die hard CORRUPTOR$ (1)
👮
JAKARTA okezone - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, untuk kementerian atau lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) tak berpuas dengan hasil audit laporan keuangan yang mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebab, kata dia, meski mendapat WTP tetap saya terdapat pejabat yang menjadi tersangka korupsi.
BERITA TERKAIT +
Milenial Pilih Jadi Youtuber, Sri Mulyani: Tak Ada yang Mau Jadi Menteri?
Sri Mulyani: Laporan Keuangan WTP Harus Korelasi dengan Pembangunan
Cerita Sri Mulyani dengan Pengusaha Bermodal Rp500 Ribu yang Kini Go International
"Banyak yang mendapatkan WTP tapi korupsi tetap juga jalan," katanya dalam acara Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2018 di Kemenkeu, Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Menkeu Sri Mulyani: Dengan UU PNBP Pemerintah Bisa Pangkas 70.000 Tarif Kementerian atau Lembaga
Dia menyebutkan, dalam kurun waktu Januari-Juli 2018 sudah sebanyak 19 kepala daerah yang ditetapkan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sisi lain, hanya terdapat 8 provinsi dengan laporan keuangan WTP selama 5 tahun berturut-turut, sejak 2013-2017.
"Kepala daerah yang ditangkap lebih dari dua kali lipat (dari provinsi dengan hasil WTP). Semoga enggak bertambah sampai Desember," kata dia.
Bendahara Negara tersebut mengatakan, seharusnya dengan mendapat opini WTP maka dijadikan bahan evaluasi, mana program yang perlu diefisiensikan atau perlu ditambah. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dalam mengelola keuangan negara.
Menkeu Sri Mulyani: Kinerja APBN 2018 Alami Perbaikan
"Seharusnya setelah laporan WTP ada feedback mana program yang baik atau tidak, mana yang bisa dikurangi, proses ini paling lemah sehingga setelah dapat WTP seperti tujuan akhir," katanya.
Di pun menekankan, perlu adanya kerjasama untuk bisa mendorong opini WTP menjadi pijakan mengukur berkurangnya tingkat korupsi pada K/L maupun pemda.
"Kita harus bersama-sama untuk pengelolaan keuangan di pusat dan daerah yang mencapai WTP bisa jadi batu pijakan untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi praktek korupsi. Ini PR yang harus terus kita perbaiki," pungkasnya.
(kmj)
Sebab, kata dia, meski mendapat WTP tetap saya terdapat pejabat yang menjadi tersangka korupsi.
BERITA TERKAIT +
Milenial Pilih Jadi Youtuber, Sri Mulyani: Tak Ada yang Mau Jadi Menteri?
Sri Mulyani: Laporan Keuangan WTP Harus Korelasi dengan Pembangunan
Cerita Sri Mulyani dengan Pengusaha Bermodal Rp500 Ribu yang Kini Go International
"Banyak yang mendapatkan WTP tapi korupsi tetap juga jalan," katanya dalam acara Rakernas Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2018 di Kemenkeu, Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Menkeu Sri Mulyani: Dengan UU PNBP Pemerintah Bisa Pangkas 70.000 Tarif Kementerian atau Lembaga
Dia menyebutkan, dalam kurun waktu Januari-Juli 2018 sudah sebanyak 19 kepala daerah yang ditetapkan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di sisi lain, hanya terdapat 8 provinsi dengan laporan keuangan WTP selama 5 tahun berturut-turut, sejak 2013-2017.
"Kepala daerah yang ditangkap lebih dari dua kali lipat (dari provinsi dengan hasil WTP). Semoga enggak bertambah sampai Desember," kata dia.
Bendahara Negara tersebut mengatakan, seharusnya dengan mendapat opini WTP maka dijadikan bahan evaluasi, mana program yang perlu diefisiensikan atau perlu ditambah. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dalam mengelola keuangan negara.
Menkeu Sri Mulyani: Kinerja APBN 2018 Alami Perbaikan
"Seharusnya setelah laporan WTP ada feedback mana program yang baik atau tidak, mana yang bisa dikurangi, proses ini paling lemah sehingga setelah dapat WTP seperti tujuan akhir," katanya.
Di pun menekankan, perlu adanya kerjasama untuk bisa mendorong opini WTP menjadi pijakan mengukur berkurangnya tingkat korupsi pada K/L maupun pemda.
"Kita harus bersama-sama untuk pengelolaan keuangan di pusat dan daerah yang mencapai WTP bisa jadi batu pijakan untuk memperbaiki tata kelola dan mengurangi praktek korupsi. Ini PR yang harus terus kita perbaiki," pungkasnya.
(kmj)
🐒
TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Komisi Pemberantas Koropsi geram dengan praktik suap yang diduga dilakukan oleh bekas Kepala Lembaga Permasyarakatan atau Kalapas Sukamiskin Wahid Husein. "Yang membuat saya kesal, dan pimpinan kesal, Kalapas yang baru saja diangkat sudah melakukan tindak pidana korupsi," kata Wakil Ketua KPK, Laode Syarif di kantornya, Jakarta, Sabtu, 21 Juli 2018.
Syarif mengatakan Wahid Husein baru menjabat lima bulan sudah menerima dua mobil yang diduga merupakan imbalan dari pemberian fasilitas kamar narapidana korupsi dan izin luar biasa.
Baca:
Menteri Yasonna: Kalapas Sukamiskin Digoda Banyak HalKPK Tetapkan Kalapas Sukamiskin dan Suami Inneke ...
Menteri Yasonna: Kalapas Sukamiskin Digoda Banyak HalKPK Tetapkan Kalapas Sukamiskin dan Suami Inneke ...
Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat tersangka, yaitu Wahid dan staf Wahid di Lapas Sukamiskin, Hendry Saputra sebagai penerima suap. Sedangkan tersangka pemberi suap adalah koruptor Fahmi Darmawansyah dan Andri Rahmat, narapidana perkara pidana umum, pendamping Fahmi. Sehai-hari, Andri menjadi pembantu Fahmi
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan KPK menyangka Fahmi memberikan uang dan satu unit mobil kepada Wahid sebagai imbalan untuk mendapatkan fasilitas kamar mewah dan izin luar biasa untuk Fahmi sebagai penghuni lapas. Fahmi adalah narapidana perkara suap pengadaan satelit Bakamla.
Baca:
Begini Suasana Lapas Setelah OTT Kalapas SukamiskinDitjen Pemasyarakatan: Kalapas Sukamiskin dan Staf ...
Begini Suasana Lapas Setelah OTT Kalapas SukamiskinDitjen Pemasyarakatan: Kalapas Sukamiskin dan Staf ...
Fasiltas mewah itu terungkap saat petugas KPK menggeledah kamar Fahmi. Dalam rekaman penyidik KPK terlihat kamar Fahmi dilengkapi dengan pendingin udara, televisi, lemari pendingin, rak, kamar mandi yang dilengkapi pancuran air, dan wastafel.
Saut menyebutkan dalam operasi tangkap tangan atau OTT Kalapas Sukamiskin itu penyidik KPK menyita barang bukti uang tunai senilai Rp279 juta dan US$1.140, serta dokumen pemberian dan penerima mobil berserta dua mobilnya yang diduga diterima kepada Wahid Husein untuk jual beli fasilitas mewah itu.
🌳
Banda Aceh – Masyarakat Aceh sangat mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar seluruh perkara korupsi yang ada di Aceh. “Suasana itu saya dapatkan selama seminggu ini saya keliling Aceh,” kata anggota DPD dari Aceh, Fachrul Razi, Jumat (13/7).
Awal Juli lalu, KPK menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dan Bupati Bener Meriah Ahmadi. Mereka dituduh terlibat dalam perkara korupsi. Bersama mereka dibekuk juga sejumlah tersangka lainnya. Selain itu, KPK juga menggeledah sejumlah tempat berkaitan dengan perkara korupsi.
Menurut Fachrul Razi, kedatangan KPK ke Aceh itu mendapat respons positif dari masyarakat. “Mengembalikan kepercayaan masyarakat atas penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Aceh. Masyarakat Aceh tahu, pemerintah pusat mengirim uang sangat banyak ke Aceh. Tetapi mereka tidak pernah tahu uang itu digunakan untuk apa,” katanya kepada Beritasatu.com.
Politisi Partai Aceh ini menjelaskan bahwa uang yang sangat banyak itu berupa dana otonomi khusus (otsus). Aceh berhak atas dana otsus selama 20 tahun, dimulai sejak 2008 dan akan dihentikan pada 2027.
“
Sejak 2008 hingga 2017, Aceh telah menerima dana otonomi khusus sejumlah Rp 56,67 triliun. "Uang sebanyak itu seharusnya bisa mengubah wajah Aceh. Mengubah nasib masyarakat Aceh.”
”
Dihubungi terpisah, Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPW Aceh Kamaruddin memperkirakan selama 20 tahun itu, akan ada Rp 163 triliun kucuran dana otonomi khusus yang diterima Aceh dari pemerintah pusat.
Jadi sejak 2008 hingga 2017, kata Kamaruddin, Aceh telah menerima dana otonomi khusus Rp 56,67 triliun. “Uang sebanyak itu seharusnya bisa mengubah wajah Aceh. Mengubah nasib masyarakat Aceh,” katanya kepada Beritasatu.com.
Mengutip Pasal 183 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dana otonomi khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan orang miskin, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Namun apa yang terjadi? Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin. “Awal 2018, Aceh masuk enam provinsi termiskin di Indonesia. Ini sangat memprihatinkan,” kata Kamaruddin.
Masalahnya, kata Kamaruddin, tidak ada master plan atau rencana induk pengelolaan dana otsus. Sebetulnya, Bank Dunia sudah menyuarakan soal pentingnya master plane dana otsus sejak 2011. Pengelolaan yang tanpa arah itu menyebabkan ketidakjelasan pemanfaatan anggaran. Itulah sebabnya, Bank Dunia menemukan dana otsus seperti menguap pada proyek-proyek kecil dan tak berbekas.
Disebutkan, setidaknya 54 persen dari 5.313 kegiatan pada 2010 yang bersumber dari dana otsus tergolong berskala kecil (di bawah Rp 100 juta), tidak strategis dan tidak memiliki daya ungkit pembangunan. Dana tersebut di antaranya digunakan untuk pembangunan pagar sekolah, paving block, dan toilet. Tentu saja ini menyimpang dari tujuan utama dana otsus untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.
“
Dari total Rp 21,1 triliun uang otonomi khusus yang dikucurkan saat itu, sekitar Rp 5,1 triliun atau 24 persennya menguap.
”
Jadi tak heran jika kemudian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh menemukan penyimpangan penggunaan dana otonomi khusus periode 2008 – 2012. Dari total Rp 21,1 triliun uang otonomi khusus yang dikucurkan saat itu, sekitar Rp 5,1 triliun atau 24 persennya menguap.
Maka, masuk akal jika Ketua Masyarakat Transparansi Aceh (Mata), Alfian menyebutkan dana otsus adalah sumber bancakan para koruptor di Aceh. “Dana otsus menjadi andalan pembangunan di Aceh, seharusnya aparat penegak hukum fokus memantau pengelolaan dana otsus,” katanya.
Menurut data dari Mata, dari 2017 hingga semester pertama 2018, sudah 94 orang yang menjadi tersangka korupsi, 51 di antaranya berasal dari aparat pemerintahan, selebihnya dari swasta dan perangkat desa. Dari kasus tersebut, negara dirugikan Rp 349 miliar.
Sebagai catatan, selama 15 tahun dana otsus dikucurkan ke Aceh, pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab Irwandi Yusuf dan Zaini Abdullah yang menjabat gubernur pada kurun waktu tersebut. Keduanya adalah mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Irwandi adalah gubernur Aceh yang mengawali pengelolaan dana otsus sejak 2008. Semula, ia menjadi gubernur periode 2007-2012. Pengelolaan dana otsus berikutnya adalah di masa Gubernur Aceh Zaini Abdullah periode 2012-2017, lalu Irwandi menjadi gubernur lagi untuk periode 2017-2022.
Namun, sejauh ini baru Irwandi yang terciduk KPK. Irwandi diduga menerima suap dari Ahmadi sebesar Rp 500 juta terkait pembahasan anggaran dana otsus Aceh tahun 2018. Diduga, suap ini bagian dari Rp 1,5 miliar yang diminta Irwandi terkait fee ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari dana otonomi khusus Aceh (DOKA) pada Provinsi Aceh tahun anggaran 2018.
Irwandi membantah tuduhan itu. "Saya enggak melanggar apa pun,” kata Irwandi kepada wartawan setelah menjalani pemeriksaan di kantor KPK pada Rabu (4/7) malam.
“Enggak mengatur fee, enggak mengatur proyek, enggak terima fee, enggak ada janji memberikan sesuatu, tidak pernah meminta apa pun," tegasnya.
Hanya saja KPK berpandangan berbeda, sehingga menetapkan Irwandi menjadi tersangka. "Salah satu tujuan kenapa pemberantasan korupsi dilakukan agar hak masyarakat untuk menikmati anggaran keuangan negara atau daerah tidak dirugikan karena diambil oleh oknum pejabat tertentu," kata Jubir KPK, Febri Diansyah.
