brain drain from Indonesia

๐Ÿ‘ƒ

Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Center baru saja merilis peringkat kualitas tenaga kerja di seluruh dunia edisi 2018, Selasa (20/11/2018).

Edisi kelima laporan IMD World Talent Ranking tersebut menilai sejauh mana setiap negara mengembangkan dan mempertahankan talenta para pekerja dalam jangka panjang.


Baca:


Penilaian dilakukan terhadap 63 negara dengan didasari pada tiga faktor, yaitu investasi, pengembangan, serta kesiapan para tenaga kerja negara-negara tersebut.


Dalam siaran pers yang diterima CNBC Indonesia, survei tahunan ini mengumpulkan lebih dari 6.000 eksekutif lembaga yang berbasis di 63 negara yang berbeda.

Direktur IMD World Competitiveness Center Arturo Bris mengemukakan pengembangan tenaga kerja terampil dan berpendidikan memegang peranan krusial untuk memperkuat daya saing.

"Khususnya dalam lanskap dinamis saat ini, di mana kecerdasan buatan, robotika, dan teknologi baru secara konstan mendefinisikan tantangan yang harus dihadapi di masa depan," katanya.

Pada laporan tahun ini, Swiss kembali menegaskan peranannya sebagai pusat talenta global yang cukup penting, karena untuk kesekian kalinya menempati peringkat pertama.

Swiss Jadi Negara dengan Bakat Terbaik Dunia, Bagaimana RI?Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Adapun sejumlah negara Eropa yang memiliki bakat paling tinggi antara lain Belgia (11), Siprus (15), Portugal (17), Irlandia (21), Inggris (23), dan Prancis (25).

Kanada (6) adalah satu-satunya negara non-Eropa yang berada d peringkat 10 besar. Sementara itu, Amerika Serikat (12) juga bergerak naik seiring dengan kemajuan pendidikan di negara tersebut.

Selain itu, Singapura (13) dan Hong Kong (18) menempati peringkat tertinggi di kawasan Asia Pasifik, disusul oleh Malaysia (22). Kemudian, ada Taiwan (27), Jepang (29), dan Korea Selatan (33).

Australia (14) dan Selandia Baru (20) pun menjadi negara yang dianggap paling bisa menunjukkan kumpulan bakat pekerja mereka, serta menawarkan kualitas hidup yang menarik bagi para pekerja.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia?


Baca:


Dalam laporan tersebut disebutkan, bahwa Indonesia menempati peringkat 45, jauh lebih baik dibandingkan Filipina yang menempati peringkat ke 55 untuk survei tahun ini.

Posisi Indonesia naik dua peringkat karena dianggap telah memajukan dua sektor utama untuk meningkatkan kualitas pekerja yang terkait dengan investasi dan sektor pendidikan. (prm)

๐Ÿ


TEMPO.COYogyakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota Yogyakarta Sujanarko meminta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X segera bicara menyelesaikan kasus intoleransi yang dilakukan Forum Ukhuwah Islamiyah atau FUI. Organisasi itu meminta Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogya menurunkan baliho yang memuat potret mahasiswi berjilbab. Alasannya, jilbab adalah representasi simbol Islam.


Sujanarko mengatakan kasus intoleransi tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta, tapi juga di Kabupaten Bantul belum lama ini. Serangkaian kasus intoleransi itu, menurut Sujanarko, mencoreng Yogyakarta yang dikenal sebagai The City of Tolerance atau kota yang toleran. “Tindakan FUI berlebihan. Ngarso dalem harus hadir dan bicara untuk mengayomi warga Yogyakarta,” kata Sujanarko ketika dihubungi, Kamis, 8 Desember 2016. 

Dia menduga apa yang dilakukan FUI mendesak agar baliho itu dicopot merupakan rentetan dari aksi demonstrasi di Jakarta, di antaranya demonstrasi 2 Desember 2016. Aksi demonstrasi besar-besaran itu merembet ke daerah dan menjadi momentum bagi tindakan intoleransi. 

Sujanarko juga meminta kepolisian dan forum pimpinan daerah untuk bersikap tegas terhadap FUI. Polisi seharusnya mem-backup lembaga pendidikan yang mendapat ancaman. Pemerintah, kata dia, tidak boleh kalah oleh FUI. Dia juga meminta lembaga pendidikan untuk bertahan dan tidak tunduk pada FUI. 

Ia percaya banyak masyarakat Yogyakarta yang mendukung toleransi dan mem-backup lembaga pendidikan. Bila tidak, tindakan FUI akan merembet ke lembaga pendidikan lain. “Bukankah ketika masuk kampus mahasiswa tidak memilih agamanya apa. Di UKDW kan banyak juga mahasiswa muslim. Semestinya teman-teman FUI memahami hal itu,” kata Sujanarko. 

Sebelumnya, M. Fuad Andreago, Koordinator Anggota Muda Forum Umat Islam Yogyakarta, mengatakan pihaknya meminta lembaga pendidikan non-muslim tidak menggunakan model berhijab. Sebab, itu merupakan salah satu lambang atau simbol umat Islam. "Lha, mereka jelas universitas dengan label Kristen, itu kan tidak benar," kata dia.

SHINTA MAHARANI | MUH. SYAIFULLAH

๐Ÿ‘ช

BRAIN DRAIN, MASALAH BESAR BAGI NEGARA BERKEMBANG*


*Oleh : Hariyanto Jurusan EP FE Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Migrasi internasional kini semakin menjadi permasalahan yang menyita perhatian banyak pihak. Transisi pada ilmu pengetahuan berbasis ekonomi menciptakan lebih banyak pangsa pasar yang terintegrasi bagi mereka yang mempunyai bakat dan keahlian yang tinggi. Bakat dan keahlian tersebut menjadi aset yang sangat berharga dalam percaturan ekonomi dunia. Akibatnya, gelombang brain drain dari negara-negara berkembang semakin menguat. Munculnya diaspora yang sangat luas adalah sebuah konsekuensi dari perburuan terhadap kesempatan terbaik bagi negara berkembang. 
Paper ini berusaha mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Secara khusus, paper ini akan menguraikan problematika dan tantangan negara berkembang dalam pengembangan SDM dan sarana/fasilitas terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh brain drain. Pada akhir tulisan, penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM dan pengadaan sarana/fasilitas guna mencegah dan mengatasi  timbulnya efek negatif dari brain drain dengan melakukan studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed brain drain. Sehingga diharapkan dengan terjadinya reversed brain drain, maka pembangunan ekonomi negara berkembang dapat berjalan lancar.
Kata KunciBrain drainSumber Daya Manusia, Pengembangan Fasilitas, Keberhasilan India.

