kita semua SETARA, para imigran

TEMPO.COJakarta - Studi genetika para peneliti di Lembaga Eijkman bersama sejumlah lembaga internasional menunjukkan semua etnis Indonesia adalah keturunan para imigran. Mereka diperkirakan masuk Asia Tenggara, termasuk kepulauan Indonesia, pada 60-50 ribu tahun lalu.

Untuk melacak jalur migrasi nenek moyang orang Indonesia, para peneliti awalnya menggunakan metode riset genetika DNA dalam mitokondria (mDNA). Mitokondria adalah struktur unik di dalam sel yang berfungsi seperti sumber energi atau baterai bagi sel untuk beraktivitas. Dari mDNA juga didapat sejarah penyakit bawaan dalam suatu populasi.

Mitokondria dan 37 gen di dalamnya hanya diwariskan dari garis perempuan. Hal ini terjadi karena saat pembuahan mitokondria laki-laki yang ada di ekor sperma terlepas dan tak ikut masuk sitoplasma, lapisan cairan pembungkus sel telur yang di dalamnya mengandung mitokondria.

Baca: Penelitian Eijkman Ungkap Penghuni Paling Awal di Nusantara

Jejak dalam mDNA inilah yang ditelusuri ke belakang untuk melacak garis keturunan nenek moyang lewat jalur perempuan. Setiap mitokondria memiliki sekitar 1.100 ciri yang bisa menjadi penanda asal manusia. Hasil analisis motif di dalam mDNA menunjukkan spesies manusia modern pertama berasal dari kawasan Sub-Sahara Afrika.

Riset kromosom Y, bagian gen yang diturunkan dari garis laki-laki, juga menunjukkan hal serupa. Kemunculan nenek moyang manusia modern diperkirakan terjadi pada 200 ribu tahun silam. “Berdasarkan genetika, manusia modern pertama itu dari Afrika,” ujar Herawati Sudoyo, Deputi Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. “Mereka kemudian bermigrasi menyebar ke seluruh dunia.”

Penyelidikan asal usul individu juga dilakukan lewat pemeriksaan autosom. Ini adalah bagian yang merupakan gabungan kromosom ayah dan ibu. Masing-masing ayah dan ibu juga memiliki separuh kromosom dari orang tua mereka. Jika dirunut lagi ke belakang, akan ketahuan siapa leluhur mereka.

Baca: Siapa Lebih Pribumi di Indonesia: Cina, India atau Arab?

Berikut ini gelombang migrasi manusia modern ke Indonesia.

1. Gelombang migrasi 50-45 ribu tahun silam. 
Manusia modern masuk Indonesia lewat jalur darat selatan Asia. Kepulauan bagian barat Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, menyatu dengan daratan Asia (Paparan Sunda), karena muka air laut rendah. Bali dan Lombok sudah dipisah selat dalam.

2. Gelombang migrasi 35-16 ribu tahun silam. 
Manusia dari daratan Asia, terutama kawasan Indocina, masuk Indonesia lewat darat. Paparan Sunda masih ada, tapi muka air laut perlahan naik. Muka daratan Asia Tenggara saat ini sudah terbentuk sejak 8.000 tahun lalu.

3. Gelombang migrasi 5.000-4.000 tahun silam.
Kelompok dalam rumpun bahasa Austronesia dari kawasan Cina selatan dan Taiwan menyebar, baik ke Indonesia barat maupun timur.

4. Gelombang migrasi 2.000 tahun lalu. 
Mulai abad ketiga hingga ke-13, kelompok proasiatik, India, Cina, dan Arab masuk Indonesia. Ada persebaran budaya Hindu, Buddha, kemudian Islam.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA


Jakarta detik - Dari mana asal usul orang Indonesia? Pertanyaan sederhana itu memantik Prof Herawati Sudoyo, PhD menelisik asal-usul orang Indonesia secara genetik.

