Idul Fitri momentum KEMBALI menjadi TOLERAN

👄


kumparan : Bawaslu menolak laporan dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi soal dugaan kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Hal ini membuat Bawaslu tak akan melanjutkan pelaporan tersebut.
"Menetapkan, menyatakan laporan dugaan pelanggaran administratif pemilu TSM tidak dapat diterima," kata Ketua Bawaslu RI Abhan di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (20/5).
Keputusan ini ditetapkan pada rapat pleno Bawaslu pada hari Rabu tanggal 15 mei 2019. Putusan tersebut termaktub dalam putusan nomor 01/LP/PP/ADR/TSM/RI/00.00/V/2019.
"Dengan demikian dugaan pelanggaran pemilu TSM putusan nomor 01/LP/PP/ADM/TSM/RI/00.00/V/2019 kami nyatakan selesai," ungkap dia.
Bawaslu menilai barang bukti yang dibawa oleh BPN tak cukup mendukung adanya indikasi kecurangan seperti yang dilaporkan. Barang bukti yang BPN setorkan hanyalah print out berita online.
"Bukti print out berita online tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus didukung dengan alat bukti lain berupa dokumen, surat, maupun video yang menunjukkan adanya perbuatan masif yang dilakukan oleh terlapor yang terjadi paling sedikit di 50 persen dari jumlah daerah provinsi di Indonesia," kata anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo.
Laporan itu dibuat Ketua BPN Djoko Santoso dan Sekretaris BPN Hanafi Rais soal dugaan kecurangan TSM di antaranya dalam pengerahan ASN. Laporan ini merupakan hasil dari pengumpulan dugaan kecurangan yang terjadi di beberapa daerah.
"Kita melaporkan berbagai macam kecurangan ke Bawaslu terkait Pilpres 2019 kemarin. Dan ini adalah laporan pertama kita terkait dengan dugaan pelanggaran yang sifatnya TSM," ujar politikus PAN Hanafi Rais.
Dalam mengadili kasus ini, Bawaslu berpijak pada Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum No 8/2018.
Di Pasal 19 dan 20 dijelaskan objek pelanggaran administratif Pemilu TSM, yaitu:
Peraturan Bawaslu No 8/2018 Foto: dok Bawaslu

🐃

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Tokoh agama di Papua berharap hari raya lebaran dapat menumbuhkan semangat toleransi antarumat beragama, baik umat Islam maupun umat Kristiani, di wilayah paling timur ini


Pastor John Djonga, salah satu tokoh agama di Papua ketika dikonfirmasi dari Jayapura, Jumat (23/6), mengemukakan umat Kristiani berharap Hari Raya Idul Fitri menumbuhkan semangat toleransi, persaudaraan dan kekeluargaan.


Sebagai umat yang beriman, dia berharap, hari raya ini menjadi sarana bagi umat beragama untuk saling mendukung, saling mengunjungi dan saling memaafkan.


"Saya mengucapkan selamat merayakan Lebaran kepada seluruh teman-teman, saudara-saudara, dan umat islam di seluruh tanah Papua," ujar dia. 


Pastor John juga mengucapkan selamat berbahagia karena sudah berhasil melaksanakan puasa dengan baik. "Selama bulan suci Ramadhan ini mendatangkan berkat, dan semoga memperoleh kesucian dalam bermasyarakat di tanah Papua," kata dia. 


Sebagai pemimpin gereja di wilayah parokinya dan juga sebagai aktivis hak asasi manusia, Pastor John berharap pengalaman suci selama masa puasa dan Ramadhan ini menjadi berkat bagi sesama saudara islam dalam bermasyarakat, berkarya dan juga berjuang untuk keadilan hak asasi manusia di tanah Papua.


"Kalau bukan umat islam yang telah melaksanakan masa puasa sebagai bulan suci untuk membangun kehidupan spiritual yang bermanfaat maka ini suatu kekurangan atau kerugian besar perkembangan kemanusiaan secara umum, demokrasi, dan HAM di tanah Papua," kata dia. 


Melalui momentum Ramadhan, dia menambahkan semua egoisme, semua sifat-sifat emosional secara spiritual yang merusak kesatuan dan keutuhan NKRI dibuang jauh-jauh. 