1. Pendahuluan
Sejarah melukiskan bahwa pasca meletusnya Perang Dunia II telah meyebabkan para tenaga ahli dan terdidik dari berbagai belahan dunia, terutama Eropa, bermigrasi dari satu negara ke negara lainnya. Kemenangan yang diperoleh oleh negara-negara Sekutu membawa para imigran ahli untuk menjadikan negara tersebut sebagai pelabuhan ilmu. Berkisar pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, bermigrasinya para tenaga ahli dari negara berkembang seperti ke negara maju semakin meningkat. Hal ini terjadi terutama ke negara-negara yang memberikan banyak keunggulan dan kesempatan (land of opportunity).
Dan akhir-akhir ini semakin banyak profesional (orang-orang berpendidikan tinggi, berbakat dan terlatih) terbaik negara-negara berkembang hijrah atau meninggalkan negaranya yang miskin ke negara-negara maju (negara-negara industri) seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Mereka itu adalah para ilmuwan, informatisi (ahli ICT), arsitek, insinyur, akademi, dokter, dan para ahli lainnya. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah brain drain. Dimana peristiwa Brain drain ini merupakan kerugian besar bagi negara yang ditinggalkan.
Brain drain ini hampir sama dengan peristiwa aglomerasi. Aglomerasi adalah keadaan dimana penduduk di suatu negara terpusat di daerah perkotaan, terutama penduduk-penduduk yang berkualitas. Tujuan mereka pindah ke kota adalah karena prospek ekonomi yang menjanjikan. Sama seperti brain drain ini, dimana orang-orang yang pandai akan pindah ke negara maju, dengan tujuan yang salah satunya sama dengan aglomerasi tadi. Sehingga banyak orang-orang pandai terpusat di negara-negara maju. Perbedaanya hanya kalau aglomerasi terjadi hanya di suatu negara, yaitu antar daerah saja. Sedangkan brain drain terjadi di seluruh dunia yang meliputi banyak negara, yaitu baik negara maju maupun negara berkembang.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh UNCTAD, dapat diketahui bahwa dokter, informatisi (ahli ICT), insinyur serta ahli-ahli liannya dari negara-negara miskin setiap tahun terus mengalir ke negara-negara makmur dan maju. Riset ini dilakukan setiap tahun yaitu di 50 negara kurang maju, antara lain 8 negara Asia, 33 negara Afrika, 8 kepulauan dan Haiti. Terlihat bahwa brain drain alias human capital flight dari negara-negara di kawasan itu terus meningkat. Pada 1990 jumlahnya mencapai 16,5%. Dan sekarang jumlah itu meningkat menjadi 21,4%. Jumlah brain drain tertinggi berasal dari Haiti. Negeri itu kehilangan 80% sumber daya manusia berpendidikan tinggi dan terampil.
Di Indonesia, walaupun hingga saat ini belum terdapat data empiris, namun diperkirakan telah mencapai 5%. Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM Indonesia yang disertai dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang hanya menyisihkan 11,8% dari APBN. Kondisi ini diperparah dengan alokasi anggaran riset dan teknologi yang tidak pernah mencapai angka minimal 1% dari produk domestik bruto. Padahal, menurut analisa UNDP, angka minimum tersebut merupakan anggaran minimum untuk terciptanya kemakmuran suatu bangsa.
Sedangkan menurut Aaron Chaze (2007), yang melakukan penelitian di 61 negara berkembang, dimana sebagian besar para braindrainer memilih bermigrasi ke negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), terutama Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis, dan Jerman. Saat ini terdapat sebanyak 50.000 (5%) dokter India yang bekerja di negeri Paman Sam serta ratusan ribu manajer, teknisi, dan ahli komputer bekerja di Microsoft, McKinsey & Company, Citigroup, dan berbagai firma teknologi informasi di kota-kota metropolitan Amerika.
UNDP memperkirakan, India kehilangan sekitar dua miliar dollar AS per tahun akibat migrasi teknisi dan ahli komputer, yang diproyeksikan mencapai 2,2 juta orang sampai akhir tahun 2008 nanti. Beruntung, Indonesia termasuk yang paling rendah, yakni kurang dari 5% dari golongan terdidik yang bermigrasi ke negara-negara maju.
Dari kawasan Afrika, aliran migrasi paling banyak dari Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Zimbabwe, Somalia, Nigeria, dan Etiopia, yang sekitar 60% juga berpendidikan tinggi. Bahkan sejak 20 tahun terakhir, Etiopia kehilangan sekitar 75 persen tenaga-tenaga ahli, seperti dosen, insinyur, dan dokter akibat brain drain.
Sungguh ironis, lebih mudah menjumpai dokter asal Etiopia di Chicago ketimbang di Addis Ababa, bahkan sekitar 21.000 dokter asal Nigeria berpraktik di seluruh penjuru Amerika. Lebih menyedihkan lagi, Afrika harus mengeluarkan dana lebih dari empat miliar dollar AS per tahun untuk membayar sekitar 150.000 expatriate profesional yang bekerja di benua miskin itu.
Adapun imigran dari Afrika Utara dan Timur Tengah yang paling banyak berasal dari Maroko (satu juta), Aljazair dan Iran (masing-masing 500.000), serta Mesir, Sudan, Tunisia, Irak, Suriah, Lebanon, Jordania (masing-masing 250.000). Sekali lagi, amat memilukan mengingat mayoritas para imigran itu adalah anak-anak muda terpelajar lulusan universitas.
2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Brain Drain
Faktor penyebab terjadinya brain drain ini seringkali dilihat dari model bipolar yaitu faktor penarik dan faktor pendorong. Faktor penarik yaitu faktor yang datang dari negeri tujuan, yaitu:
  1. untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik, yaitu gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja dan hidup yang lebih baik, dan perspektif karir yang terjamin.
  2. fasilitas yang ditawarkan juga sangat kompetitif, seperti fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai, kesempatan memperoleh pengalaman bekerja yang luas.
  3. tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi.
  4. agen di luar negeri yang sering memberikan informasi yang sangat bagus, dan lain sebagainya.
Sedangkan faktor pendorong yaitu faktor yang datang dari negeri asal, yaitu:
  1. biasanya orang-orang pintar ini tidak mau tinggal di negaranya yang masih terbelakang, karena takut tidak bisa mengembangkan ilmu dan keahliannya.
  2. dikarenakan rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian.
  3. keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi.
  4. ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu.
  5. adanya diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi.
  6. khusus para dokter yang berasal dari Afrika umumnya ada motivasi lain, yakni menghindari risiko tinggi kemungkinan tertular HIV.
  7. ilmu atau pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan dikuasai ternyata tidak berguna di negara asal, sehingga tidak ada pilihan yang lebih baik selain meninggalkan negaranya.
  8. dipengaruhi faktor non ekonomi, misalnya seperti agama dan ras.
  9. tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, mereka mengalami tekanan politik, menghindari rezim represif yang mengekang kebebasan, serta merasa tak aman akibat perang dan pergolakan politik domestik yang tak kunjung berakhir.
  10. tidak adanya penghargaan dari pemerintah, dan lain sebagainya.
Faktor penyebab ‘penarik-pendorong’ ini terkadang juga dapat dibedakan menjadi faktor penyebab obyektif-subyektif. Penyebab secara obyektif adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kebijakan yang diberikan oleh negara asal maupun tujuan dan terkait erat dengan karakteristik negara tersebut, seperti misalnya lemahnya kebijakan terhadap tradisi keilmuan. Sedangkan penyebab secara subyektif biasanya terbatas pada motif-motif personal dari yang bersangkutan.