Karena itu, KPK berharap penanganan kasus korupsi mendapat dukungan dari masyarakat. Harapan ini bersambut, berbagai komponen masyarakat Aceh sangat mendukung pemberantasan korupsi di Aceh.
“Mari sama-sama kita dukung KPK dalam menjalankan tugasnya,” kata Ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh Tgk H Faisal Ali yang juga pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Sibreh ini sebagaimana dikutip serambinews.com.
Bahkan, dari kalangan Komite Peralihan Aceh (KPA)--organisasi yang menjadi wadah para mantan kombatan GAM--juga mendukung KPK. “Biarkan proses hukum itu sesuai aturan yang berlaku, KPA tunduk pada hukum yang berlaku,” ujar Abu Razak, mantan wakil panglima GAM yang kini menjabat wakil ketua KPA, kepada acehtrend.co.
“Hukom nyan raja di ateuh raja (hukum itu adalah raja dari raja). Jadi semua pihak harus taat kepada aturan hukum, tanpa kecuali,” katanya.
Sumber: BeritaSatu.com
Awal Juli lalu, KPK menangkap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dan Bupati Bener Meriah Ahmadi. Mereka dituduh terlibat dalam perkara korupsi. Bersama mereka dibekuk juga sejumlah tersangka lainnya. Selain itu, KPK juga menggeledah sejumlah tempat berkaitan dengan perkara korupsi.
Menurut Fachrul Razi, kedatangan KPK ke Aceh itu mendapat respons positif dari masyarakat. “Mengembalikan kepercayaan masyarakat atas penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Aceh. Masyarakat Aceh tahu, pemerintah pusat mengirim uang sangat banyak ke Aceh. Tetapi mereka tidak pernah tahu uang itu digunakan untuk apa,” katanya kepada Beritasatu.com.
Politisi Partai Aceh ini menjelaskan bahwa uang yang sangat banyak itu berupa dana otonomi khusus (otsus). Aceh berhak atas dana otsus selama 20 tahun, dimulai sejak 2008 dan akan dihentikan pada 2027.
“
Sejak 2008 hingga 2017, Aceh telah menerima dana otonomi khusus sejumlah Rp 56,67 triliun. "Uang sebanyak itu seharusnya bisa mengubah wajah Aceh. Mengubah nasib masyarakat Aceh.”
”
Dihubungi terpisah, Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPW Aceh Kamaruddin memperkirakan selama 20 tahun itu, akan ada Rp 163 triliun kucuran dana otonomi khusus yang diterima Aceh dari pemerintah pusat.
Jadi sejak 2008 hingga 2017, kata Kamaruddin, Aceh telah menerima dana otonomi khusus Rp 56,67 triliun. “Uang sebanyak itu seharusnya bisa mengubah wajah Aceh. Mengubah nasib masyarakat Aceh,” katanya kepada Beritasatu.com.
Mengutip Pasal 183 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dana otonomi khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan orang miskin, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Namun apa yang terjadi? Aceh masih menjadi salah satu provinsi termiskin. “Awal 2018, Aceh masuk enam provinsi termiskin di Indonesia. Ini sangat memprihatinkan,” kata Kamaruddin.
Masalahnya, kata Kamaruddin, tidak ada master plan atau rencana induk pengelolaan dana otsus. Sebetulnya, Bank Dunia sudah menyuarakan soal pentingnya master plane dana otsus sejak 2011. Pengelolaan yang tanpa arah itu menyebabkan ketidakjelasan pemanfaatan anggaran. Itulah sebabnya, Bank Dunia menemukan dana otsus seperti menguap pada proyek-proyek kecil dan tak berbekas.
Disebutkan, setidaknya 54 persen dari 5.313 kegiatan pada 2010 yang bersumber dari dana otsus tergolong berskala kecil (di bawah Rp 100 juta), tidak strategis dan tidak memiliki daya ungkit pembangunan. Dana tersebut di antaranya digunakan untuk pembangunan pagar sekolah, paving block, dan toilet. Tentu saja ini menyimpang dari tujuan utama dana otsus untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh.
“
Dari total Rp 21,1 triliun uang otonomi khusus yang dikucurkan saat itu, sekitar Rp 5,1 triliun atau 24 persennya menguap.
”
Jadi tak heran jika kemudian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh menemukan penyimpangan penggunaan dana otonomi khusus periode 2008 – 2012. Dari total Rp 21,1 triliun uang otonomi khusus yang dikucurkan saat itu, sekitar Rp 5,1 triliun atau 24 persennya menguap.
Maka, masuk akal jika Ketua Masyarakat Transparansi Aceh (Mata), Alfian menyebutkan dana otsus adalah sumber bancakan para koruptor di Aceh. “Dana otsus menjadi andalan pembangunan di Aceh, seharusnya aparat penegak hukum fokus memantau pengelolaan dana otsus,” katanya.
Menurut data dari Mata, dari 2017 hingga semester pertama 2018, sudah 94 orang yang menjadi tersangka korupsi, 51 di antaranya berasal dari aparat pemerintahan, selebihnya dari swasta dan perangkat desa. Dari kasus tersebut, negara dirugikan Rp 349 miliar.
Sebagai catatan, selama 15 tahun dana otsus dikucurkan ke Aceh, pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab Irwandi Yusuf dan Zaini Abdullah yang menjabat gubernur pada kurun waktu tersebut. Keduanya adalah mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Irwandi adalah gubernur Aceh yang mengawali pengelolaan dana otsus sejak 2008. Semula, ia menjadi gubernur periode 2007-2012. Pengelolaan dana otsus berikutnya adalah di masa Gubernur Aceh Zaini Abdullah periode 2012-2017, lalu Irwandi menjadi gubernur lagi untuk periode 2017-2022.
Namun, sejauh ini baru Irwandi yang terciduk KPK. Irwandi diduga menerima suap dari Ahmadi sebesar Rp 500 juta terkait pembahasan anggaran dana otsus Aceh tahun 2018. Diduga, suap ini bagian dari Rp 1,5 miliar yang diminta Irwandi terkait fee ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari dana otonomi khusus Aceh (DOKA) pada Provinsi Aceh tahun anggaran 2018.
Irwandi membantah tuduhan itu. "Saya enggak melanggar apa pun,” kata Irwandi kepada wartawan setelah menjalani pemeriksaan di kantor KPK pada Rabu (4/7) malam.
“Enggak mengatur fee, enggak mengatur proyek, enggak terima fee, enggak ada janji memberikan sesuatu, tidak pernah meminta apa pun," tegasnya.
Hanya saja KPK berpandangan berbeda, sehingga menetapkan Irwandi menjadi tersangka. "Salah satu tujuan kenapa pemberantasan korupsi dilakukan agar hak masyarakat untuk menikmati anggaran keuangan negara atau daerah tidak dirugikan karena diambil oleh oknum pejabat tertentu," kata Jubir KPK, Febri Diansyah.
Karena itu, KPK berharap penanganan kasus korupsi mendapat dukungan dari masyarakat. Harapan ini bersambut, berbagai komponen masyarakat Aceh sangat mendukung pemberantasan korupsi di Aceh.
“Mari sama-sama kita dukung KPK dalam menjalankan tugasnya,” kata Ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh Tgk H Faisal Ali yang juga pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Sibreh ini sebagaimana dikutip serambinews.com.
Bahkan, dari kalangan Komite Peralihan Aceh (KPA)--organisasi yang menjadi wadah para mantan kombatan GAM--juga mendukung KPK. “Biarkan proses hukum itu sesuai aturan yang berlaku, KPA tunduk pada hukum yang berlaku,” ujar Abu Razak, mantan wakil panglima GAM yang kini menjabat wakil ketua KPA, kepada acehtrend.co.
“Hukom nyan raja di ateuh raja (hukum itu adalah raja dari raja). Jadi semua pihak harus taat kepada aturan hukum, tanpa kecuali,” katanya.
Sumber: BeritaSatu.com
🍥
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief mengatakan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah tidak menjamin bebas korupsi.
Laode mengatakan pemberian opini BPK biasanya hanya didasarkan audit berbasis sample. "Audit BPK biasanya tidak semua. Ada sampling. Jadi mungkin saja itu lolos dari perhatian BPK," kata dia di Istana Wakil Presiden, Jakarta pada Jumat, 8 Juni 2018.
Menurut Laode, kasus korupsi seperti suap masih mungkin terjadi meski BPK sudah melabeli dengan opini WTP. "Mereka terima suap biasanya tidak bisa dideteksi dengan audit, karena itu mereka menerima suap," ujarnya.
Hal ini terbukti dengan penangkapan Bupati Purbalingga Tasdi oleh KPK. Pemerintah daerah itu menerima predikat WTP dari BPK.
Tasdi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap sebesar Rp 100 juta. Suap ini diberikan dalam proyek pembangunan Purbalingga Islamic Center tahap kedua tahun 2018. KPK menduga uang tersebut bagian dari komitmen imbalan sebanyak Rp 500 juta yang diminta Tasdi dari perusahaan pemenang proyek bernilai Rp 22 miliar itu.
Selain menangkap Tasdi, KPK menetapkan Kepala Unit Layanan Pengadaan Kabupaten Purbalingga Hadi Iswanto sebagai tersangka penerima suap. Sementara itu, KPK menetapkan tiga tersangka yang berprofesi sebagai kontraktor sebagai pemberi suap. Mereka adalah yaitu Hamdani Kosen, Libra Nababan, dan Ardirawinata Nababan.
🍓
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang vonis pengadilan yang akan diketok pada Selasa (24/4) mendatang, tidak banyak hal yang dilakukan oleh Setya Novanto selama di Rumah Tahanan K4 KPK.
Dirinya hanya lebih memperbanyak berdoa untuk keadilan. Hal itu dikatakan oleh istri Novanto, Deisti Astriani Tagor usai menjenguk suaminya.
"Lebih perbanyak doa saja sih tadi. Ya saya juga doakan juga yang terbaik buat Bapak," katanya kepada Tribun, Jakarta, Senin (16/4).
Diungkapkan olehnya, terdakwa kasus korupsi KTP Elektronik itu, kini sudah lebih tenang menghadapi proses hukum.
Tidak banyak hal yang dibicarakan selama menjenguk suaminya. Deisti hanya mengatakan, sempat membawa makanan kesukaan Novanto.
"Hanya bawa makanan saja tadi. Tidak banyak curhat juga kok tadi. Bapak sudah lebih tenang sekarang," ucapnya.
Mengenakan baju berwarna hitam dan putih, Deisti juga segera meninggalkan rumah tahanan karena harus menjadi saksi dalam persidangan dokter Bimanesh sebagai saksi.
Pengadilan Tindak Tipikor Jakarta mengagendakan sidang putusan atau vonis untuk terdakwa perkara korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov) pada Selasa, 24 April 2018.
Pada persidangan sebelumnya, Setya Novanto sempat membacakan pledoi dengan haru dan menangis.
Dalam Pledoinya, Setya Novanto menegaskan dirinya bukanlah orang yang sepenuhnya mengintervensi proyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Di Dalam Penjara Novanto Perbanyak Doa, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/04/17/di-dalam-penjara-novanto-perbanyak-doa.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Hendra Gunawan
🌵
TEMPO.CO, Jakarta - Terseretnya Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan anak buahnya dalam kasus dugaan korupsi dana kapitasi puskesmas di Kabupaten Jombang, dianggap mencederai citra kabupaten tersebut yang dikenal agamis karena banyak pesantren di sana. Ulama di Jombang pun angkat bicara terkait kasus yang menimpa Bupati Nyono dan pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Jombang, Inna Silestyowati.
Salah satu akademisi dan ulama muda di Jombang, Zahrul Azhar, prihatin atas kasus yang menimpa orang nomor satu di kota yang melahirkan banyak tokoh nasional tersebut. “Saya prihatin dan kita tetap memegang azas praduga tak bersalah,” kata Wakil Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang ini, Rabu, 7 Februari 2018.
Pria yang akrab disapa Gus Hans ini pun mengimbau agar peristiwa tersebut diambil hikmahnya dan jadi pelajaran bagi semua pihak. “Dapat diambil hikmahnya bagi siapa pun yang mendapatkan amanah dari rakyat, betapa pentingnya menjaga amanah,” kata Gus Hans yang juga jadi pengasuh Asrama Queen Al-Azhar Pondok Pesantren Darul Ulum.
Ia berpendapat bahwa korupsi yang dilakukan bisa saja dipengaruhi biaya politik yang tinggi dalam proses demokrasi di Indonesia. “Money politics dari semua tingkatan sudah kronis dan menjadi beban bagi si pengejar amanah,” ujarnya.
Bupati Jombang Nyono Suharli dan anak buahnya, Inna Silestyowati, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Minggu, 4 Februari 2018. Inna diduga memberikan uang suap kepada Bupati Nyono sebagai pelicin agar ditetapkan sebagai pejabat definitif Kepala Dinas Kesehatan. Uang yang diberikan kepada Nyono itu dikumpulkan Inna melalui kutipan jasa pelayanan kesehatan atau dana kapitasi dari 34 puskesmas di Jombang.
🍐
Berita yang marak akhir-akhir ini yang marak diberitakan mengenai baik diberita cetak maupun media elektronik menyuguhkan tentang kasus penyuapan yang melibatkan pejabat lembaga pemerintah di lingkungan Mahkamah Agung maupun pada lembaga legislatif yaitu para anggota DPR yang nota bene adalah wakil rakyat.
