Langsung ke konten utama

de*****isasi

😠 

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan peran bersama dunia dalam menangkal gerakan radikalisme dan terorisme. Stigma umat Islam merupakan teroris juga sudah tidak relevan. Sebaliknya, umat Islam justru menjadi korban terbanyak gerakan ini.
"Umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik dan radikalisme terorisme," kata Jokowi ketika berbicara di Arab Islamic America Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh Arab Saudi, Minggu 21 Mei 2017.
Hal ini bisa dilihat pada konflik dan aksi terorisme di Timur Tengah, seperti Irak, Yaman, Suriah, dan Libya. Tak hanya di Timur Tengah, berbagai negara di dunia juga merasakan dampak gerakan ini. Indonesia juga sempat menjadi target serangan terorisme di Bali tahun 2002 dan 2005 serta serangan di Jakarta pada Januari 2016.
"Dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban serangan terorisme di berbagai belahan dunia di Prancis, Belgia, Inggris, Australia dan lain-lain," imbuh dia.
Akan tetapi, penanganan aksi terorisme yang ada belum cukup meredam gerakan susulan di wilayah lainnya. Dunia harus mencari solusi paling baik. Jika tidak, ada jutaan anak korban terorisme yang bukan tidak mungkin memendam dendam dan memunculkan aksi radikalisme baru.
"Kondisi ini membuat anak-anak muda frustrasi dan marah. Rasa marah dan frustrasi ini dapat berakhir dengan munculnya bibit-bibit baru ekstremisme dan radikalisme," ujar Jokowi.
Pendekatan dengan hard power atau menggunakan senjata sekarang ini dirasa kurang efektif. Karena itu, Jokowi mengajak para pemimpin dunia untuk beralih menggunakan soft power dalam memberantas aksi terorisme. Caranya tentu dengan pendekatan agama dan budaya.
"Untuk program deradikalisasi, misalnya, otoritas Indonesia melibatkan masyarakat, keluarga, termasuk keluarga mantan narapidana terorisme yang sudah sadar dan organisasi masyarakat," ucap Jokowi.
Penyebaran pesan damai juga perlu digalakkan melalui berbagai cara. Setiap negara bisa menggunakan warganet untuk menyebar kampanye damai melalui media sosial yang kini sedang digandrungi masyarakat.
"Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk terus mensyiarkan Islam yang damai dan toleran," tutur Presiden.
Jokowi mengatakan, pertemuan ini memiliki makna yang penting untuk mengirimkan pesan kemitraan dunia Islam dengan Amerika Serikat dan menghilangkan persepsi Amerika Serikat melihat Islam sebagai musuh.
"Yang lebih penting lagi pertemuan ini harus mampu meningkatkan kerja sama pemberantasan terorisme dan sekaligus mengirimkan pesan perdamaian kepada dunia," kata Jokowi.
😫
kompas.com: PADA Rabu malam 24 Mei 2017, teror bom kembali menerpa kita. Kali ini terjadi di terminal Kampung Melayu Jakarta Timur yang berakibat tiga orang anggota Polri gugur dan dua orang yang diduga pelaku tewas, 10 orang lainnya luka-luka.
Teror bom yang ke sekian kalinya itu adalah bentuk dari kebiadaban, musuh semua agama, dan menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini karena teror tidak mengenal agama dan keyakinan, bisa mengenai siapa saja tanpa terkecuali.
Kepolisian menduga ledakan itu adalah berupa bom bunuh diri dengan menggunakan bom panci. Dipastikan dua terduga pelaku teror, ikut tewas di lokasi kejadian.
Petugas Polri sedang mengindentifikasi potongan dan serpihan anggota tubuh orang yang diduga adalah pelaku untuk menelusuri lebih lanjut siapa pelaku dan motifnya.
Para anggota Polri saat itu sedang melakukan tugas pengamanan di sekitar lokasi yang sedang ada kegiatan pawai masyarakat menjelang bulan suci Ramadhan. Ledakan terjadi di lokasi yang padat oleh aktivitas masyarakat karena menjadi halte koridor penghubung bus transjakarta dan terminal angkutan umum.
Kejadian ini tentu saja sangat memprihatinkan dan wajib kita kecam, karena telah meneror rasa aman dan ketentraman warga, membunuh dan melukai anggota Polri serta warga masyarakat, dan terjadi dua hari menjelang bulan yang agung dan suci, yaitu Ramadhan.
Patut diduga, jika benar pelakunya ada dua orang, bom itu diduga dilakukan oleh dua orang "pengantin." Sebelumnya, polisi berhasil menggagalkan rencana bom pengantin di Bekasi yang hendak meledakkan diri di depan istana negara.
Para pelaku bisa belajar sendiri merakit bom dari informasi yang dikumpulkan di internet dan menebarkan ideologi sesatnya lewat media sosial. Media sosial telah menjadi alat propaganda yang efektif yang menyuburkan gerakan terorisme global.
Setelah wilayah Jakarta steril dari teror pascabom Thamrin pada 12 Januari 2016, teror bom Kampung Melayu tentu sangat mengagetkan, karena terjadi begitu tiba-tiba di tengah pusat keramaian kota Jakarta.
Apakah aparat keamanan kecolongan atau gagal mendeteksi gerakan teroris yang diduga adalah bagian dari kelompok ISIS itu?
Bom Kampung Melayu hanya berselang dua hari pascabom yang meledak di Manchester Inggris yang menewaskan 22 orang, bom di Bangkok yang melukai 24 orang, dan serangan ISIS di Marawi Philipina bagian selatan.