3. Dampak Peristiwa Brain Drain Bagi Negara Berkembang (Negara Asal)
Kalau kita mendengar kata brain drain, pasti yang terpikir oleh kita adalah sebuah peristiwa yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi negara-negara bekembang. Dimana banyak orang-orang pintar dan ahli meninggalkan negaranya itu, yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang ada di negara tersebut. Memang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa brain drain ini membawa efek negatif yang sangat besar, terutama bagi negara asal. Namun, ternyata ada juga efek positif yang dihasilkan oleh peristiwa brain drain ini walaupun tidak sebesar efek negatif yang dihasilkan.
  1. Dampak negatif yang timbul :
    1. brain drain akan memperlemah struktur ketenagakerjaan, dimana hal ini merupakan faktor utama penghambat industri untuk maju. Sehingga pembangunan ekonomi negeri asal pun tidak berkembang.
    2. masalah dari brain drain ini seperti lingkaran setan yang mempertahankan keterbelakangan. Dimana banyak sekali negara yang kekurangan tenaga ahli, namun setelah ada tenaga yang terdidik, mereka malah pergi ke negara lain dengan berbagai alasan.
    3. semakin lebarnya jurang antara si miskin dan si kaya.
    4. brain drain memboroskan bahkan menguras uang negara asal. Banyak sekali orang-orang pintar yang dibiayai oleh negara untuk belajar ke luar negeri agar menjadi lebih ahli. Namun setelah selesai masa pendidikannya, mereka malah tidak mau kembali. Mereka diberi fasilitas oleh negara tetapi tidak mau balas budi, mereka lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan malah memberikan sumbangan keahliannya dalam mempertinggi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang sudah maju. Contohnya, di Indonesia dalam 13 tahun belakangan, di UGM ada 50 orang dosen dan peneliti mengundurkan diri. Universitas jelas rugi, karena mencetak satu doktor saja butuh sekurang-kurangnya satu miliar rupiah. Padahal ada seratusan cendekiawan yang hijrah ke manca dan terbanyak di Malaysia.
    5. brain drain berarti kerugian besar pada modal sumber daya manusia. Apalagi umumnya yang diterima di luar negeri merupakan sumberdaya berkualitas. Sementara keuntungan dari brain drain berpendidikan tinggi bagi negara yang ditinggalkan sangat terbatas. Walaupun menikmati gaji tinggi, mereka umumnya minim sekali mengirim uang ke negeri asalnya dibandingkan emigran berpendidikan rendah. Ikatan mereka dengan negeri asalnya juga mengendur, karena secara umum mereka tinggal menetap (settled) di negeri baru mereka.
    6. orang-orang terbaik yang hijrah ke luar negeri pasti akan digantikan oleh para ekspatriat (dengan kemampuan yang sama) yang umumnya minta bayaran berkali lipat lebih mahal. Yang terjadi selanjutnya adalah proses inefisiensi perekonomian dalam negeri.
    7. terjadinya brain drain bagi negara asal tentunya membawa implikasi negatif yang tidak sedikit, seperti kondisi di mana kurangnya tenaga terlatih dan terdidik dari suatu negara, serta terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi yang sulit untuk diprediksi. Selain itu, brain drain dapat juga membawa pengaruh rendahnya kesejahteraan terhadap lingkungan, di mana para tenaga terdidik tersebut berasal.
  2. Dampak positif  yang timbul:
Beberapa negara berkembang kini telah mampu memanfaatkan kondisi brain drain menjadi reversed brain drain untuk kemajuan negaranya, misalnya Cina dan India, dua “macan Asia” yang mempunyai konsentrasi brain drain sangat tinggi. Brain drain juga memiliki beberapa dampak positif yang dapat meningkat pertumbuhan ekonomi negara:
    1. Alternative sumber investasi
    2. Penurunan tingkat unemployment
    3. Optimalisasi kapasitas produksi Negara
    4. Peningkatan kualitas SDM
    5. Uptodate perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
    6. International networking. Misalnya: beberapa hasil komoditas pertanian unggulan lokal seringkali kalah bersaing dengan negara-negara lain. Produk seni dengan nilai tinggi seperti kerajinan dan seni ukir pun belum bisa berjaya di pangsa pasar negara lain. Padahal, tingkat kemakmuran ekonomi wilayah sangat bergantung kepada pendapatan dari luar melalui sektor basis (Tarigan, 2006), termasuk ekspor. Terhambatnya aliran informasi dari negara terkait dengan pangsa pasar di luar negara adalah salah satu penyebabnya. Sehingga salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi ini adalah dengan diperkuatnya jaringan networking pengusaha Indonesia yang berada di luar negeri. Melalui jaringan ini, informasi aktif kepada wilayah terkait mengenai a) pangsa pasar, b) unsur sosial-kebudayaan dan c) aspek legal dalam pengembangan usaha di negera tersebut, dapat membantu potensi sektor basis wilayah terkait untuk dapat memasarkan produk-produknya secara optimal.
Kondisi reversed brain drain yang terjadi sejak awal 1990-an tersebut, selain memacu produktivitas perekonomian negara asal, diyakini juga telah meninggalkan buah manis berupa jaringan keilmuan dan pemasaran yang kuat dan tersebar hampir di seluruh negara-negara maju yang pernah mereka huni sebelumnya. Dengan kehadiran para braindrainer, peningkatan produktivitas terbukti meledak-ledak, peluang bisnis baru terus menyeruak, kepuasan kerja meningkat, demikian pula ilmu pengetahuan melaju lebih cepat. Artinya, semakin banyak perusahaan atau negara bersaing mendapatkan orang-orang bertalenta, semakin bagus peluang para jenius itu mengaktualisasikan potensi mereka demi membangun dunia yang lebih berkualitas.
4. Belajar Dari India Yang Telah Berhasil Menaklukan Masalah Brain Drain
Wabah brain drain telah menyerang India selama lebih dari 30 tahun yang lalu. India secara rutin merupakan negara pengekspor tenaga muda yang terampil ke negara-negara maju. Dimulai pada awal tahun 1960-an, lulusan terbaik dari beberapa Indian Institute of Technology (IITs) meninggalkan India dalam jumlah yang cukup besar untuk kemudian bekerja pada Silicon Valley, Amerika Serikat. Tidak jauh berbeda, penduduk India juga bermigrasi secara tradisional ke Inggris dan Kanada. Awal tahun 1970-an, jumlah warga India yang bermigrasi ke Amerika memiliki besaran yang sama dengan mereka yang bermigrasi ke Inggris dan Kanada. Namun pada awal tahun 1990, jumlah penduduk India yang bermigrasi ke Amerika telah meningkat hampir dua kali lipat dari mereka yang pergi ke kedua negara tersebut di atas. Saat ini, komunitas India di Amerika, baik imigran maupun mereka yang terlahir di sana, merupakan komunitas dengan proposi cukup besar sehingga dianggap mewakili populasi asal Asia. Kini para profesional asal India tersebut telah menguasai sedikitnya 8.000 perusahaan di bidang komunikasi, informasi dan teknologi di kawasan Silicon Valley dengan pemasukan sebesar US$ 4 miliar ditambah dengan penyediaan lapangan kerja sebanyak 17.000 kursi.
