YTh. POLRI mentersangkakan KETUA KPK

Makassar, - Penyidik Polda Sulselbar menahan pimpinan nonaktif KPK Abraham Samad. Samad ditahan terkait perkara dugaan pemalsuan dokumen kependudukan.

"Dari hasil analisa penyidik berdasarkan fakta hukum, maka tersangka AS dilakukan upaya hukum berupa penahanan," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulselbar Kombes Joko Hartanto memberi keterangan kepada wartawan di Mapolda Sulselbar, Selasa (28/4/2015) malam.

Kombes Joko memastikan dari hasil pemeriksaan, penyidik sudah mengantongi bukti cukup dugaan pidana yang dilakukan Samad. Samad diduga melakukan tindak pidana Pasal 264 ayat 1 subsidair Pasal 266 ayat 1 KUHP dan atau Pasal 93 UU 23/2006 sebagaimana diubah menjadi UU 24/2013 tentang Kependudukan.

Dugaan pemalsuan dokumen izin tinggal Feriyani Lim diduga terjadi pada tahun 2007. 

Polisi kemudian melakukan penyelidikan, hingga akhirnya meningkatkan kasus ini ke penyidikan. Kini Abraham Samad ditetapkan menjadi tersangka.

Samad diperiksa sejak pukul 13.45 WITA dan ditahan sekitar pukul 20.30 WITA.

Merdeka.com - Salah satu kuasa hukum Bambang Widjojanto, Saor Siagian, membenarkan kliennya sempat ditahan penyidik Bareskrim Polri. Menurut Saor, Bambang pun telah menandatangani surat penahanannya yang diajukan penyidik.

"Tadi pas tanda tangan mas BW bilang terima kasih atas penahanannya dan itu sebagai komitmen saudara kami sebagai pejuang dan langsung ditandatangani," kata Saor di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (23/4).

Saor yang ikut mendampingi Bambang dalam pemeriksaan tersebut, mengaku terkejut saat penyidik kembali menarik surat penahanan yang sudah ditandatangani kliennya itu. Namun dia mengaku tak mengetahui alasan ditariknya surat penahanan tersebut oleh penyidik.

"Kami tidak tahu apa penyebabnya kembali ditarik surat penahanan. Ditarik saat mau pulang," kata dia.

Meski BW batal ditahan Bareskrim, namun berkas perkara tersangka kasus dugaan mempengaruhi saksi persidangan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat tahun 2010 lalu itu tetap dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, Kamis (23/4) sore ini. Sebelum dilimpahkan, Bambang menjalani pemeriksaan terakhir sekitar lima jam hari ini. BW batal ditahan karena dianggap koperatif.

Dari mana datangnya polisi?