Apakah para pelaku atau jaringannya saling berkaitan dengan pelaku di Kampung Melayu? Aparat keamanan wajib menelusurinya lebih jauh. Pascaledakan Manchester, Kapolri sudah menyampaikan agar kita siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Pada 16 Mei 2017, untuk pertama kalinya Presiden Joko Widodo telah memerintahkan kepada aparat Polri dan TNI untuk "mengebuk" siapapun yang merongrong kewibawaan Pancasila dan NKRI.
Perintah tersebut adalah penegasan untuk menyikapi suasana kebangsaan yang telah terganggu oleh berbagai macam aksi dan gerakan intoleran dan radikal yang berpotensi merongrong negara.
Presiden meminta agar aksi-aksi yang merugikan bangsa dan menguras energi bersama itu untuk dihentikan sehingga kita bisa fokus membangun bangsa.
Teror bom Kampung Melayu adalah bentuk nyata dan paling ekstrem dari aksi radikal yang mengusung paham fundamentalis yang diduga bermotif dan bertujuan politik.
Teror telah menganggu dan menebarkan ancaman kepada masyarakat yang melintasi sekat suku, agama, etnis, dan antar golongan.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ciri-ciri terorisme terkini beberapa di antaranya adalah menebarkan syiar kebencian pada agama/kelompok lain, antipersatuan, dan anti-Pancasila.
Negara harus hadir untuk mengembalikan hak atas rasa aman dan kewibawaan negara. Instruksi "gebuk" Presiden Jokowi harus ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh untuk memberantas dan menindak aksi teror yang tiada henti mengintai dan menganggu ketenteraman masyarakat.
Aparat keamanan harus segera melakukan penelusuran secara menyeluruh atas pelaku dan motif bom Kampung Melayu, serta "mengebuk" pelakunya sesuai dengan ketentuan hukum secara tuntas dan tegas, termasuk bekerjasama dengan otoritas keamanan Filipina yang wilayah selatannya diduga telah dimasuki pengaruh ISIS. Jalur masuk Filipina ke Indonesia dan sebaliknya, harus diawasi dan dikontrol secara ketat.
Bom Kampung Melayu terjadi pada saat warga Jakarta masih "terbelah" oleh pilihan politik dalam Pilkada Jakarta. Perbedaan sikap dan keyakinan politik telah menguras energi bangsa, menorehkan luka dan melemahkan kebersatuan kita.
Padahal, ada tantangan dan musuh yang sebenarnya yang jauh lebih berbahaya daripada politik Pilkada Jakarta, yaitu terorisme yang bisa menghancurkan bangsa, sebagaimana telah terjadi di Suriah dan Irak.
💣
Jakarta - Pelaku ledakan bom panci di Lapangan Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Bandung, pada Senin (27/2), Yayat Cahdiyat, pernah terlibat kasus perampokan di SPBU Kali Asin Cikampek, Karawang pada 2010 lalu. Perampokan ini bertujuan untuk mendanai pelatihan militer kelompok terorisme di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar.
Atas kasus tersebut, Yayat bersama dua rekannya, Agus Marshal, dan Enjang Somantri divonis bersalah dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2012. Setelah menjalani masa hukuman selama dua tahun di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Yayat memilih tinggal di Kabupaten Bandung hingga akhirnya kembali beraksi di Cicendo.
Berbeda dengan Yayat yang kembali terlibat aksi terorisme, rekannya, Agus Marshal memilih menjalani kehidupan di Desa Cibening, Kecamatan Bungursari Kabupaten Purwakarta. Pada April 2016 lalu, Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi mendatangi kediaman Agus Marshal. Dalam pertemuan itu, Agus didaulat untuk menjadi pemateri dalam program Sekolah Ideologi di Purwakarta. Tak hanya itu, Agus pun mendapatkan bantuan modal usaha dari pemerintah daerah setempat. Langkah ini dilakukan Pemkab Purwakarta yang baru saja meraih Harmony Award dari Kementerian Agama sebagai upaya deradikalisasi dan pendalaman ideologi kebangsaan para mantan teroris.
Agus menilai pemerintah selama ini kurang responsif terhadap para mantan teroris yang telah menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Menurut Agus, sebagai warga Indonesia, para napi teroris harus tetap mendapat perhatian pemerintah agar tidak kembali melakukan aksi terorisme. Hal itu diungkapkan Agus saat kembali bertemu dengan Dedi Mulyadi di rumah dinas Bupati Purwakarta, Jalan Gandanegara No 25, Selasa (28/2).
"Saya merasakan selama ini memang kurang respon, kami masih membutuhkan pengayoman. Seharusnya seperti anak dan orang tua saja," kata Agus Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Rabu (1/3),
Dikatakan Agus, komunikasi yang coba dibangun pemerintah dengan eks terpidana kasus terorisme terbilang sangat kaku. Sistem birokrasi dirasa Agus menjadi penyebab kondisi tersebut. Namun, Agus merasa hal itu tidak terjadi saat pertama bertemu Kang Dedi, sapaan Dedi Mulyadi tahun lalu. Agus menyebut Dedi mampu membangun komunikasi dua arah yang konstruktif. Bahkan, solusi untuk modal usaha baginya pun lahir dari komunikasi tersebut.
"Beda saat bertemu dengan Kang Dedi, beliau datang langsung ke rumah saya dan memberi bantuan modal usaha," katanya.
Dalam kesempatan ini, Agus mengakui Yayat merupakan merupakan rekan seangkatannya di kamp pelatihan militer Jalin Jantho, Nangroe Aceh Darussalam. Bahkan, Agus menyebut Yayat sebagai 'anak didiknya' dalam setiap ‘halaqah’ atau pertemuan kelompok mereka. Namun, sejak ditangkap atas kasus perampokan di Cikampek, Agus mengaku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Yayat.
“Praktis sejak kami ditangkap itu, tidak ada komunikasi lagi,” singkatnya.
Sementara itu, Dedi mengatakan, setelah menjalani masa hukuman, mantan napi terorisme harus dirangkul oleh pemerintah. Setidaknya, pemerintah dapat membangun komunikasi dan mencari solusi untuk kehidupan perekonomian para mantan napi terorisme. Hal ini karena keterlibatan mereka dalam aksi terorisme sebelumnya salah satunya dipicu faktor ekonomi.
"Setelah mereka menjalani hukuman itu tidak boleh dibiarkan, harus kita rangkul terutama agar mereka bisa membangun kehidupan ekonominya. Boleh tanya Kang Agus, salah satu penyebab dia melakukan aksi mungkin karena desakan ekonomi, makanya kami berikan modal usaha," ujarnya.
Dedi menambahkan, komunikasi yang dibangun antara pihak pemerintah dengan para eks terpidana kasus terorisme seharusnya dalam suasana lebih santai. Dedi yang dikenal sebagai budayawan Sunda meyakini, pendekatan ini lebih efektif untuk menanamkan rasa kekeluargaan. Dengan demikian, napi terorisme diharapkan tidak akan mengulangi lagi aksinya. Termasuk Yayat yang meregang nyawa ditembak polisi usai ledakan bom panci di Taman Pandawa.
"Saya kira kalau Yayat saat itu tidak pindah ke Kabupaten Bandung dan tetap tinggal di Purwakarta, mungkin aksi bom panci itu tidak terjadi karena disini saya merangkul Pak Agus dan menjadikannya saudara," kata Dedi menyesalkan aksi Yayat tersebut.