Namun kini, fenomena brain drain di India telah berangsur sirna dan berubah menjadi reversed brain drain. Sejak akhir tahun 1990-an, para ilmuwan dan profesional India yang telah menetap di luar negeri mulai kembali ke tanah airnya. Kesempatan itu dilakukan pada masa cuti panjang ataupun di tengah masa penelitiannya dengan cara mengajar di India dan berinteraksi secara langsung dengan sesama peneliti di negara asal. Hal ini terjadi hampir di berbagai bidang pegetahuan, khususnya IT, kedokteran, dan ekonomi. Saat ini, sedikitnya terdapat sekitar seratus ribu warga negara India yang sebelumnya bekerja di luar negeri telah kembali ke negaranya secara permanen, di mana 32.000 di antaranya merupakan non-resident Indian (NRI) yang berasal dari Inggris. Hasilnya, brain drain yang dirasakan merugikan India mulai menjelma menjadi brain circulation yang membawa keuntungan secara mutual bagi India dan negara tujuan. Dalam konteks ini, Bindo Khadria menyebutnya sebagai second-generation effects of brain drain.
Terhadap kondisi tersebut di atas, Pan Mohamad Faiz menganalisa adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terciptanya pola reversed brain drain di India, yaitu: Pertama, terjadinya tansisi kebijakan pemerintah India secara gradual dari pola kontrol ekonomi sosialis melalui sebuah proses liberalisasi yang dimulai pada awal tahun 1990-an telah menciptakan tidak hanya tersedianya berbagai lapangan kerja baru di bidang manufaktur dan teknologi, tetapi juga meningkatnya reputasi berbagai lembaga tinggi pendidikan di bidang IT dan manajemen. Di samping itu, pengelolaan institusi-institusi swasta tidak lagi dipersulit oleh campur tangan pemerintah yang selama ini dirasa cukup dominan.
Kedua, terjadinya reversed brain drain di India disebabkan pula akibat melemahnya kondisi perekonomian di Amerika Serikat sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan yang menutup aktivitasnya, termasuk memutuskan hubungan kerja dengan para tenaga ahlinya. Guna mengatasi masalah ini, Amerika mulai mengeluarkan kebijakan outsourcing dengan mencari tenaga-tenaga ahli yang lebih murah namun mempunyai kemampuan yang tinggi, salah satunya dengan memanfaatkan pengeluaran visa H-1B. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh para profesional dan pebisnis asal India. Mereka berduyun-duyun kembali ke negaranya sebagai fasilitator antara tenaga ahli yang berada di India dengan jaringan pasar internasional. Booming besar berikutnya terjadi ketika India menciptakan kota-kota IT yang diberi nama Indian Silicon Valley yang berpusat di Bangalore, di mana perusahan-perusahaan sekelas Hawlett-Packard, IBM, dan Microsoft mulai membuka laboratorium riset secara khusus di wilayah tersebut. Hasilnya yaitu penciptaan kekuataan baru para pekerja transnasional di berbagai sektor ekonomi, penguatan infrastruktur fisik dan sosial di Bangalore dan sekitarnya, serta penempaan dan penguatan hubungan transnasional antara India dan Amerika Serikat.
Ketiga, kesuksesan India menarik kembali para ilmuwannya tidak terlepas dari jaringan diaspora yang selama ini dapat terus mereka pertahankan, baik diaspora yang bersifat keilmuan maupun diaspora yang bersifat komunitas kemasyarakatan. Beberapa diaspora keilmuan utama yang mereka miliki misalnya, Silicon Valley Indian Professional Association (SIPA), Worldwide Indian Network, The International Association of Scientists and Engineers and Technologist of Bharatiya Origin, dan Interface for Non Resident Indian Scientists and Technologist Programme (INRIST). Dari sinilah mereka memperoleh sumber potensi yang sangat besar dalam menjalankan kerjasama secara efektif dan menguntungkan kedua belah pihak antara negara India sebagai negara berkembang dengan berbagai negara industri maju lainnya.
Keuntungan dari terjadinya reversed brain drain tersebut, terhitung dalam lima belas tahun terakhir ini, industri teknologi India mulai berkembang menjadi teknologi kualitas tinggi dengan pertumbuhan dari US$ 150 juta menjadi US$ 3,9 miliar dalam hal penjualan. India saat ini juga telah mengekspor produksi piranti lunak ke hampir 100 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa. Meningkatnya ikatan rasa emosional dan budaya terhadap tanah kelahiran India menjadi modal tambahan meluasnya kesempatan bagi para profesional India. Begitu pula dengan kesempatan bekerja di dalam negeri yang tidak kalah bersaing dengan perusahan-perusahaan terkenal lainnya di luar negeri. Sebagai contoh, salah satu tamatan terbaik Indian Institute of Management (IIM) di Bangalore memperoleh tawaran kerja dari Barclays Capital dengan gaji sekitar US$ 193.000 per tahun, atau lulusan Indian School of Business (SIB) di Hyderabad biasanya memperoleh tawaran kerja dari perusahaan India dengan gaji rata-rata sekitar US$ 200.000 per tahun. Belum lagi tawaran-tawaran dari perusahan besar seperti Goldman Sachs, BNP Paribas, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Deutsche Bank, J.P. Morgan, McKinsey, Bain & Co. Boston Consulting Group, A.T. Kearney and Diamond Cluster, serta sederet perusahaan berkelas lainnya.
Beberapa tahun terakhir ini, India bukan saja mengalami reversed brain drain, akan tetapi kini mereka diuntungkan dengan terciptanya brain gain dari negara-negara lainnya. Meledaknya perekonomian India memicu sedikitnya puluhan tenaga ahli dari negara-negara Eropa, seperti Swedia, Norwegia, Perancis, Jerman, Swiss dan Inggris untuk berkerja pada industri teknologi di kawasan industri Okhla, New Delhi, India. Lebih dari itu, survey yang dilakukan di Inggris pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa para lulusan Inggris tengah mempersiapkan dirinya untuk mengisi 16.000 lowongan pekerjaan pada Indian call-center di tahun 2009 mendatang. Bahkan dalam laporan tersebut disampaikan bahwa seorang lulusan sarjana dari Skotlandia rela untuk melepaskan pekerjaannya dari Sky Television dengan gaji £21.000 per tahun untuk kemudian bekerja pada Indian call-center.
Terjadinya reversed brain drain di India tidak dapat dipisahkan dari peran dan keuntungan yang diperoleh dari adanya diaspora India. Diaspora ini tersebar ke berbagai belahan dunia sebagai silent networking. Sekitar 20 juta orang yang tergabung dalam komunitas elektik ini tumbuh dan berkembang sebesar 10% setiap tahunnya, sehingga menempatkan komunitas ini sebagai diaspora terbesar di dunia setelah Cina dan Inggris. Setidaknya terdapat lebih puluhan ribu warga negara India yang menempati 48 negara di seluruh dunia. Meskipun mendiami negara dan bahasa yang berbeda-beda, diaspora India mempunyai identitas yang sama dengan negara asalnya, yaitu suatu kesadaran akan warisan kebudayaan dan ikatan emosional yang sangat kuat terhadap garis keluarga dan negara asalnya. Dalam dua dekade terakhir, diaspora India telah mengalami perubahan, yaitu dari para imigran biasa menjadi pemegang peranan kunci pada posisi penting di bidang politik, lembaga universitas, dan sektor industri. Mereka menempati pos-pos penting sebagai pemimpin terpilih, politisi, profesor, dan status profesional lainnya. Beberapa contoh terbaiknya yaitu Bharrat Jagdeo, Presiden Guayana yang beraliran sosialis; anggota Kongres di Amerika Serikat; anggota parlemen di Kanada; serta penerima Nobel Ekonomi, Amartya Sen.
Terhadap gambaran di atas, dalam lingkup diaspora India, migrasi warga India kini tidak lagi menyebabkan terjadinya brain drain melainkan justru menjadi elemen awal terciptanya brain gain. Selain itu, anggota dari diaspora India yang tergabung dalam NRI dan PIO juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan di India. Diaspora India juga merupakan komunitas yang berharga dalam memberikan kontribusi terhadap meningkatnya hubungan India-Amerika, sehingga hal tersebut menghasilkan keuntungan ganda bagi negaranya. Dengan terbuktinya keunggulan dari jaringan diaspora terhadap pertumbuhan dan perkembangan negara India, fenomena mengenai brain drain dan migrasinya tenaga ahli telah berubah menjadi mantra brain gain. Oleh karenanya, diaspora semacam ini patut menjadi perhatian khusus bagi kita semua, terutama mengenai kuatnya keterikatan mereka dengan keluarga dan negara asalnya. (Pan Mohamad Faiz: KIPI 2007)