👪

BREBES, KOMPAS.com — Sinar matahari pagi di kawasan Tol Kanci-Pejagan hangat menerpa  ribuan warga yang hatinya panas lantaran sudah lebih dari delapan jam berada di tol tersebut, Senin (4/7/2016). Sudah dari malam sebelumnya mereka tiba di jalan tol ini, tetapi belum berhasil keluar juga.

Pemudik yang kelelahan dan lapar terpaksa hanya duduk sambil sesekali berjalan di bahu jalan tol untuk melepas penat.

"Gara-gara macet parah ini saya tak bisa sahur. Padahal, kalau normal, jam 2 tadi pagi sudah sampai Tegal," gerutu Purwadi yang mengaku sudah lebih dari delapan jam berada di Tol Kanci-Pejagan, tetapi tak kunjung berhasil keluar pintu Tol Pejagan.

Purwadi yang berprofesi sebagai sopir itu lantas memuntahkan kemarahannya.

"Pemerintah enggak becus urus transportasi. Kemacetan di exitTol Pejagan ini semestinya sudah diantisipasi. Pemerintah daerah Jateng, pemerintah daerah Brebes, polisi, dan Kementerian Perhubungan ngapain saja kerjanya. Ini macet terparah sepanjang sejarah Lebaran," ujarnya dengan nada tinggi.

Maklum, Purwadi sudah masuk Tol Kanci-Pejagan sejak Minggu pukul 22.00 WIB. Namun, sampai Senin sekitar pukul 07.00, kendaraannya masih terjebak kemacetan parah di tol tersebut.

"Pintu keluar tol masih 15 km lagi dan bensin saya tinggal seperempat. Pasti akan habis di jalan sebelum exit tol," keluhnya.

Parto, warga yang hendak mudik ke Pemalang, juga kesal dengan kemacetan parah yang dialaminya ini.

"Ini luar biasa macetnya. Ini paling parah. Pemerintah ngapain saja kerjanya. Enggak becus urus arus mudik," ujarnya dengan nada kesal.

Berdasarkan pantauan di Tol Kanci-Pejagan sejak pukul 23.00 WIB hingga pagi ini, kondisi jalan tol masih macet parah.

Bahkan sejak pukul 06.00 hingga 07.15 WIB, kendaraan nyaris tak bergerak. Sebagian besar pemudik yang kelelahan pun melepas kesal dan penat dengan memilih keluar dari mobil.

"Capek banget. Dari tadi stuck seperti ini," keluh Putri, Siti, dan Iin yang hendak mudik ke Solo.

Depresi

Di ruas Tol Pejagan-Brebes Timur, antrean kendaraan yang didominasi mobil pribadi mengular sepanjang 20 km hingga ke pintu Tol Pejagan. Kemacetan panjang di jalur pantura Jateng terus terjadi hingga Senin dini hari.

Karena kemacetan parah ini, bahkan dilaporkan ada seorang pemudik mengalami depresi dan stres.

Saat dijemput tim medis di tengah kemacetan di jalan pantura Kolonel Sugiono Tegal Kota, pengemudi itu terus berteriak-teriak.

Pihak keluarga kemudian meminta pertolongan ke posko mudikLebaran terdekat.

Pria yang mengalami depresi itu masih dalam penanganan RS Mitra Siaga Tegal.

Ingin naik KA

Sementara itu, jalur pantura Cirebon-Brebes kemarin pagi hingga petang nyaris lumpuh. Ratusan ribu kendaraan terjebak macet tak bergerak di ruas jalur Kanci Cirebon, Jawa Barat, hingga memasuki Brebes Kota, Jawa Tengah.

Menurut Darmadi (55), pemudik asal Jakarta Pusat, dia sudah terjebak kemacetan saat dalam perjalanan mulai dari Cirebon hingga ke Brebes.

"Saya masuk Kanci Cirebon jam 22.00 malam, baru sampai Pejagan sekitar pukul 10.00 siang tadi. Jadi ya sekitar 12 jam," kata Darmadi.

Saat memasuki wilayah pantura Brebes, lanjut dia, kemacetan juga terjadi hingga ke pantura Brebes-Tegal. Bahkan laju kendaraan tidak sampai 10 km per jam.

"Pokoknya tadi malam itu kemacetan terjadi selepas pintu keluar Tol Kanci-Cirebon. Ya kemungkinan kemacetan diperkirakan mencapai 60 km lebih sepanjang jalur pantura Kanci-Cirebon hingga memasuki Brebes Kota," ucapnya.