Fana Suparman/FMB
Suara Pembaruan

👄

  JAKARTA - Sebuah bom meledak di sekitaran Taman Pandawa, Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Bandung, Jawa Barat, pada Senin, 27 Februari 2017. Beruntung tidak ada korban dalam peristiwa tersebut.

Dalam peristiwa tersebut, pihak kepolisian berhasil melumpuhkan pelaku teroris yang diduga adalah Yayat Cahdiyat. Sayangnya, pelaku tewas usai ditembak dibagian dada oleh pihak kepolisian sehingga tidak mampu mengungkap detail motifnya.
Pengamat teroris Harits Abu Ulya, menduga motif dibalik aksi pengeboman yang dilakukan oleh terduga Yayat karena dendam. Motif dendam Yayat dianggap sebagai salah satu bentuk gagalnya deradikalisasi pemerintah terhadap mantan narapidana.
Pasalnya, Yayat merupakan mantan narapidana yang pernah dipenjara selama kurang lebih tiga tahun terkait kasus terorisme. "Ya motifnya dendam, dia contoh produk deradikalisasi di penjara yang gagal," ujar Harits saat dikonfirmasi Okezone, Senin (27/2/2017).
Harits melihat aksi bom panci yang dilakukan Yayat memang tergolong tidak terukur dengan jelas dan masih amatir. Dalam hal ini, motif dan tuntutan yang disampaikan oleh Yayat sangat tidak relevan dalam melncarkan aksinya.
"Tabiatnya, seseorang yang mempunyai tuntutan biasanya mereka memiliki sesuatu yang bisa dijadikan bergaining. Sementara pelaku sama sekali tidak punya hal tersebut," tukasnya.
(aky)
😖
Jakarta suara pembaruan - Pada saat memberikan pidato di depan ratusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama seluruh Indonesia, presiden terpilih Joko Widodo mengimbau para ulama dan kiyai untuk meluruskan paham-paham radikal yang berada di Indonesia.
"Para kiai juga harus bisa memotret hal-hal yang berada di lingkungan secara konkrit. Kalau ada paham radikal yang ada di kanan-kiri kita itu, tugasnya para ulama untuk meluruskan agar yang tidak lurus itu menjadi lurus kembali," ujarnya di Pondok Pesantren Al Hikam, Depok, Jakarta Barat, Sabtu (30/8).
Menurutnya, kepada hal yang seperti itu pendekatannya juga harus menggunakan agama yang bisa dilakukan oleh para ulama dan kiai yang notabene pemimpin ajaran Islam.
Di depan PBNU itu, Jokowi bercerita, pada saat ia ditemani Mantan Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi. Hasyim berpesan kepadanya; nanti kalau terpilih memimpin pemerintahan, Hasyim tidak perlu dipilih menjabat posisi tertentu di dalam pemerintahan. Karena Hasyim hanya akan mengurus yang berkaitan dengan keumatan.
"Saya kira kalau pembagiannya seperti itu jelas. Tidak abu-abu. Saya kira negara ini juga akan menjadi negara yang jelas juga," tuturnya.

Waspadai Teroris Belia

Minggu, 5 Mei 2013 | 21:33
investor daily


Teroris beraksi lagi. Berbagai gebrakan aparat Densus 88/ Antiteror yang berhasil menangkap dan menembak mati sejumlah anggota jaringan terorisme tampaknya belum juga mampu meredam aksi-aksi kelompok penebar maut ini. Mereka masih terus saja menebar ancaman bom.

Bahkan ada yang menarik dari aksi terorisme akhir-akhir ini, yakni munculnya tunas-tunas muda teroris. Dua terduga teroris yang ditangkap aparat Densus 88/Antiteror di Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (2/5), masih berusia belia. Keduanya masing-masing berusia 22 dan 23 tahun. Dari keduanya, polisi menemukan rangkaian kabel dan lima bom pipa rakitan. Mereka kabarnya bertekad menumpahkan aksi radikalisme mereka di Kedutaan Besar Myanmar dengan aksi bom bunuh diri.

Tertangkapnya dua terduga teroris yang masih belia itu menunjukkan bahwa tunas-tunas baru terorisme kini makin menjamur. Bahkan pada dua tahun lalu, Detasemen Khusus 88 Antiteror berhasil menangkap teroris yang jauh lebih mudah dari yang ditangkap Kamis pekan ini, yakni berusia belasan tahun. Ini semua merupakan\ sinyal bahwa meskipun para “senior” mereka telah berhasil digulung Densus 88, tunas-tunas muda ini tak penah gentar. Banyak di antara mereka tetap melanjutkan misi terorisme.

Dalam banyak hal, teroris belia ini justru jauh lebih berani. Mereka menjadi pelaku dan aktor lapangan. Tak tanggung-tanggung, pilihan senjata pamungkas mereka tetap satu: pengeboman, terutama bom bunuh diri. Target mereka juga satu dan sama, yaitu tempat-tempat strategis, terutama kedutaan besar negara-negara sahabat. Betapapun berbahayanya kehadiran mereka, dari sisi regenerasi, kelompokterorisme berhasil menularkanpaham-paham radikalisme dalam lingkungannya.