5. Kesimpulan
Tingginya laju arus tenaga ahli dari negara berkembang ke negara-negara yang lebih maju (brain drain) menjadi salah satu alasan yang menunjukkan lemah dan kurang tepatnya strategi kebijakan dan pandangan dalam menumbuhkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi secara adil dan memadai serta kebijakan-kebijakan yang kurang mendukung para tenaga ahli.
Dengan adanya dampak-dampak negatif serta adanya faktor-faktor pendorong dan penarik dari peristiwa brain drain di atas, maka perlu adanya usaha-usaha yang dilakukan negara-negara berkembang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga arus brain drain diharapkan dapat ditekan seminimum mungkin. Banyak sekali cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah brain drain, di atas kita telah melihat sebuah negara yaitu India yang telah mampu mengubah brain drain menjadi brain gain. Selain hal-hal di atas yang diterapkan oleh India, masih banyak lagi hal-hal yang bisa dilakukan oleh negara-negara berkembang agar arus brain drain dapat diatasi. Sehingga negara asal tidak akan dirugikan terus.
Untuk itu, guna memperoleh pergerakan asimetris arus dan distribusi tenaga ahli secara global, negara-negara berkembang harus berani dan kreatif dalam mengimplentasikan strategi yang didukung secara penuh oleh kebijakan dalam negeri. Cara-cara ataupun usaha-usaha yang bisa dilakukan antara lain:
  1. upah/gaji disamakan, tidak ada diskriminasi. Yaitu dengan membangun sistem remunerasi yang fair. Contoh paling sederhana dan konkret, untuk posisi tertentu dengan tugas dan tanggung jawab yang tertentu pula, tak perlu lagi dibeda-bedakan antara gaji (profesional lokal) dengan gaji ekspatriat yang biasanya dibayar jauh lebih mahal. Karena dengan sistem remunerasi yang baik, menurut berbagai penelitian, juga terbukti mampu mendorong semangat kerja, memacu produktivitas, serta melecut kreativitas karyawan di semua level organisasi.
  2. Sistem pendidikan ditingkatkan. Yaitu dengan menyediakan kesempatan pendidikan berkelas dunia (dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi harus mampu bersaing dengan pendidikan negara-negara luar yang sudah maju), membangun penelitian ilmu pengetahuan dan pengembangan industri. Selian itu, juga mengimplentasikan rancang-bangun pendidikan yang dapat mendukung dan memelihara pengembangan inti ilmu pengetahuan melalui program dalam negeri dan pelatihan luar negeri yang lebih terarah dan terencana. Pemenuhan target program pendidikan dasar bagi seluruh warga negara, investasi pada infrastruktur untuk penelitian, pengembangan dan penciptaan kondisi yang dapat menunjang tumbuhnya sektor publik maupun swasta dalam lingkup hasil penelitian, serta pengembangan teknologi dan inovasi merupakan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam kondisi sekarang ini. Oleh sebab itu, guna mewujudkan langkah-langkah strategis di atas, kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta harus pula dijalankan secara optimal. Beberapa negara besar telah berhasil menunjukkan bahwa diaspora ilmu pengetahuan (scientific diaspora) dapat bekerja sangat efektif, terutama untuk memanfaatkan efek negatif dari terciptanya arus brain drain. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, India dapat menjadi gambaran bagi negara berkembang bahwa upaya dalam melakukan penelitian dalam negeri sangat ditopang dan dibantu dengan adanya aktivitas jaringan sejagat (global network) dari para peneliti yang tinggal di luar negeri. Oleh karena itu, diaspora negara berkembang yang telah ada harus pula didukung agar mampu melakukan transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology transfer) secara bertahap.
  3. Kesiapan pemerintah menampung mereka di segala bidang. Yaitu dengan menyiapkan sarana dan prasarana serta fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh para tenaga ahli. Pemerintah harus menyediakan kesempatan kerja di segala bidang, sehingga ilmu dan keterampilan yang mereka dapatkan bisa diimplementasikan di negaranya sendiri dan tidak sia-sia. Sehingga mereka tidak akan berpikir untuk lari ke luar negeri.
  4. Pemerintah harus mengadakan perjanjian dengan para braindrainer. Misalnya di Singapura, para braindrainer diwajibkan bekerja minimal 2 – 3 tahun di negara tujuan, setelah itu mereka harus kembali ke negara asal untuk menerapkan ilmu dan keterampilan yang telah diperoleh di negara tujuan. Di Kuba, adanya subsidi belajar ke luar negeri bagi mereka yang pandai dan berminat, namun setelah selesai/lulus mereka harus kembalidan mempraktekan ilmunya di dalam negeri. Dan di indonesia, adanya denda pengembalian uang beasiswa jika dalam waktu yang ditentukan mereka tidak kembali ke Indonesia.
  5. dalam bidang investasi, untuk menciptakan ekonomi yang mandiri dengan memperkenalkan konsep ‘Investor Amfibi’ yang banyak meminjam dasar-dasar ilmu Teknologi Informasi, dimana kegiatan investasi di negara berkembang dapat dijalankan oleh para alumninya hasil pendidikan luar negeri secara remote (jarak jauh), mobile (berpindah-pindah tempat), dan adaptable (mudah beradaptasi), sekaligus menghimbau kepada mereka yang sudah memilih berkiprah di luar untuk tidak ragu-ragu dengan pilihannya sembari terus mengabdi bagi negeri. Serta dibahas pula mengenai peluang, resiko dan tantangan bagi calon investor jarak jauh yang ingin menanamkan modalnya di negara asal, dan pemikiran tentang bagaimana investasi hasil pendanaan luar negeri tersebut dapat memberikan manfaat domino effect bagi sumber-sumber daya lainnya di negara asal dan memacu percepatan perputaran roda ekonomi mandiri secara keseluruhan, yang kesemuanya dilakukan secara kompak dan berkesinambungan oleh insan-insan bangsa baik yang di dalam maupun yang di luar negeri.(Dipto Harendra Pratyaksa: KIPI 2007)
  6. Pemerintah negara asal harus memberikan penghargaan yang sesuai dengan kualitas yang dimiliki oleh para braindrainer.
  7. Memperbolehkan sebagian orang-orang berkualitasnya untuk hijrah ke negara lain, namun ada perjanjian dengan mereka. Yaitu mereka di sana diberi tugas mencari iformasi-informasi tentang perkembangan perkonomian, dunia usaha, dan sosial budaya yang berkembang disana. Sehingga negara asal dapat mengikuti perkembangan yang ada, dan akhirnya diharapkan mampu bersaing dengan negara-negara luar yang sudah maju.
Dengan upaya-upaya maupun usaha-usaha di atas, apabila berhasil dan sukses diterapkan/dilaksanakan, maka diharapkan dapat menciptakan sebuah reversed brain drain. Dimana dengan terciptanya reversed brain drain ini akan dapat memacu produktifitas perekonomian negara asal, serata juga dapat memperluas jaringan perekonomian dengan para braindrainer sebagai penghubung antara negara maju dan negara berkembang (negara asal). Dengan ini maka dampak positif akan tercipta, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sehingga pembangunan nasional negara asal dapat tercapai sesuai yang diharapkan.