Sudah 1,5 dekade terakhir, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman meneliti hal itu. Secara genetik, asal usul orang Indonesia itu beragam. 

Prof Herawati Sudoyo, PhD, periset Eijkman yang juga Wakil Kepala LBM Eijkman bidang Riset Fundamental memaparkan sekilas tentang riset ini.

(Baca juga: Herawati Sudoyo, Menguak Jasad Teroris hingga Nenek Moyang Orang Madagaskar)

Dalam dalam seminar bertajuk "Collaborative Research in Population Study: A Story of Human Dispersal in Indonesia" di Ruang Auditorium Sitoplasma Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jl Diponegoro No. 69, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2016), Herawati memaparkan risetnya dalam presentasi berjudul "The Peopling of Indonesian Archipelago: Unity in Diversity". 

Dalam presentasi itu, Herawati memaparkan tujuan risetnya yang bisa menentukan sejarah pendudukan 13 pulau besar di Indonesia meliputi waktu kedatangan, pola migrasi hingga relasi kawin mawin dengan menganalisa data genetik DNA serta membandingkannya dengan data non-genetik seperti linguistik, etnografi, arkeologi dan sejarah. 

Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature. 

Herawati dalam presentasinya menunjukkan secara riset genetik, termasuk kolaborasi dengan peneliti di dunia, asal-usul manusia di Bumi diketahui berasal dari Afrika, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui daratan China hingga menuju Australia. 

Herawati Sudoyo: Secara Genetik, Asal Usul Orang Indonesia Itu BeragamFoto: Dok. Istimewa

"Pertanyaannya, siapa sih yang bilang 'Oh oke, saya ini orang Indonesia asli lo'. Siapa? Yang mana yang namanya orang Indonesia asli? Itu penelitian sudah di 80 komunitas di Indonesia dengan pendekatan 3 tadi, kelihatan sekali pada dasarnya kita itu latar belakang genetiknya itu campuran," kata Herawati. 

Dalam risetnya, Herawati menemukan bahwa orang di timur Indonesia lebih dekat dengan orang-orang di kawasan Samudera Pasifik, sedangkan di barat Indonesia, lebih dekat ke kawasan Asia Tenggara dan orang Nias dan Mentawai lebih dekat dengan suku asli Taiwan. 

"Campuran itu sifatnya gradien. Jadi dia tidak rata semua di seluruh negeri ini. Tapi dari barat ke timur ada penurunan, jadi paling tinggi itu Austroasiatik, itu asalnya dari China daratan, dia turun pada waktu masih ada Paparan Sunda, jadi Sumatera, Jawa, Kalimantan dengan Semenanjung Malaya masih jadi satu. Orang-orang itu turun masuk ke Nusantara, membawa genetiknya, kawin mengawin, dengan sendirinya kita memiliki (genetikanya) kan," imbuhnya.

Berikut wawancara dengan Prof Herawati Sudoyo dalam forum seminar dan wawancara dengan detikcom di sela-sela seminar pada Senin (14/11/2016) di LBM Eijkman:

Mengapa Ibu tertarik meneliti asal usul orang Indonesia secara genetika?

Saya mengambil PhD dan saya bekerja dengan salah satu marka populasi yakni DNA mitokondria, tentu lebih ke arah kedokteran. Tujuannya untuk mempelajari struktur populasi di Indonesia. Dan saat itu tidak ada riset tentang populasi di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika itu secara konsep tentu bisa dikeluarkan karena riset ini terkait dengan etnisitas di Indonesia. 

Secara kedokteran, riset ini bisa mempelajari penyakit darah seperti thalassemia. Misal seorang penderita thalassemia setelah periksa ke luar negeri, diagnosanya negatif. Ternyata penyakit ini merupakan kelainan pada DNA dan beberapa terkait dengan etnis. Berkait dengan etnis tadi, diagnosa tidak perlu berputar-putar melainkan spesifik. Sekarang pasien thalassemia tidak perlu diperiksa jauh-jauh dan banyak-banyak. Kita tinggal tanya "Asalmu dari mana?". Misal orangtuanya keturunan Bugis dan Minang, bisa dilakukan tes spesifik yang berkaitan dengan gen Bugis dan Minang. 