Melalui dunia maya dan jaringan kelompoknya, termasuk jaringan-jaringan internasional,paham-paham radikalisme berhasilmereka tularkan, dengan memasukkan pikiran kepada generasi muda.\ Inilah bahaya dan tantangan nyatayang harus dihadapi oleh seuruh komponenbangsa ini ke depan.Ini juga sekaligus menunjukkan ada yang salah dalam kehidupan masyarakat bangsa ini. Sejujurnya, kita telah gagal dalam proses deradikalisasi.

Selama ini, kita melihat bahwa hasutan, menyebar kebencian dan permusuhan kepada kelompok lain belum dianggap sebagai bagian darikejahatan terorisme. Di sisi lain, tidak banyak yang mau peduli dengan masalah tersebut. Tak heran bila kasus teroris tak kunjung tuntas dan selalu ada generasi baru teroris. Merebaknya aksi terorisme denganmunculnya tunas-tunas mudanya sebagai operator lapangan, setidaknya, menunjukkan ada yang salah dalam dua hal, yakni pendidikan dan kemajuanekonomi kita. Di saat sebagian anak muda seusianya senang denganlife style baru, terlibat dalam berbagai aktivitas produktif, dan sibuk denganupaya meraih prestasi, sebagian lainnyamalah sibuk mempelajari ajaranajaran radikal, dan lebih memilih mati bunuh diri.

Dari sisi pendidikan, inilah kegagalan bangsa ini menderadikalisasi pikiran- pikiran serta ideologi kekerasan di sejumlah kalangan anak muda. Dua anak muda yang menenteng bom bunuh diri itu berani bertindak radikal karena bagi mereka hanya itu pilihan yang terbaik. Mereka sudahterasuki paham, sekali berarti sesudah itu mati. Mereka punya keyakinan bahwa dengan menempuhcara itu, yakni membunuh orang yang dianggap musuh, mereka mendapat kebahagiaan di dunia sana.

Dari sisi kehidupan ekonomi sosial, radikalisme merupakan sebuah protes terhadap keberadaan diri yang miskindan melarat, di tengah sekelompokorang yang terus mendapatkan kenikmatan hidup dan kekayaan yang terus meningkat. Rasanya nereka tak sudi menyaksikan sebagian masyarakat boleh hidup dalam kelimpahandan kemewahan, sementara sebagian masyarakat lainnya harus hidup dalam kesulitan yang amat sangat.

Bagi para penganut ideologi radikalisme, menebar bom bunuh diri adalah pilihan terbaik untuk menuntaskan protes mereka atas kesenjangan sosial-ekonomi ini. Bagi mereka,itulah jalan pintas. Tapi, bagi kita, bagibangsa penganut demokrasi dan multikultural ini, itulah jalan sesat yang justru merusak sendi-sendi kehidupan bersama. Praktik radikalisme mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat, mengancam stabilitas sosial-politik, dan mengganggu iklim berinvestasi.

Untuk menghilangkan, atau setidaknya meminimalisisi munculnya kelompok-kelompok muda terorisme, sudah saatnya kita kembali menempatkan dunia pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun\ pendidikan keluarga, sebagai taman terbaik dalam menyemai benih-benih deradikalisme. Pendidikan ketrampilan dan penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi generasi muda adalah salah satu cara untuk mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi.

Juga tak kalah pentingnya, sudah saatnya Indonesia harus memiliki aturan yang ketat untuk mengurangi penyebaran ideologi radikal dan terorisme, baik melalui dunia maya maupun menebar kebencian dan permusuhan kepada orang/kelompok lain. Kita perlu belajar dari Singapura dan Malaysia yang memiliki aturan ketat untuk mengurangi penyebaran ideologi radikal dan terorisme.

Pada akhirnya, kita tetap mengharapkan aparat negara terus bekerja keras untuk menjamin keamanan bangsa ini dari berbagai gangguan gerakan-gerakan radikal. Jaminan keamanan merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh seluruh komponen bangsa ini: masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha.
Jumat, 26/04/2013 09:17 WIB

Tsarnaev Bersaudara Rencanakan Serangan Bom di Times Square New York

Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Boston, - Selain bom Boston, terungkap rencana serangan bom lainnya yang direncanakan oleh Tsarnaev bersaudara. Kakak-beradik ini merencanakan serangan bom di Times Square, New York, Amerika Serikat.

