die hard CORRUPTORS (2)





JAKARTA poskota– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membantah pernyataan Menpora Imam Nahrawi yang mengaku tidak pernah menerima surat panggilan untuk diperiksa. Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, mengatakan surat panggilan sudah dilayangkan beberapa minggu sebelumnya.
“Saya juga ingin mengklarifikasi dari pernyataan Menpora bahwa dia baru mengetahui kemarin. Saya pikir itu salah karena kami sudah kirimkan kan kalau kami menetapkan status tersangka seseorang itu ada kewajiban dari KPK untuk menyampaikan surat kepada beliau dan beliau sudah menerimanya beberapa minggu lalu,” ujarnya di Gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (19/9/2019).
Terkait dengan pemanggilan ulang Imam usai penetapan tersangka, Laode mengaku belum mengetahui. Dia menegaskan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu sudah berulang kali dipanggil.
“Saya kurang tahu tetapi kemarin sudah, saya yakin penyidik sudah memanggilnya lagi karena beliau sudah dipanggil beberapa kali ya tidak datang,” imbuhnya.

Lebih lanjut Laode juga membantah status tersangka Imam beraroma politis. “Itu tidak ada motif politik sama sekali kalau mau motif politik mungkin diumumkan sejak ribut-ribut kemarin, enggak ada,” tegas dia. (ikbal/ys)
🐍

Merdeka.com - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) resmi memberhentikan Romahurmuziy alias Rommy sebagai Ketua umum PPP. Keputusan itu berdasarkan hasil rapat harian petinggi PPP yang digelar sore tadi.
"Ada tiga yang jadi keputusan rapat tadi. Pertama pemberhentian terhadap Ir. H Romahurmuziy, berdasarkan anggaran dasar rumah tangga karena beliau terkena kasus memberhentikan sebagai ketua umum," kata Waketum PPP Amir Uskara saat jumpa pers di DPP PPP, Jakarta, Sabtu (16/3).
PPP menetapkan Ketua Majelis Pertimbangan Suharso Monoarfa sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketua Umum PPP menggantikan Rommy. Selanjutnya PPP akan melakukan musyawarah kerja nasional dalam waktu dekat.
"Kita juga menyepakati pengurus harian bersama pengurus yang hadir untuk mengangkat Bapak Suharso Monoarfa sebagai Plt ketua umum yang akan dikukuhkan dalam mukernas pada saatnya nanti," terangnya.
Selanjutnya, partai berlambang ka'bah tersebut bakal melakukan rapat kerja nasional.
"Ketiga disepakati juga bahwa Insya Allah akan dilaksanakan rakernas berdasarkan hasil keputusan rapat yang terakhir," tandasnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Rommy tersangka kasus suap lelang jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Selain Rommy, KPK juga menetapkan tersangka tiga orang lainnya. [ray]
🐙
Kabar24.com, JAKARTA - Pengamat hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menilai Mahkamah Agung gagal besar dalam membina hakim dan aparatur peradilan secara baik dan benar.
KPK baru menangkap Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara, Sudirwardono, karena diduga menerima suap penanganan perkara mantan Bupati Bolaang Mongondow yang juga anggota DPRD Sulawesi Utara, Marlina Mona Siahaan, sehingga dia bebas.
"Semakin tingginya angka aparatur peradilan yang tertangkap dengan segala modus operandinya dari OTT maupun menjual praktik perdagangan kewenangan (putusan), menunjukkan bahwa MA gagal besar karena tidak berhasil melakukan pembinaan hakim dan aparatur peradilan secara baik dan benar," kata Syahputra, di Jakarta, Minggu (8/10/2017).
Dikatakan, sepanjang 2016 saja ada 28 aparatur peradilan yang tertangkap bahkan saat ini diketahui kasus hakim Bengkulu dan ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara rentang waktu tertangkapnya yang begitu dekat satu persatu hakim tertangkap tangan bahkan sampai setingkat ketua pengadilan tinggi.
Kondisi ini, kata dia, semakin menunjukkan potret buruknya peradilan khususnya perilaku hakim pada umumnya. Terkait OTT para hakim oleh KPK, ada hal yang menarik dicermati bisa jadi ini adalah "serangan" KPK kepada hakim untuk membuka ke publik tentang buruknya perilaku hakim.
"Karena penyidik sudah bersusah-payah melakukan penyelidikan, baik oleh jaksa ataupun penyidik KPK, dengan mudah dibatalkan hakim," katanya.
KPK mungkin sekaligus memberikan pesan seperti inilah wujud bobroknya sampai hakim dapat membatalkan penyidikan apa yang dibuat jaksa bahkan juga sudah berani membatalkan penyidikan KPK.
"Jika ternyata pertimbangan hukum ataupun putusan hakim tidak objektif melainkan mengubah tantangan kewenangan menjadi tentengan," katanya.
Karena itu, perlu ditelusuri bahkan putusan hakim dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat harus dilakukan eksaminasi dan KY memiliki peranan untuk hal tersebut. Kondisi darurat perilaku hakim ini harus menjadi perhatian dan momentum khususnya bagi ketua MA.
"Jika perlu presiden selaku kepala negara ambil peran segera untuk membenahi lembaga peradilan agar bersih dan berwibawa termasuk jika perlu mengganti pimpinan MA," katanya.

Sumber : Antara
👺
Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah kembali menyindir operasi tangkap tangan (OTT) KPK. KPK dinilai frustrasi lantaran melakukan OTT berulang kali.

"Kalau cara-cara OTT gini ini cara-cara yang sebenarnya menunjukkan bahwa KPK frustrasi. Masa Ketua KPK bilang 'kalau KPK mau, bisa OTT setiap hari', kalau KPK dikasih aparat lebih banyak, dia bisa OTT setiap hari? Ini kan frustrasi," ujar Fahri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (29/11/2018).

Bagi Fahri, KPK gagal jika makin sering melakukan OTT. Menurutnya, indikator keberhasilan KPK seharusnya dengan semakin langkanya perilaku korupsi di Indonesia.



"Artinya, KPK itu gagal. Harusnya kan kalau ketua KPK-nya benar, coba kalian lihat, gara-gara KPK susah kita cari orang korupsi. Alhamdulillah sukses semua udah, nggak ada lagi orang korupsi. Loh Ketua KPK malah bilang 'kalau kita mau setiap hari ada OTT'. Loh, artinya lu gagal dong Bos? Ini orang gagal minta tepuk tangan terus," tutur Fahri.

"Gila ini, otak kita ini diputernya ke arah yang salah. Iya kan? Suruh memberantas korupsi tapi bilang 'kalau KPK mau bisa setiap hari ditangkap'. Yang bener lu ngomong 'Coba lihat, korupsi udah nggak ada kan? Aman kan? Gara-gara KPK kan?' Loh kok dibalik sama dia? Ini sinting ini," lanjutnya.

Fahri memberi saran kepada calon presiden yang nantinya terpilih. Ia berpendapat perlu dimasukkan pemberantasan korupsi dalam program 100 hari pertama kerja.

"Kalau bisa capres-capres siapkan strategi dalam 100 hari pertama, bagaimana strategi pemberantasan korupsi. Seratus hari pertama waktu mereka berkuasa dan dilantik 20 Oktober tahun depan. Itu siapin," sarannya.

Fahri menambahkan usulan kepada Presiden Jokowi. Menurutnya, perlu suatu lembaga komplain yang terintegrasi dalam satu payung. 



"Kalau saya, kalau perppu mau dibuat oleh Pak Jokowi, buatlah perppu yang mengintegrasikan banyak lembaga ke dalam satu payung. Jadi KPK, Komnas HAM, Ombudsman, LPSK, Komnas Perempuan dan Anak-anak, digabung dalam satu lembaga menjadi lembaga komplain," jelas Fahri.

"Itu nanti akan menjadi raksasa yang menjadi tempat orang melaporkan malapraktik di dalam pelayanan publik, di dalam pengadaan barang, tender, dan sebagainya. Itu yang terjadi di banyak negara. Sehingga betul-betul efek dari kehadiran lembaga besar itu pada perbaikan indeks persepsi korupsi bangsa kita," imbuhnya.
🐆



Jakarta detik - Johannes Marliem yang ditemukan tewas di rumahnya di Amerika Serikat pada Agustus 2017 lalu merupakan salah satu kunci kasus e-KTP. Laporan agen FBI menyebut, Marliem pernah memberi jam tangan senilai Rp 1,8 miliar ke Setya Novanto. 

Hal itu terungkap dalam gugatan yang diajukan pemerintah federal Minesotta kepada Marliem. Penegak hukum di Minesotta ingin menyita aset Marliem sebesar USD 12 juta yang mereka yakini didapatkan melalui skandal yang melibatkan pemerintah Indonesia.

Dilansir dari wehoville.com, Rabu (4/10/2017), dalam dokumen gugatan tersebut, agen khusus FBI Jonathan Holden menyatakan Marliem mengakui memberikan sejumlah uang dan benda lain kepada pejabat di Indonesia terkait lelang e-KTP pada 2011. Keterangan itu didapatkan Holden dari pemeriksaan terhadap Marliem pada Agustus 2017.

Marliem, menurut pengakuan Agen Holden, mengungkap soal pemberian jam tangan Richard Mille kepada Novanto senilai USD 135 ribu (sekitar Rp 1,8 miliar). Jam tangan tersebut diberi Marliem di Beverly Hills. 

