. The tally is a
representative sample of votes cast around the country and civil society
organizations have used the method to accurately forecast the results
of previous elections.
“Prabowo-Hatta is leading the real vote count in many regions,”
Subianto said, referring to his running mate Hatta Rajasa. “That is the
situation.”
Some analysts say that in a country plagued by corruption, there is
plenty of room for bribery, intimidation or other tactics to sully the
official count of more than 140 million ballots that must be transported
to regional centers, often from remote areas scattered across
Indonesia’s archipelago — spanning roughly the width of the United
States.
“The Jokowi camp is clearly worried that there will be fraud in the
aggregation process,” said Jakarta-based political analyst Paul Rowland.
“There are plenty of opportunities there to change the numbers.”
Confidence in the Constitutional Court has also recently been shaken,
though some are already predicting that’s where Indonesia’s next
president will be decided. Last month, its former chief justice was
jailed for life for accepting bribes while ruling on a regional election
dispute.
“Considering victory claims from both candidates, it seems difficult
to avoid a legal battle at the Constitutional Court,” said Denny
Indrayana, deputy minister of Law and Human Rights. “The credibility of
the Constitutional Court as the last decider of the presidential
election’s results is at stake.”
But if it does go that far, others say they believe Subianto would accept the final ruling.
“I think Prabowo’s main intention, main campaign platform was for
the security, safety and stability of the nation,” said Tobias Basuki,
an analyst from the Center for Strategic and International Studies,
which conducted one of the highly respected quick count surveys that
determined Widodo as the winner. “I believe he will concede defeat, and
the largest extent would be going to the Constitutional Court.”
The election has energized the country of 240 million. Turnout was
estimated around 75 percent in a race that was polarized by two very
different figures.
Widodo, 53, of the Indonesian Democratic Party of Struggle, is the
first candidate in a direct presidential election with no ties to former
late dictator Suharto, who ruled for 30 years before being overthrown
in 1998. He is a former furniture exporter from humble beginnings who
has built a reputation of being an efficient leader, getting elected to
run the capital in 2012. He is seen as a man of the people and ran a
more grassroots campaign.
Subianto, 62, of the Great Indonesia Movement Party, comes from a
wealthy, well-known family and is accused of widespread human rights
abuses, including ordering pro-democracy activists kidnapped before
Suharto’s fall. He surged forward in the polls just weeks before the
election after picking up endorsements from most of the country’s major
political parties and running a more well-oiled campaign. He appealed to
many voters by vowing strong leadership that many believe has been
absent with Yudhoyono, who was constitutionally barred from running
after serving two five-year terms.
___
Associated Press writers Niniek Karmini and Ali Kotarumalos in
Jakarta, Indonesia and Chris Brummitt in Hanoi, Vietnam contributed to
this report.
Calon presiden Prabowo Subianto dalam wawancara
ekslusif dengan BBC mengatakan yakin menang di pemilihan presiden dan
mendapat mandat dari rakyat Indonesia.
Saat menjawab pertanyaan bahwa berbagai hasil
hitung cepat menunjukkan Joko Widodo lebih unggul, calon urut nomor satu
ini mengatakan, "Semua survei menunjukkan saya unggul dan saya yakin
akan mendapat mandat dari rakyat Indonesia."
Namun saat ditanya Babita Sharma
dari BBC World TV, apa yang akan dilakukan bila tidak menang, Prabowo
menjawab, "Saya punya hidup yang tenang dan menyenangkan, hidup yang
damai."
"Saya akan kembali ke kehidupan saya. Saya bersyukur atas hidup saya. Saya melakukan semua ini hanya untuk bangsa saya."
Pada hari pemilihan presiden Rabu lalu (09/07), baik Klik
Prabowo dan Jokowi sama-sama mengklaim menang.
Namun hasil resmi baru akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 22 Juli mendatang.
BBC juga tengah mengupayakan wawancara dengan Joko Widodo.
Bukan orang yang rendah hati
Terkait dengan hasil pemilihan presiden, Prabowo
mengatakan, "Jika KPU sudah memutuskan kehendak rakyat, saya akan
menghormati, tapi tidak pernah sekali pun mereka (kubu Jokowi)
mengatakan hal itu."