Sering kali kita melihat/menyaksikan pelaksanaan sumpah jabatan dilingkungan lembag pemerintah Departemen maupun non Departemen
Dimana setiap pejabat yang diangkat untuk duduki suatu jabatan pasti akan melaksanakan suatu sumpah yang disertai oleh Rahaniawan sesuai dengan kepercayaan dengan membawa kitab suci dari masing-masing pejabat yang melaksanakan penyumpahan. Namun pada kenyataan banyak pejabat yang tidak memaknai sumpah jabatan tersebut dengan hati nurani, pengucapan sumpah hanya dilaksanakan sebagai suatu acara serimonial yang biasa dilaksanakan pada setiap lembaga. Pada setiap acara penyumpahan sebelum mengucapkan sumpah selalu diawali dengan kalimat menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa (Demi Allah Saya Bersumpah) yang di dampingi oleh Rahaniwan sesuai dengan kepercayaannya dan dalam kalimat sumpah tersebut berisi antara lain “ SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA TIDAK AKAN MENERIMA HADIAH ATAU SESUATU PEMBERIAN BERUPA APA SAJA DARI SIAPAPUN JUGA, YANG SAYA TAHU ATAU PATUT DAPAT MENGIRA, BAHWA IA MEMPUNYAI HAL-HAL YANG BERSANGKUTAN ATAU MUNGKIN BERSANGKUTAN DENGAN JABATAN ATAU PEKERJAAN SAYA, SAYA SENANTIASA AKAN LEBIH MEMENTINGKAN KEPENTINGAN NEGARA, DARI PADA KEPENTINGAN SAYA SENDIRI, SESEORANG ATAU GOLONGAN………..”
Dalam isi sumpah tersebut terbesit suatu makna yang dalam yang melarang bagi setiap pejabat untuk menerima suatu hadiah baik berupa barang maupun uang secara langsung maupun tidak langsung yang akan mempengurahi suatu keputusan/kebijakan terhadap kepentingan/kebutuhan lembaga/organisasi secara umum.
Bagi seorang muslim khususnya, mengucapkan dan menanda tangani sumpah dengan menyebut nama Allah merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim kepada Tuhannya, dinama para malaikat menyaksikan serta mencatat semua ucapan kita dan ucapaan tersebut akan dimintai pertanggung jawabannya kelak dihadapan Allah seperti yang tertulis dalam Alquran surat yasin ayat 65 (QS : 36:65) yang artinya “ Pada hari ini kami tutup mulut mereka ; tangan mereka akan berkata kepada kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”
Pada ayat tersebut menurut menurut tafsir Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, dkk dalam buku Ensiklopedia Alquran adalah sebagai berikut : Pada hari akhirat nanti, kami akan tutup mulut orang-orang sehingga tidak bias bicara seperti orang bisu dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan bersaksilah kaki mereka terhapat kemaksiatan yang dahulu mereka lakukan, Allah akan menciptakan pada tangan dan kaki kemempuan untuk bicara dan setiap anggota badan bias mengatakan apa yang telah dilakukannya.
Dari ayat tersebut diatas bagi setiap muslim seharusnya menyadari bahwa setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang telah dilakukannya terbih bagi seorang pejabat yang telah dipercayakan untuk memimpin dalam suatu lembaga/organisasi bagi para anggotanya khususnya dan masyarakat pada umummya, Jika semua pejabat muslim benar-benar mengakui alquran sebagai petunjuk dalam memegang amanat yang diberikan maka semua kejadian yang memalukan diri, keluarga dan membuat sakit hati masyarakat tidak akan terjadi.
Dan semua kejadian ini juga akan menjadi pelajaran bagi saya khususnya dan kita semua untuk lebih bisa memahami, dan mengerjakan ajaran alquran yang kita akui sebagai putunjuk dalam menjalani kehidupan didunia dan kehidupan yang lebih abadi di akhirat. utri's weblog
👀
Oleh: Dr. Zaprulkhan, M.S.I
Pemerhati Sosial Keagamaan
Bangka Pos: JIKA kepada kita semua dilontarkan sebuah pertanyaan: Kejahatan sosial apakah yang paling sulit dienyahkan di bumi nusantara kita ini? Barangkali sebagian besar kita mudah untuk menyepakati dengan sebuah jawaban singkat satu kata: korupsi. Tapi jika pertanyaannya dilanjutkan: Mengapa kejahatan korupsi di Indonesia sulit diberantas?
Dan mengapa banyak koruptor seakan-akan tidak lagi mempunyai rasa malu dan merasa tidak bersalah? Pertanyaan tersebut akan menjadi benang merah refleksi kita pada Hari Anti Korupsi Dunia yang jatuh pada 9 Desember. Terhadap pertanyaan kedua dan ketiga ini mungkin sulit bagi kita dalam merumuskan sebuah jawaban yang kita sepakati. Hal ini disebabkan kompleksitasnya korupsi yang sudah menjelma kejahatan struktural (sistemik) yang nyaris menyentuh setiap lini birokrasi kehidupan bangsa kita dan ambiguitasnya wajah para koruptor; terlebih lagi koruptor kelas kakap.
Tapi untuk menyibak kompleksitas persoalan yang sudah klise ini, mari kita membedahnya melalui analisa struktural dari seorang pakar etika politik, Haryatmoko dan analisa mitologi korupsi dari seorang cendekiawan Muslim, Masdar Hilmy. Dalam perspektif Haryatmoko, setidaknya ada empat bentuk korupsi yang ciri strukturalnya menonjol. Pertama, korupsi-jalan pintas. Yakni, dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi, dan politik, sektor ekonomi membayar untuk kepentingan politik. Bisa masuk dalam ketegori ini kasus para penguasa menginginkan agar UU perburuhan tertentu diberlakukan; atau peraturan-peraturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi. Lalu partai-partai politik mayoritas memperoleh uang sebagai balas jasa. Money politics masuk dalam jenis yang pertama ini meski pertukarannya bukan langsung dari sektor ekonomi.
Kedua, korupsi-upeti yaitu bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Berkat jabatan tersebut seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan baik ekonomi, politik, budaya, bahkan upeti dari bawahan, kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara. Termasuk di dalamnya adalah upaya mark-up. Ketiga, korupsi-kontrak, korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar. Masuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas pemerintah.
Keempat, korupsi-pemerasan yang sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern maupun dari luar; perekrutan perwira menengah TNI atau polisi menjadi manajer human recources departement atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan.
Penggunaan jasa keamanan seperti dilakukan Exxon di Aceh, atau Freeport di Papua adalah contoh yang menyolok. Masuk dalam kategori ini adalah membuka kesempatan kepemilikan saham kepada orang kuat tertentu untuk menghindarkan akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan.
Sedangkan mengapa para koruptor seakan-akan tidak lagi mempunyai rasa malu dan merasa tidak bersalah, bisa dijelaskan dengan beberapa argumentasi berikut. Pertama, banalisasi korupsi, yakni karena sudah begitu banyak orang yang melakukannya. Kalau sudah amat banyak orang yang melakukannya, maka kejahatan korupsi menjadi sesuatu yang biasa (atau bahkan budaya). Di sini, kebiasaan seolah-olah menciptakan hak. Analoginya, persis seperti penjarahan yang dilakukan oleh orang banyak. Dengan melakukan secara massal dan sudah menjadi kebiasaan, seolah-olah bisa mengubah yang jahat menjadi baik. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah kebiasaan jahat telah membungkam nurani pelaku korupsi.
Sedangkan mengapa para koruptor seakan-akan tidak lagi mempunyai rasa malu dan merasa tidak bersalah, bisa dijelaskan dengan beberapa argumentasi berikut. Pertama, banalisasi korupsi, yakni karena sudah begitu banyak orang yang melakukannya. Kalau sudah amat banyak orang yang melakukannya, maka kejahatan korupsi menjadi sesuatu yang biasa (atau bahkan budaya). Di sini, kebiasaan seolah-olah menciptakan hak. Analoginya, persis seperti penjarahan yang dilakukan oleh orang banyak. Dengan melakukan secara massal dan sudah menjadi kebiasaan, seolah-olah bisa mengubah yang jahat menjadi baik. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah kebiasaan jahat telah membungkam nurani pelaku korupsi.
Kedua, nikmat lebih besar berkat impunity (tiadanya sanksi hukum). Banyak koruptor di Indonesia menikmati impunity (tiadanya sanksi hukum).
Kemungkinan ketahuan sangat kecil karena lemah dan tidak efektifnya pengawasan. Seandainya ketahuan dan berakibat menyeret banyak orang lain, lebih baik didiamkan. Seandainya tertangkap dan diproses secara hukum, besar kemungkinan lepas dari jeratan hukum. Bisa karena aparat penegak hukumnya korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberi alibi, melemahkan bukti hukum, mementahkan keterangan saksi yang memberatkan, dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.
Kemungkinan ketahuan sangat kecil karena lemah dan tidak efektifnya pengawasan. Seandainya ketahuan dan berakibat menyeret banyak orang lain, lebih baik didiamkan. Seandainya tertangkap dan diproses secara hukum, besar kemungkinan lepas dari jeratan hukum. Bisa karena aparat penegak hukumnya korup atau karena kepiawaian pembela yang mampu memberi alibi, melemahkan bukti hukum, mementahkan keterangan saksi yang memberatkan, dan menampilkan banyak saksi yang meringankan.
Dalam banyak kasus, proses hukum seperti itu justru berbalik menjadi alat pembersihan diri dan rehabilitasi pelaku korupsi. Memang semua prosedur hukum yang dianggap adil sudah diikuti, namun hasilnya tidak sesuai dengan rasa keadilan. Karena secara legal tidak terbukti melakukan korupsi, lalu seakan-akan secara moral dibenarkan. Dengan cara itu, koruptor merasa bisa dibebaskan dari beban rasa bersalah. Padahal, yang legal tidak sama dengan yang moral.
Ketiga, impersonalisasi korban korupsi. Artinya korban korupsi tidak berwajah. Koruptor biasanya tidak mau menyamakan diri dengan pencuri atau perampok, meskipun perilaku dan hasil yang diakibatkannya sering lebih jahat dari pada pencuri atau perampok. Pemberian nama kejahatan kerah putih sudah meringankan beban, artinya tidak diperlakukan seperti pencuri ayam atau penodong jalanan. Maka, jarang terjadi koruptor yang tertangkap dianiaya massa meskipun kerugian yang diakibatkannya lebih dahsyat. Istilah ‘kerah putih’ itu sendiri memberi aroma elite, sebuah euphemisme yang melegakan karena berarti tidak akan dilakukan orang yang tidak berpendidikan.
Keempat, mekanisme silih atas kejahatan korupsi. Uang korupsi tidak dimakan sendiri, tetapi juga dinikmati oleh orang lain, untuk kepentingan partai, lembaga amal, rumah yatim, membangun rumah ibadat, membantu korban banjir, dan sebagainya.
Dengan mengalokasikan sebagian kecil hasil korupsi untuk keperluan itu, koruptor merasa telah melakukan silih atas kejahatannya. Kalau masih terusik nuraninya, alokasikan sebagian kecil lagi untuk kepentingan agama atau rumah ibadat, maka dosa kejahatan itu sudah “tertebus”. Setelah semua proses itu, undang saja seorang pastor, pendeta, ustadz, atau kyai untuk mendoakan atau memberkati, maka tidak akan kelihatan bahwa itu merupakan hasil korupsi. Semua perilaku ini sebenarnya hanya sebagai `spiritual laundering’, semacam upaya pemutihan dosa secara semu.
Melihat fakta korupsi yang sudah bersifat struktual itu, maka tidak heran bila mahasiswa, kaum intelektual, cendekiawan, bahkan kyai, atau orang-orang yang berteriak hancurkan KKN, akan terperangkap jerat yang sama bila mereka masuk dalam lingkaran struktural kekuasaan.
Sebagian para koruptor sekarang ini adalah orang-orang yang sama yang pada tahun 1978 dan 1998 meneriakkan “Turunkan harga”, “Ganyang korupsi”, “Berantas KKN”, “Kembalikan harta rakyat”. Dengan demikian dalam lingkaran struktural kekuasaan, baik politisi, pejabat tinggi, pengusaha, akademisi, agamawan, dan rakyat sama-sama memiliki tingkat kerapuhan untuk terjebak dalam korupsi.
Religion and Attitudes Towards Corruption in a Globalised World
17 AUGUST 2011
Heather Marquette is Senior Lecturer in Governance in IDD. Her areas of research include comparative politics; political development; African politics; state-building and governance in difficult environments; corruption, good governance and ‘moral politics’; donor approaches to anti-corruption reform; discourses on citizenship; and applied political analysis. She directs IDD’s International Political Economy of Development programme and is the academic director of the Governance and Social Development Resource Centre.
There has been growing interest in looking at the underlying anthropological and cultural reasons for why corruption might occur, and a growing understanding that technical, management-led approaches to anti-corruption are not providing the level of success desired. There is a clear need to look as well at why individuals choose to be corrupt and how their values and attitudes towards corruption are shaped.