Bisa diceritakan presentasi riset Ibu berjudul "The Peopling of Indonesian Archipelago: Unity in Diversity" tentang apa?

Sebenarnya saya ambil topik Peopling of Indonesia Archipelago ini bahwa kita mempelajari manusia-manusia semuanya di Indonesia dengan penekanan pada unity in diversity, bahwa kita itu beragam.

Pada prinsipnya bahwa secara genetik dari berbagai pendekatan yang sudah dilakukan, memang kita itu memiliki latar belakang yang bermacam-macam di satu individu.

Jadi di situ tadi saya mengemukakan apa sih yang mau dicapai dari studi seperti ini. Studi ini akan melihat bagaimana struktur dalam populasi.

Struktur populasi itu apakah memang benar, misalnya di satu daerah, misalnya di Jawa saja, itu sama nggak sih dengan di Sumatera, sama nggak sih dengan di Kalimantan? Lebih kecil lagi misalnya, di desa ini sama nggak dengan di desa lainnya?

Jadi kami nggak hanya lihat, dari satu gambaran besar luas, misalnya orang Jawa di Jakarta. Kita benar-benar melihat bagaimana keadaan mereka di tempatnya, kalau bisa. Jadi originnya. 

Dari riset tersebut apa yang bisa kita lihat?

Kita menggunakan berbagai macam marka populasi. Diturunkan dari ibu itu namanya DNA mitokondria, diturunkan dari ayah itu namanya kromosom Y. Tapi sekarang ada yang diturunkan dari keduanya, kalau diturunkan dari ayah dan ibu itu autosomal DNA namanya, itu akan bisa melihat campuran. Karena bapak kita itu asalnya dari 2, ibu juga, demikian seterusnya. 