"Yang ada justru pengumuman kalau Prabowo menang
berarti dia curang," tambah Prabowo yang diwawancara secara langsung
dari London melalui kantor BBC di Jakarta.
"Saya yakin saya akan menang tapi kalau rakyat Indonesia tidak membutuhkan saya, saya baik-baik saja."
Ia juga mengatakan selalu minta para
pendukungnya "untuk tetap tenang, saingan kita adalah saudara kita,
mereka bukan musuh. Tetapi tidak sekali pun saingan saya mengatakan hal
yang sama."
Saat ditanya tentang gaya berpolitik yang
berbeda dengan Jokowi, Prabowo mengatakan "persepsi tentang Joko Widodo
diciptakan oleh tim PR (Humas) dan bahwa Jokowi adalah alat oligarki."
"Ia bukan orang yang merakyat, ia mengklaim sebagai orang yang rendah hati tapi saya rasa itu cuma akting."
Berjuang demi Indonesia bersih
Dalam wawancara program Impact dengan BBC World
TV, Prabowo juga ditanya soal tuduhan pelanggaran hak asasi manusia
terhadapnya terkait kerusuhan pada 1998 saat Suharto lengser.
Mantan komandan jenderal Komando Pasukan Khusus ini mengatakan ia sudah sering menjawab pertanyaan terkait tuduhan itu.
Prabowo juga mengatakan tuduhan tersebut adalah kampanye untuk menjatuhkannya.
"Saya sudah menjawab berkali-kali, saya bebas,
saya tidak pernah didakwa atas apa pun, ini adalah kampanye politik
untuk menghancurkan saya, mereka tidak suka dengan apa yang saya
perjuangkan.
"Saya berjuang demi Indonesia bersih, keadilan bagi rakyat saya," tambahnya.
My colleague Kate Lamb (the guardian, UK) has filed her end-of-day report from Jakarta.You can read the full article here.
A historical presidential election in Indonesia was precariously balanced after both candidates declared themselves the winners, raising the prospect of a tense standoff in the Islamic world’s biggest democracy.Just hours after the polls closed, Joko Widodo, who has made the fight against corruption and social injustice key policies, gave a live television address claiming victory, setting off scenes of jubilation among his supporters.“We are grateful that based on the counting of the quick counts, Jokowi-JK has won,” he said, referring to his own nickname and the initials of his running mate, Jusuf Kalla. He cited one of the early post-election counts, which samples votes from around the country and which gave him about 52% of vote compared with about 48% for his rival, Prabowo Subianto, a former general.“This is the victory of all people of Indonesia,” Jokowi later told supporters. Another credible quick count by the pollster Saiful Mujani with similar figures gave Jokowi 52.95% and Prabowo 47.05%.But his opponent was in no mood to concede, popping up on television later to say: “We are grateful from the incoming data that we received the mandate of the people.”Numerous quick counts cited on television channels showed significant variations in result, depending on the political affiliation of the TV channel. The quick counts conducted by the Centre for Policy Studies and the Indonesia Voice Network, put Prabowo in front by 1% to 4%.“I think basically we are going to be in limbo,” said Yohanes Sulaiman, a political analyst, “Are you actually willing to tell Prabowo to his face that, ‘Hey, you are wrong?”Prabowo, a man who was dismissed from the Indonesian army special forces for ordering the kidnapping of pro-democracy activists in 1998, is known to have a short temper.Some analysts believe the dual claim could end up in a drawn-out constitutional battle, which is unlikely to be resolved for months.
Adanya isu tentang penggunaan ilmu sihir
pada saat kampanye capres-cawapres yang diungkapkan capres SBY beberapa
waktu lalu ditanggapi dingin oleh cawapres Prabowo Subianto.
“Saya gak ngerti gitu-gituan. Kalau ada ilmu tersebut, kayaknya dipakai buat olimpiade saja,” ujar Prabowo ketika ditemui usai dialog di Studio Radio Trijaya FM, Menara Kebon Sirih, Jakarta Pusat, (4/7/2009).