Informasi ini didapat oleh FBI dari tersangka Dzhokhar Tsarnaev yang berhasil ditangkap hidup-hidup, namun masih menjalani perawatan medis di rumah sakit setempat. Wali Kota New York, Michael Bloomberg menuturkan, informasi tersebut mengejutkan dan menjadi kabar mengerikan bagi warga New York.

"Ini pengingat yang sangat mengerikan bahwa kita menjadi target para teroris," ujar Bloomberg dalam konferensi pers kepada media setempat, seperti dilansir AFP, Jumat (26/5/2013).

"Tadi malam, kami mendapat informasi dari FBI bahwa pelaku yang berhasil selamat membeberkan, New York City menjadi target selanjutnya dalam daftar mereka," imbuhnya.

Menurut Bloomberg, Dzhokhar mengakui bahwa dirinya dan sang kakak, Tamerlan, berencana melakukan serangan bom di Times Square yang selama ini selalui dipadati orang.

"Dia memberitahui FBI bahwa dirinya dan sang kakak berniat pergi ke New York dan merencanakan serangan bom di Times Square," terang Bloomberg.

Penyidik setempat sebelumnya mengungkapkan bahwa Tsarnaev bersaudara pergi ke New York untuk 'berpesta'. Namun tidak disebutkan maksudnya lebih lanjut.

Kakak-beradik, Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev yang berasal dari Chechnya, dinyatakan sebagai tersangka serangan bom Boston yang menewaskan 3 orang dan melukai lebih dari 170 orang. Tamerlan tewas usai baku tembak dengan polisi pada Kamis (18/4) lalu.

Sedangkan Dzhokhar berhasil ditangkap hidup-hidup pada Jumat (19/4) malam, namun dalam kondisi luka. Kini pemuda 19 tahun ini masih menjalani perawatan di rumah sakit setempat, di bawah pengawalan ketat.


(nvc/ita)