Para pemudik pun mulai gusar dan marah dengan kondisi kemacetan di sepanjang jalur pantura Cirebon-Brebes-Tegal.

"Saya lelah, Mas, capek macet kayak begini. Bosan duduk di dalam mobil, plonga-plongo ke sana kemari. Maunya saya tinggal saja mobil ini dan pulang ke Solo naik KA saja," ungkapnya.

Direktur Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Ustadz Wahyuddin, menegaskan pesantren yang dikelolanya sama sekali tidak terkait dengan kegiatan para alumni atau jebolan santri yang melakukan kekerasan. Namun demikian, Al-Mukmin merasa perlu menyampaikan rasa prihatin dan permohonan maaf kepada masyarakat luas atas tindakan sebagian alumni tersebut



JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj meminta agar warga tidak melakukan razia rumah makan maupun kekerasan lain selama Ramadhan. Menurut dia, tindakan itu justru mengurangi makna kedamaian Ramadhan dan mengabaikan rasa toleransi antarumat beragama.
"Kami minta tidak ada lagi aksi sweeping maupun semacamnya. Mari sama-sama menjauhkan konflik dan tawuran antarwarga, khususnya untuk menjaga ketenangan bersama demi bulan suci Ramadhan ini," ujar Said Aqil dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (16/6/2015).
Menurut dia, aksi razia yang biasa dilakukan ormas di tempat-tempat hiburan dan rumah makan justru mengurangi makna kedamaian Ramadhan. Ia menilai masyarakat Indonesia saat ini sudah memiliki kesadaran sendiri untuk menghormati umat Muslim dalam menjalani ibadah saat Ramadhan. Kedewasaan umat Islam di Indonesia juga semakin baik dari hari ke hari.
Ia menambahkan, umat Muslim saat ini lebih paham akan pentingnya toleransi dan rasa persaudaraan antarumat beragama. "Jauhkan konflik, kekerasan, dan tawuran antarwarga. Tetapi, satukan gerak dan langkah untuk membangun negeri dengan menjaga suasana kedamaian dan persaudaraan, serta menghindari tindakan yang destruktif, yang memancing retaknya persatuan dan kesatuan bangsa," ujar Said.