Prabowo berkisah, zaman dulu ada mantan ketua PSSI yang meletakan patung di depan gawang saat pertandingan sepak bola.
“Taruh patung didepan gawang tetap saja gol,” ujarnya disambut gelak tawa wartawan.
Karena itu Prabowo menyerukan semua pihak untuk selalu berpikir positif.
“Kalau kita orang Islam ada ayat kursi, begitu juga agama Kristen, Hindu, dan yang lainnya” tandasnya.
Mantan Danjen Kopassus itu terus berkelakar. Menurut dia, kekuatan ilmu sihir hanya ada pada cerita-cerita masa lalu. Dia juga mengisahkan, ketika muda, dia pernah nyaris menggunakan ilmu batu pengasih untuk memikat wanita.
“Marilah kita berfikir positif ini abad 21,” pungkasnya.
Seperti diketahui, saat menggelar zikir di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, SBY mengungkapkan bahwa dia terus memanjatkan doa dan berzikir untuk melawan kekuatan sihir. Hal itu terutama dilakukan karena pelaksanaan pilpres sudah semakin dekat.
Sumber : Fahmi Firdaus – Okezone
Rabu, 09/07/2014 20:37 WIB
“Saya gak ngerti gitu-gituan. Kalau ada ilmu tersebut, kayaknya dipakai buat olimpiade saja,” ujar Prabowo ketika ditemui usai dialog di Studio Radio Trijaya FM, Menara Kebon Sirih, Jakarta Pusat, (4/7/2009).
Prabowo berkisah, zaman dulu ada mantan ketua PSSI yang meletakan patung di depan gawang saat pertandingan sepak bola.
“Taruh patung didepan gawang tetap saja gol,” ujarnya disambut gelak tawa wartawan.
Karena itu Prabowo menyerukan semua pihak untuk selalu berpikir positif.
“Kalau kita orang Islam ada ayat kursi, begitu juga agama Kristen, Hindu, dan yang lainnya” tandasnya.
Mantan Danjen Kopassus itu terus berkelakar. Menurut dia, kekuatan ilmu sihir hanya ada pada cerita-cerita masa lalu. Dia juga mengisahkan, ketika muda, dia pernah nyaris menggunakan ilmu batu pengasih untuk memikat wanita.
“Marilah kita berfikir positif ini abad 21,” pungkasnya.
Seperti diketahui, saat menggelar zikir di kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, SBY mengungkapkan bahwa dia terus memanjatkan doa dan berzikir untuk melawan kekuatan sihir. Hal itu terutama dilakukan karena pelaksanaan pilpres sudah semakin dekat.
Sumber : Fahmi Firdaus – Okezone
Indonesia, which held a closely fought presidential election, doesn’t get all that much coverage here compared with China and India, which is unfortunate. It’s the world’s third-largest democracy, after the United States and India, home to one-fifth of the world’s Muslims, and on track to becoming one of the world’s largest economies, though one with a widening gap between rich and poor.
And this election appears set to be a transitional one. The front-runner has been Joko Widodo, an outsider politician running on an anti-corruption platform who has had a meteoric rise from local businessman, to mayor of the small Javan city of Surakarta, to governor of Jakarta.
As Tom Pepinsky explains, Joko has already distinguished himself somewhat from past Indonesian candidates by running with an existing party rather than forming his own: Indonesian politics are highly fractionalized due to the high number of small parties, making policymaking difficult on a national level. His victory could shake up the country’s party system.
Joko’s early lead faded after a smear campaign alleging that he is Christian and ethnic Chinese.
His main challenger is Prabowo Subianto, a former army general who led the country’s special forces under Suharto, the dictator overthrown in 1998. Prabowo presents himself as more of a charismatic strongman, able to unite the country in constrast with current president Susilo Bambang Yudhoyono.
If Prabowo, accused of human rights abuses under the Suharto dictatorship, gets into the office, the main question will become whether the country’s democratic institutions have strengthened enough in the last two decades to resist a slide back into authoritarianism.