April 20, 2013

Inquiry Shifts to Suspect’s Russian Trip

nyt WASHINGTON — With one suspect dead and the other captured and lying grievously wounded in a hospital, the investigation into the Boston Marathon bombings turned on Saturday to questions about the men’s motives, and to the significance of an overseas trip one of them took last year.
Federal investigators are hurrying to review a visit that one of the suspected bombers made to Chechnya and Dagestan, predominantly Muslim republics in the north Caucasus region of Russia. Both have active militant separatist movements. Members of Congress expressed concern about the F.B.I.’s handling of a request from Russia before the trip to examine the man’s possible links to extremist groups in the region.
Tamerlan Tsarnaev, who died early Friday after a shootout with the police in Watertown, Mass., spent six months in Dagestan in 2012, and analysts said that sojourn might have marked a crucial step in his alleged path toward the bombings.
Kevin R. Brock, a former senior F.B.I. and counterterrorism official, said, “It’s a key thread for investigators and the intelligence community to pull on.”
The investigators began scrutinizing the events in the months and years before the fatal attack, as Boston began to feel like itself for the first time in nearly a week .
On Monday, the twin bombings near the finish line of the Boston Marathon killed three people and wounded more than 170. The tense days that followed culminated in Friday’s lockdown of the entire region as the police searched for Mr. Tsarnaev’s younger brother from suburban backyards to an Amtrak train bound for New York City.
Dzhokhar Tsarnaev, 19, was taken into custody Friday night after he was found, bloody and weakened, hiding on a boat in a driveway in Watertown. He was still too wounded to speak on Saturday, said Gov. Deval Patrick of Massachusetts. Special counterterrorism agents trained in interrogating high-value detainees were waiting to question him, according to a law enforcement official. An issue arose about the administration’s decision to question him for a period without giving him a Miranda warning, under an exception for questions about immediate threats to public safety.
The brothers’ motives are still unclear. Of Chechen heritage, they had lived in the United States for years, according to friends and relatives, and no direct ties have been publicly established with known Chechen terrorist or separatist groups. While Dzhokhar became a naturalized American citizen last year, Tamerlan was still seeking citizenship. Their father, Anzor, said Tamerlan had made last year’s trip to renew his Russian passport.
The significance of the trip was magnified late Friday when the F.B.I. disclosed in a statement that in 2011 “a foreign government” — now acknowledged by officials to be Russia — asked for information about Tamerlan. The request was “based on information that he was a follower of radical Islam and a strong believer, and that he had changed drastically since 2010 as he prepared to leave the United States for travel to the country’s region to join unspecified underground groups.”
The senior law enforcement official said the Russians feared he could be a risk, and “they had something on him and were concerned about him, and him traveling to their region.” Chechen extremists pose a greater threat to Russia than they do to the United States, counterterrorism specialists say, though some of the groups have had ties to Al Qaeda.
But the F.B.I. never followed up on Tamerlan once he returned, a senior law enforcement official acknowledged on Saturday, adding that its investigation did not turn up anything and it did not have the legal authority to keep tabs on him. Investigators are now scrambling to review that trip, and learn about any extremists who might have influenced, trained or directed Tamerlan while he was there.
President Obama and Republican lawmakers devoted their weekly broadcast addresses to the Boston attack, with both sides finding a common voice. Mr. Obama also met with his national security team for an update on the investigation.
“Americans refuse to be terrorized,” Mr. Obama said. “Ultimately, that’s what we’ll remember from this week.”
Since 1994, Russia and the United States have routinely exchanged requests for background information on residents traveling between the two countries on visa, criminal or terrorism issues.
The F.B.I. responded to the request in 2011 by checking “U.S. government databases and other information to look for such things as derogatory telephone communications, possible use of online sites associated with the promotion of radical activity, associations with other persons of interest, travel history and plans, and education history,” it said in a statement.
In January 2011, two counterterrorism agents from the bureau’s Boston field office interviewed Tamerlan and family members, a senior law enforcement official said on Saturday. According to the F.B.I.’s statement, “The F.B.I. did not find any terrorism activity, domestic or foreign,” and conveyed those findings to “the foreign government” by the summer of 2011.