Hal serupa disampaikan media staronline, Rabu (4/10), berdasarkan pertanyaan yang diajukan Agen Khusus FBI Jonathan Holden pada Agustus 2017, Marliem mengaku berulang kali memberi suap ke-enam orang pejabat di Indonesia terkait pemenangan lelang proyek e-KTP. Pemberian dilakukan secara langsung maupun dengan perantara. 


Holden juga menulis soal pembelian jam Richard Mille senilai USD 135 ribu dari butik di Beverly Hills. Jam tangan diberikan kepada Ketua Parlemen Indonesia. 

Pernyataan Holden tersebut masuk dalam berkas tuntutan hukum yang diajukan pada Kamis lalu. Dalam tuntutan, dijelaskan Marliem diuntungkan langsung dari penyuapan yang dilakukannya. 

Menurut Holden, sebelum wawancara di KJRI Los Angeles itu, Marliem telah bolak balik melakukan negosiasi dengan KPK selama 18 bulan sebelum akhirnya setuju untuk diwawancara pada Maret 2017 di Singapura. Kala itu, dia membantah telah menyuap siapapun.

Marliem mengaku merekam setiap pembicaraan dengan pejabat pemerintah. Pemberian lain yang diakui Marliem yakni terkait uang USD 700 ribu ke rekening Chaeruman harahap, yang kala itu sebagai Anggota DPR. 

"Marliem memutar rekaman, antara lain, seorang pejabat pemerintah Indonesia membahas jumlah suap yang dibangun di ... harga kontrak," kata Holden. 

"Marliem juga dilaporkan menunjukkan dokumen elektronik dan foto lain yang relevan ke KPK, termasuk gambar jam tangan mewah yang dia beli, yang kemudian diberikan kepada Ketua Parlemen Indonesia (DPR) melalui seseorang yang terlibat (kasus e-KTP)," imbuhnya. 

Holden mengatakan KPK mengatakan kepada FBI bahwa perusahaan Marliem yakni PT Biomorf Lone Indonesia menerima lebih dari USD 50 juta dolar untuk pembayaran subkontrak proyek e-KTP. Di mana setidaknya USD 12 juta di antaranya ditujukan kepada Marliem. 


Dia menyimpan uang itu ke rekening bank pribadi di Indonesia dan kemudian memindahkannya ke rekening bank di Amerika Serikat. Analisis FBI terhadap catatan keuangan Marliem menemukan bahwa antara bulan Juli 2011 dan Maret 2014, sekitar USD 13 juta telah ditransfer dari pembayaran kontrak pemerintah ke rekening bank pribadi Marliem di Wells Fargo yang, sebelum itu ditransfer, memiliki saldo USD 49,62.

Masih menurut Holden, Marliem meninggalkan KJRI setelah wawancara terakhirnya pada tanggal 6 Juli. Saat itu Marliem sepakat memberikan pernyataan tertulis, bukti fisik dan elektronik kepada KPK dengan imbalan kekebalan dari tuntutan.


KPK mengharapkan Marliem kembali keesokan harinya untuk menandatangani kesepakatan kekebalan. Tapi pada hari itu Marliem mengatakan bahwa dia tidak akan melakukan hal itu. Dia mengatakan kepada KPK bahwa dia telah berbicara dengan seseorang di Indonesia pada malam sebelumnya 'yang memperingatkan dia untuk tidak memberikan informasi yang disepakati sampai dia mendapatkan jaminan lebih lanjut dari KPK'. 

Novanto yang baru saja terbebas dari status tersangka kasus e-KTP belum bisa dikonfirmasi mengenai hal ini. Pengacara Novanto Amrul Khair Rusin dan Agus Trianto telah coba dihubungi, namun belum ada respon. 
(rna/fjp)
👹
Jakarta - Ketua Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) Ahmad Doli Kurnia dan Korbid Polhukam Partai Golkar Yorrys Raweyai dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan pencemaran nama baik Ketum Golkar Setya Novanto. Doli menganggap pelaporan tersebut sebagai bagian dari perjuangan melawan korupsi.

"Pertama saya merasa laporan itu sesuatu hal yang biasa saja. Perjuangan melawan korupsi itu kan memang tidak sederhana. Apalagi ini mega korupsi skala besar. Tentu perlawanannya juga besar. Jadi ini anggap saja sebagai risiko perjuangan yang harus dihadapi," kata Doli melalui pesan singkat kepada detikcom, Selasa (3/10/2017).

Doli menegaskan, akan mengikuti prosedur yang berlaku terkait pelaporan yang ditujukan kepada dirinya. Ia mengatakan akan mempelajari terlebih dahulu laporan ke Bareskrim tersebut.

"Kedua tentu sebagai warga negara yang menghormati hukum, bila atas dasar laporan itu saya kemudian akan dimintai keterangan, pasti saya akan memenuhinya," jelasnya.

Doli mengatakan pernyataanya beberapa waktu lalu untuk meminta Setya Novanto mundur dari jabatannya dan menyoroti kejanggalan persidangan praperadilan merupakan cara untuk menyelamatkan partai Golkar. Dia meyakini apa yang dilakukannya selama ini dapat dipertanggungjawabkan.

"Ketiga, yang terang adalah bahwa selama ini apa yang saya perjuangkan bersama kawan-kawan GMPG demi dan atas kebaikan serta penyelamatan Golkar. Kami bergerak atas nama idealisme dan cita-cita luhur untuk tetap menjaga kebesaran partai, dan senantiasa berdasarkan fakta-fakta yang bisa kami pertanggung jawabkan," terangnya.

Sebelumnya Anggota Dewan Pimpinan Pusat Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) melaporkan Korbid Polhukam Golkar Yorrys Raweyai dan Ketua GMPG Ahmad Doli Kurnia ke Bareskrim Polri. Keduanya dilaporkan terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. 

Ketua Bidang Penggalangan Mahasiswa dan Pelajar AMPG, Guntur Setiawan mengatakan pelaporan ini sudah mendapatkan amanah dari Ketua DPP AMPG.

"Saya mendapatkan amanah dari ketua DPP AMPG untuk melaporkan atas perbuatan melawan hukum tindak pidana dan atas perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik sekaligus fitnah kepada Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bapak Setya Novanto," kata Guntur di lokasi, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Senin (2/10)

"Kami melaporkan Yorrys Raweyai dan Ahmad Doli Tanjung kepada Bareskrim. Dan kami meminta kepada penyidik untuk memanggil serta memeriksa atas perbuatan keduanya," sambungnya.

Laporan ini diterima dengan nomor TBL/681/X/2017/Bareskrim. Yorrys dan Doli dilaporkan atas dugaan tindak pidana fitnah dan pencemaran nama baik melalui media online seperti dalam pasal 310 dan 311 KUHP dan atau pasal 45 ayat (3) juncto pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 tentang UU ITE. 
(fdu/bag)
👷
Liputan6.com, Jakarta - Persidangan perkara praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto akhirnya berakhir. Hakim tunggal perkara praperadilan itu, Cepi Iskandar, memutuskan menerima gugatan Setya Novanto.
"Penetapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah," kata Cepi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 29 September 2017.
Dalam vonis praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), hakim tunggal Cepi Iskandar menyatakan status tersangka Novanto tidak sah. Cepi mengabulkan sebagian permohonan Setya Novanto.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap hakim Cepi membacakan amar putusan. Cepi menilai penetapan tersangka harus dilakukan pada tahap akhir penyidikan suatu perkara. Hal itu harus dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.
"Menimbang bahwa dari hal-hal tersebut, hakim berpendapat bahwa proses penetapan tersangka di akhir penyidikan, maka hak-hak tersangka bisa dilindungi," ucap Cepi.
Cepi pun menyebut surat perintah penyidikan dengan nomor Sprin.Dik-56/01/07/2017 tertanggal 17 Juli 2017 tidak sah. Selain itu, Cepi mengatakan bukti yang digunakan dalam perkara sebelumnya tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.
"Menimbang setelah diperiksa bukti-bukti merupakan hasil pengembangan dari perkara orang lain, yaitu Irman dan Sugiharto," ucap Cepi.
Hakim Cepi menambahkan, proses pemeriksaan calon tersangka dapat mencegah terjadinya pelanggaran harkat martabat seseorang yang sesuai dengan hak asasi manusia dan perlakuan sama di muka hukum serta asas praduga tak bersalah.
"Menimbang dari hal-hal tersebut bahwa dengan penetapan tersangka di akhir penyidikan, maka hak-hak calon tersangka dapat dilindungi, untuk mengetahui apakah bukti itu valid apa tidak," kata Cepi.
Karena itu, ia meminta KPK menghentikan perkara Novanto. KPK juga diminta mencabut status pencegahan Setya Novanto ke luar negeri.
1 of 4