๐Ÿ‘ช

Wednesday, 9 September 2015


Mengubah Brain Drain Menjadi Brain Gain

Di era globalisasi ini fenomena brain drain telah menjadi isu yang hangat ditengah masyarakat khususnya Indonesia yang notabane sebagai negara berkembang. Hal ini dikarenakan adanya globalisasi yang membuat interaksi antar negara semakin intensif, dan pertumbuhan sektor ekonomi semakin pesat. Lantas apakah sebenarnya brain drain itu? Menurut Philippe Le Grain istilah brain drain pertama kali digunakan oleh masyarakat Inggris untuk menggambarkan aliran para teknokrat dan ilmuan keluar menuju amerika utara pada 1950-1960 (Le Grain, 2006:184). Secara tidak langsung brain drain juga dapat dikatakan sebagai berpindahnya (migrasi) ilmuan atau tenaga ahli dan terdidik yang berasal dari negara berkembang menuju negara maju dengan beberapa alasan baik dari pelaku brain drain itu sendiri maupun dari negara tujuan. Hal ini dianggap dapat mengurangi potensi dan kapasitas negara tersebut untuk berkembang lebih optimal.

Sebuah negara tidak mungkin melakukan pelarangan atas terjadinya fenomena brain drain ini, karena brain drain merupakan dampak langsung dari globalisasi. Hal yang harus dilakukan adalah penyikapan, bukan pelarangan. Brain drain akan bernilai positif jika kita cerdas menyikapi. Namun hal yang perlu dipahami adalah keuntungan atas penyikapan fenomena brain drain bukan merupakan sesuatu yang instan. 
Adapun faktor penyebab terjadinya brain drain ini dibedakan menjadi dua, yaitu faktor penarik dan faktor pendorong (Pan Mohammad Faiz, 2007). Faktor penarik, berasal dari negara tujuan, meliputi anggapan bahwa pada dasarnya mereka merasa meiliki prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik, fasilitas pendidikan yang lebih maju dan lengkap, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai daripada negara asal, kesempatan memperoleh pengalaman kerja yang lebih luas bahkan tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pelaku brain drain.

Adapun yang menjadi faktor pendorong, berasal dari negara asal, meliputi rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian, tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi, kondisi politik yang tidak menentu, diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi, dan faktor-faktor lain.

Dengan demikian hal yang patut dipertanyakan bagaimana fenomena brain drain menimbulkan dilema bagi negara berkembang? karena dalam realitasnya fenomena brain drain ini menimbulkan pro dan kontra terlebih di negara-negara berkembang. Dengan begitu maka dapat dilihat apakah dengan adanya fenomena ini akan menghasilkan keuntungan bagi negara berkembang atau justru sebaliknya?

Dari perdebatan pro dan kontra fenomena brain drain ini, dapat dibedakan menjadi dampak negatif dan dampak positif terjadinya brain drain. Bagi negara asal brain drain tentunya akan membawa dampak negatif yang tidak sedikit. Seperti, kelangkaan sumber daya manusia didalam negeri, terhambatnya proses transfer teknologi, hal ini membuat para investor tidak berani berinvestasi teknologi tinggi, rendahnya modal intelektual negara pengekspor, brain drain dapat juga membawa pengaruh rendahnya kesejahteraan terhadap lingkungan. Artinya apa yang sudah diinvestasikan dengan mahal oleh masyarakat atau bangsa ini, yang menikmati justru negara lain, terutama negara-negara maju yang mampu menawarkan peluang, tantangan, atau jaminan kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan negara asal.

Akhir-akhir ini semakin banyak brain drainer professional terbaik negara-negara berkembang yang migrasi dari negaranya menuju negara maju atau negara-negara industri, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Australia. Mereka adalah para ilmuan, tenaga ahli, arsitek, insinyur, akademi, dokter dan para ahli lainya. Dimana peristiwa yang disebut sebagai brain drain ini merupakan kerugian besar bagi negara yang ditinggalkan. Hal ini ada kaitanya dengan salah satu faktor yang menentukan kemajuan sebuah negara adalah tersedianya sumber daya manusia berkualitas yang dibutuhkan untuk berbagai bidang baik itu di lembaga negara, pemerintahan, perusahaan, sektor pendidikan, kesehatan, lembaga swadaya masyarakat ataupun di media massa.

Berbicara tentang brain drain, Indonesia memiliki potensi orang-orang cerdas dan pintar di bidangnya, laporan dalam Internasional Summit 2010, Ikatan Ilmuan Indonesia Internasional (I4) mencatat ada sekitar 2.000 ilmuan yang bekerja di luar negeri. Mereka mengajar, melakukan riset, dan mengembangkan ilmu pengetahuan lainnya di negeri orang. Para cendekiawan tersebut mengupayakan perbaikan kultur riset guna mendukung pembangunan bangsa dan negara sendiri. Lantas timbul pertanyaan mengapa mereka enggan pulang kampung dan membangun Indonesia? Jawabanya bukan karena soal materi, tetapi soal penghargaan, banyak cendekiawan yang tidak dihargai didalam negeri sendiri, mereka disia-siakan dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka, berbeda dengan negara maju yang sangat memanjakan dan menghargai cendekiawan. Bahkan tak sedikit pula ilmuan-ilmuan yang rela terbang pulang kampung dengan ongkos pribadi.

Bahkan ada juga yang menganggap bahwa mereka yang melakukan brain drain itu tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap bangsanya sendiri. Justru adanya brain drain ini, mereka memiliki rasa nasionalisme terhadap bangsanya, hal ini dapat kita lihat dari prestasi mereka diluar negeri, secara langsung maupun tidak, mereka telah membawa nama baik bangsanya di negara mereka tinggal, mereka sudah memberikan yang terbaik berupa prestasi kepada negara, itu adalah bentuk nasionalisme yang tinggi, harusnya negara lebih menghargai mereka.