Minggu, 15 Februari 2015
Dikisahkan bahwa kepolisian pertama ada di zaman Majapahit, ketika Patih Gajah Mada membentuk pasukan bersenjata "Bhayangkara" untuk menjaga keamanan kerajaan. Saya tak punya cukup pengetahuan untuk membuktikan bahwa ini bukan hanya imajinasi. Yang tampaknya luput dalam sejarah ini adalah pentingnya membedakan sebuah kerajaan abad ke-14 dari sebuah republik di abad ke-21. 
Sebuah kerajaan abad ke-14 menegaskan sumber legitimasinya pada diri seorang penguasa yang berakar di sebuah dinasti dan didukung sederet mithos. Sebuah republik sama sekali beda: Republik Indonesia mengedepankan diri (dan diterima) sebagai sebuah kekuasaan yang sah melalui revolusi. 
Revolusi 1945 itu sederhana tapi ajaib. Mao Zedong pernah mengatakan bahwa kekuasaan datang dari laras bedil, tapi hari 17 Agustus itu tak ada bedil yang dipakai untuk mendirikan kedaulatan. Yang kedengaran hanya sebuah pernyataan "atas nama bangsa Indonesia". Dengan suara Bung Karno yang agak menggeletar membaca paragraf-paragraf pendek yang diketik tergesa-gesa, sebuah nation dinyatakan ada. Serentak dengan itu, juga sebuah Negara. Begitu saja: dari imajinasi.
Baru kemudian, Negara itu berubah dari imajinasi menjadi sebuah administrasi. Dengan kata lain, dari sebuah antusiasme menjadi sebuah rasionalitas.
Dalam proses itulah polisi datang. Atau mungkin datang kembali. Kita ingat tokoh Jacques Pangemanann dalam novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer: seorang pengagum Prancis yang yakin dirinya merupakan bagian dari rasionalitas-dasar kekuasaan Eropa yang modern. Apa yang dikatakan Foucault tentang sejarah Prancis abad ke-17 dan ke-18 pun dianggap berlaku di wilayah yang dikuasai Nederland di abad ke-20: "Polisi menandai sebuah program rasionalitas pemerintahan."
Dari sanalah datangnya polisi, juga setelah Pangemanann-setelah Revolusi 1945. Artinya setelah sebuah Negara disusun dengan pelbagai peraturan dan lembaga pengawasan pun dipasang.
Namun berbeda dari yang digambarkan Foucault, tak pernah terjadi pemerintahan, apalagi di Indonesia, yang mirip Panoptikon: sistem politik yang mampu membuat penduduk merasa kehidupan mereka sedang terus-menerus diawasi. 
Mungkin karena Revolusi 1945 telah menerobos hierarki kekuasaan yang lama dan membuat kehendak sama-rata-sama-rasa jadi sah. Revolusi seperti itu menandai tak kekalnya kekuasaan yang bertahan pada ketidaksetaraan, kekuasaan yang disertai pengawasan yang satu arah-kekuasaan seperti yang digambarkan Foucault: "Di tepiannya, orang sepenuhnya dilihat tanpa mampu melihat; di menara pusat, orang sepenuhnya melihat tanpa bisa dilihat."
Dalam pengalaman kita, keadaan "dilihat sepenuhnya" atau "melihat sepenuhnya" itu tak pernah terjadi. Polisi (dengan "P", yang dalam makna yang luas adalah sehimpun institusi pengaturan dan pengawasan) mungkin saja punya ambisi untuk itu. Tapi Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan pulau yang 17 ribu, tak akan terjangkau oleh "penglihatan" siapa pun. Sementara itu, Polisi (dengan "P") sesungguhnya tak pernah terwujud, sebagaimana Birokrasi (dengan "B"), sebagai sarana rasionalitas, tak pernah terbentuk. Yang ada di Indonesia adalah aparat kekuasaan yang retak-retak dan liku-liku kantor pemerintahan yang ruwet.
Dan selalu ada perlawanan.
Saya selalu teringat sebuah adegan yang diceritakan seorang reporter beberapa tahun yang lalu. Di tepi sebuah jalan ke arah luar kota Jakarta, ia pernah melihat dua orang polisi menjemur lembar-lembar rupiah di rumput. Reporter itu kemudian tahu, uang itu dikeluarkan kedua polisi itu dari kotak korek-api yang dilemparkan para sopir truk besar yang melintas di sana. Uang itu basah. Akhirnya reporter itu juga tahu: sebelum para sopir melemparkan uang sogok itu ke luar jendela ke arah kedua polisi itu-agar perjalanan tak diganggu-lembar-lembar rupiah itu mereka ludahi. Itu tanda penghinaan dan rasa muak diam-diam.
Hubungan kekuasaan selalu punya saat yang rapuh. Bahkan ketika tak seimbang. Terutama ketika ia tak lagi didukung taklid dan keyakinan, sebagaimana di zaman ini. Mereka yang lemah, yang tertindas, selalu punya siasat bertahan dan melawan. Michel de Certeau punya deskripsi yang bagus tentang itu: sementara yang berkuasa punya "strategi", mereka yang daif punya "taktik". Dalam kiasan De Certeau, taktik itu adalah la perruque-seperti ketika buruh mengambil waktu kerja di perusahaan majikannya untuk dirinya sendiri. La perruque itu yang juga dipakai para sopir untuk menyuap agar tak ditanyai polisi dan para pelanggar agar lepas dari hukuman. La perruque bahkan menular ke kantor polisi, peradilan, dan kantor kementerian: para bawahan tak mau patuh karena para atasan tak pernah acuh.
Itu sebabnya di Indonesia Polisi tak datang. 
Goenawan Mohamad tempo.co