Disambut Sukacita

Pengacara Setya Novanto, Ketut Mulya Arsana, menyambut baik putusan ini. Sebab, putusan yang dibacakan Hakim Tunggal Cepi Iskandar sudah sesuai dengan fakta persidangan.
"Sudah sesuai dengan fakta persidangan," ujar Ketut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017).
Menurut Ketut, alat bukti yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjerat kliennya sebagai tersangka adalah tidak sah. Sebab, alat bukti yang digunakan merupakan alat bukti dari tersangka lain.
"Kalau dari alat bukti iya, karena pergunakan alat bukti orang lain tidak tepat," ucap dia.
Atas adanya putusan ini, Ketut mengaku akan langsung berkoordinasi dengan kliennya yaitu Setya Novanto terkait langkah selanjutnya menanggapi putusan ini. "Kami tidak tahu, itu terserah klien, tapi profesional pekerjaan, kami sudah selesai," tandas Ketut.
Sementara itu, terkait hasil sidang tersebut, DPP Partai Golkar akan melakukan evaluasi. Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid menegaskan, proses praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto tidak berkaitan dengan struktur partai.
Menurut Nurdin, praperadilan tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP Novanto, merupakan urusan pribadinya sendiri.
"Praperadilan itu tidak berkaitan dengan struktur Partai Golkar, praperadilan urusan pribadi Pak Setya Novanto, tidak boleh dicampuri dengan urusan Partai Golkar," ujar Nurdin di Menara Peninsula Hotel Jakarta, Jumat, 29 September 2017.
Nurdin menjelaskan, apapun hasil praperadilan, Partai Golkar tetap akan mengevaluasi kinerja partai selama ini.
"Khususnya, penurunan elektabilitas Partai Golkar yang perlu segera diantisipasi, karena waktu kita untuk berkerja tidak lama lagi dan tidak cukup lagi," terang dia.
Karena itu, lanjut Nurdin, pada 3 Oktober mendatang sudah masuk ke tahap pendaftaran awal calon Pilkada 2018.
"Karena untuk 17 April dan 3 Oktober minggu depan itu sudah tahapan pendaftaran, terus akan berproses tahapan ini. Sehingga kinerja partai harus dilakukan dengan akselerasi yang tinggi," kata dia.
Nurdin menegaskan, apapun hasil praperadilan Novanto, tidak ada kaitannya sama sekali dengan Partai Golkar.
"Apapun hasil praperadilan ditolak atau diterima, tidak ada kaitan dengan DPP. Urusan kita adalah evaluasi terhadap kinerja partai untuk menang," tegas Nurdin.
2 of 4

Kekecewaan KPK

Berbeda dengan pihak Setya Novanto yang menerima dan senang dengan keputusan Hakim Cepi Iskandar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif justru mengaku kecewa dengan putusan tersebut. Putusan tersebut membatalkan status tersangka Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.
"Kami kecewa dengan putusan praperadilan yang dibacakan sore ini," ujar Laode Syarif saat dikonfirmasi, Jumat (29/9/2017).
Meski kecewa, Laode Syarif tetap menghormati putusan Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, Laode tetap beranggapan putusan hakim menjadi kendala pihaknya mengungkap kasus e-KTP.
"Karena upaya penanganan kasus e-KTP menjadi terkendala," terang Laode.
Laode mengatakan, pihaknya akan mempelajari lebih lanjut putusan hakim terhadap praperadilan Setya Novanto tersebut. Menurut Laode, penanganan perkara korupsi e-KTP terap harus berjalan lantaran merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
"KPK memastikan, komitmen untuk terus menangani kasus e-KTP yang diduga sangat merugikan keuangan negara," kata Laode.
Menurutnya, banyak pihak yang diduga terlibat, dan telah menikmati indikasi aliran dana dari proyek senilai Rp 5,9 triliun itu. Termasuk, Ketua DPR Setya Novanto yang namanya berkali-kali disebut sebagai pihak yang bersama-sama melakukan kerugian negara.
"Tentu tidak adil jika dibiarkan bebas tanpa pertanggungjawaban secara hukum. Terutama karena KPK sangat meyakini adanya indikasi korupsi dalam pengadaan KTP elektronik ini, yang bahkan untuk dua orang terdakwa telah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," terang Laode.
KPK Jerat Lagi Novanto?
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji menegaskan, lembaga antikorupsi tersebut bisa kembali menandatangani surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) baru untuk Ketua DPR Setya Novanto.
"KUHAP tidak membatasi penegak hukum untuk menerbitkan sprindik lagi sepanjang dipenuhi minimal alat bukti," ujar Indriyanto saat dikonfirmasi, Jumat (29/9/2017).
Dengan begitu, Ketua Umum Partai Golkar tersebut bisa kembali menjadi tersangka oleh KPK sepanjang memiliki bukti yang kuat. Menurut Indriyanto, KPK pernah melakukan hal yang sama saat kalah dalam praperadilan yang diajukan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.
"KPK pernah lakukan hal tersebut terhadap Wali Kota Makassar, saat permohonan praperadilan dikabulkan, maka KPK lakukan evaluasi terhadap substansi putusan, dan melakukan langkah ke depan menerbitkan sprindik dan menetapkan status tersangka kembali kepada yang bersangkutan," kata dia.
Menurut Indriyanto, penetapan tersangka kembali terhadap Setya Novanto diperkuat oleh putusan MK Nomor 21/PUU-XXI/2014 tanggal 28 April 2015. Menurutnya, jika KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka sah sesuai dengan hukum yang berlaku.
"Tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar," terang Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana tersebut.
Meski begitu, dia tetap meminta KPK menghormati putusan Hakim Cepi Iskandar yang mengabulkan permohonan praperadilan Setya Novanto hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Apapun, putusan Hakim tetap harus dihormati dan persoalan pro kontra adalah sesuatu yang wajar, karena itu harus ditelaah dapat tidaknya digunakan langkah hukum bagi Setya Novanto," papar Indriyanto.
3 of 4

Jejak Hakim Cepi

Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar tengah menjadi sorotan publik. Keputusannya membebaskan Ketua DPR RI Setya Novanto dari kasus korupsi e-KTP, melalui praperadilan dianggap menghambat penanganan kasus proyek e-KTP.
Cepi diduga telah berkali-kali dilaporkan ke Komidi Yudisial (KY). Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, Cepi dilaporkan karena diduga melanggar kode etik kehakiman.
"Sudah empat kali dilaporkan ke Komisi Yudisial," ujar Aidul saat diskusi bertema Golkar Pasca Putusan Praperadilan di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (30/9/2017).
Aidul membeberkan, laporan pertama terhadap Hakim Cepi pada 2014. Kala itu, Cepi menjadi hakim di Purwakarta. Kemudian, laporan kedua pada 2015, saat dia menjadi hakim di Pengadilan Negeri Depok.
Cepi kembali dilaporkan pada 2016, saat bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dia dua kali dilaporkan ke KY ketika menangani kasus perdata dan praperadilan. "Semuanya memang dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik," tutur Aidul.
Praperadilan yang diajukan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, kata Aidil, juga telah dilaporkan ke KY. Hakim Cepi memutuskan bahwa penetapan tersangka pada Setya Novanto oleh KPK tidak sah.
Aidul mengatakan, laporan tersebut akan segera ditindaklanjuti dengan pengumpulan fakta, serta bukti-bukti untuk proses penyelidikan.
"Kita akan memeriksa. Namun, ketika masih proses kita tidak boleh memberikan opini apapun, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi kemandirian hakim," kata dia.
6 Kejanggalan Versi ICW
Peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter mengatakan ada 6 kejanggalan dari seluruh proses persidangan Praperadilan Setya Novanto.
Pertama, ketika hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Setonov dalam korupsi e-KTP, pada sidang praperadilan tersebut, hakim menolak memutar rekaman KPK sebagai bukti keterlibatan SN dalam korupsi KTP-el.
"Penolakan ini sangat janggal, karena hakim berpandangan bahwa pemutaran rekaman tersebut sudah masuk pokok perkara. Padahal rekaman pembicaraan tersebut adalah salah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan SN dalam perkara korupsi KTP-el," kata Lalola.
Dengan dasar rekaman tersebut, Lalola menyatakan, KPK menetapkannya sebagai salah satu bukti yang dibarengi dengan 193 bukti lainnya untuk menetapkan SN sebagai tersangka.
Di sisi lain, Hakim Cepi Iskandar justru membuka ruang pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian keterpenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menjadi salah satu dalil permohonan praperadilan SN. Padahal, pembuktian keterpenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sudah masuk pada pembuktian pokok perkara, dan tidak sepatutnya disidangkan lewat mekanisme praperadilan.
Kedua, saat hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK pada 27 September lalu. Hakim Cepi Iskandar menolak Ahli Teknologi Informasi Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin sebagai ahli dalam persidangan praperadilan.
Alasan Hakim Cepi menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli adalah, karena materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk pokok perkara pembuktian korupsi KTP-el. Di saat yang sama, Bob Hardian sudah memberikan keterangan tertulis pada proses penyidikan korupsi KTP-el.
Ahli dihadirkan untuk memberi kesaksian terkait dengan temuannya dalam evaluasi sistem teknologi informasi KTP-el. Namun, hakim menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli, dan dengan demikian menunda pemberian keterangannya.
Ketiga, Lalola menyebut, Hakim Cepi Iskandar menolak eksepsi KPK yang disampaikan pada 22 September lalu. Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan dua hal yang menjadi keberatannya yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan Setno yang sudah memasuki substansi pokok perkara.
Keabsahan dan konstitusionalitas penyelidik dan penyidik independen KPK sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015. Namun hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh Hakim, padahal putusan tersebut mengikat sebagai norma hukum atas peraturan perundang-undangannya yang diuji materilkan.
"Hakim Cepi Iskandar juga mengabaikan keterangan KPK yang menyebutkan bahwa dalil permohonan Setnov sudah masuk dalam pokok perkara. Setnov menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi, yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor," kata Lalola.
Keempat, hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara. Dalam sidang praperadilan 22 September lalu, Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI).
Pengabaian tersebut dilakukan dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara.
"Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September lalu," jelasnya.
Kelima, ketika hakim bertanya kepada Ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan. Dalam mendengar keterangan dari ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, Lalola mengatakan, hakim bertanya mengenai sifat adhoc lembaga KPK. Padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut.
"Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya, sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut, patut dipertanyakan," kata dia.
Keenam, saat laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan. Kuasa Hukum SN membawa sejumlah bukti, yang salah satunya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang.
"Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BP," ujar dia.
👻