Senin, 03/09/2012 11:06 WIB Ponpes Ngruki Soal Terorisme: Kami Tidak Terkait tapi Kami Mohon Maaf Muchus Budi R. - detikNews Solo
Direktur Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Ustadz Wahyuddin, menegaskan pesantren yang dikelolanya sama sekali tidak terkait dengan kegiatan para alumni atau jebolan santri yang melakukan kekerasan. Namun demikian, Al-Mukmin merasa perlu menyampaikan rasa prihatin dan permohonan maaf kepada masyarakat luas atas tindakan sebagian alumni tersebut.
"Tidak mungkin kami melakukan hal-hal yang merugikan kami sendiri. Kami juga kaget mendengar informasi seperti ini. Kami mohon maaf seandainya ada alumni atau jebolan pesantren kami yang merugikan orang lain. Kami prihatin dan sekali lagi mohon maaf," ujar Wahyuddin kepada wartawan di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Senin (3/9/2012).
Wahyuddin mengatakan pihaknya sebenarnya telah cukup tenang setelah sudah agak lama tidak dikaitkan atau terkait dengan berbagai kejadian kekerasan di tanah air. Sebagai lembaga pendidikan dan dakwah, para pengelola semakin memantapkan program untuk mencapai tujuan. Karenanya informasi mengenai Farhan dan Muchsin tersebut kembali mengusik ketenangan di Ngruki.
Lebih lanjut Wahyuddin mengatakan sama sekali tidak mengetahui motivasi yang dilakukan oleh Farhan dan Muchsin, kalaupun keduanya benar-benar sebagai pelaku penyerangan aset dan anggota kepolisian di Solo. Dia juga mengaku tidak habis pikir, kalau benar keduanya pelaku tetapi masih berkeliaran di dalam kota Solo dengan tenangnya.
"Ini kita dikagetkan, aksi anak-anak 19 tahunan. Disebut kader, juga bukan kader. Saya kira itu hanya anak-anak ingusan, pendek nalar dan emosional saja. Mungkin juga ada motif main-main, frustasi, atau putus asa. Atau mungkin juga karena kondisinya lalu ingin menunjukkan eksistensi untuk menyampaikan pesan bahwa 'aku masih ada'. Wallahu a'lam," ujar Wahyuddin.
Bisa juga yang dilakukan keduanya anak itu, lanjut Wahyuddin adalah bagian dari apa yang mereka qishash. Dalam Islam, lanjutnya, memang ada penerapan hukum qishash yaitu penghilangan nyawa harus diganti dengan nyawa. Mungkin saja kedua anak tersebut merasa perlu tampil sebagai pembela dari orang-orang yang telah lebih dulu ditembak mati oleh polisi.
"Mungkin saja selama pergaulan di luar pesantren kami, mereka kenal dengan orang-orang yang telah ditembak mati polisi, lalu timbul tekad membalas perlakukan itu terhadap polisi. Pembalasan yang dilakukan juga kepada polisi secara kelembagaan," kata menantu Abdullah Sungkar tersebut. (mbr/try)
Alasan Foke Sowan ke Megawati Penulis : Sandro Gatra | Minggu, 19 Agustus 2012 | 12:36 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo hadir dalam acara open house hari raya Idul Fitri 1433 H di kediaman mantan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Minggu (19/8/2012).
Pria yang akrab dipanggil Foke hanya mampir sebentar dalam kunjungannya. Tak sampai lima menit setelah menghampiri tuan rumah, pria yang mengenakan batik lengan panjang warna coklat dan peci itu langsung keluar dari rumah Megawati. Apa alasannya berkunjung ke rumah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu?
"Saya kan tetangga paling deket. Rumah saya di seberang situ," kata Foke sambil menunjuk arah kanan rumah Megawati. Megawati dan keluarga bermukim di kediaman di Jalan Teuku Umar No 27 di kawasan Menteng, sementara Foke tinggal di rumah dinas di rumah bernomor 24 di jalan yang sama. Namun, ternyata itu bukan satu-satunya alasan Foke. Sebelum masuk ke dalam mobil, Foke menambahkan alasan lainnya berkunjung ke rumah Megawati. "Satu lagi, saya kan gubernur yang didukung Ibu Mega (di Pilkada DKI Jakarta) tahun 2007," tambahnya.
Kedatangan Foke menarik perhatian mengingat pertarungan dalam Pilkada DKI Jakarta. Foke dan pasangannya, Nachrowi Ramli, harus bertarung dalam putaran kedua pemilihan dengan pasangan yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra, yakni Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama alias Jokowi-Ahok. Editor : Caroline Damanik
Tracing the Cause of Political Failures in Jakarta Pitan Daslani | August 12, 2012
How could have the Jokowi campaigning team engineered the Rhoma incident or clerics in mosques clearly taking a stance against them and support Fauzi (becasue he and his running mate are both Muslims and therefore, without any further questions asked, the good ones) or, as photo above - "Tolak! Cagub Sekuler..."
I would not be surprised if # 2 listed "some unseen political puppet masters are pulling the strings with a bigger goal in mind" is indeed the force behind. Somebody who might already now work on his "presidency" in 2014...