Herawati Sudoyo: Secara Genetik, Asal Usul Orang Indonesia Itu Beragam


👪
Jakarta Post: A few days ago in this newspaper Sylvie Tanaga wrote an article titled “Chinese-Indonesians caught up in the storm of identity politics,” which raised many questions. It certainly captured the mixed feelings of hope and fear Chinese-Indonesians in Indonesia have had since the 1998 reform era in light of recent events.
I do, however, differ strongly from the author’s assertion that “Chinese-Indonesians continue to be perceived as a common enemy, if not a threat, to the status quo.” It is certainly a feeling perceived by many Chinese-Indonesians, especially those aware of the long history of anti-Chinese sentiments and riots.
This “fear” and perception, though, is very counterproductive, and is quite far from the truth. It is open to debate but the following are arguments why I think it is inaccurate and unwise for those of Chinese descent in Indonesia to take on this view.
First of all, racism in Indonesia is very different from that of, for example, the United States. Racism has seemed to run deeper in a genuine bottom-up feeling in the US during its various stages of history. As Africans were “imported” as slaves into the continent, they were perceived to be lower human beings.
In Indonesia it is quite different. In its initial history the migration of the ethnic Chinese as well as Islam into the archipelago was marked by trade and generally a sense of a common need to survive. Historical archives and anecdotes attest to this sense of embeddedness of the Chinese among various “indigenous” groups throughout the archipelago. One particularly strong anecdotal example is the Peranakan culture: an indigenized Chinese culture mainly in Java.
Second, in my study of the ethnic Chinese identity and various political turmoils in three main periods — colonial and pre-independence, and the Sukarno and Soeharto eras — there had never been a clear variable that explained the source of so-called resentment against the Chinese and subsequent violence. There was never a genuine bottom-up resentment based on either cultural, religious or even economic differences.
The explanatory causes or catalysts had always shifted.
And here is the key: such sentiments have always been engineered by the political-economic leviathan — the regional or national political or economic ruler. In each successive era it was very clear that the anti-Chinese narrative had always been framed by the rulers. The ethnic Chinese had always been used as a buffer between the ruling elites and the greater population.
The point here is that until 1998, which resulted in the May riots — which targeted a lot of ethnic Chinese communities —such resentment had always been mobilized and engineered by the respective “rulers.”
For contemporary Indonesia, the national leviathan is a solid democratic government under President Joko “Jokowi” Widodo. The military, despite some wishywashiness, is still committed to security and stability of the nation. The police force is loyal to the President.
Hence, based on historical studies and the current political constellation, a widespread riot against the ethnic Chinese is nearly impossible. Is there genuine resentment against the ethnic Chinese by others in the population?
Yes, there is some. Some of the Chinese are indeed exclusive, rich and snobbish. But on the broader scale, Indonesians do not harbor massive resentment against the Chinese. Especially those who interact cross-cuttingly in places like Jakarta. Ethnic stereotypes of snobbishness are immediately broken down when interactions between ethnic Chinese and nonChinese become more intensive. This is not just wishful thinking on my part. The writer Sylvie correctly pointed to an SMRC survey, which shows that only a miniscule 0.8 percent of respondents from a national sample hated the ethnic Chinese.
So why is this leeriness and wariness by ethnic Chinese-Indonesians toward the political scene considered problematic? Because such an attitude would retract the social-political participation of the ethnic Chinese in civic spaces. The only ethnic Chinese left in the political scene are then the politicians and other players who often have opportunistic motives. This will reinforce the perception of the ethnic Chinese being disloyal to the nation, and being exclusive and opportunistic. Not all ethnic Chinese in practical politics are opportunistic. But the dangers are greater there.
The ethnic Chinese population at large should instead engage in civic participation without fear. Do not join out of ethnic interests. Do not vote for incumbent Jakarta Governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama simply because he is Chinese. Do not support him without reservation. He has his shortcomings. Criticize his past track record. Elect some other candidate if one can rationally think that they are better than Ahok for this upcoming election.
The ethnic Chinese population needs to participate in civil political issues with an optimistic level-headedness without euphoria (as in 1998) or returning fears (as in the past few months). Participate, vote without fear, debate and discuss regardless of the political choice. Give opinions on social and political issues that are not based on narrow group interests.
Such participation will show that the Chinese have a sense of belonging and also look toward the greater interest of Indonesia.

Jakarta detik - Pidato Gubernur DKI Anies Baswedan soal pribumi menjadi polemik. Politikus PKB yang datang dari etnis Tionghoa, Daniel Johan, angkat bicara soal itu.

"Pak Anies memang sudah mengklarifikasi bahwa (pidato) itu hanya untuk menjelaskan zaman kolonial dan tidak ada maksud yang lain. Tidak ada lagi istilah 'pribumi' dan 'nonpribumi', yang ada hanya WNI dan WNA," ujar Daniel dalam keterangannya, Rabu (18/10/2017).

Menurut Daniel, semua WNI yang lahir di Indonesia adalah pribumi. Dia mengaku heran bila masalah pribumi kembali digaungkan.



"Semua WNI yang lahir di Indonesia adalah pribumi, mau rambutnya lurus atau keriting, mau matanya sipit atau belo, mau kulitnya hitam-putih-cokelat-kuning, semuanya adalah pribumi bagian dari keragaman Indonesia yang begitu kaya dan menjadi kekuatan Indonesia yang dahsyat di mata dunia," tutur Wasekjen PKB ini. 

"Makanya saya heran, kenapa kita jadi mundur jauh ke belakang, sejak Gus Dur, Megawati, dan SBY sudah mewarisi kemajuan yang besar dalam kehidupan kebangsaan kita, degan melahirkan UU yang membuat keragaman dan persatuan menjadi kekuatan Indonesia," sambung Daniel.