GEOTIMES: Gubernur Jakarta terpilih Anis Baswedan menambah anggaran program pendidikan secara signifikan, sebesar Rp 46 miliar. Dia ingin siswa sekolah menengah kurang mampu yang selama ini mendapat subsidi lewat Kartu Jakarta Pintar (KJP) juga bisa masuk universitas.
Tambahan anggaran itu akan dipakai untuk subsidi biaya bimbingan belajar (bimbel) masuk perguruan tinggi. Layakkah didukung atau ditolak?
Langkah Anies, yang juga mantan Menteri Pendidikan Nasional, untuk meningkatkan kualitas pendidikan warganya patut dipujikan. Tapi, anggaran bimbel adalah anggaran yang salah arah.
Anggaran bimbel merupakan bagian dari Program KJP-Plus yang sudah dimulai pada masa Gubernur Joko Widodo. Program ini intinya memberi subsidi siswa kurang mampu.
Ada sekitar 51.000 siswa kelas 11 (setingkat kelas 2 SMA) yang kini sudah masuk Program KJP. Mereka potensial menerima anggaran bimbel Gubernur Anies. Mereka akan disubsidi mengikuti kursus bimbel, sekitar Rp 500 ribu per siswa, selama tiga bulan.
Program ini sudah akan menghadapi pertanyaan teknis: siapa yang berhak mendapat anggaran dan bimbel swasta mana yang akan menjadi pelaksana, siapa yang akan diuntungkan?

Bimbel, Konsep Pendidikan Salah Arah

Tapi, ada gugatan yang lebih fundamental. Bukankah bimbel sendiri konsep pendidikan yang salah arah?
Bimbel adalah program luar sekolah, pemberian pelajaran tambahan untuk mempersiapkan siswa masuk perguruan tinggi. Menjamurnya bimbel selama ini hanya menunjukkan satu hal: gagalnya pendidikan sekolah formal. Sekolah formal dinilai tidak mampu mempersiapkan siswa ke jenjang pendidikan berikutnya.
Di tengah persaingan kian ketat masuk universitas, bimbel banyak diminati calon mahasiswa dan para orangtuanya. Itu bisa dipahami. Namun, program seperti ini sebaiknya dibiarkan menjadi pilihan privat orang per orang, dengan dana sendiri, bukan lewat anggaran publik pemerintah.
Akan lebih produktif jika anggaran publik dipakai untuk meningkatkan kualitas sekolah formal. Cukup bagus kualitasnya sehingga kursus luar sekolah seperti bimbel tidak diperlukan.

Bimbel Orientasi Pendidikan yang Keliru

Bimbel juga mencerminkan orientasi keliru dalam sistem pendidikan kita, seolah semua siswa layak dan perlu melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi.
Bahkan jika berhasil masuk universitas, mahasiswa miskin akan menghadapi problem lain. Membiayai kuliah anak di universitas adalah beban yang sangat berat, seringkali merupakan beban sepanjang hayat dan harus menguras seluruh aset, jika ada.
Program beasiswa bagi mahasiswa tak mampu mungkin tetap bisa dilakukan, bahkan diperluas. Tapi, harus melalui seleksi yang lebih ketat. Mahasiswa tersebut harus memang benar-benar memiliki orientasi akademis yang kuat.

Anggaran Bimbel Mencetak Penganggur?

Tidak semua orang perlu masuk universitas. Apalagi, kita dihadapkan pada fakta makin tingginya pengangguran di kalangan sarjana.
Tahun lalu, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengingatkan kecenderungan peningkatan jumlah pengangguran bertitel sarjana. Tingginya tingkat pendidikan tidak didukung kecukupan kompetensi, sehingga lulusan tak mendapat kesempatan kerja.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014, ada 9,5 persen (hampir 700.000 orang) penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata satu (S-1) . Dari jumlah itu, penganggur S-1 sebanyak 495.000 orang.
Jumlah penganggur sarjana itu makin meningkat. Kini ada sekitar 3.200 universitas di seluruh Indonesia, yang menghasilkan 750.000 lulusan setiap tahun.
Bahkan jika mahasiswa miskin berhasil lulus universitas, keluarga kadang masih harus mengeluarkan biaya untuk berbagai pelatihan agar bisa masuk bursa tenaga kerja, dengan persaingan yang tak kalah ketat pula. Apalagi di kota dengan kompetisi superketat seperti Jakarta.

Ketimbang Bimbel, Majukan Pendikan Kejuruan

Tidak semua orang perlu masuk universitas. Akan lebih produktif jika anggaran bimbel lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan (vokasional), baik Sekolah Menengah Kejuruan maupun Program Diploma. Pendidikan vokasional akan membuka peluang anak keluarga miskin untuk lebih langsung bisa bekerja. Menghasilkan income bagi keluarga ketimbang mengurasnya.
Sudah saatnya pemerintah pusat maupun daerah lebih mendorong pendidikan yang berorientasi pada kejuruan dan ketrampilan praktis. Sebagai mantan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan semestinya lebih tahu tentang hal itu.
Pendidikan di Indonesia terlalu berorientasi pada capaian akademis, yang itupun tidak bagus-bagus amat. Di negara maju seperti Australia, Taiwan, Korea dan Jepang, pendidikan vokasional jauh lebih banyak dibanding pendidikan akademik. Di negeri-negeri itu hanya sekitar 10-15 persen saja siswa yang masuk ke pendidikan tinggi (akademis), selebihnya masuk pendidikan vokasional.
Perubahan orientasi ini sangat penting mengingat porsi jumlah penduduk produktif di Indonesia sangat tinggi. Pada 2040, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 300 juta dan 65 persennya berada dalam usia produktif. Apa yang terjadi jika banyak warga usia produktif tadi tidak produktif, melainkan menganggur?
Ketimbang untuk bimbel, anggaran publik seharusnya dipakai untuk mendorong perubahan orientasi pendidikan, sekaligus membantu kalangan miskin untuk bisa langsung bekerja dan memperbaiki ekonomi keluarga. *
👮
Bisnis.com,JAKARTA - Penuntut Umum sidang gratifikasi terkait pengurusan pajak mencurigai percakapan antara terdakwa Handang Soekarno dan salah seorang rekannya tentang upaya pengiriman uang Rp2 miliar.
Dalam sidang lanjutan Rabu (7/6/2017), Yustinus Heri Sulistiyo, petugas Ditjen Pajak yang dihadirkan sebagai saksi mengatakan bahwa dia memang dihubungi oleh terdakwa Handang, Kasubdit Bukti Permulaan Dit Gakkum, Ditjen Pajak, untuk membawa uang Rp2 miliar dari Surabaya ke Jakarta pada 18 November 2016.
Yustinus kemudian merekomendasikan salah seorang kenalannya yang bernama Hamim, yang bekerja di areal Bandara Juanda, Surabaya. Namun Hamim kemudian tidak berani membawa uang tersebut karena jumlahnya yang demikian besar dan disimpan dalam dua koper.
“Saat diminta tolong, saya cuma tanyakan uang dari mana, dia menjawab uang dari temannya untuk operasional. Setelah clear, saya mau membantu,” ujarnya di hadapan majelis hakim.
Akan tetapi, tim penuntut umum tidak mempercayai begitu saja dan terus mencecar Yustinus dengan menunjukkan bukti percakapannya dengan Handang baik melalui hubungan telepon maupun pesan singkat watssapp. Salah satu hal yang mencurigakan, saksi menyarankan kepada terdakwa untuk menggunakan Plan B yakni membawa uang tersebut melalui jalur darat jika Plan A atau menggunakan pesawat batal dilakukan.
Tidak hanya itu, sebelum upaya membawa uang itu dilakukan, Yustinus menyarankan agar uang tersebut dibungkus rapi dan dicampur dengan oleh-oleh sehingga menjjadi satu dalam sebuah tas.
Ramapanicker Rajamohanan Nair dan Handang Soekarno diciduk oleh penyidik KPK seusai menyerahkan uang sebesar US$14.500 atau setara dengan Rp1,9 miliar kepada Handang Soekarno, Kasubdit Bukti Permulaan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan di Kawasan Kemayoran, pada 21 November 2016.
Pemberian uang tersebut merupaan bagian dari total Rp6 miliar yang dijanjikan oleh terdakwa kepada Handang sebagai bentuk hadiah atas bantuan petugas pajak tersebut menyelesaikan persoalan pembatalan surat tagihan pajak (STP) PPN 2014 dan 2015 dengan total Rp78 miliar.
💣
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Koruosi (KPK) mengungkapkan, Ketua Komisi B DPRD Jatim  Mochammad Basuki dulu pernah dipenjara karena terlibat korupsi. Saat ini, KPK menjeratnya lagi dalam kasus suap dan sudah ditetapkan sebagai tersangka. Politikus Partai Gerindra yang juga ketua fraksi di DPRD tersebut terjaring dalam OTT (operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Surabaya pada Senin, 5 Juni 2017.



Basuki pernah terlibat dalam kasus korupsi tunjangan kesehatan dan biaya operasional yang merugikan negara senilai Rp 1,2 miliar pada tahun 2002. Anggaran yang semestinya digunakan untuk membayar premi asuransi kesehatan, dibagi-bagi kepada 45 anggota DPRD Surabaya. 