The dirty election tactics involving ethnic and religious slurs against Joko “Jokowi” Widodo and Basuki Tjahaja Purnama, also known as Ahok, in the Jakarta gubernatorial election are proof that Indonesia’s political parties have all failed to provide healthy civic education to society, political scientists say. Komaruddin Hidayat, rector at state-run Islamic University (UIN), said that using religion as a campaign platform for campaign would be detrimental to the image of the religion “because if you use religion and then fail to win the election, people will say your prayers are not powerful enough to make things happen. “This will tarnish the image and reduce the power of the religion,” Komaruddin said. “Religion should only be used in religious domains such as churches or mosques, but in the public domain, issues relating to religion must be articulated properly in the context of Indonesia as a pluralist nation.”
He added that those who fan ethnic, religious and racial sentiment during the campaign will learn a bitter lesson if their candidate loses the election.
Yunarto Wijaya, director of research at Charta Politica, a political consultancy and research agency, had a similar take on the subject.
He said on Saturday that the middle class and educated segments of society in Jakarta would feel offended and even personally hurt by the negative campaign being leveled against Ahok, who is ethnically Chinese and Christian.
The educated community does not look at the ethnic or religious backgrounds of the candidates when they are deciding who to vote for, Yunarto said. Instead, voters are judging candidates based on their capabilities, integrity and track record, he said. Yet, under-educated voters outnumber educated ones, Yunarto said, adding that “these under-educated people can easily be influenced by provocateurs.” “In my mind, it would be too big a blunder and too stupid if incumbent Governor Fauzi ‘Foke’ Bowo fanned ethnic and religious sentiments against Jokowi and Ahok, because that will surely backfire on him,” Yunarto said. “I think he won’t do that because I know that he is close to Catholic and Protestant church leaders. Yet we must condemn the use of such ignorant sentiments in the election campaign.” Yunarto said attacks of this nature are evidence that Indonesia’s democracy is still in its infancy, despite having 14 years to grow, in reference to the 1998 ouster of Suharto as president. Political parties talk about the same issues even though voters want to hear something different, Yunarto said. So, when there are no good or different opinions, people use other criteria, such as ethnicity or religion, as a deciding factor, he said. In the case of Jokowi and Ahok, Yunarto said there are three possible causes for the smear campaign. First, it is possible that Foke is not responsible for attacks but he’s not unhappy that they are taking place, even if he appears neutral in public. Second, some unseen political puppet masters are pulling the strings with a bigger goal in mind. Third, it could be actually engineered by the Jokowi camp in order to come off as underdogs and to gain public sympathy, Yunarto said. When it comes to voter participation, Yunarto said minority groups can still feel uncomfortable becoming candidates. “This has happened in many parts of the archipelago,” but only in Jakarta has the issue been blown up so wildly because it happens in the capital city where information technology is easily accessible for everybody to spread their views, he said. Komaruddin, meanwhile, said the important factor is parties providing good civics education so that voters are able to make informed decisions. A good civics foundation can stop smear tactics from working, he said, but it can also curb the largest issue in Indonesian politics, namely corruption. Komaruddin said educated voters are more aware of graft and are more likely to demand politicians and political parties be transparent because they are chosen by the public to represent them. Yunarto agrees with Komaruddin on the importance of having a strong and fair system that people can trust. “To reform the political system, one must begin by reforming the political parties,” Yunarto said. “But we paid so much attention to individual events and forget the need to overhaul the system.” He added that this is the reason why political parties are now crippled by so many problems and so many of their members and leaders have been jailed for corruption and other crimes.