The basis for the increasing attention given to the religion-corruption nexus stems from the argument that fairness and honesty form the basis of many religions. It is sometimes assumed that religious leaders may be recruited to the fight against corruption and that religious people are less likely than non-religious people to engage in corruption. (see, for example, Beets 2007)
However, contrary to these assumptions, many of the most corrupt countries in the world (according to TI’s Corruption Perceptions Index) also rank highly in terms of religiosity (using indicators such as those used in the Pew Global Attitudes Project). So why is it that apparently religious people seem to engage in corruption to the point where it becomes a ‘way of life’ in many countries?
Corruption as a collective action problem, regardless of religion
Recent research at the Quality of Government Institute at the University of Gothenburgargues that corruption needs to be seen as a ‘collective action problem’. This means that corruption is seen to be so widespread in society that ‘even if most individuals morally disapprove of corruption and are fully aware of the negative consequences for the society at large, very few actors show a sustained willingness to fight it.’
However, almost all of the respondents in both countries saw corruption as being so deeply entrenched within the system – ‘systemic corruption’, as it is known – that there was little sense that individual action would make any difference. As such, individuals are left with a typical collective action problem, where choosingnot to engage in corruption is seen as illogical or even ridiculous.Our own research draws a similar conclusion. All of our respondents offered very robust definitions of corruption, and very few of the respondents tolerated any form of corrupt behaviour. There was a very strong sense of moral outrage in both countries regarding corruption. In India, this tended to be voiced along secular lines, with respondents emphasizing the impact of corruption on poverty, on growth, on trust in government, and in society in general. Nigerian respondents, on the other hand, tended to see corruption as a lack of the fear of God and drew very clear links between religion and corruption.
In addition, respondents often did what is called ‘othering’, seeing corruption as something that other, immoral people do, while what they might do is simply making the best of a bad situation. They clearly separated public and personal morality when it came to their own behaviour but not when it came to condemning the behaviour of others. For some respondents, there was a sense that in a corrupt system, choosing not to be corrupt put one’s own family at a serious disadvantage compared to others.
Summarising some of the responses, this means that, for example, when I have to pay a bribe, I do so because the system – which is external to me – is corrupt; there is thus no conflict with my own values, religious or otherwise, because I am only doing what is unfortunately necessary in this system to get by. On the other hand, the person sitting across the desk from me with his hand out for a bribe, or my neighbour who pays for unfair advantage, must not be ‘truly religious’, because they are demonstrating a clear lack of ethics.
In corruption terms, this is called ‘demand side’ and ‘supply side’ and is where position is important. Because the few are on the ‘demand side’ – those public officials who demand or accept bribes, embezzle public funds, or so on – it is easy for those who do not have similar positions to condemn them as being unethical and untrue to the tenets of their religious beliefs. However, because the many are on the ‘supply side’ – those who offer or give bribes, seek favour, and so on – more respondents were hesitant to condemn this behaviour as unethical and unreligious.
Corruption, religion and (lack of) trust
The sense that corruption is pervasive and widespread has led to a real lack of trust both in the state and in society more widely. Research on trust and religion shows that religion may be problematic in this sense, because religion helps build intra-group trust but not inter-group trust. Collective efforts from religious leaders cutting across religions and regions may be more helpful than looking to individual religious leaders or communities who may blame others within their community for corruption and create or escalate inter-group tensions.
In a country like Nigeria, where there is widespread religious competition and conflict along religious (and often also ethnic) lines, trying to enlist religious leaders in the fight against corruption could be extremely problematic. Leaders might use the same process of ‘othering’ to persuade their followers that being uncorrupt marks them out from corrupt ‘others’ in different religious traditions and communities, which could inflame existing tensions.
In a country like India, where there is a clear majority religion, this is less of a concern, but diffusion of religious messages on anti-corruption where there is no regular meeting place, no clear religious leadership, and no religious dogma would be very difficult, to say the least.
In either case, the ability of religious organisations to play a positive role in fighting corruption was seen as directly related to their own perceived or demonstrated ethical behaviour. There was a great deal of scepticism among respondents in both countries of religious organisations’ ability to play this role because there is so much evidence of corruption within religious organisations themselves.
Interestingly, in both countries respondents felt strongly that religion should make people less corrupt and certainly should impact upon their behaviour and attitudes but often see it as part of an overall ‘package’ of moral upbringing coming out of the family. There was a call for better values education – possibly but not always necessarily involving religious organisations, but that this needs to come early in life to have an impact.
Corruption and values in a globalised world
Values education would face stiff competition, however, from other messages in society that value material success: something strongly felt in both countries, particularly by our younger respondents. Blame for rampant corruption was put squarely on ‘consumerist’ and ‘materialistic’ aspects of modernisation and globalisation. In India, this was often called the ‘excessive “having more” syndrome’. Respondents evoked the times when flaunting wealth was considered bad behaviour and claimed that this was no longer the case. Indeed, in both countries there was a sense that people increasingly bragged about the scale of their own corruption in order to make themselves look successful.
People were said to indulge in corruption in the name of God or undertake to ‘make God a stakeholder in corruption’ by constructing temples or donating ill-gotten wealth to charity. Religious donations, rituals, and ceremonies were seen increasingly as ways to display wealth.
A director of an Anti-Corruption Bureau in India explained, ‘I definitely feel that this propensity to acquire more and more wealth, without bothering about the means of acquisition, is resulting in a tremendous amount of corruption in the society. This includes the competitive spirit, the demands made by young people from their parents or made by them on themselves to acquire wealth, and the general acceptance in the society of people with money, without looking into their professional accomplishments. That is contributing to a lot of corruption and permissiveness in society.’
Consumerism and ‘worshipping’ of wealth and material success were seen as the problem, but most respondents said that this was not the same thing as being ‘modern’. In India, certainly, being ‘modern’ is seen as being ‘progressive’ and ‘open’. You can be ‘modern’ while wearing traditional clothes, being religious, and living simply; conversely, you can be ‘traditional’ and live opulently and display wealth. Consumerism, in most of our respondents’ minds, was not linked to ‘modernity’ but to globalisation and liberalisation. As the latter is often prescribed as part of anti-corruption strategies, particularly in terms of breaking down ‘traditional’ kinship and patronage networks, this suggests that part of the ‘solution’ for corruption could also be part of the ‘problem’!
Most respondents called for a return to ‘simple living, high thinking’ as an antidote to hyper-consumerism and to hyper-corruption. It was argued that this is true for all faiths and in fact is not just true for the religious but is part of the ‘human condition’. If this is true, then a possible way forward for anti-corruption policymakers and activists may be to link corruption to other issues to do with the excesses of consumption, such as the environmental movement, and to the debate about over-spending and how it might have contributed to the current economic crisis. In both of these there is already a vocal and mobilised faith-based constituency (among others) that may lend its voice to the fight against global corruption. This may also provide the collective action solution to a collective action problem. However, when religious organisations themselves also look to gain wealth and project material success, and when people pray to God to make them richer and more successful, even this may prove difficult to achieve.
Diprotes, SBY Tetap Lantik Patrialis
13 Agustus 2013 13:18 WIB
JAKARTA - Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hari ini melantik tiga hakim konstitusi. Salah satunya adalah mantan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Selain itu juga ada hakim konstitusi Maria Farida dan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang diperpanjang masa jabatannya untuk periode 2013-2018.
Patrialis Akbar menggantikan hakim konstitusi Achmad Sodiki yang akan pensiun. Menurut Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, pemilihan Patrialis dilakukan sesuai dengan aturan dan pertimbangan serta mendapat masukan dari sejumlah jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.
"Kenapa Pak Patrialis? Karena dianggap kapasitas dan kredibilitasnya pantas mewakili pemerintah untuk hakim konstitusi," ujar Julian di kompleks Istana Negara, Jakarta, Selasa, (13/8).
Patrialis sendiri terpilih melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 87/P Tahun 2013. Menurut Julian, pemerintah memiliki hak untuk memilih hakim konstitusi dan tidak perlu penjabaran panjang terkait alasan pemilihan itu. Yang terpenting, sambungnya, Presiden tidak memilih hakim konstitusi secara pribadi melainkan melalui prosedur peraturan perundangan.
"Disebutkan dalam pasal 19 UU MK tidak ada keharusan pemerintah, mendeclare, menjelaskan secara transparan kepada publik. Itu tidak disebutkan dalam UU," tegasnya.
Penunjukkan Patrialis sebenarnya menuai protes dari Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi. Koalisi ini mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan penunjukkan Patrialis sebagai Hakim Konstitusi karena dianggap melanggar konstitusi.
Anggota koalisi dari LBH Jakarta, Alfon mengatakan bahwa pencalonaannya dinilai cacat hukum. Sebab prosesnya telah melanggar UU MK. Di mana pasal 19 UU MK mengatur, pencalonan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Selain itu, penunjukan Patrialis dianggap sebagai bagian dari kompensasi antara PAN dengan SBY. (flo/awa/jpnn)
- Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Harjono mengaku sangat sedih dengan penangkapan Anggota MK Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Begitu saya dengar kabar ini saya menitikkan air mata," kata Harjono kepada Kompas.com, Jumat (27/1/2017).
Harjono mengaku sedih karena ini adalah kali kedua Hakim Konstitusi ditangkap oleh KPK.
Pada Oktober 2013 silam, Akil Mochtar yang saat itu menjabat Ketua MK juga ditangkap tangan. Akil kini tengah menjalani vonis seumur hidup.
Harjono saat itu masih menjabat sebagai salah satu Hakim MK.
"Enggak masuk nalar saya bisa kejadian yang kedua ini. Karena menurut saya peristiwa pak Akil itu sudah sesuatu beban yang sangat berat sekali," ucap Harjono.
Harjono mengatakan, dua kali kasus yang menjerat Hakim MK ini tentunya bisa merusak kepercayaan masyarakat.
Saat kepercayaan publik kepada MK pascapenangkapan Akil Mochtar belum pulih benar, kini sudah ada satu kasus lagi yang menjerat Hakim MK.
"Padahal persoalan bagaimana mengangkat nama kembali MK ini sangat susah," ucap Harjono.
Patrialis ditangkap setelah diduga menerima suap senilai 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi.
Perkara gugatan yang dimaksud yakni, uji materi nomor 129/puu/XII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Uji materi itu kini memasuki tahap akhir.
Patrialis membantah menerima suap. Patrialis justru menganggap dirinya sebagai korban, bukan seorang pelaku korupsi.
Ia meminta agar para hakim Mahkamah Konstitusi serta masyarakat memahami bahwa dirinya sedang mendapat perlakuan tidak adil.
"Demi Allah, saya betul-betul dizalimi. Saya tidak pernah menerima uang satu rupiah pun dari Pak Basuki," ujar Patrialis.
👮
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap basah Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tapanuli Utara Jamel Panjaitan di rumahnya. "Kami memperoleh informasi dari masyarakat," juru bicara KPK, Febri Diansyah, Kamis, 22 Desember 2016.
KPK bersama Polri menggelar operasi tangkap tangan di rumah Jamel Panjaitan. Saat itu ada tiga orang di rumah tersebut, dua di antaranya kepala sekolah, yakni Kepala SMAN 1 Sipahutar berinisial BL dan Kepala SMAN 1 Pangaribuan berinisial JS.
Febri mengatakan, dalam operasi tangkap tangan itu, KPK dan Polri menemukan duit senilai Rp 235 juta, US$ 100, dan 200 yuan.
Menurut dia, duit tersebut diduga diberikan atas permintaan Jamel. Ia menilai, dari sudut pandang pungutan, akan berisiko menjalar terhadap tingginya beban yang harus dibayar masyarakat untuk pendidikan. “Meski jumlah sedikit, efek langsungnya ke masyarakat,” katanya.
KPK bisa menentukan dua arah penyidikan kasus Jamel. Menurut Febri, apabila terbukti ada unsur paksaan, bisa diarahkan ke tindak pidana pemerasan. Namun, apabila tidak ada unsur pemerasan, patut diduga sebagai suap atau gratifikasi.
Kasus tersebut kini ditindaklanjuti oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Menurut Febri, pihaknya tidak bisa mengambil alih perkara lantaran bukan termasuk penyelenggara negara. Selain itu, nilai kerugian tak sampai Rp 1 miliar. Namun ia memastikan KPK siap membantu.
Febri menambahkan, wilayah Sumatera Utara merupakan satu dari enam wilayah yang berada di zona merah KPK. Tahun ini KPK tengah fokus memantau enam wilayah tersebut sebagai upaya pemberantasan korupsi. Ia menyebut keenam wilayah itu adalah Sumatera Utara, Riau, Banten, Aceh, Papua, dan Papua Barat.
DANANG FIRMANTO
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono bikin geram netizen, Jumat (23/12/2016).
Sebuah kebijakan yang dinilai netizen tidak tepat disahkan oleh Plt Gubernur DKI Jakarta.
Melalui berita berjudul: Anggaran Fantastis DPRD DKI yang Disetujui Plt Gubernur, banyak netizen yang beri tanggapan miring di kolom komentar.
Hingga berita ini diturunkan ada 370 komentar yang sebagian besar beri kritikan dan hujatan pedas untuk Soni.
BestScarlett Ever: Pdahal bru ditinggal cuti Pak Ahok blm ada 2 bln.
Ginting Main Bre Thiganna: Pesta besar nih, anggaran naik 43 m bro..adem ayem semua..disinilah kelihatan mana yang bela rakyat dan mana yang mewakili rakyat..#sadarlah_hey_warga_jakarta.