Baca: Begini Kronologi OTT Suap DPRD Jatim, KPK Sita Rp 150 Juta
ADVERTISING


Karena kasusnya tersebut, Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman pada Basuki 1,5 tahun penjara dan denda Rp 20 juta subsider 1 bulan kuruangan. Basuki juga divonis membayar uang pengganti Rp 200 juta. Namun hukumannya dikurangi menjadi 1 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan setelah mengajukan banding. Basuki pun bebas pada 4 Februari 2004.



Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan, meskipun menyandang eks narapidana Basuki terpilih kembali menjadi anggota DPRD di tingkat provinsi. Basuki terpilih kembali menjadi anggota Dewan periode 2014-2019.  "MB (Mochammad Basuki) memang pernah terlibat kasus lain. Ini sangat disesalkan," kata Laode di kantor KPK, Selasa, 6 Juni 2017. 

Baca: Suap DPRD Jatim, Pimpinan Dewan Segera Mengambil Sikap

Menurut Laode, tertangkapnya Basuki oleh KPK menjadi preseden bagi masyarakat agar tidak memilih seorang mantan narapidana sebagai wakil rakyat. "Saya pikir itu tidak pantas." Meski begitu, Laode tidak bisa memastikan apakah kasus Basuki yang lama bakal memberatkannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi nanti. "Hal itu akan dipertimbangkan oleh penyidik dan jaksa penuntut umum KPK," kata Laode.

Diduga Terima Suap
Dalam perkara yang ditangani KPK saat ini, Basuki diduga menerima suap dari beberapa kepala dinas Provinsi Jawa Timur terkait dengan tugas pengawasan DPRD terhadap peraturan daerah dan penggunaan anggaran Provinsi Jawa Timur. Setiap kepala daerah diduga berkomitmen membayar Rp 600 juta per tahun kepada DPRD. Pembayarannya dilakukan dengan mencicil setiap tiga bulan.

Pada saat tertangkap, KPK menemukan uang Rp 150 juta dari tangan Rahman Agung, staf DPRD. Uang pecahan Rp 100 ribu dalam tas kertas warna cokelat ini berasal dari Anang Basuki Rahmat yang merupakan perantara dari Bambang Heryanto, Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur. Uang itu diduga ditujukan kepada Basuki.


Pada 26 Mei 2017, Basuki diduga menerima dari Kepala Dinas Peternakan Rohayati sebesar Rp 100 juta. Uang itu diberikan terkait pembahasan revisi Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang pengendalian ternak sapi dan kerbau betina produktif.

Sebelumnya, pada 13 Mei 2017, Basuki juga diduga menerima Rp 50 juta dari Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, Rp 100 juta dari Kepala Dinas Perkebunan, dan Rp 150 juta dari Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur.

Atas perbuatannya, Basuki ditetapkan sebagai penerima suap bersama dengan dua stafnya, yaitu Rahman dan Santoso. Ketiganya diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu KPK juga menetapkan Rohayati, Bambang, dan Anang, sebagai tersangka pemberi suap. Ketiganya disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

MAYA AYU PUSPITASARI
💪
TRIBUNNEWS.COM - Pernyataan Sandiaga Uno yang mengaku tidak kenal dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin menjadi pembicaraan hangat netizen di media sosial.
Untuk diketahui, Sandiaga diperiksa sebagai saksi terkait dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2011.
Saat memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (23/5/2017),  Sandiaga mengatakan bahwa ia tak mengenal Nazaruddin.
"Saya tidak kenal dengan Pak Nazaruddin, saya tidak berkomunikasi dengan Beliau," kata Sandiaga sebelum diperiksa sebagai saksi di Gedung KPK Jakarta, seperti dikutip dari Kompas.com.


Namun ternyata data yang dimiliki KPK ternyata menunjukkan bahwa Sandiaga pernah menjalin komunikasi dengan Nazaruddin.
Pertemuan itu terkait proyek di PT Duta Graha Indah, dimana Sandiaga Uno pernah menjabat sebagai Komisaris dan sering mendapat proyek dari bos Permai Grup, Nazaruddin.
Alhasil, pertemuan Sandiaga-Nazaruddin itu akan didalami KPK.
Hal itu disampaikan juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Kini penyidik KPK tengah mengusut praktek korupsi dalam proyek yang dikerjakan antara relasi PT DGI dan Permai Grup.


Jakarta -  Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Sandiaga Uno diperiksa penyidik sebagai saksi untuk mantan Direktur Utama PT DGI, Dudung Purwadi, Selasa (23/5). Dudung telah berstatus tersangka dalam dua kasus, yakni kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serbaguna pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan dan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun 2009-2011.
Saat proyek ini bergulir, Sandiaga merupakan Komisaris PT DGI yang kini berganti nama menjadi Nusa Konstruksi Enjineering. Dalam dua proyek yang berujung korupsi itu, PT DGI berkongsi dengan Permai Grup milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin.
Diduga pemeriksaan ini dilakukan penyidik untuk mendalami pertemuan antara Sandiaga Uno dan Nazaruddin. KPK telah memiliki bukti adanya pertemuan antara Sandiaga dengan Nazaruddin untuk membahas proyek Permai Grup yang digarap PT DGI. Pertemuan ini mencuat dalam persidangan perkara dugaan korupsi Wisma Atlet di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Yang sudah didalami dalam kasus sebelumnya adalah relasi antara Nazaruddin, Grup Permai, PT DGI. Sejumlah pihak lain (seperti Sandiaga) kami dalami, kami perkuat di sini. Apakah ada kaitan antara Nazar dengan pihak-pihak yang lain tentu akan kita gali lebih jauh yang pasti kami masih penyidikan untuk dua kasus," kata Jubir KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/5) malam.
Sebelum diperiksa, Sandiaga mengklaim tidak mengenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Nazaruddin untuk membahas proyek PT DGI.
Febri mengatakan, pemeriksaan terhadap seorang saksi termasuk Sandiaga dilakukan lantaran saksi tersebut dinilai penyidik mengetahui, melihat, mendengar mengenai kasus dugaan korupsi Wisma Atlet dan Alkes RS Udayana yang menjerat Dudung. Apalagi, Sandiaga merupakan Komisaris PT DGI saat proyek itu bergulir.
"Penyidik memanggil seseorang jadi saksi pada saat itu penyidik sudah punya informasi awal saksi itu melihat mendengar rangkaian peristiwa kasus korupsi dan kita tahu posisi Sandi adalah Komisaris PT DGI dan KPK mendalami proyek-proyek yang melibatkan Dirut PT DGI dan kita dalami peran DGI di situ kita butuh keterangan komisaris di sana mengenai sejauh mana pengetahuan saksi terhadap proyek-proyek yang dilakukan oleh PT DGI," ungkapnya.
Meski demikian, Febri mengatakan, pihaknya belum berencana mengonfrontasi Sandiaga dengan Nazaruddin. Dikatakan, saat ini tim penyidik KPK sedang mengkaki kembali keterangan-keterangan yang diberikan Sandiaga saat diperiksa.
"Belum ada rencana itu (konfrontasi Sandiaga dan Nazaruddin). Sandiaga tadi diperiksa sebagai saksi secara terpisah. Kami akan review dulu pemeriksaan ini. Ada sekitar 70 saksi yang sudah diperiksa, ini cukup panjang mulai dari 2015, seperti yang disampaikan pimpinan di awal tahun lalu kita lihat kasus-kasus lama yang belum dituntaskan," katanya.
Febri menegaskan, penyidikan kasus dugaan korupsi Wisma Atlet dan Alkes RS Udayana tidak akan berhenti dengan penyidikan terhadap Dudung. Dikatakan, KPK akan terus mendalami pihak-pihak lain yang terlibat dalam kedua kasus yang diduga merugikan keuangan negara hingga puluhan miliar rupiah tersebut. Hal ini lantaran dugaan korupsi Wisma Atlet dan Alkes RS Udayana tidak mungkin dilakukan oleh Dudung seorang.
"Akan kita dalami siapa saja yang diduga bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi karena dalam kasus pengadaan tidak mungkin hanya dilakukan satu orang saja, proses pengadaan tidak sederhana. Ada tahapan dan organisasi di sana. Ada orang yang punya tugas beda-beda. Kita lihat lebih jauh siapa saja yang punya peran termasuk juga penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 (KUHP) tersebut yaitu mengenai bersama-sama," tegasnya.
Diketahui, PT DGI mendapat sejumlah proyek yang didanai APBN dari Permai Grup milik Nazaruddin.
Dalam persidangan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Nazaruddin yang menjadi terdakwa mengaku pernah bertemu dengan Sandiaga Uno yang pernah menjabat sebagai komisaris PT Nusa Konstruksi Enjineering.
Dalam dakwaan yang disusun KPK untuk Nazaruddin, PT DGI mendapatkan beberapa proyek pemerintah melalui Nazar di antaranya, proyek pembangunan gedung di Universitas Udayana, Universitas Mataram, Universitas Jambi, BP2IP Surabaya Tahap 3, RSUD Sungai Dareh Kabupaten Darmasraya, gedung Cardiac RS Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik Medan, RS Inspeksi Tropis Surabaya, dan RSUD Ponorogo. Selain itu, PT Duta Graha Indah juga dipercaya ikut mengerjakan proyek Wisma Atlet Jakabaring, Palembang. Nazaruddin pun mendapat imbalan atas usahanya memberikan proyek-proyek itu ke PT Duta Graha Indah sebesar Rp 23,1 miliar.