Federal officials said on Saturday that the Department of Homeland Security, however, had decided not to grant a petition from Tamerlan for United States citizenship after officials found a record in his files that he had been interviewed by the F.B.I. His petition was held for further review.
As the law enforcement official put it, “We didn’t find anything on him that was derogatory.”
The Russian state news agency RIA Novosti quoted the father of the Tsarnaev brothers recalling the F.B.I.’s close questioning of his elder son, “two or three times.” He said they had told his son that the questioning “is prophylactic, so that no one sets off bombs on the streets of Boston.”
In an interview in Russia, Zubeidat Tsarnaeva, the mother of the two men, said that the agents had told her that Tamerlan was “an excellent boy,” but “at the same time, they told me he is getting information from really extremist sites, and they are afraid of him.”
After Tamerlan’s visit to Dagestan and Chechnya, signs of alienation emerged. One month after he returned to the United States, a YouTube page that appeared to belong to him was created and featured multiple jihadist videos that he had endorsed in the past six months. One video featured the preaching of Abdul al-Hamid al-Juhani, an important ideologue in Chechnya; another focused on Feiz Mohammad, an extremist Salafi Lebanese preacher based in Australia. He also created a playlist of songs by a Russian musical artist, Timur Mucuraev, one of which promoted jihad, according to the SITE Intelligence Group, which monitors statements by jihadists.
The Boston bombings have led to increased cooperation between Washington and Moscow, a jarring shift coming amid weeks of rancor over American criticism of Russia’s human rights record. Presidents Obama and Vladimir V. Putin spoke by telephone late Friday night, in a conversation initiated by the Russian side, the Kremlin announced. The Kremlin’s statement said both leaders expressed “the building of close coordination between Russian and American intelligence services in the battle with global terrorism.”
Nevertheless, there were glaring questions about the case, among them how Tamerlan had escaped scrutiny.
A Russian intelligence official told the Interfax news service on Saturday that Russia had not been able to provide the United States with “operatively significant” information about the Tsarnaev brothers, “because the Tsarnaev brothers had not been living in Russia.”
Andrei Soldatov, an investigative journalist who specializes in Russia’s security services, said he believed that Tamerlan might have attracted the attention of Russian intelligence because of the video clips he had posted under his own name, some of which were included on a list of banned materials by the Federal Security Service, or F.S.B.
On Saturday morning, federal prosecutors were drafting a criminal complaint against Dzhokhar Tsarnaev, who was wounded in the leg and neck.
An official said the criminal complaint would most likely include a constellation of charges stemming from both the bombings and the shooting, possibly including the use of weapons of mass destruction, an applicable charge for the detonation of a bomb. That charge, the official said, carries a maximum penalty of death. Though Massachusetts has outlawed the death penalty, federal law allows it.
The F.B.I. and local law enforcement agencies continued on Saturday to gather evidence recovered from the suspects’ home and the cars they used. Investigators found five pipe bombs and three grenades after the firefight Friday, and they were seeking to identify the origins of the explosives.
Agents fanned out to interview family members and others who knew the brothers to determine any motive, as well as clues about what or who radicalized them. Three Kazakh citizens who were acquainted with Dzhokhar Tsarnaev contacted the Kazakh Embassy in Washington, reporting that they had been questioned by the F.B.I. and asking for consular assistance, said Ilyas T. Omarov, a spokesman for the Foreign Ministry of Kazakhstan, a former Soviet republic. None of the three were held, he said.
Muslim leaders in many cities rushed to hold news conferences and preach sermons at mosques denouncing the bombing suspects, mourning the victims and praising the response of law enforcement and the community in Boston. They were eager to dissociate their faith from the Muslim suspects, and to head off a backlash against Muslims in the United States.
Anzor Tsarnaev and his younger son first came to the United States legally in April 2002 on 90-day tourist visas, federal law enforcement officials said. Once in this country, the father applied for political asylum, claiming he feared deadly persecution based on his ties to Chechnya. Dzhokhar, who was 8, applied for asylum under his father’s petition, the officials said.
Tamerlan Tsarnaev came to the United States later, and applied for American citizenship on Sept. 5 last year, federal law enforcement officials said.
Eric Schmitt and Michael S. Schmidt reported from Washington, and Ellen Barry from Moscow. Reporting was contributed by John Schwartz and Julia Preston from New York; Andrew Roth and David M. Herszenhorn from Makhachkala, Dagestan; Peter Baker from Washington; and C. J. Chivers from the United States.
This article has been revised to reflect the following correction:
Correction: April 20, 2013