Irwansyah Tengkuh: ini plt benar2 memanffaatkan jabatannya yg seumur jagung dengan ber'foya2 duit apbd yg melimpah bersama dprd.. selamat korupsi pak berjamaah..! seperti kata pepatah "kalo bisa korupsi? kenapa tidak toh kesempatan tidak datang 2 kali"
Jeky Jamal: Kayaknya betul sekali klo ini berjamaah, PLT kok brani memutuskan, jangan2 sifat aji mumpung yg di gunakan.
Totok Subiyanto Hadiusodo: Pada umumnya legislator itu kritis terhadap rencana anggaran yang diajukan oleh eksekutif, kalau terlalu tinggi biasanya disuruh potong demi menghemat uang negara. Yang terjadi di DKI akhir tahun ini sebuah anomali.
Elvis Gee: Alhamdulilah bs tdr di hotel *****sambil bs cuci mata keluar negri...wrg nya tdr di pondok yg reot.
Cempluk Damayanti: Makanya pada mati matian berjuang ingin menyingkirkan seorang Ahok ....selamat berpesta fora mumpung bebas gk ada yng menghalangi.
Sriie Aminie: Senyum sumringah dpt anggaran gede coba klo gk dpt anggaran pasti dh koar" yg di tileplh di embatlh harus di usutlh bgtulah manusia gk ada puasnya walaupun dh bergelimang uang.
Masih banyak komentar-komentar negatif yang ditujukan pada Plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono.
Sementara ada juga yang membela, seorang natizen mengatakan kalau Soni sudah melaksanakan kewajiban sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kunker fantastis disahkan
Anggaran untuk kunjungan kerja 106 anggota DPRD DKI Jakarta dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2017 cukup fantastis.
Nilainya mencapai Rp 45,5 miliar.
Seperti dilaporkan Dennis Destryawan Tribunnews.com, Pemerintah dan DPRD DKI Jakarta telah mengesahkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah 2017 senilai Rp 70,19 triliun.
Dalam anggaran itu, terdapat Program Peningkatan dan Pengembangan Pengelolaan Keuangan SKPD Urusan Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian.
Kegiatannya berupa pelaksanaan kunjungan kerja pejabat dan staf DPRD DKI Jakarta yang nilainya mencapai Rp 45.501.998,00.
Selain kunjungan kerja, tercantum kunjungan kerja untuk komisi di DPRD DKI Jakarta yang besarannya mencapai Rp 12,5 miliar.
Di 2017, untuk pelaksanaan reses anggota DPRD DKI Jakarta dialokasikan senilai Rp 38,09 miliar.
Selain itu, dialokasikan juga anggaran untuk kunjungan ke sister city Jakarta atau kota kembar.
Beberapa kota yang termasuk sister city dari Jakarta, yakni Beijing, Hanoi, Berlin, Paris, Pyongyang, Rotterdam, Seoul, Tokyo, Bangkok, dan lainnya.
Untuk berkunjung ke sister city dialokasikan sebesar Rp 2,07 miliar.
APBD DKI 2017 disahkan dalam sebuah sidang paripurna pada Senin (19/12/2016) kemarin.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono, Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi, Wakil Ketua DPRD Mohamad Taufik dan Triwisaksana, menandatangani berita acara penyerahan peraturan daerah APBD DKI.
Sumarsono sempat mendorong-dorong troli berisi tumpukan rincian APBD DKI 2017 yang dihias dengan pita berwarna merah.
Nilai APBD DKI 2017 mencapai Rp 70,191 triliun.
Sumarsono mengatakan, pengesahan APBD DKI 2017 terhitung tepat waktu.
Dia memuji DPRD DKI yang mendukung Pemprov DKI untuk mempercepat proses pembahasan anggaran.
"Menurut saya ini karena DPRD mau diajak kerja keras. Seminggu bisa paripurna dua kali sampai tiga kali. Jadi kerja sama yang baik inilah kuci utama APBD bisa lebih cepat dan sukses," ujar Sumarsono di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (19/12/2016).
Dalam dokumen APBD DKI, Sekretariat DPRD DKI mendapatkan dana tambahan.
Semula dirancangan versi Ahok, sekretariat hanya mendapat Rp 100.133.883.034, kemudian dinaikkan sedikit menjadi Rp 100.797.658.783.
Setelah dibahas di DPRD DKI, disahkan menjadi Rp 143.615.667.751.
Total kenaikan anggaran Rp 43.481.784.717.
Dari dokumen itu juga dijelaskan secara rinci, kegiatan apa saja yang dianggarkan DPRD DKI untuk operasional di gedung parlemen tingkat provinsi.
Misalnya, penyedia jasa telepon, air, dan internet yang mendapat kucuran dana senilai Rp 29.373.483.125.
Penyediaan makanan dan minuman bagi anggota DPRD DKI sebesar Rp 11.020.320.450.
Pakaian dinas dan atribut untuk pimpinan dan anggota DPRD DKI dianggarkan senilai Rp 1.387.779.250.
Sebelumnnya, pengamat politik Sebastian Salang menilai, terdapat kelonggaran yang ditunjukan Sumarsono agar DPRD memasukkan anggaran siluman, sehingga anggaran membengkak.
"Kelonggaran luar biasa ditunjukan Pelaksana Tugas. Memberi ruang DPRD memasukkan siluman. Kalau dibiarkan pemborosan periode bisa terjadi. Bahaya bagi tata kelola keuangan daerah," kata Sebastian. (*)
TEMPO.CO, Jakarta - Calon Gubernur DKI Jakarta inkumben, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, terus memprotes tindakan pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Soni Sumarsono, yang merombak rencana anggaran atau Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2017.
"Januari nanti sudah ketok palu (APBD 2017), APBD kita cacat ini," ujar Ahok di Rumah Lembang, Kamis, 24 November 2016.
Ahok geram lantaran Soni merombak total rencana APBD 2017 yang sebelumnya telah ia susun dari jauh hari. Ahok menyebutkan APBD 2017 bisa saja akan cacat jika rencana Soni diteruskan. Soni mengubah besaran anggaran menjadi Rp 70,28 triliun atau naik Rp 7,37 triliun dibanding rencana awal.
Ahok menyindir, jika semua Plt di berbagai daerah dapat mengubah KUA-PPAS, APBD di daerah yang sedang menggelar pilkada akan cacat. Karena itu, ia berharap Mahkamah Konstitusi (MK) segera memberi putusan atas gugatannya terhadap sejumlah pasal yang mewajibkan calon petahana cuti kampanye. "Itu pandangan kami," ucap dia.
"Januari nanti sudah ketok palu (APBD 2017), APBD kita cacat ini," ujar Ahok di Rumah Lembang, Kamis, 24 November 2016.
Ahok geram lantaran Soni merombak total rencana APBD 2017 yang sebelumnya telah ia susun dari jauh hari. Ahok menyebutkan APBD 2017 bisa saja akan cacat jika rencana Soni diteruskan. Soni mengubah besaran anggaran menjadi Rp 70,28 triliun atau naik Rp 7,37 triliun dibanding rencana awal.
Ahok menyindir, jika semua Plt di berbagai daerah dapat mengubah KUA-PPAS, APBD di daerah yang sedang menggelar pilkada akan cacat. Karena itu, ia berharap Mahkamah Konstitusi (MK) segera memberi putusan atas gugatannya terhadap sejumlah pasal yang mewajibkan calon petahana cuti kampanye. "Itu pandangan kami," ucap dia.
Ahok menyebutkan masalah ini yang dari dulu dikhawatirkan. Dia akan menunggu putusan dari MK terkait dengan kewajiban cuti kampanye. "Saya yang taat konstitusi, bawa masalah ini ke MK dikritik, seolah-olah saya orang yang kampanye enggak mau cuti," tutur dia.
Satu di antara materi yang diajukan kepada MK, yakni kewenangan Plt Gubernur membuat APBD DKI Jakarta. Menurut Ahok, seorang Plt seharusnya tak diperkenankan mengubah atau membuat APBD.
Sebelumnya, Soni mengatakan terdapat perbedaan total RAPBD 2017 yang disusun pihaknya dengan rancangan yang pada akhirnya disepakati bersama DPRD. Soni awalnya mengajukan Rp 68,75 triliun, lalu disepakati menjadi Rp 70, 28 triliun.
Adapun dana yang ditambah adalah pada anggaran belanja langsung. Yang terbesar anggaran belanja pengadaan tanah untuk ruang terbuka hijau taman Rp 300 miliar. Selain itu, ada anggaran untuk Bamus Betawi dan anggaran kenaikan gaji guru.
AVIT HIDAYAT
Satu di antara materi yang diajukan kepada MK, yakni kewenangan Plt Gubernur membuat APBD DKI Jakarta. Menurut Ahok, seorang Plt seharusnya tak diperkenankan mengubah atau membuat APBD.
Sebelumnya, Soni mengatakan terdapat perbedaan total RAPBD 2017 yang disusun pihaknya dengan rancangan yang pada akhirnya disepakati bersama DPRD. Soni awalnya mengajukan Rp 68,75 triliun, lalu disepakati menjadi Rp 70, 28 triliun.
Adapun dana yang ditambah adalah pada anggaran belanja langsung. Yang terbesar anggaran belanja pengadaan tanah untuk ruang terbuka hijau taman Rp 300 miliar. Selain itu, ada anggaran untuk Bamus Betawi dan anggaran kenaikan gaji guru.
AVIT HIDAYAT
JAKARTA (Pos Kota) – Dukungan terhadap calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terus mengalir. Ratusan warga yang hadir di Rumah Lembang secara bergantian menyampaikan dukungan di hadapan Ahok.
Seperti halnya yang dilakukan Ratna Wulan Uno. Ia menyebut Jakarta saat ini butuh pemimpin seperti Ahok. ” Semangat Bapak, semoga selalu sabar. Jakarta butuh sepuluh Ahok,” ujar Ratna di Rumah Lembang, jalan Lembang No 27, Jakarta Pusat, Rabu (23/11/2016).
Ratna menilai kejujuran Ahok dalam memimpin dan memberantas praktik korupsi di Jakarta, membuat gubernur petahana itu mempunyai banyak musuh. “Hanya ada satu kesalahan Pak Ahok, yaitu dia tidak mau kerjasama denga para koruptor,” imbuhnya.
Terkait dengan kasus penistaan agama yabg tengah menjerat Ahok, Ratna menyatakan akan tetap mendukung. ” Jika sesuatu terburuk pun tetjadi pada Bapak, kami akan tetap mendukung. Bapak masih terhormat karena tidak terlibat kasus korupsi,” pungkasnya. (ikbal/win)
Jakarta, CNN Indonesia -- Engelbert Jojo Rohi, eks anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), masih ingat betul ketika ia dan kawan-kawannya sembunyi dari kejaran intelijen dan aparat Komando Distrik Militer Surabaya, tepat di depan mata mereka.
Keberhasilan mereka mengelabui aparat hingga kini dikenang Jojo sebagai salah satu momen gemilang perjuangan mereka pada 1997 silam, setahun sebelum gerakan mahasiswa sukses menjatuhkan pemerintahan Presiden Soeharto.
Jojo sempat berhadapan langsung dengan intel saat berada di Sekretariat GMKI Surabaya. Saat itu kebetulan hanya Jojo seorang yang berada di dalam sekretariat.
Seorang pria mendatangi Sekretariat GMKI itu, dan Jojo menyambutnya. Tak diduga, lelaki itu mencari Jojo yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan rezim.
Beruntung, orang itu ternyata belum tahu rupa Jojo. Kesempatan tersebut tak disia-siakan Jojo. Mahasiswa Universitas Wijaya Kusuma itu langsung ambil langkah seribu.
“Saya bilang 'Oh, Jojo masih kuliah. Tunggu saja sebentar lagi juga dia datang.' Si intel percaya. Setelah itu saya pamit ke belakang, terus kabur dengan motor," tuturnya sambil tertawa ketika ditemui CNNIndonesia.com di Jakarta, Senin (23/5).
Setelah kejadian itu, militer terus mengejar Jojo dan teman-teman aktivisnya. Puncaknya saat diskusi pergerakan digelar di sudut Universitas Airlangga.
Diskusi itu dibubarkan karena aparat mencium keberadaan Goenawan Mohamad dan pendiri Partai Rakyat Demokratik Budiman Sudjatmiko di sana. Intelijen juga melihat para anggota PRD di acara tersebut.
Jojo pun menyelamatkan diri. Dia lari ke sekretariat organisasinya yang berada persis di hadapan markas Kodim Surabaya.
Lagi-lagi Dewi Fortuna menaunginya. Meski bersembunyi tepat di depan mata aparat, tentara dan intelijen saat itu tak tahu keberadaan dia dan para aktivis PRD di Sektretariat GMKI.
“Posisi GMKI itu depannya persis Kodim. Makanya jusru kami sembunyi di depan hidung mereka, kan mereka jadi enggak begitu curiga. Anak-anak PRD kami sembunyikan di sana selama beberapa bulan. Budiman Sudjatmiko sehari saja, kemudian pergi lagi,” kata Jojo.
Revolusi, bukan Reformasi
Delapan belas tahun berlalu sejak keruntuhan Orde Baru, namun sedih dan sesal malah menyelimuti Jojo. Ia merasa Reformasi gagal membawa kebaikan bagi Indonesia.