Namun demikian, di sisi lain justru fenomena brain drain ini memberikan dampak positif bagi negara asal, dengan cara memanfaatkan kondisi brain drain menjadi brain gain (reversed brain drain) untuk kemajuan negaranya. Hal ini sudah dibuktikan oleh Cina dan India yang mempunyai konsentrasi brain drain sangat tinggi, kondisi reserved brain drain terjadi sejak awal 1990-an (Simon Commander, 2003:29). Hal senada diungkapkan (Le Grein, 2006) berpendapat bahwa perpindahan tenaga ahli dari negara maju ke negara berkembang memberikan peluang terjadinya brain gain dinegara berkembang karena terjadi proses penyaluran edukasi. Secara tidak langsung, penduduk lokal dan ekspatriat akan mengalami proses integrasi sosial. hal itu memungkinkan terjadinya proses transfer pengalaman, pengetahuan dan teknologi dari tenaga asing ke penduduk lokal ketika menjalankan kegiatan ekonomi.

Kita berkaca pada negara yang sudah menerapkan brain gain, seperti Cina dan India merupakan negara yang membuka peluang adanya imigran yang diyakini dapat memberikan keuntungan melalui brain gain yakni melalui proses transfer ilmu. Kebijakan brain gain ini juga ditujukan oleh masyarakat yang di dorong untuk melakukan emigrasi yang nantinya akan dapat kembali membangun negerinya (Le Grain 2006:182). Tidak hanya berhenti disitu saja, perlu adanya dukungan dari pemerintah agar brain gain ini bisa berjalan, dengan cara menerapkan kebijakan tariff pajak yang lebih tinggi bagi upah tenaga kerja asing. Pendapatan dari pajak yang lebih tinggi itulah yang kemudian digunakan untuk proses pembangunan domestik. Pembangunan dimulai dengan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan, sehingga diharapkan sumber daya manusia yang dihasilkan memiliki kompetensi untuk persaingan dengan tenaga ahli asing.

Maksud dari paparan tulisan diatas adalah brain drain dapat memicu brain gain didalam negeri, persepsi brain drain akan memotivasi calon tenaga kerja bahwa untuk bisa mendapatkan pekerjaan di negara maju dan mendapat gaji besar, yang harus dilakukan adalah mereka harus memiliki basis pengetahuan yang tinggi. Dengan demikian, institusi pendidikan dituntut bisa memberikan pengetahuan yang bermutu, diharapkan kualitas pendidikan didalam negeri pun bisa meningkat. Negara yang tidak memiliki sumber daya alam, tetapi memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dari berbagai bidang pengetahuan sangat cepat berkembang dibandingkan dengan negara yang berlimpah sumber daya alamnya tetapi kualitas sumber daya manusianya rendah.

Pengalaman bekerja dan melakukan penelitian diluar daerah maupun negara asalnya sebenarnya sangat berguna bagi ilmuan itu sendiri terlebih sangat berguna bagi daerah maupun negara asalnya, asalkan si ilmuan tersebut kembali ke daerah maupun negara asalnya. Yang menjadi persoalan baru pun muncul, yaitu si ilmuan tersebut lebih memilih tinggal dan mengembangkan ilmunya di negara lain. Perpindahan ilmuan ke wilayah lain sebenarnya juga tidak masalah asalkan berjalan seimbang, dalam arti bahwa jumlah ilmuan yang keluar setara dengan ilmuan yang masuk.

Dalam peta persebaran migrasi pada negara-negara berkembang, timbul pertanyaan bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang notabane negara berkembang terbesar ketiga didunia, setelah Cina dan India yang mewakili 70% dari keseluruhan penduduk Asia, Indonesia diprediksi dapat semakin jauh tertinggal dalam hal pengembangan sumber daya manusia jika tidak segera menyadari sekaligus mempersiapkan strategi untuk mengatasi problematika brain drain (Frederic Docquier, 2005). Oleh karena itu, pemerintah harus bersatu dan memikirkan kebijakan dalam mengatasi krisis sumber daya manusia di Indonesia. Sehingga arus brain drain diharapkan dapat ditekan seminimum mungkin. Jikalau pemerintah masih cuek akan hal ini, bisa dipastikan masa depan bangsa Indonesia hanya akan menjadi impian semata.

Tingginya laju arus brain drain menjadi salah satu alasan yang menunjukkan lemah dan kurang tepatnya strategi kebijakan dari pemerintah untuk mendukung para tenaga ahli, dengan adanya hal ini maka pemerintah perlu adanya usaha-usaha untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk mengatasi fenomena ini perlu adanya langkah strategis dalam menghentikan dampak negatif brain drain. Pertama, langkah mutlak adalah pendidikan merupakan hal fundamental, pemerintah harus mengimplementasikan rancangan pendidikan yang efektif melalui program nasional dan pelatihan luar negeri yang telah terarah dan terencana. Oleh sebab itu, guna mewujudkanya kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta harus dijalankan secara optimal.

Kedua, pengutan kondisi perekonomian didalam negeri, kondisi inilah yang akan dimanfaatkan oleh para professional pelaku brain drain, pemerintah mempercepat pembangunan sehingga masyarakat di negara berkembang bergerak menjadi masyarakat modern yang membutuhkan banyak tenaga ahli. Ketersediaan lapangan kerja yang cukup luas dapat membatasi gerak ke luar atau ke negara maju. Mereka berduyun-duyun kembali kenegaranya sebagai fasiliator antara tenaga ahli yang berada didalam negeri dengan jaringan pasar internasional.

Ketiga, membangun kepemimpinan nasional yang tercerahkan terhadap komunitas ilmu pengetahuan nasional yang dapat menyokong terciptanya pengembangan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, seluruh ahli ilmu pengetahuan, politisi, dan penentu kebijakan di Indonesia, termasuk badan-badan internasional lainnya, harus memberikan apresiasi lebih terhadap terjadinya sinergitas kreasi ilmu pengetahuan sehingga kebijakan dan sistem pendidikan dapat dirancang untuk menciptakan inovasi baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keempat, dalam jangka pendek perlu diciptakan sistem tranfer ilmu para pelaku brain drain seperti melalui kuliah khusus, mendatangi seminar nasional, dan berdiskusi secara langsung, serta menjadi penghubung antara ilmuwan lokal dengan ilmuwan internasional. Sedangkan untuk tahapan jangka panjang, pemerintah sudah waktunya membentuk suatu program atau badan khusus untuk mengantisipasi negative snowball effect dari brain drain, sekaligus menerapkan strategi penciptaan reversed brain drain sebagaimana telah dilakukan oleh negara-negara lain.

Berdasarkan paparan diatas penulis menyatakan bahwa terdapat pro dan kontra terhadap fenomena brain drain ini menimbulkan rasa kekhawatiran bagi negara-negara berkembang, namun fenomena brain drain ini bukanlah ancaman serius bagi sebagian besar negara berkembang, justru ada keuntungan dengan adanya brain gain jika para tenaga ahli itu mau kembali ke negara asal, dengan membawa serta pengetahuan dan teknologi baru yang mereka dapat selama migrasi di luar negeri. Sebagai contoh, negara Indonesia. Tidak sedikit orang-orang pintar pribumi yang kemudian bekerja di luar negeri. Hal ini dikarenakan lapangan kerja di Indonesia yang tidak mencukupi, serta tidak sesuainya pendapatan yang diperoleh dengan tenaga yang dikeluarkan. Seorang ilmuan semestinya tak hanya paham akan ilmu yang ia tekuni tetapi harus menyadari mengenai kondisi bangsanya sekalipun itu menyentuh dunia ekonomi dan politik karena ilmu yang dimilikinya sudah semestinya ia baktikan untuk bangsa dan negaranya.