Jokowi, menurutnya, juga sangat tegas soal masalah keberagaman Indonesia itu. Daniel mengatakan hal tersebut tercantum dalam Nawacita.

"Tapi kok justru muncul saat Presiden Jokowi saat ini, ini tantangan dan ujian besar bagi pemerintahan," kata dia.




Daniel mengingatkan Indonesia telah memiliki UU Kewarganegaraan yang telah mengatur pengertian soal orang Indonesia asli. Dalam UU No 12 Tahun 2006 itu, tidak disebutkan bahwa orang Indonesia asli berarti pribumi.

"Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang disebut orang Indonesia asli ialah yang lahir di Indonesia dan tidak menerima kewarganegaraan negara lain. Jika mengartikan orang Indonesia asli ialah orang yang bukan keturunan dari bangsa lain, hal itu tentu sulit. Sebab, nenek moyang orang Indonesia sendiri tidak berasal dari dataran Indonesia, melainkan dari Indocina Yunan," papar Daniel.

Bila definisi soal orang Indonesia asli seperti itu, menurut dia, berarti tidak ada orang Indonesia yang benar-benar asli. Sebab, nenek moyang Indonesia, dikatakan Daniel, bukan dari dataran Indonesia.


"Yang benar asli itu Homo wajakensis, yang fosilnya ditemukan di Tulungagung pada 1889, dan Homo soloensis,yang fosilnya ditemukan di Bengawan Solo pada 1931, yang hidup 40.000 tahun silam," ucap Wakil Ketua Komisi IV DPR itu.

"Musuh kita adalah kemiskinan dan kesenjangan sosial, mari kita satukan kekuatan seluruh anak bangsa yang beraneka ragam ini untuk mengatasinya," tambah Daniel.

Dia juga berbicara soal konteks kebangsaan. NU, disebut Daniel, merupakan salah satu bagian terpenting dalam hal ini.

"Kita bersyukur Indonesia memiliki NU, yang menjadi orang tua dan juga perekat sosial di tengah kemajemukan, yang pertama kali menerima Pancasila sebagai ideologi negara, warisan tersebut harus terus kita jaga," sebut Daniel.


Sebelumnya, Anies menyinggung soal pribumi saat berpidato di hadapan warga yang hadir dalam acara Selamatan Jakarta, setelah dirinya dilantik dan melakukan sertijab di Balai Kota DKI, Senin (16/10) malam. Anies awalnya berbicara soal praktik kolonial masa lalu, termasuk di Jakarta.

"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura: itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelur, ayam yang mengerami," ungkap Anies. 
(elz/tor)

🍒

Jakarta detik - Anies Baswedan resmi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022. Salah satu pernyataan yang dilontar dalam pidatonya –dan menjadi viral di media sosial– adalah: "dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri." Pertanyaan yang patut dilontar balik untuk sang gubernur terpilih adalah, siapa yang ia maksud dengan "pribumi" itu? Apa makna di balik kata itu? Dan, siapa dan apa konteks "tuan rumah" yang ia maksudkan? 

Makna "dulu" atas nama "kita semua pribumi" yang ia maksudkan sendiri merujuk ke konteks sejarah Indonesia masa kolonial. Artinya, konteks "pribumi"-nya sang gubernur terpilih mesti didudukkan dalam diskursus sejarah kolonial dan poskolonial untuk membedah makna terdalam di balik kata yang sensitif digunakan dalam memori sejarah bangsa Indonesia (kecuali bagi mereka yang amnesia sejarah). 

Mengapa sensitif? Sebelum menyelami konteks sejarahnya, setidaknya kita bisa merefleksikan penggunaan kata "pribumi" dalam masa kekinian terkait kasus tuduhan "penistaan agama" yang dialamatkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada masa pelaksanaan kampanye calon gubernur DKI Jakarta. Kata "pribumi" kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai oposisi biner terhadap kata "non-pribumi" yang maksudnya merujuk pada masyarakat berdarah keturunan Tionghoa. 