If Joko gets into office, the question is whether his relatively thin résumé has prepared him for the tough challenges facing the country in the years ahead.
Official results won’t be released until July 20, but privately conducted early exit polls give a narrow edge to Joko, prompting him to declare victory. But Parbowo isclaiming victory as well based on other polls.
Asia’s third superpower’s growth is an important and often overlooked story in international development, and it could still serve as either an exemplar or a cautionary tale about democracy in a large, developing, Muslim country. Amid the more dire crises around the world this month, it’s worth keeping an eye on.
Muncul 3 Lembaga Survei Dadakan, Poltracking Putuskan Kontrak dengan tvOne
Direktur Poltracking, Hanta Yudha, mengatakan, tvOne telah menjalin kerjasama dengan lembaga survei lain tanpa memberikan pemberitahuan kepada Poltracking yang sudah menjalin kerjasama sebelumnya.
"Sebelumnya sudah disepakati bahwa Poltracking adalah satu-satunya lembaga yang dipublikasi, namun saya diberitahu ada tadi pagi ada 3 lembaga lain bersama saya, sehingga jam 10.00 WIB, saya putuskan untuk tidak dipublikasikan," kata Hanta Yudha dalam konferensi pers di Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jaksel, Rabu (9/7/2014).
Hanta merasa tvOne yang sebelumnya telah mengikat kerjasama dengan Poltracking tidak menghormati klausul kontrak. Sehingga, Poltracking menarik kerjasama dengan tvOne.
"Masalah saya bukan pada tiga lembaga survei itu, tapi masalah stasiun tv itu yang menjalin kerja sama dengan lembaga lain padahal tidak ada kesepakatan di awal," jelasnya.
"Padahal kan sudah ada diiklankan, bahwa tvOne akan bekerjasama dengan Poltracking untuk mempublikasi hasil quick count," imbuhnya.
Tiga lembaga survei yang muncul di tvOne adalah Puskaptis, IRC dan LSN. Semua mencatat kemenangan untuk kubu Prabowo-Hatta.
Belum ada keterangan dari pihak tvOne soal ini. Humas tvOne Raldi dan Wapemred tvOne Toto saat dihubungi belum memberikan respons.
strait times singapore:
By Zubaidah Nazeer Indonesia Correspondent JAKARTA - On a private jet from Jakarta to a rally where 10,000 have gathered to hear his address in Semarang, Central Java, presidential candidate Prabowo Subianto sips a chilled soda as he discusses politics. "I don't really prepare, I go with the flow," he told The Straits Times, in an interview given before the fasting month began. Self-assured and full of energy, he is on a decade-long mission to lead his nation. After a remarkable comeback, surveys now put him within a hair's breadth of his only rival, frontrunner Joko Widodo. Since failing to win the Golkar chairmanship in 2004 and losing as a vice-presidential candidate in 2009, the presidency is now within his grasp. Presidential candidate Prabowo Subianto discusses politics on a private jet to a rally in Semarang, Central Java. He is on the brink of presidency, as surveys now put him within a hair's breadth of his only rival, frontrunner Joko Widodo. -- ST PHOTO: ZUBAIDAH NAZEER Having exploited weaknesses in Mr Widodo's campaign, the 62-year-old former special forces general has amassed the support of 63 per cent of the new parliament, with a large coalition that includes the Democrat party of outgoing President Susilo Bambang Yudhoyono. Mr Prabowo's long and turbulent fight for the presidency has been driven by a sense of destiny. "We are a proud family. We were taught that our family always served the country, served the people, served the society," he says during the 40-minute flight Political discussions are common at the dinner table of his family, many of whom have followed him into politics. The family traces its roots to the Javanese heroes who fought the Dutch in the wars of independence. His grandfather, Margono Djojohadikusumo, and his father, Dr Soemitro, shaped his uncompromising views on politics. Both served as ministers and the latter as central bank chief. "Life is always a struggle between good and evil. That had a very big influence on me." It was the death of two uncles on the same day in January 1946, during the war of independence against the Dutch, that inspired Mr Prabowo to join the military. "Military service is the highest sacrifice, because you put your life at the service of the country, and if your country asks for you to give your life, you must give it," says a man who rose rapidly to become former President Suharto's most trusted general before his fall from grace in 1998. After being dismissed from the military for his role in the kidnapping of democracy activists in the chaos that led