Kegagalan Reformasi, kata Jojo, sesungguhnya telah diprediksi jauh sebelum Orde Baru runtuh. Pertengahan 1990-an, ujarnya, mahasiswa Indonesia tak pernah mendesak Reformasi, tapi Revolusi.
Namun keinginan mahasiswa untuk menjalankan revolusi saat itu sebatas mimpi. Jalan reformasi dianggap lebih damai dan akhirnya dipilih untuk menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru.
"Mahasiswa kencang hendak menjalankan revolusi saat itu. Tapi kami kemudian berkolaborasi dengan kelompok menengah, elite yang agak tua, ada Gus Dur, Amien Rais, Megawati. Konsep reformasi datang dari mereka," ujar Jojo.
Reformasi terpaksa dipilih karena para aktivis muda butuh sosok figur dari kalangan 'tua'. Padahal, kata Jojo, mahasiswa di berbagai daerah ketika itu sudah siap menjalankan revolusi beserta implementasi konsepnya.
Memang jika revolusi dilakukan, pertumpahan darah diyakini akan terjadi. Oleh karena itu pada tahun 1997 aktivis mahasiswa mengalah dan menerima ide reformasi dari kelompok menengah.
Orde baru pun tumbang. Pasca-Soeharto lengser, kebebasan berpendapat dan bertindak kian berkembang. Namun indikator tersebut dinilai Jojo belum cukup untuk menjawab tuntutan 18 tahun lalu.
Sampai saat ini, menurut Jojo, perbaikan demokrasi di tanah air baru mencapai tahap prosedural.
Pemilihan umum memang digelar secara langsung. Kebebasan pers juga dijamin. Namun warisan virus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih erat melekat pada mayoritas pejabat publik di Indonesia.
"Kalau dulu revolusi, keadaan tidak seperti ini. Kalau sekarang Jokowi bicara revolusi mental, dulu konsep kami revolusi kebudayaan, kultural, politik dan ekonomi. Jadi tidak akan seperti ini, di mana orang-orang masih KKN," ujar teman seperjuangan Menpora Imam Nachrowi itu.
Jojo yakin jika jalan revolusi dahulu dipilih untuk meruntuhkan Orde Baru, saat ini tidak ada lagi anasir rezim Orba yang masih bercokol di pemerintahan pusat dan daerah.
(agk)
Jakarta - Presiden Joko Widodo menilai banyaknya pejabat yang dipenjara karena kasus korupsi bukanlah sebuah prestasi. Bahkan, Jokowi menilai penegakan hukum belum memberikan efek jera bagi koruptor.
Jokowi menerima laporan sudah ada 122 anggota DPR dan DPRD, serta 25 menteri atau kepala lembaga pemerintah yang dipenjara karena kasus korupsi. Selain itu, ada 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon I-III serta 14 hakim yang sudah dipenjara karena korupsi.
"Jangan diberikan tepuk tangan untuk ini. Menurut saya, semakin sedikit yang dipenjara itu artinya kita semakin berhasil mencegah dan memberantas korupsi," kata Jokowi saat membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) 2016 di Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
"Tapi sekali lagi ini menurut saya bukan prestasi," tambah Jokowi.
Dikatakan Jokowi, data tersebut membuat dirinya bertanya. Sudah banyak yang ditangkap dan dipenjara karena korupsi tetapi kenapa masih saja kasus yang sama terulang.
"Ini artinya, penegakan hukum selama ini ternyata belum sepenuhnya memberi efek jera bagi para koruptor," kata Jokowi.
Untuk itu, Jokowi sepakat dengan pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa penegak hukum yang berintegritas sangat diperlukan.
"Selain itu, berkaitan dengan inefisiensi birokrasi juga perlu segera diperbaiki dan dibenahi," katanya.
"Kenyataan tadi yang saya sampaikan tidak boleh membuat kita patah semangat. Kita harus bekerja lebih semangat lagi, lebih komprehensif, lebih terintegrasi dan jangkauan pemberantasan korupsi harus mulai dari hulu sampai hilir. Dari pencegahan sampai dengan penegakkan hukum yang tegas," tambah Jokowi.
(rjo/aan)
Keberhasilan mereka mengelabui aparat hingga kini dikenang Jojo sebagai salah satu momen gemilang perjuangan mereka pada 1997 silam, setahun sebelum gerakan mahasiswa sukses menjatuhkan pemerintahan Presiden Soeharto.
Jojo sempat berhadapan langsung dengan intel saat berada di Sekretariat GMKI Surabaya. Saat itu kebetulan hanya Jojo seorang yang berada di dalam sekretariat.
Seorang pria mendatangi Sekretariat GMKI itu, dan Jojo menyambutnya. Tak diduga, lelaki itu mencari Jojo yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan rezim.
Beruntung, orang itu ternyata belum tahu rupa Jojo. Kesempatan tersebut tak disia-siakan Jojo. Mahasiswa Universitas Wijaya Kusuma itu langsung ambil langkah seribu.
“Saya bilang 'Oh, Jojo masih kuliah. Tunggu saja sebentar lagi juga dia datang.' Si intel percaya. Setelah itu saya pamit ke belakang, terus kabur dengan motor," tuturnya sambil tertawa ketika ditemui CNNIndonesia.com di Jakarta, Senin (23/5).
Diskusi itu dibubarkan karena aparat mencium keberadaan Goenawan Mohamad dan pendiri Partai Rakyat Demokratik Budiman Sudjatmiko di sana. Intelijen juga melihat para anggota PRD di acara tersebut.
Jojo pun menyelamatkan diri. Dia lari ke sekretariat organisasinya yang berada persis di hadapan markas Kodim Surabaya.
Lagi-lagi Dewi Fortuna menaunginya. Meski bersembunyi tepat di depan mata aparat, tentara dan intelijen saat itu tak tahu keberadaan dia dan para aktivis PRD di Sektretariat GMKI.
“Posisi GMKI itu depannya persis Kodim. Makanya jusru kami sembunyi di depan hidung mereka, kan mereka jadi enggak begitu curiga. Anak-anak PRD kami sembunyikan di sana selama beberapa bulan. Budiman Sudjatmiko sehari saja, kemudian pergi lagi,” kata Jojo.
Revolusi, bukan Reformasi
Delapan belas tahun berlalu sejak keruntuhan Orde Baru, namun sedih dan sesal malah menyelimuti Jojo. Ia merasa Reformasi gagal membawa kebaikan bagi Indonesia.
Kegagalan Reformasi, kata Jojo, sesungguhnya telah diprediksi jauh sebelum Orde Baru runtuh. Pertengahan 1990-an, ujarnya, mahasiswa Indonesia tak pernah mendesak Reformasi, tapi Revolusi.
Namun keinginan mahasiswa untuk menjalankan revolusi saat itu sebatas mimpi. Jalan reformasi dianggap lebih damai dan akhirnya dipilih untuk menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru.
"Mahasiswa kencang hendak menjalankan revolusi saat itu. Tapi kami kemudian berkolaborasi dengan kelompok menengah, elite yang agak tua, ada Gus Dur, Amien Rais, Megawati. Konsep reformasi datang dari mereka," ujar Jojo.
Reformasi terpaksa dipilih karena para aktivis muda butuh sosok figur dari kalangan 'tua'. Padahal, kata Jojo, mahasiswa di berbagai daerah ketika itu sudah siap menjalankan revolusi beserta implementasi konsepnya.
Memang jika revolusi dilakukan, pertumpahan darah diyakini akan terjadi. Oleh karena itu pada tahun 1997 aktivis mahasiswa mengalah dan menerima ide reformasi dari kelompok menengah.
Sampai saat ini, menurut Jojo, perbaikan demokrasi di tanah air baru mencapai tahap prosedural.
Pemilihan umum memang digelar secara langsung. Kebebasan pers juga dijamin. Namun warisan virus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih erat melekat pada mayoritas pejabat publik di Indonesia.
"Kalau dulu revolusi, keadaan tidak seperti ini. Kalau sekarang Jokowi bicara revolusi mental, dulu konsep kami revolusi kebudayaan, kultural, politik dan ekonomi. Jadi tidak akan seperti ini, di mana orang-orang masih KKN," ujar teman seperjuangan Menpora Imam Nachrowi itu.
Jojo yakin jika jalan revolusi dahulu dipilih untuk meruntuhkan Orde Baru, saat ini tidak ada lagi anasir rezim Orba yang masih bercokol di pemerintahan pusat dan daerah.
🙏
Jakarta - Presiden Joko Widodo menilai banyaknya pejabat yang dipenjara karena kasus korupsi bukanlah sebuah prestasi. Bahkan, Jokowi menilai penegakan hukum belum memberikan efek jera bagi koruptor.
Jokowi menerima laporan sudah ada 122 anggota DPR dan DPRD, serta 25 menteri atau kepala lembaga pemerintah yang dipenjara karena kasus korupsi. Selain itu, ada 4 duta besar, 7 komisioner, 17 gubernur, 51 bupati dan wali kota, 130 pejabat eselon I-III serta 14 hakim yang sudah dipenjara karena korupsi.
"Jangan diberikan tepuk tangan untuk ini. Menurut saya, semakin sedikit yang dipenjara itu artinya kita semakin berhasil mencegah dan memberantas korupsi," kata Jokowi saat membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) 2016 di Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
"Tapi sekali lagi ini menurut saya bukan prestasi," tambah Jokowi.
Dikatakan Jokowi, data tersebut membuat dirinya bertanya. Sudah banyak yang ditangkap dan dipenjara karena korupsi tetapi kenapa masih saja kasus yang sama terulang.
"Ini artinya, penegakan hukum selama ini ternyata belum sepenuhnya memberi efek jera bagi para koruptor," kata Jokowi.
Untuk itu, Jokowi sepakat dengan pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa penegak hukum yang berintegritas sangat diperlukan.
"Selain itu, berkaitan dengan inefisiensi birokrasi juga perlu segera diperbaiki dan dibenahi," katanya.
"Kenyataan tadi yang saya sampaikan tidak boleh membuat kita patah semangat. Kita harus bekerja lebih semangat lagi, lebih komprehensif, lebih terintegrasi dan jangkauan pemberantasan korupsi harus mulai dari hulu sampai hilir. Dari pencegahan sampai dengan penegakkan hukum yang tegas," tambah Jokowi.
(rjo/aan)
✌
Jakarta detik - Brigjen Teddy Hernayadi terbukti bersalah atas penyelewengan dana pembelian pesawat tempur F-16 dan helikopter Apache. Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan (Irjen Kemhan), Marsda TNI Hadi Tjahjanto mengatakan, kasus ini menjadi pintu masuk dalam aksi bersih-bersih di lingkungan Kemhan."Kasus ini jadi pintu masuk kita," kata Hadi ketika dihubungi, Rabu (30/11/2016) malam.
Hadi mengatakan akan memulai masuk melalui para saksi yang sudah sempat menjalani penyidikan. Selain itu, Hadi menambahkan pengawasan juga tengah dilakukan kepada bagian internal dari Kemhan. Sebab, korupsi terjadi ketika Teddy menjabat sebagai Kepala Bidang Pelaksana Pembiayaan Kementerian Pertahanan pada periode 2010-2014.
"Ini dari internal Kapusku (Kepala Pusat Keuangan) sedang diawasi. Karena dia membawahi Teddy waktu di 2010-2014 waktu dia menjabat Kepala Pembiayaan Kemhan," ujar Hadi.
Hadi manambahkan, saat ini dari pihak Itjen Kemhan juga akan melakukan pengawasan yang lebih ketat. Hadi mengatakan, Itjen Kemhan akan meminta laporan secara nyata. Pihaknya telah mendapat keterangan dari puluhan orang yang mengaku dapat pinjaman duit dari Brigjen Teddy.
"Kejadian ini juga sebagai bahan koreksi bagi kita. Dan berikutnya, tentunya akan kita lihat lagi. Para saksi sebanyak 40 orang tadi mengiyakan ada uang yang dipijamkan oleh Brigjen Teddy. Sehingga dari saksi tadi kita kembangkan agar dapat mengorek lebih jauh," ujar Hadi.
Pihak Itjen juga akan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK untuk pengawasan soal dana.
"Kita selaku inspektorat akan melakukan pengawasan. Dari kasus ini kita akan lebih ketat lagi. Jika yang selama ini laporan hanya di atas kertas, kita akan cek riilnya seperti berapa jumlahnya dan ada di rekning mana. Kita juga minta supervisi dengan PPATK dan KPK. Kalau itu sudah di tangan KPK, kita menyerahkan kepada kepolisian untuk kapan melakukan pemeriksaan terhadap mereka yang dari sipil," ucapnya.
Majelis meyakini saat Teddy berpangkat kolonel melakukan serangkaian tindak pidana korupsi anggaran negara yang diperuntukkan buat membeli alutsista. Tapi anggaran ini ia belokkan ke kantong pribadinya sehingga mencapai USD 12 juta.
Vonis majelis itu jauh di atas tuntutan oditur (jaksa-red) yang menuntut Brigjen Teddy selama 12 tahun penjara. Dalam kasus korupsi, jarang ada terdakwa yang dijatuhi hukuman seumur hidup. Bisa jadi ini adalah kasus tindak pidana korupsi pertama dengan terdakwa jenderal bintang satu aktif.