SABTU, 25 AGUSTUS 2012 | 14:49 WIB Ribuan Orang Padati Halalbihalal Jokowi-Ahok
TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan warga dan pendukung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Basuki, memadati halaman posko kemenangan Jokowi, di Jalan Borobudur Nomor 22, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka berdatangan dengan memakai kemeja kota-kotak untuk menghadiri acara "Halalbihalal Jokowi-Basuki Bersama Rakyat".
"Saya pikir yang datang hanya 500 atau ribuan orang, tapi ternyata sampai puluhan ribu," kata Jokowi yang masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, Sabtu, 25 Agustus 2012. Ia mengaku tidak mengundang banyak orang.
Menurut Jokowi, kegiatan ini digelar agar dapat terjalin silaturahmi antara warga masyarakat, sukarelawan, dan pendukung Jokowi-Basuki menuju persiapan pemilihan gubernur putaran kedua pada 20 September mendatang. "Bisa terjalin silaturahim untuk persiapan tanggal 20 September, strateginya jalan ke kampung-kampung," ujarnya.
Lela, 44 tahun, warga Cakung yang mengenakan baju hitam tanpa memakai baju kotak-kotak ini, mengaku datang karena ikut suaminya--sukarelawan Jokowi-Basuki. Peserta lain, Buyung, 38 tahun, warga Cempaka Putih, datang karena mendapat undangan melalui pesan pendek. Buyung mengaku ikut tergabung dalam klub Jokower yang dibentuk oleh Partai PDI Perjuangan. "Kami datang sekitar 10 orang, saya dengan dua anak saya saja," ujarnya. "Ini kemauan saya saja, tanpa dijanjikan, mendukung penuh Jokowi-Basuki," kata dia. Tampak hadir dalam acara halalbihalal Jokowi-Basuki, beberapa artis dan politikus, antara lain Setiawan Djodi, Achmad Albar, Ahmad Dhani, Rieke Diah Pitaloka, Edo Kondologit, dan Dedi Gumelar alias Miing. Rieke Diah Pitaloka dan Miing sebagai pembawa acara, sedangkan Edo Kondologit mengisi acara dengan menyanyikan lagu Indonesia Pusaka.
Jokowi-Basuki datang menuju posko kemenangan sekitar pukul 12.00. Sebelumnya, Jokowi-Basuki melakukan silaturahmi ke rumah Boy Sadikin--putra mantan Gubernur Ali Sadikin, di Jalan Borobudur Nomor 2. Kemudian Jokowi-Basuki berjalan beriringan bersama para sukarelawannya menuju posko kemenangan. Sempat terjadi adu dorong dari warga dan pendukung Jokowi-Basuki, yang ingin berjabat tangan langsung dengan keduanya.
AFRILIA SURYANIS
Pluralisme Islam dan Tantangannya OPINI | 31 May 2009 | 16:53
Semula, para pemeluk agama hidup dalam komunalitas beragama yang sama. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, kehidupan bersama dengan pemeluk agama lain adalah keniscayaan. Pemeluk suatu agama berada dalam masyarakat yang menganut agama berbeda satu sama lain. Kenyataan ini dapat kita lihat di kota-kota besar. Pluralitas agama menjadi keniscayaan dan merupakan sunnatullah. Karenanya diperlukan sikap teologis yang sesuai dengan kepluralan situasi keberagamaan yang ada. Dalam hal ini, pluralisme agama dapat dijadikan sebagai
teologi alternatif
. Pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan yang melahirkan sikap toleran. Pluralisme berbeda halnya dengan relativisme. Relativisme melahirkan keyakinan bahwa semua agama benar. Sementara itu, pluralisme agama menegaskan keimanan sendiri, sembari menghargai keimanan yang lain ditengah beragamnya keyakinan teologis. Pluralisme mendorong tumbuhnya toleransi antar umat beragama. Dalam diskursus teologi, konsep pluralisme agama paling tidak ada model yaitu pluralisme realistik dan pluralisme regulatif. Pluralisme realistik adalah pandangan bahwa semua agama merupakan jalan yang berbeda-beda, atau merupakan berbagai versi, dari suatu kebenaran yang sama. Pluralisme regulatif merupakan pandangan teologis yang menyatakan bahwa sementara berbagai agama memiliki nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing, mereka mengalami suatu evolusi historis dan perkembangan ke arah suatu kebenaran bersama, hanya saja kebenaran bersama tersebut belum lagi terdefinisikan. Sebagai umat beragama yang mayoritas, sudah seharusnya umat Islam menegaskan konsep teologis yang ramah dan menghargai agama lain. Umat Islam harus merumuskan dan melandaskan konsep hubungan antar umat beragama dengan pluralisme Islam. Term pluralisme Islam dimaknai sebagai konsep teologis yang menegaskan keyakinan akan kebenaran Islam, sembari menghargai keyakinan teologis yang lain ditengah beragamnya keyakinan teologis yang ada dan tumbuh di dunia. Pluralisme Islam disandarkan kepada ajaran al-Qur’an dan pengalaman historis di jaman Nabi. Prinsip-Prinsip Pluralisme Islam