to the downfall of Mr Suharto, and cast out by the elite, he exiled himself to Jordan before returning in 2002. But his sense of injustice about this episode and the family history of anti-colonial struggle are not the only factors driving his quest for the highest office. Added to that were the racial slurs he endured as the only Asian in class when studying in international schools such as in Switzerland, Hong Kong and United Kingdom. "There was this burning conviction that I must prove that Indonesians are not stupid monkeys," says the man whose campaign has fashioned himself as the saviour of Indonesia, with banners and posters like "Selamatkan Indonesia (Save Indonesia)". "We want to be a modern country. We want to be equal with the West but we admired the West... and yet we felt this racism," he says while tucking into a Big Mac on the flight back to Jakarta, as he tries to maintain his energy levels throughout his punishing schedule. "I think this is influenced by people like Dr Mahathir and Lee Kuan Yew - the desire that we are not third-class humans, but we can also be modern, we can compete," he says, conveying his admiration for the former prime ministers of Malaysia and Singapore. Indeed, one common theme Mr Prabowo uses to whip up crowds at his rallies is to highlight how "foreigners are stealing our national resources". "We are brought up to be too hospitable, and don't realise our wealth is being stolen... they say Indonesians are stupid, our leaders can be bought," he yelled at a rally in Makassar, South Sulawesi, on June 17. But when meeting foreign investors and diplomats, he tells them that international capital is crucial for Indonesia's development. Thus, Mr Prabowo is man of contradictions. Although his family went into exile after rebelling against Sukarno in 1957, he self-consciously tries to mimic the rhetorical style of Indonesia's founding President. Some of the activists he detained in 1998 later joined his own Gerindra party, while others continue to campaign against him. While he is undoubtedly a product of the elite, he believes he can reach out to the common man. But many Indonesians overlook these issues, drawn by his stirring vision of an Indonesia that can "stand on its own two feet". A practiced public speaker, Mr Prabowo treats the stage as his tool, in a pompous show of his mass support. At a huge rally in Jakarta in March,for example, he entered the packed 80,000-capacity Bung Karno stadium riding Prodigio, his favourite 18-year-old Portuguese horse, after landing in a helicopter nearby. Fiercely protective of this horse, and the other animals he keeps at his hilltop ranch outside Jakarta, he has not used it at any subsequent rallies, worried that it will be upset by the boisterous crowds. But he is not so fearful himself, often ending speeches by diving into the crowd like an exuberant rock singer. "The crowd is hysterical," he said after the Semarang rally, pointing to his arm: "Look at these scratches...the elder women are very strong..they are so enthusiastic." "I think why I resonate with them is that what I am talking is what they are feeling inside; they feel that they are not part of a process, that they don't have any say," he says. "They feel poor - no hope, no pride." What he does not say is how he developed his oratorical style over many years, with political advisers from Indonesia and the United States. They helped him understand how to rouse the crowd and win votes by appealing to people's sense of lost dignity, in a country beset by corruption and poverty despite the recent economic boom. A quick learner, his temper is also legendary. Having fought in the jungles of Papua and Aceh and experienced the bitter ups and downs of Indonesian politics, he does not suffer fools. His brother Mr Hashim Djojohadikusumo says his older brother was often critical of his teachers, some of whom he thought were "goblok" or stupid". Still seen as a general by those around him, he commands absolute loyalty from the young group of aides who follow him everywhere. When he pauses for more than a few seconds during speeches, his aides rush to bring him a wet towel, a bottle of water or a cup of coffee. With three days left to the polls, he feels that the wind is behind him. "It's the last sprint. So anything can happen but we are strong. We feel a resurgence," he said at a forum on Monday last week.. Even back then on that plane to Semarang, when he was still way behind in the polls and many had written him off, he was already confident. Asked what he would do if he did not win? "Losing is not an option," is