Fana Suparman/CAH
Suara Pembaruan
👀

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPR RI Setya Novanto turut mengungkapkan keprihatinan atas kejadian penyerangan yang menimpa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPKNovel Baswedan.
Meski begitu, ia berharap publik tidak berspekulasi apa pun terkait kejadian tersebut.
Pasca itu terkait, atau tidak terkait, biarlah PENYELIDIK yang menentukan
"Ada baiknya kita tidak berandai-andai dan berperasangka, melampaui penyelidikan dari pihak yang berwenang. Kita serahkan pengusutan kasus penyerangan ini kepada kepolisian," ujar Novanto melalui keterangan tertulis, Selasa (11/4/2017).
PURA-PURA atau Tidak
Novanto menilai kejadian tersebut justru akan menambah kuat dukungan publik terhadap KPK. Tak hanya terhadap Novel BaswedanSetya Novanto melihat serangan tersebut juga ditujukan kepada bangsa Indonesia yang tengah berperang melawan korupsi.
Ketua Umum Partai Golkar itu berharap peristiwa yang menimpa Novel Baswedan tak lantas menyurutkan langkah KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya.
"Saya yakin dan percaya, Saudara Novel Baswedan adalah figur yang kuat dan penuh dedikasi. Kejadian ini tidak akan mengendurkan sedikit pun langkah beliau dalam menjalankan tugas-tugasnya," ucap Novanto.
Novel disiram air keras setelah melaksanakan ibadah shalat subuh di masjid yang berada di sekitar kediamannya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa pagi.
Penyerangan itu diduga dilakukan oleh dua orang tak dikenal menggunakan sepeda motor.
Saat ini, Novel masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.

TEMPO.COJakarta - Ketua DPR Setya Novanto dicegah bepergian keluar negeri untuk 6 bulan ke depan oleh KPK, kata Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F Sompie ketika dikonfirmasi Antara di Jakarta, Senin, 10 April 2017.

"Sudah sejak kemarin malam Dirjen Imigrasi menerima Surat Permintaan Pencegahan untuk tidak bepergian keluar negeri atas nama bapak Setya Novanto dan langsung dimasukkan ke dalam Sistem Informasi dan Manajemen Keimigrasian untuk berlaku selama enam bulan," katanya.


Tapi Ronny tidak menjelaskan apakah permintaan cegah itu juga memuat status Setya Novanto sebagai tersangka atau masih jadi saksi dalam penyidikan kasus di KPK. "Sebaiknya bertanya ke penyidik KPK karena semua kompetensi dari penyidik KPK," ungkap Ronny.

Dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto untuk kasus dugaan korupsi KTP Elektronik, nama Setnov sering muncul sebagai salah satu pihak yang berperan dalam pengadaan KTP-E dengan total anggaran Rp 5,95 triliun itu.


Setya Novanto membantah menerima aliran dana proyek pengadaan e-KTP. Pernyataan itu diucapkan Setya kepada majelis hakim saat bersaksi dalam sidang keenam kasus korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 6 April 2017. "Betul (tidak terima uang). Yakin, Yang Mulia," kata Setya.

Sejumlah peran Setnov dalam dakwaan itu antara lain adalah ia menghadiri pertemuan di hotel Gran Melia pada 2010 yang dihadiri Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, dan mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini. Dalam pertemuan itu Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahasan anggaran proyek penerapan KTP-E.

Selanjutnya pada Juli-Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan Rencana APBN 2011, Andi Agustinus beberapa kali bertemu Setnov, Anas Urbaningrum, dan Nazaruddin karena dianggap representasi Partai Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui KTP-E.

Proses pembahasan akan dikawal fraksi Partai Demokrat dan Golkar dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri. Sebagai imbalan, Setya Novanto dan Andi Agustinus mendapat sebesar 11 persen atau sejumlah Rp 574,2 miliar sedangkan Partai Golkar mendapat Rp 150 miliar.

Selain Irman dan Sugiharto, KPK juga sudah menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong dan mantan anggota Komisi II dari fraksi Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara ini.

ANTARA
👊

TEMPO.COJakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto membantah menerima aliran dana proyek pengadaan e-KTP. Pernyataan itu diucapkan Setya kepada majelis hakim saat bersaksi dalam sidang keenam kasus korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 6 April 2017. "Betul (tidak terima uang). Yakin, Yang Mulia," ujarnya.

Ketua Umum Partai Golongan Karya itu mengaku tidak tahu-menahu ihwal pembahasan proyek e-KTP. Dia hanya mengetahui ada proyek e-KTP melalui laporan Ketua Komisi II DPR saat itu, Chaeruman Harahap, dalam rapat pleno.

Baca: Sidang E-KTP, Setya Novanto: Saya Tak Kenal Dekat Andi Narogong 

Majelis hakim berulang kali mencecar Setya mengenai keterlibatannya dalam proyek tersebut. Setya selalu menjawab tidak tahu dan tidak benar. Majelis hakim sempat mengingatkan Setya bahwa dia telah disumpah. 

Namun dia meyakinkan majelis hakim bahwa dia telah memberikan keterangan yang sebenarnya. "Benar, Yang Mulia, sesuai dengan sumpah saya," katanya.

Di awal persidangan, dalam berita acara perkara (BAP), Setya mengaku tak mengenal Irman, salah satu terdakwa kasus e-KTP. Namun di persidangan kali ini, ia mengoreksinya. Dia mendadak ingat pernah bertemu dengan Irman setelah melihat foto Irman sekitar tiga minggu lalu. 

Simak: Kasus E-KTP, Pengancam Miryam Masuk Dakwaan 

Setya mengaku pernah bertemu dengan Irman saat melakukan kunjungan ke Jambi. Kala itu, dia mengenal Irman sebagai pelaksana tugas Gubernur Jambi. Sedangkan terhadap terdakwa Sugiharto, Setya mengaku tak mengenalnya.

Dalam perkara ini, Setya bersama Irman dan Sugiharto diduga terlibat mengatur jalannya proyek. Setya yang kala itu menjabat Ketua Fraksi Golkar disebut-sebut turut menerima aliran duit proyek e-KTP.

DENIS RIANTIZA | KSW
💣
Jakarta detik - Nama mantan Mendagri Gamawan Fauzi kembali disebut dalam sidang dugaan korupsi e-KTP. Mantan Bendahara Fraksi Demokrat DPR, Nazaruddin, menyebut Gamawan menerima sekitar USD 4,5 juta terkait proyek yang diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun tersebut. 

"Sekitar USD 4-5 juta," kata Nazaruddin saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (3/4/2017) 

Nazaruddin menjelaskan, pemberian pertama USD 2 juta. "Ada lagi USD 2,5 juta," tutur Nazaruddin. 


Menurut Nazaruddin, saat itu Anas Urbaningrum selaku Ketua Fraksi Demokrat berkomunikasi dengan pihak Kemendagri karena ada laporan proyek e-KTP sempat akan digagalkan. Laporan berasal dari Andi Agustinus atau Andi Narogong. 

"Pas penetapan itu waktu itu penetapa itu tertunda2 terus Andi melapor ke mas anas ada rencana mau digagalkan," ujar Nazaruddin. 

Sebelumnya, dalam dakwaan terdakwa Irman dan Sugiharto juga disebutkan Gamawan menerima uang USD 4,5 juta dan Rp 50 juta saat menjabat Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

"Andi Agustinus alias Andi Narogong juga memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui Afdal Noverman sejumlah USD 2 juta dengan maksud agar pelelangan pekerjaan KTP berbasis NIK secara nasional (e-KTP) tidak dibatalkan oleh Gamawan Fauzi," ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan, Kamis (9/3).

"Untuk memperlancar proses penetapan pemenang lelang pada pertengahan Juni 2011, Andi Agustinus alias Andi Narogong kembali memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui saudaranya, yakni Azmin Aulia, sejumlah USD 2,5 juta," beber jaksa.

Baca juga: Bantahan Gamawan dan Permintaan Dikutuk Bila Terima Uang e-KTP

Terkait hal ini, Gamawan sendiri sudah memberikan bantahan. Ia menyebut hal tersebut merupakan fitnah yang kejam. 