Itulah mengapa, pasca lengsernya Soeharto pada Reformasi 1998, Presiden B.J. Habibie segera mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Inpres itu diterbitkan, mengingat kata "pribumi" dan "non-pribumi" telah memakan banyak korban jiwa pada masa menjelang Reformasi 1998. Dalam hal ini jelas, penekanan kata "pribumi" dalam pidato gubernur baru DKI Jakarta merupakan ahistorisitas atau contradictio in terminisatas Inpres 1998. 

Selain itu, kata "pribumi" pun belakangan waktu kerap disematkan dalam atribut kelompok agama tertentu, seperti belum lama ini tersirat dari teks spanduk: "Kebangkitan Pribumi Muslim" yang dibentangkan para pendukung gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih. Teks ini menjadi konyol, karena kata "pribumi muslim" memiliki ragam oposisi biner, misalnya saja: non-pribumi muslim, arab muslim, india muslim, dan cina muslim. Lalu apa definisi dan batasan "pribumi" itu sendiri? Apakah mereka muslim yang, misalnya, berdarah Jawa, Sunda, Melayu, Makassar, atau Ambon? Bagaimana dengan gubernur terpilih sendiri yang merupakan seorang muslim berdarah Arab (yang seharusnya tidak masuk dalam kategori muslim pribumi, mengingat ia memiliki gen asing alias non-pribumi). 

Sekalipun diselimuti kekonyolan, justru rendahnya nalar dalam memahami makna "pribumi" dapat berpotensi mengarah pada kebencian terhadap suku, agama dan ras tertentu. Bahkan ironisnya, ada oknum-oknum orang tua, orang dewasa, dan guru yang menanamkan benih-benih rasisme dan puritanisme (ras dan agama) kepada anak-anak. Mereka yang mengklaim diri sebagai "pribumi" kebanyakan tidak menyadari, tidak ada yang benar-benar murni dalam kehidupan ciptaan Sang Khalik; terlebih lagi hidup menjadi bagian dari Indonesia, negara-bangsa dengan keragaman budayanya. Mereka yang memurnikan diri sebagai "pribumi" pun tidak menyadari bahwa pemurnian diri tak jauh beda dengan fasisme, dan dalam konteks Indonesia lebih buruk dari kehidupan masa kolonial. Mengapa? 

Gagal Paham Sejarah

Setidaknya, ada tiga alasan yang menunjukkan gagal pahamnya sang gubernur terpilih dalam memahami makna "pribumi". Pertama, gagal paham terhadap sejarah Indonesia sendiri. Penamaan pribumi sebenarnya sinonim dengan 'inlander', kata yang pernah dipakai pada masa kolonial Hindia Belanda. Sejak penerapan Regelings Reglement (peraturan pemerintah) tahun 1854, pemerintah Hindia Belanda membagi kelas sosial ke dalam tiga golongan, yakni orang-orang Eropa (Europeanen), orang-orang Timur Asing (Vreemde oosterlingen yang mencakup Arab, Tionghoa, dan India), serta Pribumi (Inlanders).

Meski penggolongan kelas sosial ini mengalami beberapa kali perubahan kebijakan hingga awal abad ke-20, namun pada dasarnya pemerintah kolonial cenderung melakukan diskriminasi terhadap kaum Inlander. Kata 'Inlander' bahkan acap dikonotasikan rendah dalam hidup keseharian masyarakat. Misalnya di ruang-ruang publik khusus untuk orang-orang Eropa, tertulis pengumuman: "Verboden voor honden en Inlander" (terlarang untuk anjing dan Pribumi). Jelas, menyamakan pribumi dengan anjing adalah hal sangat menghina. Itulah mengapa sejak awal masa pergerakan nasional pada awal abad ke-20, kaum nasionalis Indonesia mulai menolak untuk menggunakan kata Inlander. Organisasi-organisasi masa pergerakan nasional hingga kemerdekaan pun secara sadar mulai mengubah citra rendah kata Inlanderdengan nama "Indonesia", mulai dari Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Partai Sarekat Islam, hingga Majelis Syuro Muslimin Indonesia. 