his dead-certain reply. zubaidah@sph.com.sg - See more at: http://www.straitstimes.com/news/asia/south-east-asia/story/losing-not-option-indonesias-prabowo-tells-st-20140706#sthash.To5Ltqci.dpuf (Reuters) - Just over 14 years ago, Prabowo Subianto was one of Indonesia's most reviled men, accused of kidnapping, human rights abuses and a coup attempt. Now, the former general has emerged as the most popular candidate for president. If elected, he says he will not roll back the democratic reforms that Indonesia embraced after his then father-in-law Suharto was ousted from over three decades of autocratic rule. "I think the people want strong, decisive leadership," Prabowo told Reuters in an interview in Singapore. But he added: "I don't think it is feasible to turn back the clock. Whatever I would like to do, I don't think it is feasible. I think we have to work harder to create consensus, work harder to get a mandate from the people." Suharto was thrown out of office in May, 1998 as the country sank into an abyss of rioting and economic upheaval. Prabowo, a general from one of Indonesia's most prominent families, was accused of instigating the violence. Incoming president B.J. Habibie said the second night after he was sworn in, Prabowo showed up at the presidential palace, armed and with a squad of special forces soldiers, and tried to stage a coup. Dismissed from the army soon after, shunned by the Jakarta elite and in self-exile in Jordan for some years, Prabowo has in just over a decade managed a striking transformation. While Indonesia has rebounded from the near-chaos of the late 1990s to be one of the world's fastest-growing economies, Prabowo is now a successful businessman and the popular head of a political party. Opinion polls show him as the leading candidate for the 2014 presidential election, although he himself says a lot can happen before then. Analysts say his often blunt views on the need for strong leadership and pro-poor and pro-farmer policies have gone down well with the people, for whom the events of 1998 do not matter that much anymore. "I was a soldier," Prabowo said, describing that period. "As a soldier, one does not think too much about politics or political correctness or human communications. Maybe my communication was not good enough." A 60-year-old with the square build of the special forces commander he once was, Prabowo said he is still refused a U.S. visa because of the allegations he was involved in violence at that time. He is now divorced from Suharto's daughter, with whom he has a 28-year-old son. Asked about the coup charges leveled by Habibie, who took over as Indonesia's president after Suharto, Prabowo said: "That is part of political jockeying, disinformation. I was just a straight soldier. "I proved by my actions. Did I take over? Did I carry out a coup d'etat? History speaks for itself." Asked if could have taken power if he wished, he said: "Yes of course. Why not?" Prabowo, in Singapore to deliver a lecture on the future of Indonesia, separately told reporters: "Despite controlling nearly one half of Indonesia's combat units, I stepped down after being asked to step down by the political power. "Because I am a constitutionalist. As an officer and a soldier, I swore an oath to serve the Republic of Indonesia. I kept my honor, I kept my oath." AN INSULAR INDONESIA? With the no-nonsense style of a former general, Prabowo's possible ascent to power is being looked on nervously from several quarters. Investors worry he will bring in protectionist policies and political analysts say his past shows he can easily slip into strong-arm autocratic rule. "If he won, concerns would arise about the durability of democratization," says Kevin O'Rourke, a Jakarta-based analyst. "He also advocates an economic agenda that calls for banning rice imports and banning gas exports. He is antagonistic towards investment and market forces." Prabowo, the son of one of Indonesia's most respected economic planners, has said he is not against foreign investment. "We want foreign investment, but it must be win-win," he said. "It must be rational, it must be cognizant of local and environmental needs and it must be on a fair and level playing field." In his speech, he said the country needed to avoid depletion of its energy and other resources, control population growth, improve governance and bring in structural changes in the economy to benefit the poor and the farmers, who form the majority of Indonesia's 240 million people. The country was once Asia's only member of the Organisation of Petroleum Exporting Countries (OPEC) but