"Satu rupiah pun saya tidak pernah menerima, Yang Mulia. Demi Allah, saya kalau mengkhianati bangsa ini menerima satu rupiah, saya minta didoakan seluruh rakyat Indonesia, saya dikutuk Allah SWT," jawab Gamawan dalam persidangan (16/3). 
(rna/fdn)
😈
The Corruption Eradication Commission (KPK) said it arrested 17 people during stings conducted in Jakarta and Surabaya, East Java, on Thursday.
“A team from Surabaya and several people arrested during an operation on Thursday arrived this morning. The investigation will be continued at the KPK building, including with those arrested in Jakarta,” KPK spokesperson Febri Diansyah said as quoted by kompas.com on Friday.
He said the 17 people arrested comprised high-ranking officials and employees of a state-owned company and private parties.
It is suspected the arrests are related to a bribery case surrounding a procurement project at state shipbuilder PT PAL Indonesia, which is headquartered in Surabaya.
As reported earlier, KPK investigators have taken PAL Indonesia president director Firmansyah Arifin in for questioning.  Firmansyah was reportedly picked up from the company’s headquarters in Surabaya, East Java, at around 11 p.m. local time on Thursday, accompanied by PAL Indonesia corporate secretary Elly Dwiratmanto.
It is highly suspected the KPK’s move to take Firmansyah and Elly in for questioning is connected to a recent operation in which antigraft personnel arrested PAL officials on allegations of bribery in relation to the sale of warships produced by the company for the Philippines.
The KPK is scheduled to give a press conference on the arrests on Friday afternoon. “The status of those arrested in the operation will be determined within 24 hours from the arrests,” said Febri. (hol/ebf)
-----
Wahyoe Boediwardhana contributed to this story from Surabaya, East Java.
👀
Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung menyatakan kerugian negara akibat pemberian kredit dari Bank Mandiri kepada PT Central Stell Indonesia mencapai Rp 350 miliar. Penyidik pun terus menggali kasus ini, salah satunya melalui pemeriksaan saksi-saksi.
Ada 12 saksi yang telah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung. Sedianya penyidik akan memeriksa saksi Novita jabatan Komisaris (Pemegang Saham) PT Megatama Elektrik Senin 27 Maret 2017. Namun, Novita meminta penyidik menjadwalkan kembali pemeriksaan.
"Sekitar pukul 10.00 WIB telah hadir saksi Novita memenuhi panggilan penyidik dan saksi memohon kepada penyidik agar dijadwal kembali pemeriksaannya karena belum membawa data-data pendukung untuk memberikan keterangan kepada Penyidik," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, M Rum, dikutip dari Antara, Senin.
Penyidik pun menjadwalkan kembali pemeriksaan terhadap saksi Novita untuk diperiksa pada Senin 3 April 2017. Namun, belum diketahui kaitannya komisaris PT Megatama Elektrik dengan kasus ini.
Pada kasus itu, Kejaksaan Agung sudah menetapkan dua tersangka tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit dari PT Bank Mandiri kepada PT Central Stell Indonesia. Keduanya adalah MS alias HP pekerjaan karyawan swasta dan EWL, Direktur PT Cental Stell Indonesia.
Penetapan tersangka terhadap MS berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-18/F.2/Fd.1/02/2017 tanggal 21 Februari 2017.
Lalu, tersangka EWL jabatan Direktur PT Central Stell Indonesia berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Nomor: Print-19 /F.2/Fd.1/02/2017 tanggal 21 Februari 2017.
Kasus yang ditangani Kejaksaan Agung ini bermula saat PT CSI mengajukan fasilitas pinjaman pada 2011 kepada Bank Mandiri untuk pembangunan pabrik baja dan modal kerja. Pengajuan itu dipenuhi dengan nilai sebesar Rp 350 miliar.
Awal pembayaran kredit, menurut dia, berjalan lancar. Namun, di tengah perjalanan terjadi penggelapan aset perusahaan itu. Pembayaran kredit tidak berjalan normal kembali hingga mencapai angka Rp 480 miliar terhitung per 22 Juli 2016.
👊

Liputan6.com, Jakarta - Gamawan Fauzi terseret dalam kasus korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Namanya disebut dalam dakwaan di sidang kasus e-KTP Kamis kemarin. Dalam dakwaan tersebut, mantan Menteri Dalam Negeri itu disebut turut menikmati uang sebesar USD 4,5 juta dan Rp 50 juta.
Tudingan itu mengejutkan banyak kalangan, sebab rekam jejaknya di masa lalu peraih Doktor Ilmu Pemerintahan itu terkenal bersih. Bahkan dia menerima penghargaan yang prestisius.
Saat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dia dikenal dengan konsep GoodClean, and Efficient Governance.
Bahkan, dia juga pernah mendapat penghargaan Bung Hatta Award atas keberhasilannya memerangi korupsi pada saat menjadi Bupati Solok. Penghargaan itu disematkan pada Gamawan Fauzi atas kekonsistenannya dalam menegakkan aturan dan antikorupsi.
Untuk itu, dia dua kali terpilih menjadi Bupati Solok. "Jujur saya katakan, tak ada satu sen pun saya keluar uang untuk meraih jabatan kedua kali sebagai Bupati Solok," kata Gamawan pada 2000 lalu.
Ia mengaku sejak awal menjadi pejabat, sudah mewanti-wanti dan mendidik ketiga anaknya untuk hidup sederhana, memakan, dan menikmati apa yang menjadi hak dan halal.
Gamawan menjabat sebagai Bupati Solok selama 10 tahun, dari 1995 hingga 2005. Setelah itu, ia sukses keluar sebagai pemenang dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Barat pada 2005.
Namun, belum habis masa baktinya, Gamawan langsung ditunjuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengisi pos Menteri Dalam Negeri di Kabinet Indonesia Bersatu II.

Selain Bung Hatta Award, Gamawan Fauzi juga pernah meraih Bintang Mahaputra Utama pada 2009, Charta Politika Award untuk kategori pemimpin kementerian/lembaga pemerintah non kementerian berpengaruh di media pada 2010, serta penghargaan dari Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia pada 2012.

Gamawan adalah salah satu dari nama besar yang terseret dalam kasus e-KTP. Jaksa Irene mengungkapkan, pada akhir November 2009, Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri kala itu mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) No.471.13/4210.A/SJ untuk mengubah sumber pembiayaan proyek e-KTP, yang semula menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri menjadi anggaran murni.

Perubahan sumber pembiayaan itu, lanjut dia, dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR. Kemudian pada awal Februari 2010, setelah mengikuti rapat membahas anggaran Kementerian Dalam Negeri, Terdakwa Irman diminta sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu selaku Ketua Komisi II DPR ketika itu.

Setelah melakukan serangkaian pertemuan, akhirnya disepakati soal proyek e-KTP ini, antara Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha rekanan yang biasa mengendalikan proyek dengan Kemendagri dan Komisi II DPR. Hingga akhirnya muncul angka Rp 5,9 triliun‎ untuk pembiayaan proyek e-KTP.
Gamawan sendiri mengaku sudah mengaudit Rancangan Anggaran Dasar (RAD) untuk pengadaan e-KTP pada saat itu. Audit dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Selesai diaudit BPKP itu saya bawa ke KPK, saya presentasikan di KPK lagi. Saran KPK saat itu, coba didampingi LKPP," ujar Gamawan di Gedung KPK, Jakarta.
Menurut dia, sebelum RAD disusun, sudah ada pembahasan‎ bersama di Kantor Wakil Presiden. Hadir dalam pembahasan itu sejumlah stakeholder terkait.
"Pertama rapat itu di tempat Wapres, dibahas. Ada Menkeu, Bappenas, dan menteri-menteri terkait. Lalu saya meminta, kalau bisa jangan Kemendagri yang mengerjakan ini," ujar Gamawan.
Singkatnya, usai RAD disusun dan diaudit BPKP, tender lelang proyek pengadaan E-KTP dilakukan. Proses tender juga didampingi BPKP dan LKPP bersama 15 kementerian lain. "Malah saya tidak ikut. Setelah itu selesai tender, panitia lapor ke kami," ucap Gamawan.
Namun, saat menerima laporan dari panitia lelang, dia ragu. Lalu berkas laporan itu dibawa lagi ke BPKP untuk diaudit.
Setelah diaudit di BPKP‎ selama dua bulan dan sebelum kontrak itu ditandatanganinya, Gamawan membawa lagi berkas tersebut ke aparat penegak hukum‎ seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.
"Karena Pasal 83 dalam Perpres 54 itu disebutkan, kalau ada KKN, itu kontrak dapat dibatalkan," ujar Gamawan.
Setelah usai semua itu, dia tidak tahu jika proyek pengadaan itu bermasalah, bahkan sampai berujung korupsi dan merugikan negara. "Tiba-tiba, saya dapat kabar ada kerugian Rp 1,1 triliun. Bagaimana saya tahu kalau ada masalah, karena yang saya pegang kan hasil audit, hasil pemeriksaan," ujar Gamawan Fauzi.


TEMPO.CO, Jakarta - Surat dakwaan jaksa penuntut umum perkara korupsi proyek KTP elektronik atau e-KTP yang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hari ini, Kamis, 9 Maret 2017, memuat sederet nama berikut uang yang diterimanya. Dakwaan jaksa untuk dua pejabat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, menyatakan uang pelicin itu ditebar untuk mendapatkan persetujuan anggaran dari Komisi II DPR, Irman dan Sugiharto selaku pejabat pembuat komitmen, bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.

“Terdakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain melalui proyek senilai Rp5,9 triliun,” kata Jaksa Irene Putri di persidangan. Para terdakwa dan pengusaha Agustinus menebar fulus di kalangan Dewan dan pejabat Kementerian terkait. Terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum, dalam proses penganggaran dan pengadaan barang/jasa paket KTP elektronik karena mengarahkan untuk memenangkan perusahaan tertentu.