(jbr/dnu)
💋
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) masih menunggu penjelasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai kabar penangkapan salah satu pejabat di instansi tersebut.
Hingga saat ini Ditjen Pajak menyatakan belum mendapat informasi yang jelas mengenai informasi tersebut.
“Mungkin nanti ditunggu penjelasan dari KPK dahulu,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Hestu Yoga Saksama kepada Sindonews, Senin 21 November 2016 malam.
Seperti diberitakan, KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin 21 November 2011. Beredar kabar KPK menangkap pejabat eselon tiga Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. (Baca juga: KPK Tangkap Pejabat Ditjen Pajak, Rp1,3 Miliar Disita)
Berdasarkan keterangan sumber di KPK, pejabat tersebut diduga menerima suap untuk mengurangi pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Penangkapan dilakukan saat pejabat itu bertransaksi suap senilai lebih dari Rp1 miliar. Transaksi berlangsung di sebuah tempat di Jakarta.
Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari KPK mengenai hal ini. Ketua KPK Agus Rahardjo yang diminta konfirmasi terkait OTT ini belum memberikan jawaban. Informasi yang beredar di KPK, pejabat Ditjen Pajak yang ditangkap masih menjalani pemeriksaan.
(dam)
Jakarta- Tim satgas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan menangkap seorang pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dalam operasi tangkap tangan (OTT), Senin (21/11) malam.
Berdasar informasi, pejabat Eselon III Ditjen Pajak itu ditangkap saat sedang bertransaksi suap di Jakarta.
"Ada OTT Eselon III Pajak, di Jakarta," kata seorang sumber.
Diduga, pejabat Ditjen Pajak berinisial HS ini menerima suap untuk mengurangi kewajiban wajib pajak. Namun, belum diketahui secara pasti nominal dari uang suap yang terima HS maupun jumlah pihak yang terjaring Tim Satgas KPK dalam OTT kali ini. Hingga saat ini, KPK belum memberikan keterangan resmi terkait OTT tersebut.
Fana Suparman/PCN
Suara Pembaruan
👅
JAKARTA sindonews - Deretan kasus korupsi yang menjerat sejumlah kepala daerah menjadi perhatian bagi sejumlah pihak. Salah satunya Anggota Komisi III DPR Habib Aboe Bakar Al-Habsyi.Contoh yang terbaru, Komisi Pemberntasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam dan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian sebagai tersangka.
Aboe mengatakan, banyaknya kepala daerah yang terjerat persoalan korupsi menjadi persoalan tersendiri, setelah lahirnya otonomi daerah. Setidaknya ada tiga faktor yang dinilainya berpengaruh terhadap persoalan ini.
Pertama, secara politik terjadi pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah. Kepala daerah memiliki kekuasaan otonom, di sinilah kemudian peluang terjadi korupsi.
"Ini sebagaimana adagium power tends to corrupt. Jadi memiliki kekuasaan itu berpotensi melakukan korupsi," kata Aboe kepada Sindonews, Kamis (8/9/2016).
Kedua lanjut Aboe, biaya politik yang tinggi dalam kontestasi pilkada juga menjadi salah satu pemicu korupsi para kepala daerah. Hal ini yang membuat para kepala daerah kerap terjerat utang.
Akhirnya, ketika bekuasa tak jarang dari mereka ingin mengembalikan biaya tersebut. "Di sinilah pintu korupsi mulai terbuka, karena ada tuntutan untuk menutup biaya pilkada," imbuh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Ketiga, masih lemahnya mekanisme kontrol anggaran di daerah. Aboe mengatakan, fungsi pengawasan anggaran yang dilaksanakan oleh DPRD belum sekuat yang dilakukan oleh DPR RI. "Hal ini menjadi persoalan tersendiri dan mungkin diperlukan evaluasi ke depan," tandasnya.
(maf)
Menangkapi hal tersebut, Peneliti senior CSIS J. Kristiadi mendorong hukuman pemiskinan para koruptor di Indonesia. Kristiadi menilai para koruptor ini tidak kapok-kapok melakukan KKN karena hukumannya terlalu ringan.
“Saya setuju dengan hukuman memiskinkan koruptor. Saya senang jika ada hakim Tipikor menyita aset-aset koruptor,” ujar Kristiadi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Minggu (14/2).
Dia mengakui bahwa pemiskinan koruptor memang tidak serta merta menghilang korupsi, namun hukuman tersebut bisa menimbulkan efek jera. Menurutnya, koruptor sekarang tidak takut dipenjara, karena di penjara kadang mereka masih bebas. Apalagi jika mempunyai kekuatan modal yang memadai.
“Selain itu, pengawasan masyarakat juga sangat perlu dengan mendorong transparansi yang sudah terbukti menjadi obat mujarab untuk memerangi KNN. Contohnya, apa yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Ahok (Basuki Tjahjaya Purnama) atau Walikota terpilih Surabaya Risma (Tri Rismaharini). Sebab dalam ruang gelap terlalu mudah orang melakukan penyalahgunaan kekuasaan,” jelas Kristiadi.
Terkait adanya pegawai MA yang tertangkap, Kristiadi menilai hal tersebut mencerminkan bahwa sasaran pemberantasan KKN tetap aparat aparat penegak hukum dan penyelenggara Negara. Menurutnya, hal tersebut sudah dinyatakan secara tegas dalam TAP MPR Nomor 8 Tahun 2001 bahwa aparat penegak hukum dan penyelenggara menjadi sasaran upaya pemberantasan korupsi.
“Karena itu, KPK jangan diperlemah, tetapi harus diperkuat agar bisa membongkar mafia hukum. Jadi, raison d'etre (alasan berdirinya) pembentukan KPK adalah karena aparat penegak hukum yang lemah yang sampai saat ini juga tidak berubah dan masih ada yang terjerat kasus korupsi,” tegas Kristiadi.
Yustinus Paat/FMB
BeritaSatu.com
[JAKARTA-SP] Terungkapnya kasus suap yang membelit Kasubdit Kasasi Perdata dan Tata Laksana Perkara Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna, menandakan bahwa mafia peradilan semakin mengakar. Sebab, selain hakim, pegawai badan peradilan tertinggi juga ikut bermain.
"Ini merupakan bukti bahwa mafia peradilan tidak pernah hilang karena sulit untuk dibasmi. Praktik ini sudah lama tercium karena dalam KUHP yang usianya sudah ratusan tahun bila ditinjau dari sejarahnya telah diatur penyuapan terhadap hakim atau aparatur peradilan oleh advokat," kata pakar hukum Yenti Garnasih, kepada SP, di Jakarta, Senin (15/2).
Bukan kali pertama kasus mafia hukum terungkap. Terdapat contoh hakim, jaksa, advokat, termasuk panitera dan pegawai MA ditangkap KPK karena menerima suap dan perkaranya berhasil dibuktikan di pengadilan.
Lebih menyedihkan lagi bukan hanya putusan saja yang bisa diintervensi karena proses administrasi penyerahan salinan putusan juga bisa dikorupsi.
Andri Sutrisna, diduga menerima suap mencapai ratusan juta dari pengusaha, Ichsan Suwaidi dan advokat Awang Lazuardi Embat untuk menunda pengiriman salinan putusan kasasi.
Lucunya, putusan kasasi tersebut berkaitan dengan perkara korupsi atau pidana sedangkan Andri yang dulunya adalah Kasubag Humas MA menjabat Kasubdit Perdata.
Yenti menilai, mafia peradilan sudah menjadi bahaya laten yang sepatutnya diberantas tuntas. Hal ini jelas menandakan bukan hanya sistem tetapi mentalitas aparatur hukum di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan.
Menurutnya, peristiwa tersebut baiknya dijadikan pelajaran oleh parlemen yang tengah menggebu merevisi UU KPK dan membatasi kewenangan badan antikorupsi itu dalam melakukan penyadapan.
"Tinggal sekarang ya penegakannya harus tegas jangan berpikir lagi tentang wacana penyadapan harus minta ijin pengadilan apalagi melalui dewan pengawas," kata Yenti.
Komisioner Komisi Yudisial (KY) Joko Sasmito tak dapat menyembunyikan keprihatinannya terhadap kasus tersebut. Pasalnya, peristiwa penangkapan terhadap Andri menandakan cita-cita mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa masih jauh dari harapan.
Joko, yang juga mantan hakim menilai, peristiwa tersebut sepatutnya tidak terjadi karena gaji hakim dan pegawai peradilan sekarang ini sudah tinggi. Ditambah remunerasi seorang pejabat eselon bisa menerima penghasilan hingga puluhan juta.
"Hakim dan pegawai sudah dapat tunjangan yang cukup," kata Joko.
Dikatakan, KY kerap berkordinasi dengan MA terkait dengan kejanggalan-kejanggalan yang ditemukan KY dan diserahkan kepada MA untuk diperiksa. Sebab, lembaganya tidak bisa memasuki ranah teknis termasuk proses administrasi.
"Kita tidak boleh menyamaratakan, ini masalah oknum saja dan kami sangat prihatin karena KY dan MA sama-sama berupaya menciptakan pengadilan yang bersih dan berwibawa seperti yang diharapkan masyarakat," ujarnya.
Dirinya berharap, MA melalui Badan Pengawasan (Bawas) bisa memetik pelajaran dari peristiwa tersebut untuk kemudian menyusun langkah-langkah pengawasan yang lebih ketat.
"Teknis bukan wilayah KY, kalau didalam teknis ada unsur kesengajaan ada indikasi bisa juga KY masuk sepanjang bisa membuktikan. Untuk lingkup teknis dan persoalan administrasi itu tugas Bawas MA," katanya. [E-11/L-8]
Di saat sejumlah kalangan meragukan integritas pimpinan KPK baru yang dipilih KPK, bagi Saut keluarga menjadi sumber kekuatannya. Untuk itu ia mengaku siap dalam menjalankan amanah yang dipercayakannya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Ya tentu, keluarga sangat mendukung. Saya siap memimpin KPK," ungkap Saut saat berbincang dengan detikcom di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (19/12/2015).
Dukungan keluarganya bukan sembarangan. Bahkan istri Saut punya pesan khusus kepada mantan lulusan Universitas Padjajaran bidang fisika tersebut.
"Keluarga saya, istri saya ya selalu bilang 'jangan pulang sebelum tangkap koruptor'. Begitu walaupun mungkin itu jokes," tutur Saut.
"Ya kayak anak-anak gitu, (dapat warning) awas kamu ya, jangan pulang kalau nggak dapat nilai A," lanjutnya sambil tersenyum.
Menjadi pimpinan KPK bukan perkara mudah. Namun meski harus bekerja keras tanpa mengenal waktu, Saut mengaku siap.
Mantan Staf Ahli Kepala BIN ini mengaku tidak mempermasalahkan jika waktu sosial maupun waktu bersama keluarganya harus berkurang demi untuk menjalankan tugas menjadi pimpinan KPK. Lama bertugas di dunia intelijen dan strategis, membuat Saut menjadi lebih fleksibel soal waktu.
"Oh iya dong. Nggak masalah (waktu bersosial berkurang). Saya kan selama ini sudah biasa sembunyi dari permukaan. Nggak sulit itu," aku Saut.
Selain berkarier panjang di dunia intelijen, Saut juga merupakan akademisi di bidangnya. Ia merupakan pengajar ilmu kompetitif intelijen di Universitas Indonesia. Selain itu ia juga pernah menjadi sekretaris program pendidikan Ketahanan Nasional (Lemhanas) pada tahun 2013.
Perusahaan yang dimiliki Saut yakni PT Indonesia Cipta Invesma sempat dipermasalahkan saat ia menjalani tes Capim KPK karena dianggap sebagai tempat pencucian uang. Namun dengan tegas ia membantahnya.
Jabatan terakhir Saut di BIN sebagai staf ahli Kepala BIN dijalaninnya mulai tahun 2014 hingga saat ini. Ia pun pernah menjadi Direktur monitoring dan survailance BIN pada 2011-2014. Saut sudah beberapa kali mengikuti pemilihan capim KPK namun gagal, hingga akhirnya terpilih menjadi pimpinan KPK Jilid IV ini.
(ear/rna)
"Hukum kita masih banyak permainan dan bisa perjualbelikan oleh orang-orang yang punya uang," kata Mahfud saat ceramah umum di Kampus La Tansa Mashiro Rangkasbitung, Lebak, Banten, Rabu (18/11/2015).
Saat ini, hukum berlaku hanya bagi orang-orang "apes" saja atau kurang beruntung dengan tidak memiliki pembela karena tidak memiliki uang.
Sedangkan, orang yang memiliki kekuatan politik maupun uang bisa mempengaruhi terhadap keputusan hukum.
Mereka pelaku kejahatan itu bisa saja dipindahkan atau dibebaskan, sebab adanya permainan hukum itu.
Pejabat penegak hukum yang baik mereka dikeroyok rame-rame oleh para politisi koruptor.
Sebab, hukum kita dibelakang masih ada permainan dan bisa dibeli dengan uang.
"Perbuatan itu merupakan teror karena mereka merasa punya dukungan dari partai, nantinya penegak hukum yang baik itu dipecat," katanya.
Menurut dia, adanya permainan hukum itu tentu pendidikan di tanah air gagal karena hukum bisa diperjualbelikan.
Apabila, hukum itu bisa dibeli tentu para koruptor-koruptor tidak ada habis-habisnya.