Untuk merangsang para tenaga ahli kembali pulang dan berpatisipasi dalam membangun negara asalnya, pemerintah harus agresif dan terencana secara sistematis dalam upaya memanggil pulang orang-orang terbaik, untuk membangun bangsa sendiri dan mengambil peran dalam mendorong akselerasi serta turut aktif memantau dan menciptakan kondisi yang bagus untuk persaingan ini. Partisipasi aktif tersebut bisa dengan memberikan penghargaan-penghargaan kenegaraan bagi institusi pendidikan yang mampu menorehkan prestasi, bisa juga dengan mengadakan kontak kerja sama dengan negara-negara maju di bidang pendidikan.

Di sisi lain, pemerintah juga harus terlibat secara moril. Akan sia-sia apabila setelah tenaga kerja memiliki cukup bekal pengetahuan, akhirnya mereka lari ke negara maju karena permasalahan-permasalahan sosial-politik. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah, pemerintah harus mampu meningkatkan kadar nasionalisme lewat komunikasi politik. Pencapaian hal diatas tentunya tidak mudah dan memerlukan waktu. Namun demikian, tentunya harapan masih tetap harus digantungkan sampai kapanpun juga. Sebagai generasi penerus sudah berkewajiban untuk memikirkan permasalahan ini sejak dini. Sehingga, kelak akan mampu bersaing dengan negara maju.
๐Ÿ‘ช

Salah satu hal yang paling menakutkan bagi negara selain kehilangan sumber daya alamnya adalah kehilangan sumber daya manusianya. Sumber daya manusia dalam hal ini adalah sumber daya manusia yang sudah terlatih. Muncul sebuah istilah Brain Drain. Pengertian dari istilah ini adalah ketika banyak sumber daya manusia yang berkualitas di sebuah negara pergi untuk mencari kehidupan yang kebih baik. Istilah ini mulai popular terutama di negara berkembang mengingatSDM yang terlatih sangat diperlukan untuk membangun negaranya. Selain istilah ini muncul juga sebuah istilah yang dinamakan Brain Gain. Isitilah brain gain berarti ketika sebuah negara menerima para emigrant intelijen dari berbagai negara yang ingin mencari kehidupan yang lebih baik seperti mencari pekerjaan yang dimana mereka bisa mendapat gaji yang lebih tinggi ataupun mencari fasilitas kehidupan yang kebih baik. Kehilangan orang-orang berkualitas merupakan suatu kerugian yang cukup besar bagi negara berkembang.
Sumber daya yang berkualitas ini seharusnya bisa menciptakan lapangan perkerjaan bagi orang lain maupun membagikan ilmu yang mereka dapat untuk orang lain sehingga mereka bisa meningkatkan tingkat produktivitas masyarakat yang kurang terlatih. Namun tidak semua negara merasakan hal ini. India memproduksi lebih banyak teknisi daripada yang bisa dipekerjakan maka dari itu kehilangan beberapa teknisi tidak terlalu merugikan India. Sekolah kedokteran di Filipina bahkan mengiklankan bahwa siswa yang membayar biaya sekolah mereka sendiri dipastikan akan mendapatkan pekerjaan di Amerika setelah mereka lulus. Namun ada juga negara yang tidak bisa mengakomodir pekerja mereka yang jumlahnya lebih banyak karena lowongan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menampung seluruh tenaga professional. Fenomena ini menyebabkan sebuah dilemma antara brain drain dan brain in the drain yang menjadikan pindah ke luar negeri adalah pilihan yang tidak bisa ditolak
Kebanyakan dari masyarakat yang bermigrasi adalah merek yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidangnya serta berpengalaman, yang dimana seharusnya bisa menularkan kemampuannya kepada masyarakat lain. Masalah yang terjadi di Afrika adalah beberapa negara seperti Ghana kehilangan sangat banyak dokter. Padahal dokter merupakan suatu profesi yang keahliannya sangat dibutuhkan karena tingginya jumlah penderita HIV/AIDS. Hal ini sebenarnya membuat dilemma bagi pemetintah. Tidak mungkin seorang warga negara tidak diperkenankan untuk bekerja di luar negeri meskipun negaranya sendiri sangat membutuhkan, hal ini dianggap tidak etis. Kebabasan untuk bermigrasi tertera dalam salah satu pasal dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Beberapa negara seperti China mulai memanfaatkan diaspora mereka sebagai brain bank. Ketika pekerja biasa membawa banyak uang kembali ke negaranya, pekerja yang memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih. Maka dari itu penulis berpendapat bahwa hal inilah yang seharusnya negara kita Indonesia lakukan, yaitu menjaga supaya masyarakat yang berkualitas tidak pergi dan menetap di negara lain, sehingga mereka bisa memberikan sumbangsih mereka untuk membangun negeri.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita sering mendengar bahwa kalau orang pintar tidak dimanfaatkan di negeri sendiri sehingga mereka pindah ke negara lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Contoh yang familiar adalah mantan Presiden B.J Habibie dan salah satu ahli listrik Indonesi Ricky Elson. Mereka berdua adalah contoh orang pintar Indonesia yang mencari kehidupan lebih baik di luar negeri karena mereka lebih dibutuhkan di negara lain. Globalisasi telah mempermudah akses kita bepergian ke negara lain. Hal inilah yang dimanfaatkan mahasiswa Indonesia yang mencari ilmu di negeri orang. Beberapa dari mereka ada yang kembali membawa ilmu yang telah mereka pelajari dan membangun Indonesia, namun tidak sedikit yang tidak kembali. Ada banyak alasan, mulai dari sudah mendapatkan pekerjaan ataupun merasa keahlian mereka tidak dibutuhkan di negeri sendiri.
Apakan dampak globalisasi terutama dalam perpindahan tenaga ahli telah merugikan Indonesia? menurut penulis tidak sepenuhnya benar. Dewasa ini kita lihat mulai banyak dosen yang kuliah di luar negara lain dan pulang untuk mengajar kembali, lalu banyak dari para pemimpin negeri ini yang juga lulusan universitas ternama di benua Eropa maupun Amerika memimpin bangsa Indonesia menuju kearah yang lebih baik. Kepulangan ini tentunya selain karena mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk membangun negeri, mereka juga memiliki rasa cinta tanah air. Masih banyak alasan lainnya mengapa para intelektual kita kembali ke tanah air. Namun sangat disayangkan bahwa masih ada yang tidak ingin atau belum ingin kembali. Sekarang adalah bagaimana usaha dari pemerintah untuk memanggil para intelektual yang berada jauh di negeri orang untuk kembali ke negeri sendiri dan bagaimana usaha kita sendiri sebagai mahasiswa yang sering disebut sebagai kaum intelektual untuk berpartisipasi membangun Indonesia.
Penulis : I Gusti Krishna Aditama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019