Adnan Aslan dalam karyanya yang berjudul “Religious Pluralism in Christian dan Islamic Philosophy; The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr” menjelaskan beberapa prinsip bagi konsep pluralisme Islam. Pertama, universalitas dan keragaman wahyu Tuhan kepada manusia ditegaskan Islam secara eksplisit mendukung universalitas wahyu Tuhan, yang memainkan peran penting dalam pemahaman Islam akan agama lain. Tuhan dalam al-Qur’an bukan hanya Tuhan kaum muslimin, tetapi Tuhan sekalian alam. Tuhan semua manusia tidak akan membiarkan bangsa manapun dalam kegelapan, sebaliknya Dia menerangi mereka dengan mengutus para rasul (QS 10:47, QS 16:36, QS 35:24). Meskipun demikian, Tuhan tidak menyebutkan secara keseluruhan para nabi dan rasul itu dalam al-Qur’an (QS 40:78). Semua rasul itu berbicara tentang realitas yang sama dan menunjukkan kebenaran yang sama, pesan yang mereka sampaikan tidaklah identik dalam bentuk teologisnya. Hal ini terjadi karena ajaran tersebut disampaikan dengan menggunakan “bahasa” kaum tersebut. Maksudnya, ajaran tersebut telah “dilokalkan” sedemikian rupa sehingga selaras dan bisa diterima oleh budaya yang menjadi tujuannya. Seorang rasul tentu harus dapat berbicara dalam konteks kultural umat yang diberi pesan tersebut. Kedua, keragaman ras, warna kulit, komunitas dan agama dipandang sebagai tanda rahmat dan keagungan Tuhan yang ditunjukkan melalui makhluk-Nya. Dengan demikian, kemajemukan adalah sesuatu yang bersifal alamiah. Kemajemukan juga menegaskan kondisi manusia yang terbatas. Pengakuan akan kemajemukan merupakan bentuk pengakuan pada keterbatasan manusia, sebaliknya menapikan kemajemukan merupakan sikap yang mengingkari sunnatullah. Ketiga, setiap agama yang diwahyukan dapat disebut Islam, jika dipandang sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan” (makna harfiah Islam). Al-Quran sendiri mengemukakan gagasan ini dengan menyatakan bahwa Islam bukanlah sekedar sebuah nama yang diberikan kepada suatu sistem keyakinan atau agama, tetapi juga nama tindakan pasrah kepada kehendak Tuhan (QS 3:67, QS 2:128). Keempat, Islam mengajarkan bahwa menganut Islam harus didasarkan pada ketulusan, bukan paksaan (QS 2:256, QS 18:20, QS 10: 99). Apabila Islam disampaikan dengan kekerasan, jelas sangat bertentangan dengan pengertian Islam itu sendiri. Kelima, pengertian Islam yang berarti sikap pasrah kepada kebenaran, menyebabkan tafsir atas ayat yang menyatakan bahwa agama yang diridlai oleh Allah adalah Islam harus dipahami bukan dalam pengertian Islam sebagai kelompok agama, tetapi sebagai ajaran yang ada semenjak Adam hingga Muhammad yang menjadi penyempurna risalah Tuhan kepada manusia. Keenam, apabila kebenaran dan kebaikan hanyalah milik kaum muslimin dalam pengertian ekslusiv, maka bagaimana menghukumi kebaikan yang dilakukan oleh non-muslim. Pada problem “kebaikan sosial” inilah, teologi ekslusiv mengalami keterbatasan ketika harus menjelaskan mengenai kebaikan yang dilakukan oleh non-muslim yang mungkin dirasakan juga oleh kita sebagai muslim. Padahal dengan jelas Allah dalam al-Qur’an menyatakan bahwa setiap kebaikan sebesar atompun akan memperoleh balasan (QS 99:7-8). Apakah kebaikan yang dilakukan oleh non-muslim bukan merupakan kebaikan? Kebenaran yang sesungguhnya adalah Tuhan itu sendiri, sehingga tidak ada keraguan bagi kebenaran Tuhan. Klaim kebenaran mutlak merupakan bentuk pengingkaran atas mutlaknya kebenaran Tuhan. Manusia dengan segala keterbatasannya hanya memiliki secuil kebenaran dan diwajibkan untuk berusaha mendekati sumber kebenaran itu sendiri. Bagi kaum muslimin yang kesehariannya hidup bersama non-muslim dan merasakan kebaikan dari mereka, bukankah akan melahirkan problem teologis. Hal ini sangat dirasakan oleh Farid Esack yang kemudian menulis “Qur’an, Liberation and Pluralism. An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression”. Bagi Esack, identifikasi kafir bagi non-muslim menjadi kabur, ketika ia bersama non-muslim di Afrika berjuang melawan politik apharteid. Apakah mereka layak disebut kafir hanya karena berbeda agama, sementara banyak kaum muslimin yang saat itu menjadi penjilat dan berpihak kepada pemerintah apharteid. Sementara itu, pengertian teologis tentang iman, kafir dan yang lainnya kita peroleh dari pemikiran kalam klasik yang juga tumbuh dalam pergolakan politik umat Islam saat itu. Sifat dari suatu kebaikan dan kebenaran adalah universal. Kebaikan dan kebenaran hanya dapat dirasakan oleh nurani. Kebenaran dan kebaikan tidak mengenal primordialitas agama atau ras. Ketujuh, berkaitan dengan problem keselamatan. Dalam hemat penulis, konsep keselamatan merupakan konsep teologis yang seharusnya diyakini secara dualistis. Sebagai seorang muslim, kita wajib meyakini sedalam-dalamnya, bahwa Islam adalah agama yang menyelamatkan. Disisi lain, persoalan keselamatan di dalam agama lain adalah urusan Tuhan. Manusia tidak memiliki pengetahuan apakah mereka yang berbeda agama akan memperoleh keselamatan. Bahwa kita meyakini hanya agama kitalah yang akan memberikan keselamatan, memang demikianlah seharusnya keimanan kita. Sementara itu, persoalan keselamatan pemeluk agama lain sebaiknya “ditunda” dan diserahkan kepada Tuhan. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan bagi seluruh agama, rasa dan golongan umat manusia yang ada dimuka bumi ini semenjak Adam hingga kiamat. Salah satu sifat khas al-Qur’an adalah menghindari membuat penilaian umum atas kelompok masyarakat tertentu. Menjadi seorang muslim bukanlah jaminan untuk memperoleh keselamatan. Di samping beriman, seorang muslim harus berbuat baik dan juga berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan kehidupan moral yang sempurna. Muhammad yang jelas-jelas telah dima’shum, secara terus menerus selalu meningkatkan nilai ibadahnya. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memuji kesalehan kaum Ahli Kitab, disisi lain, mengkritik kaum Ahli Kitab. Demikian juga hal ini diarahkan kepada kaum muslimin. Dari sini dapat dijelaskan bahwa konsep keselamatan tidak harus menjadi konsep teologis ekslusiv, karena keselamatan hanya mungkin diperoleh dengan semaksimal mungkin mempertahankan keimanan dan meningkatkan ibadah baik yang berdimensi sosial (horizontal) maupun vertikal. Beberapa Tantangan bagi Pluralisme Islam Tantangan yang bersifat internal datang dari kalangan Islam radikal. Radikalisme Islam dalam pengertian keyakinan tauhid adalah kemutlakan bagi setiap muslim. Namun, ketika jalan kekerasan yang dipergunakan sebagai ekspresi iman, hal tersebut jelas bertentangan dengan makna dari Islam itu sendiri. Islam adalah ajaran yang dalam pengamalannya menimbulkan keselamatan dan kedamaian baik bagi penganutnya maupun yang ada disekelilingnya. Islam radikal adalah salah satu gerakan dalam Islam yang sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengekspresikan keimanannya. Tantangan lain datang dari Islam politik. Hal ini terjadi karena, isu Islam sering dijadikan sebagai komoditas politik untuk menguntungkan kelompok tertentu. Friksi antar sesama umat Islam sering terjadi karena perbedaan pilihan politik. Pengalaman pada pemilihan umum beberapa waktu yang lalu sebagai contohnya. Kecenderungan sebagian umat Islam yang belum mampu mengapresiasi perbedaan diantara sesama umat Islam adalah salah satu problem yang masih tumbuh dikalangan umat Islam. Masih kurangnya upaya saling menghargai ditingkat grass root umat terhadap perbedaan pandangan keagamaan merupakan problem mendasar dalam hubungan antar umat seagama. Selain itu, tantangan yang dihadapi oleh pluralisme agama adalah sejarah panjang saling tidak percaya antara Islam dan Kristen. Isu keagamaan yang sangat mengganggu antara umat Islam dengan umat Kristiani adalah isu kristenisasi. Sebalik umat Kristiani tetap hidup dalam baying-bayang isu Islamisasi. Sebagai agama yang sama-sama memiliki klaim universalitas ajaran, memang sangat tidak bisa dihindari ketidakpercayaan satu sama lainnya. Kecurigaan akan Islamisasi dan Kristenisasi seakan tidak akan terselesaikan sampai kapanpun. Berbagai bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh negara adi kuasa atas umat Islam dan perlakuan Israel atas Palestina diyakini sebagai
akar
tumbuhnya radikalisme agama. Salah satu faktor tumbuhnya radikalisme agama adalah ketidakadilan. Selama ketidakadilan masih ada, maka radikalisme agamapun akan tumbuh. Penutup Pluralisme Islam, demikian penulis menyebutnya, harus dipandang sebagai pandangan teologis yang berusaha untuk
menegaskan keimanan
yang dimiliki dan menghargai keyakinan teologis yang lain ditengah keragaman keyakinan teologis yang ada. Berbagai tantangan yang ada seyogyanya tidak menjadi penghalang bagi pengembangan konsep pluralisme dikalangan umat Islam. Berbagai tantangan tersebut harus diminimalisir dengan terus meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah dikalangan umat Islam. Umat Islam sesuai dengan sifatnya, harus mampu menjadi
rahmat
bagi seluruh alam. Wallahu’alam IU RUSLIANA, Dosen Fakultas Filsafat dan Teologi UIN SGD Bandung dan Warga Sunan Gunung Djati (Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019