Bahkan, Indonesia kasus korupsi di dunia masuk peringkat di atas 100 setelah negara kecil, seperti Negara Mali dan Sudan.
"Kita berharap penegakan hukum seperti di negara Singapura atau New Zealand yang tidak ada korupsi, padahal negara itu non muslim," katanya.
JAKARTA, KOMPAS.com — Sikap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penanganan kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan dipertanyakan. Pimpinan KPK dianggap terlalu mudah menyerah, lalu melimpahkan kasus tersebut kepada kejaksaan.
"Kalau sepak bola, KPK kalah 4-0," kata Koordinator Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, dalam wawancara dengan Kompas TV, Selasa (3/3/2015).
Emerson mengatakan, kebobolan pertama ialah ketika KPK kalah dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim Sarpin Rizaldi memutuskan penetapan tersangka Budi Gunawan tidak sah. (Baca: Kepada Ruki, Pegawai KPK Sebut Ingin Mati Mulia, Bukan Melacurkan Diri ke Koruptor)
Kebobolan kedua, kata dia, kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dijerat tersangka oleh kepolisian pasca-penetapan tersangka Budi oleh KPK.
Kebobolan ketiga, tambahnya, Bambang dan Abraham dinonaktifkan oleh Presiden Joko Widodo. Terakhir, KPK kebobolan ketika melimpahkan kasus Budi Gunawan kepada kejaksaan.
Menurut Emerson, seharusnya KPK terlebih dulu mencoba upaya peninjauan kembali putusan praperadilan ke Mahkamah Agung. Ia menyinggung putusan MA terkait kasus Djoko S Tjandra. (Baca:MA Tolak PK Djoko Tjandra dan Syahril Sabirin)
"KPK begitu mudah menyerah. PK belum dicoba, tapi sudah serahkan ke kejaksaan. Kita butuh figur institusi yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Kasus Budi Gunawan ini, KPK sudah jatuh tertimpa tangga," kata Emerson.
Ratusan pegawai KPK melakukan protes terhadap keputusan pimpinan yang melimpahkan kasus Budi Gunawan ke kejaksaan.Dalam aksi, mereka menyebut adanya barter, KPK mati suri, adanya pihak yang penakut, dan kritik lainnya. (Baca: Pegawai KPK: Kami Membangkang karena Kebenaran Diinjak-injak)
Mereka meminta pimpinan KPK tetap mengusut kasus tersebut dan mengajukan PK ke Mahkamah Agung sebagai langkah hukum melawan putusan praperadilan. (Baca: Kumpulkan Pegawai KPK, Ruki Jawab Penolakan Pelimpahan Kasus BG)
Setelah kasus Budi Gunawan dilimpahkan, kejaksaan kemungkinan akan melimpahkan kembali kasus itu ke Polri. (Baca: Ingin Efektif, Jaksa Agung Akan Limpahkan Kasus BG ke Polri)
Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti justru membuka peluang bahwa penyelidikan kasus Budi Gunawan akhirnya dihentikan.
"Kalau nanti misalnya sudah masuk ke penyidikan, bisa juga di-SP3. Namun, yang dipastikan oleh KPK dan Polri ini masih penyelidikan karena penyidikannya dibatalkan putusan praperadilan," kata Badrodin. (Baca: Dilimpahkan ke Polri, Kasus Budi Gunawan Ada Kemungkinan Dihentikan)
KPK menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. Budi lantas menggugat penetapannya sebagai tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
SELASA, 29 APRIL 2014 | 16:08 WIB
Lolos ke Senayan, Setya Novanto Malah Dibidik KPK
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan pengusutan dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik tak akan berhenti pada Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan lembaganya masih mencari bukti keterlibatan pihak lain. “Kalau ditemukan dua alat bukti yang kuat, kami akan tetapkan sebagai tersangka,” katanya saat dihubungi, Senin, 28 April 2014. Bambang enggan menyebutkan pihak yang dibidik lembaganya. “Masih rahasia.” (Baca: Setya Novanto: Saya Tak Pernah Urus E-KTP)
Sumber Tempo di komisi antikorupsi mengatakan lembaganya masih menelusuri dugaan keterlibatan Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto. KPK menduga Ketua Fraksi Golkar yang diperkirakan kembali terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu ikut mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut. “Perannya akan terungkap lewat Andi Agustinus,” kata sumber ini.
Paulus Tannos, bos PT Sandipala Arthapura, perusahaan yang tergabung dalam konsorsium penggarap proyek e-KTP, mengatakan, “Agustinus adalah tangan kanan Setya.” Agustinus sudah dicegah ke luar negeri sejak Jumat pekan lalu. KPK menanyai Paulus di Singapura pada Agustus tahun lalu. (Baca: Nazar Bicara Dirinya, Setya Novanto dan E-KTP)
Salah satu pertanyaannya soal keterlibatan Setya dalam proyek tersebut. Penyidik KPK bertanya soal perencanaan proyek di rumah Setya di Jalan Wijaya XIII, Jakarta Selatan, pada Oktober 2011. Paulus mengaku mengenal Setya sejak penandatanganan kontrak pada Juli 2011. Menurut Paulus, pertemuan itu juga dihadiri Agustinus.
Sumber Tempo yang mengetahui pertemuan itu menambahkan, Setya meminta komisi lima persen dari nilai proyek e-KTP supaya Sandipala bisa ikut menggarap proyek. Tapi Paulus menolak permintaan itu. Sumber yang sama mengatakan Setya kembali meminta fee kepada Paulus saat pertemuan berikutnya di Equity Tower.
Belakangan, fee yang diminta Setya meningkat jadi tujuh persen. “Diperlukan uang untuk Komisi Pemerintahan DPR supaya proyek itu tak diributkan,” kata sumber ini menirukan ucapan Setya. Menurut sumber ini, Setya merupakan perencana utama proyek e-KTP dan mengamankan anggaran proyek tersebut di DPR. (Baca: KPK Mulai Bongkar Korupsi E-KTP)
Setya membantah tudingan Paulus. “Saya tak pernah tahu soal proyek e-KTP,” kata calon legislator dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur ini. Setya juga menyatakan tak mengenal Paulus. Dia pun menyangkal meminta fee atau menerima duit dari proyek itu. “Itungarang saja. Saya tak pernah berkaitan dengan e-KTP.” Pun Setya menyatakan tak pernah berurusan dengan Andi Agustinus. “Dia bukan orang saya.”
Ihwal keterlibatan Setya juga pernah disampaikan oleh bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhamamd Nazaruddin. Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Pengacara Nazaruddin, Elza Syarief, mengatakan kliennya telah memaparkan kasus e-KTP kepada KPK.
MUHAMAD RIZKI | SINGGIH SOARES | WAYAN AGUS PURNOMO | STEFANUS PRAMONO
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan lembaganya masih mencari bukti keterlibatan pihak lain. “Kalau ditemukan dua alat bukti yang kuat, kami akan tetapkan sebagai tersangka,” katanya saat dihubungi, Senin, 28 April 2014. Bambang enggan menyebutkan pihak yang dibidik lembaganya. “Masih rahasia.” (Baca: Setya Novanto: Saya Tak Pernah Urus E-KTP)
Sumber Tempo di komisi antikorupsi mengatakan lembaganya masih menelusuri dugaan keterlibatan Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto. KPK menduga Ketua Fraksi Golkar yang diperkirakan kembali terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu ikut mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut. “Perannya akan terungkap lewat Andi Agustinus,” kata sumber ini.
Paulus Tannos, bos PT Sandipala Arthapura, perusahaan yang tergabung dalam konsorsium penggarap proyek e-KTP, mengatakan, “Agustinus adalah tangan kanan Setya.” Agustinus sudah dicegah ke luar negeri sejak Jumat pekan lalu. KPK menanyai Paulus di Singapura pada Agustus tahun lalu. (Baca: Nazar Bicara Dirinya, Setya Novanto dan E-KTP)
Salah satu pertanyaannya soal keterlibatan Setya dalam proyek tersebut. Penyidik KPK bertanya soal perencanaan proyek di rumah Setya di Jalan Wijaya XIII, Jakarta Selatan, pada Oktober 2011. Paulus mengaku mengenal Setya sejak penandatanganan kontrak pada Juli 2011. Menurut Paulus, pertemuan itu juga dihadiri Agustinus.
Sumber Tempo yang mengetahui pertemuan itu menambahkan, Setya meminta komisi lima persen dari nilai proyek e-KTP supaya Sandipala bisa ikut menggarap proyek. Tapi Paulus menolak permintaan itu. Sumber yang sama mengatakan Setya kembali meminta fee kepada Paulus saat pertemuan berikutnya di Equity Tower.
Belakangan, fee yang diminta Setya meningkat jadi tujuh persen. “Diperlukan uang untuk Komisi Pemerintahan DPR supaya proyek itu tak diributkan,” kata sumber ini menirukan ucapan Setya. Menurut sumber ini, Setya merupakan perencana utama proyek e-KTP dan mengamankan anggaran proyek tersebut di DPR. (Baca: KPK Mulai Bongkar Korupsi E-KTP)
Setya membantah tudingan Paulus. “Saya tak pernah tahu soal proyek e-KTP,” kata calon legislator dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur ini. Setya juga menyatakan tak mengenal Paulus. Dia pun menyangkal meminta fee atau menerima duit dari proyek itu. “Itungarang saja. Saya tak pernah berkaitan dengan e-KTP.” Pun Setya menyatakan tak pernah berurusan dengan Andi Agustinus. “Dia bukan orang saya.”
Ihwal keterlibatan Setya juga pernah disampaikan oleh bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhamamd Nazaruddin. Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR. Pengacara Nazaruddin, Elza Syarief, mengatakan kliennya telah memaparkan kasus e-KTP kepada KPK.
MUHAMAD RIZKI | SINGGIH SOARES | WAYAN AGUS PURNOMO | STEFANUS PRAMONO
SENIN, 21 APRIL 2014 | 05:51 WIB Caleg 'Bermasalah' Kembali ke Senayan TEMPO.CO, Jakarta - Calon legislator inkumben, yang pernah disebut dalam persidangan kasus dugaan korupsi atau terlibat gerakan pelemahan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, akan kembali ke Senayan. Para calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersebut sebagian mengantongi suara terbanyak di daerah pemilihan masing-masing. Di dua daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur, dua politikus Partai Golkar, Setyo Novanto (NTT II) dan Melchias Marcus Mekeng (NTT I), sama-sama mengantongi suara yang cukup untuk kembali masuk Senayan. “(Perolehan) suara Herman Hery (PDI Perjuangan) lebih besar daripada suara caleg Partai Golkar, Setya,” kata staf Sekretariat Golkar, Heri Liman, akhir pekan lalu. Nama Setya disebut oleh saksi Lukman Abbas dalam sidang kasus PON di Pengadilan Korupsi Pekanbaru. Adapun Melchias pernah disebut dalam kasus alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah. Namun kedua politikus senior Golkar ini membantah tudingan-tudingan itu. Herman merupakan anggota DPR yang disebut terlibat kasus simulator kemudi oleh saksi Ajun Komisaris Besar Thedy Rusmawan dalam persidangan. Herman Hery, yang mendapat 115 ribu suara, juga membantah memiliki kaitan dengan kasus simulator. Politikus Golkar, Aziz Syamsuddin, yang disebut oleh terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Palembang menerima aliran dana, juga dipastikan lolos ke DPR dari wilayah Lampung Tengah. “Insya Allah (Golkar dapat) dua kursi di Lampung II,” kata Aziz, yang menyatakan tidak tahu-menahu soal tudingan itu. Nama lain yang kerap dikaitkan dalam kasus Hambalang dan terpilih kembali adalah politikus Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono. Ia terpilih di Jawa Timur VII dengan dukungan 102 ribu suara hanya di Pacitan, asal orang tuanya, Susilo Bambang Yudhoyono. Jumlah suara ini belum termasuk di Ngawi, Magetan, Ponorogo, dan Trenggalek. “Suaranya sudah lebih-lebih,” kata Frend Mashudi, anggota tim Griya Aspirasi Edhie Baskoro Yudhoyono. Ibas sendiri membantah terlibat kasus pembangunan pusat olahraga itu. “Saya katakan tudingan tersebut tidak benar dan tidak berdasar. Seribu persen,” katanya beberapa waktu lalu. Gedung Dewan di Senayan pun kembali diisi sejumlah politikus yang kerap dianggap ikut melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, seperti Fahri Hamzah (PKS), Desmond Junaidi Mahesa (Gerindra), dan Syarifuddin Sudding (Hanura). Fahri terpilih di Nusa Tenggara Barat, Desmond dari Banten II, dan Sarifuddin yakin menduduki kursi Hanura dari Sulawesi Tengah. Desmon mengatakan ia akan terus “menyerang” KPK. Fahri menilai kewenangan KPK terlalu besar, misalnya mengenai penyadapan. Menurut dia, kewenangan itu seharusnya dibatasi dengan undang-undang. Wakil KPK Zulkarnain khawatir kehadiran muka lama tersebut melanggengkan ancaman terhadap upaya pemberantasan korupsi dalam lima tahun ke depan. “Ancaman bisa datang lagi, sehingga kita harus semakin mengawal proses legislasi,” kata Zulkarnain kepada Tempo. TIM TEMPO
Komentar
Posting Komentar