JAKARTA, KOMPAS.com — Keputusan pimpinan KPK yang melimpahkan kasus Komjen Budi Gunawan kepada kejaksaan terus dikecam. Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyebut, kebijakan yang diambil pimpinan sementara KPK, Taufiequrachman Ruki, dan pimpinan lain adalah sesuatu yang menyakitkan sekaligus memalukan.
"Sikap Pak Ruki menyakitkan sekaligus juga memalukan. Dia kalah telak melawan BG dalam praperadilan dan harus melimpahkan penanganan kasus BG ke Kejaksaan Agung," ujar Petrus melalui siaran persnya, Rabu (4/3/2015).
"Dalam bahasa lain, Ruki ini sudah jatuh lalu tertimpa tangga pula. Sikap Ruki ini jatuh dua kali dalam lubang yang sama," lanjut Petrus. (Baca: Pegawai KPK: Kami Membangkang karena Kebenaran Diinjak-injak)
Petrus mengatakan, seluruh rakyat Indonesia memahami bahwa KPK sedang mengalami keruntuhan moral dan daya tahan akibat serangkaian teror dan intimidasi melalui kriminalisasi.
Menurut Petrus, awalnya rakyat menaruh harapan besar terhadap pimpinan sementara KPK. Presiden Joko Widodo menunjuk Ruki, Indriyanto Seno Adji (mantan penasihat Kapolri), dan Johan Budi untuk mengisi kekosongan kursi pimpinan KPK.
Namun, kata dia, nyatanya mereka yang mengemban amanah besar tersebut malah berbuat sebaliknya, yakni mengerdilkan dan melemahkan lembaga anti-korupsi tersebut.
Petrus meragukan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Dia menganggap kejaksaan selama ini minim prestasi. Menurut dia, banyak jaksa nakal yang telah tersangkut kasus suap dan tidak memiliki nyali menangani kasus besar. (Baca: "KPK Kalah 4-0, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga")
"Sudah menjadi rahasia umumlah Kejaksaan Agung itu menjadi tempat koruptor besar untuk mencari selamat dan mendapatkan perlindungan," ujar Petrus.
TPDI mendesak KPK tidak menyerahkan kasus Budi Gunawan ke kejaksaan. Jika memang pelimpahan tetap dilakukan, KPK harus terus terlibat dalam penyelidikan sesuai dengan payung hukum yang ada, mengingat alat bukti awal yang menjerat Budi merupakan hasil kerja KPK.
"Misalnya ada syarat KPK bisa tetap supervisi, dan dalam kurun waktu tertentu dapat mengambil alih lagi kasus itu ketika Kejaksaan atau bahkan Polri tidak sungguh-sungguh menanganinya," ujar Petrus.
Tak lama setelah resmi menjadi pimpinan sementara, Ruki membuka opsi pelimpahan kasus Budi Gunawan ke institusi penegak hukum lain. Opsi itu dilontarkan Ruki seusai bertemu pimpinan Polri. (Baca: Ruki Sebut Ada Opsi KPK Limpahkan Kasus Budi Gunawan ke Kepolisian atau Kejaksaan)
Setelah pimpinan memutuskan kasus Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan, para pegawai KPK bereaksi. Mereka protes dan mengkritik pimpinan KPK. (Baca: Di Hadapan Ruki, Pegawai KPK Teriak Ada "Hantu" yang Takut Bareskrim)
Dalam aksinya, mereka menyebut adanya barter, KPK mati suri, adanya pihak yang penakut, dan kritik lainnya. (Baca: Pegawai KPK: Kami Membangkang karena Kebenaran Diinjak-injak)
Mereka meminta pimpinan KPK mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung sebagai langkah hukum melawan putusan praperadilan. Hakim Sarpin Rizaldi memutuskan penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan tidak sah. (Baca: Kepada Ruki, Pegawai KPK Sebut Ingin Mati Mulia, Bukan Melacurkan Diri ke Koruptor)

Pimpinan sementara KPK, Johan Budi, merasa pihaknya tidak kalah terkait penanganan kasus Budi Gunawan. Menurut dia, KPK harus mengambil sikap terkait putusan praperadilan. (Baca: Kasus BG Dilimpahkan, Johan Budi Merasa KPK Tidak Kalah)

JAKARTA okezone- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad akhirnya bereaksi, terkait penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat (Ditreskrimum Polda Sulselbar) dengan tuduhan pemalsuan dokumen.
Menurut pria asal Makasar itu, dirinya telah dizalimi atas nama hukum. Samad menegaskan tidak pernah menyuruh Feriyani Lim untuk melakukan pemalsuan dokumen tersebut.
"Saya perlu tegaskan sebagai warga negara yang baik, saya hormati proses hukum ini, walaupun saya tidak terima atas apa yang dipersangkakan. Saya tidak pernah melakukan hal itu, dan tidak tahu," ujar Samad saat melakukan konfrensi pers di Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, (17/2/2015).
Mantan pengacara tersebut juga menegaskan, dirinya tidak mengenal sosok perempuan cantik yang bernama Feriyani Lim. Dimana perempuan itu semula dituduhkan sebagai wanita simpanan Samad.
"Saya tegaskan bahwa saya tidak mengenal wanita Feriyani Lim. Kemudian saya juga tidak tahu persis pemalsuan dokumen. Oleh kaerena itu secara pribadi bingun dengan kartu keluarga (KK) yang dimaksud. Berdasarkan itulah sampai saat ini saya belum mengerti," tegasnya.
Ditreskrimum Polda Sulselbar telah menetapkan Ketua KPK, Abraham Samad sebagai tersangka perkara dugaan pemalsuan dokumen. Dari keterangan yang dihimpun rencananya, Samad bakal dipanggil untuk diperiksa dalam kapasitasnya sebagai tersangka, pada Jumat (20/2/2015) nanti.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulawesi Selatan dan Barat Komisaris Besar Endi Sutendi penetapan tersangka terhadap Abraham Samad diputuskan melalui sebuah gelar perkara yang dilaksanakan pada 9 Februari lalu. Tim penyidik telah mengambil keterangan dari beberapa saksi yang terkait perkara sang ketua lembaga antirasuah itu.

Pria asal Makasar tersebut dijerat Pasal 265 Ayat (1) Subsidair Pasal 266 Ayat (1) juncto Pasal 55 56 KUHP atau Pasal 93 UU RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 24 Tahun 2013. Samad pun terancam hukuman paling lama delapan tahun.
Endi juga mengatakan, tim penyidik perkara pemalsuan dokumen yang menyeret nama Samad itu telah menyita barang bukti berupa beberapa dokumen yang diduga dipalsukan. Kartu Keluarga (KK), KTP Feriyani Lim dan paspor Feriyani Lim yang diduga palsu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019