Ingkar Kebangsaan

Kedua, gagal paham menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia artinya berikrar untuk meleburkan segala perbedaan (suku, agama, dan ras) sebagai hasrat hidup bersama selaku sebuah bangsa. Sejak sebelum Kemerdekaan pun komitmen itu sudah diikrarkan pada 1928 dalam Kongres Pemuda, dan lebih ditegaskan setelah Indonesia merdeka melalui semboyan kebangsaan "Bhinneka Tunggal Ika". Bung Hatta sudah pernah menyiratkan bahwa yang diperlukan dari kemajemukan Indonesia adalah persatuan yang tulus. Ketidaktulusan untuk bersatu karena terjebak pada fanatisme sempit (kesukuan, beragama, dan ras) akan sukar untuk membuahkan persatuan; yang dikhawatirkan terjadi malahan "persatean". 

Adalah hal yang ideal mengidentikkan Indonesia dengan segala keragaman identitasnya. Namun keidealan itu berpotensi runtuh jika mereka dengan latar belakang identitas suku, agama, dan rasnya menjumawakan ego identitasnya seraya meliyankan mereka yang berasal dari luar kelompoknya. Mereka lupa dengan akar sejarah dan budaya ke-Indonesia-annya. Padahal Bung Karno sudah jauh-jauh hari mengingatkan: "kalau jadi Hindu jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini." 

Pernyataan Bung Karno itu secara implisit adalah ikrar untuk hidup menjadi bagian dari Indonesia. Dan, mengingkarinya berarti ingkar terhadap esensi hidup berbangsa itu sendiri. 

Keberagaman adalah Fitrah

Terakhir, gagal paham terhadap ajaran agamanya sendiri. Mengingkari keberagaman apalagi menista ras ciptaan Allah, sama artinya mengingkari firman Allah sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surah Al-Hujuraat ayat ke-13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal."

Qasim Rashid dalam artikelnya Anyone Who Says the Quran Advocates Terrorism Obviously Hasn't Read Its Lessons on Violence di independent.co.uk (10/4) menyatakan sebab seorang muslim terjerumus dalam kekerasan yang mengatasnamakan agama. Menurutnya, itu terjadi karena kini banyak orang belajar Islam hanya dari kabar-kabur yang beredar di media sosial daripada dari Al-Qur'an dan riwayat hidup Rasulnya. Anjur Rashid: "read the Qur'an, a biography of Muhammad, seek out the True Islam education campaign". Pemikiran Rashid menyadarkan kita bahwa kekerasan atas nama agama tidak terlepas dari gagal pahamnya individu terhadap nilai-nilai toleransi, kasih sayang, serta welas asih Tuhan dan Rasul-Nya. 

Disadari atau tidak, penekanan kata "pribumi" dalam pidato sang gubernur terpilih adalah pengingkaran terhadap makna ke-Indonesia-an. Dus, sebelum puritanisme "à la Pribumi" itu tumbuh subur, untuk memutus akarnya, maka belum ada kata terlambat bagi kita untuk menanamkan pemahaman pengetahuan sejarah, budaya, civic, dan agama yang bersendikan pada nilai-nilai ke-bhinekaan-an Indonesia bagi masyarakat. Tidak perlu lagi ada dikotomi pribumi dan non-pribumi, karena siapapun yang berstatus sebagai warga negara Indonesia, apapun sukunya, agamanya, dan rasnya adalah orang Indonesia! 

Fadly Rahman sejarawan Universitas Padjadjaran


(mmu/mmu)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019