left the group and is now a net importer, although it has vast natural gas reserves and has some of the world's largest coal deposits. Prabowo's focus was, however, on agriculture, and he advocated using bio-fuels to back up fossil fuel reserves. "Sixty percent of our population live on agriculture and are allocated three percent of the national budget in 2012," he said. "This is not viable. This is not wise, this a formula for misery, for unrest. This will degrade social harmony. This is what we have to have the courage to address." Prabowo is also feared by some of Indonesia's ethnic Chinese minority, who control much of the country's $1 trillion economy and were targeted in the 1998 mayhem that was orchestrated by thugs believed to be organized by special forces soldiers. "I am very committed to a united Indonesia regardless of race, religion and background," he said in response to a question on his policy towards the ethnic Chinese. "My political party has a lot of members from many, many backgrounds and races. We have a lot of Chinese members but of course most of them are middle class and poor Chinese. We don't think about race in our party." NOT A SOCIALIST But Prabowo said government should re-focus spending away from the cities and the elite. He said he did not wish to criticize President Susilo Bambang Yudhoyono, with whom he graduated from Indonesia's military academy, but added that economic managers had blindly adopted Western economic policies in his tenure. Yudhoyono has served two terms as president and cannot run again. Prabowo, who contested the vice-presidency in 2009 but was defeated by Yudhoyono and his running mate, said he was not a socialist but added that government could not take a hands-off stand. "In Indonesia, we cannot have a laissez faire approach to our problems. I am of the conviction that a government must intervene to protect the very poor and the very weak, to stimulate growth. "In sectors where the private sector is very strong, let the private sector carry on." Ultimately, Prabowo said, what was needed was a strong government. "There are always leaders and people who will look for reasons not to try anything new. But the Indonesian leadership must have the will, the toughness, the character, the courage, to think and try to look for creative solutions. "I was brought up with the motto 'who dares, wins' and I think it is time for the Indonesian elite to dare." (Additional reporting by Jonathan Thatcher and Olivia Rondonuwu in JAKARTA; Editing by Robert Birsel)
JAKARTA, KOMPAS.com — Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/7/2014). Setelah pengesahan itu, Nova Riyanti Yusuf, mantan Ketua Panja RUU Kesehatan Jiwa, menjalankan nazarnya "berenang" di kolam air mancur yang ada di Kompleks Parlemen.
Dalam rapat paripurna, semua fraksi menyatakan setuju pengesahan UU Kesehatan Jiwa. Nova Riyanti yang akrab disapa Noriyu ikut berteriak setuju. Setelah disahkan, politisi Partai Demokrat itu langsung berlari keluar dari ruang paripurna.
Di luar, dokter spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa yang berparas cantik itu disambut sejumlah pendukung pengesahan UU Kesehatan Jiwa, di antaranya dari Health Center Service dan Komunitas Skizofrenia.
...
menurut sumber media, skizofrenia disebut-sebut terkait hasil pemeriksaan pilpres di RS milik tentara di Jakarta
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi juga tampak memberikan selamat kepada Noriyu. Tak lama setelah berfoto bersama, Noriyu lalu masuk ke kolam air mancur di depan gedung kura-kura.
"RUU Kesehatan Jiwa kayaknya sempat ketahan dan ada drama pencopotan saya pula (sebagai Wakil Ketua Komisi IX). Ini berat banget, tapi alhamdulillah. Saya bicara sama tenaga ahli Firi Wahid, kalau sampai RUU ini gol, saya nyemplung di kolam DPR. Kita harus memenuhi," kata Noriyu.
Noriyu berpendapat, UU Kesehatan Jiwa penting karena dua hal. Pertama, pada tahun 1966, Indonesia pernah punya UU Kesehatan Jiwa yang ditandatangani Presiden Soekarno. Namun, kata dia, UU tersebut kemudian hilang. Padahal, definisi kesehatan menurut World Health Organization (WHO) meliputi sehat fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Selain itu, lanjut dia, menurut World Health Assembly, kesehatan jiwa harus menjadi prioritas di tiap negara. Saat ini tinggal 25 persen negara di dunia yang tidak memiliki UU ini.
"Indonesia bisa unjuk gigi karena kita selangkah maju dengan UU Kesehatan Jiwa ini," tambahnya.
Noriyu berharap pemerintahan selanjutnya segera membuat aturan turunan dari UU tersebut agar bisa diimplementasikan.
Komentar
Posting Komentar