Berikut adalah daftar nama penerima uang itu:

1. Gamawan Fauzi sebesar US$4,5 juta dan Rp50 juta.
2. Diah Anggraini US$2,7 juta, dan Rp22,5 juta.
3. Drajat Wisnu Setyawan US$615 ribu dan Rp25 juta.
4. Enam anggota panitia lelang masing-masing US$50 ribu.
5. Husni Fahmi US$150 ribu dan Rp30 juta. 
6. Anas Urbaningrum US$5,5 juta.
7. Melchias Markus Mekeng sejumlah US$1,4 juta.
8. Olly Dondokambey US$1,2 juta.
9. Tamsil Linrung US$700 ribu.
10. Mirwan Amir US$1,2 juta. 
11. Arief Wibowo US$108 ribu.
12. Chaeruman Harahap US$584 ribu dan Rp26 miliar. 
13. Ganjar Pranowo US$520 ribu.
14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi ll dan Badan Anggaran DPR RI sejumlah US$1,047 juta.
15. Mustoko Weni sejumlah US$408 ribu
16. Ignatius Mulyono US$258 ribu
17. Taufik Effendi US$103 ribu.
18. Teguh Djuwarno US$167 ribu.
19. Miryam S Haryani sejumlah US$23 ribu.
20. Rindoko, Numan Abdul Hakim, Abdul Malik Haramen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI masing-masing US$37 ribu.
21. Markus Nari sejumlah Rp4 miliar dan US$13 ribu.
22. Yasona Laoly US$84 ribu.
23. Khatibul Umam Wiranu sejumlah US$400 ribu.
24. M Jafar Hapsah sejumlah US$100 ribu.
25. Ade Komarudin sejumlah US$100 ribu.
26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp1 miliar. 
27. Wahyudin Bagenda, Direktur Utama PT LEN Industri Rp2 miliar. 
28. Marzuki Ali Rp20 miliar.
29. Johanes Marliem sejumlah US$14,880 juta dan Rp25 miliar
30. 37 anggota Komisi lainnya seluruhnya berjumlah US$556 ribu, masing-masing mendapatkan uang berkisar antara US$13 ribu sampai dengan USD18 ribu. 
31. Beberapa anggota tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan masing-masing Rp60 juta. 
32. Manajemen bersama konsorsium PNRI sejumlah Rp137 miliar. 


Selain diterima perorangan, jaksa juga menyebut terdakwa memperkaya korporasi. Inilah perusahaan-perusahaan yang tercantum dalam dakwaan:    



1. Perum PNRI menerima sejumlah Rp107,7 miliar. 
2. PT Sandipala Artha Putra Rp145 miliar.
3. PT Mega Lestari Unggul, perusahaan induk PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp148 miliar. 
4. PT LEN Industri Rp20 miliar.
5. PT Sucofindo Rp8 miliar.
6. PT Quadra solution sebesar Rp127 miliar.

MAYA AYU PUSPITASARI
Kabar24.com, JAKARTA - Sejumlah nama politisi disebut jaksa penuntut umum (JPU) dalam dakwaan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik yang berlangsung hari ini di Pengadilan Tipikor, Kamis (9/3/2017).

Sidang menghadirkan terdakwa Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri sekaligus pejabat pembuat komitmen, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dalam sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, penyebutan nama-nama pihak yang berkaitan dengan dua terdakwa kasus korupsi KTP elektronik itu tidak dapat dihindarkan, meskipun belum tentu semua nama yang disebut dalam dakwaan itu terselibat dalam kasus korupsi.

Nama-nama yang akan disebut, menurutnya, berasal dari birokrasi pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, serta legislatif yang menjabat pada saat terjadinya peristiwa korupsi tersebut yakni sejak 2010-2012.

KPK, katanya, juga akan membahas secara gamblang berbagai pertemuan yang dilakukan oleh para pihak yang disebut dalam dakwaan untuk membahas proyek tersebut.

“Kami tidak dapat menghindarkan nama-nama siapa saja yang terkait. Kami juga tidak menghitung dampak politiknya karena fokus KPK hanya mengenai jalur hukum. Karena itu kami berharap siapapun untuk patuh dan menempatkan hukum pada posisi pertama,” tambahnya.

Berikut para pihak yang disebut jaksa KPK menerima aliran dana proyek e-KTP dalam surat dakwaan:

1. Gamawan Fauzi USD 4,5 juta dan Rp 50 juta
2. Diah Anggraini USD 2,7 juta dan Rp 22,5 juta
3. Drajat Wisnu Setyaan USD 615 ribu dan Rp 25 juta
4. 6 orang anggota panitia lelang masing-masing USD 50 ribu
5. Husni Fahmi USD 150 ribu dan Rp 30 juta
6. Anas Urbaningrum USD 5,5 juta
7. Melcias Marchus Mekeng USD 1,4 juta
8. Olly Dondokambey USD 1,2 juta
9. Tamsil Lindrung USD 700 ribu
10. Mirwan Amir USD 1,2 juta
11. Arief Wibowo USD 108 ribu
12. Chaeruman Harahap USD 584 ribu dan Rp 26 miliar
13. Ganjar Pranowo USD 520 ribu
14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Banggar DPR USD 1,047 juta
15. Mustoko Weni USD 408 ribu
16. Ignatius Mulyono USD 258 ribu
17. Taufik Effendi USD 103 ribu
18. Teguh Djuwarno USD 167 ribu
19. Miryam S Haryani USD 23 ribu
20. Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR masing-masing USD 37 ribu
21. Markus Nari Rp 4 miliar dan USD 13 ribu
22. Yasonna Laoly USD 84 ribu
23. Khatibul Umam Wiranu USD 400 ribu
24. M Jafar Hapsah USD 100 ribu
25. Ade Komarudin USD 100 ribu
26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing Rp 1 miliar
27. Wahyudin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri Rp 2 miliar
28. Marzuki Ali Rp 20 miliar
29. Johanes Marliem USD 14,880 juta dan Rp 25.242.546.892
30. 37 anggota Komisi II lainnya seluruhnya berjumlah USD 556 ribu, masing-masing mendapatkan uang berkisar antara USD 13 ribu sampai dengan USD 18 ribu
31. Beberapa anggota tim Fatmawati yaitu Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing Rp 60 juta
32. Manajemen bersama konsorsium PNRI Rp 137.989.835.260
33. Perum PNRI Rp 107.710.849.102
34. PT Sandipala Artha Putra Rp 145.851.156.022
35. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra Rp 148.863.947.122
36. PT LEN Industri Rp 20.925.163.862
37. PT Sucofindo Rp 8.231.289.362

38. PT Quadra Solution Rp 127.320.213.798,36
👻
TEMPO.COJakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah bekerja untuk membuktikan peran Arif Budi Sulistyo dalam perkara dugaan suap kepada pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Arif merupakan Direktur Operasional PT Rakabu Sejahtera sekaligus adik ipar Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Suap Pejabat Pajak, KPK Buktikan Peran Adik Ipar Jokowi

"KPK akan buktikan tiga hal. Pertama, Arif Budi Sulistyo diduga mitra bisnis terdakwa. Ia diduga mengenal pejabat-pejabat di DJP. Kami akan buktikan ini," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, di kantornya, Selasa, 14 Februari 2017. Kasus suap pejabat Ditjen Pajak ini dilakukan oleh PT EKP.

Nama Arif muncul dalam surat dakwaan Ramapanicker Rajamohan Nair, Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia. Ia didakwa menyuap Handang Soekarno, Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebesar Rp 1,9 miliar. Suap itu diduga diberikan agar Handang membantu menyelesaikan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP.

Selama proses penyidikan, nama Arif tidak pernah dicantumkan dalam daftar pemeriksaan saksi yang dipanggil penyidik KPK. Namun, Febri mengatakan penyidik pernah memeriksa Arif pada pertengahan Januari lalu.

Baca pula: Kasus Suap PT EKP, KPK Terus Dalami Peran Adik Ipar Jokowi

Tak dicantumkannya nama Arif dalam jadwal pemeriksaan, kata Febri, merupakan strategi penyidik agar lebih konsentrasi pada substansi perkara. "Dari konstruksi dakwaan kita bisa baca di sana. Ada beberapa peran krusial yang akan kami buktikan," katanya.

Febri memastikan lembaganya tidak akan melihat status Arif sebagai adik ipar Presiden Joko Widodo dalam menangani perkara ini. Ia berujar, penyidikan terus berjalan dan KPK akan membuktikan apa yang sudah tertulis dalam surat dakwaan. "Proses ini akan dilakukan apa adanya. KPK akan melakukan proses hukum," katanya.

MAYA AYU PUSPITASARI

👌

Jakarta detik- Sebagai hakim konstitusi, Patrialis Akbar dikenal sebagai sosok yang religius. Mantan Menkum HAM itu juga memiliki gaya hidup kaum elite dengan hobi bermain golf.

Kesukaan Patrialis main golf sudah menjadi rahasia umum di MK. Hampir setiap kali di sela waktu senggangnya, Patrialis mengisi aktivitas dengan bermain golf.

"Setahu saya, bukan sejak jadi hakim, tetapi memang sudah olahraganya itu dari dulu," kata jubir MK Fajar Laksono kepada detikcom, Senin (30/1/2017).

"Tetapi persisnya saya tidak tahu," imbuh Fajar.

Sementara itu, salah seorang pegawai MK yang minta namanya tidak disebutkan menceritakan Patrialis adalah sosok pribadi yang religius. Bahkan, kalau sudah bicara agama, tidak ada yang berani mendebat pengetahuan Patrialis.

"Iya, kalau berjemaah dan pengajian, ia nomor satu. Kalau Pak Akil memang dekat dengan pegawai, suka bercanda. Kalau Pak Patrialis biasa saja," ujarnya.

Dalam sebulan, Patrialis mendapatkan gaji Rp 78,2 juta per bulan.

Sebagaimana diketahui, Patrialis ditangkap KPK terkait suap dalam judicial review UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dari hasil penangkapan, Patrialis diduga menerima USD 20 ribu dan SGD 200 ribu dari pengusaha pengusaha impor daging Basuki.

"Demi Allah, saya betul-betul dizalimi. Nanti kalian bisa tanya sama Basuki. Bicara uang saja saya nggak pernah. Sekarang saya jadi tersangka. Bagi saya, ini adalah ujian, ujian yang sangat berat," ujar Patrialis usai diperiksa KPK pada Jumat (27/1) dini hari. 
(edo/asp)

Komentar

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019