Pengamat: Teror Boston Bukan Dipicu Agama

Kedua pelaku tidak dikenal sebagai orang yang religius.

ddd
Sabtu, 20 April 2013, 15:15 Denny Armandhanu

VIVAnews - Dua pelaku bom Boston adalah dua kakak beradik Muslim beretnis Chechnya. Namun, pengamat mewanti-wanti untuk tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan aksi itu dilandaskan atas dasar agama.

Menurut ulasan Boston Globe, Jumat waktu setempat, Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev tidak dikenal sebagai seorang yang religius. Bahkan, menurut pengakuan beberapa temannya, Dzhokhar seperti remaja Amerika kebanyakan, suka main skateboard, berpesta, dan sesekali mengisap ganja.   

Tamerlan juga bukanlah seorang yang religius. Dalam sebuah foto, petinju ini terlihat berlatih dengan seorang wanita berpakaian you-can-see, tindakan yang tidak akan dilakukan seorang Muslim ortodoks.

Memang, beberapa tahun lalu, Tamerlan tiba-tiba menjadi sangat taat. Dia terlihat sering memakai gamis dan menumbuhkan jenggot. Namun, ini hanya berlangsung selama sebulan, setelah itu jenggotnya dicukur.

Yuri Zhukov, pengamat masyarakat dan keamanan global di Universitas Harvard mengatakan, tidak ada bukti bahwa tindakan mereka dilandaskan agama. Menurut dia, ini lebih pada problematika masyarakat biasa, seperti halnya penembakan di AS beberapa waktu lalu.

"Cerita yang berkembang di sini persis seperti seorang pria yang kesepian dan ingin menonjol. Lalu, dia melakukan tindak kekerasan, seperti penembakan sekolah waktu itu, bukan pergerakan militan radikal Islam," kata Zhukov.

Monica Duffy Toft, profesor di Universitas Oxford menyampaikan hal yang sama. Menurut penelitiannya, Dzhokhar memiliki sedikit teman di Facebook, tidak seperti anak-anak seusianya.

Tamerlan juga pernah mengaku tidak memiliki teman Amerika dan tidak mengerti pola pikir mereka. "Saya kira keduanya adalah pemuda yang tidak bisa beradaptasi. Ini kombinasi antara nasionalisme dicampur jihad versi sendiri, dan pemuda yang sulit menyesuaikan diri dengan budaya Amerika," kata Toft.

IslamofobiaPemimpin komunitas Islam di Boston, Ibrahim Rahim, yang juga imam di masjid Yusuf di kota tersebut mengaku belum pernah melihat keduanya mengunjungi mesjid itu. Dia menyayangkan jika ada orang yang menganggap insiden Senin lalu didasari paham Islam.

"Kedua pelaku tidak pernah terlihat di masjid Yusuf, orang-orang seperti mereka juga tidak akan disambut di sini. Doa dan belasungkawa kami sampaikan kepada para korban tewas dan terluka," kata Rahim.

Setelah identitas korban terungkap, masjid terbesar di Boston itu membatalkan upacara doa bersama untuk menunjukkan toleransi pada para korban. Rahim khawatir, ke-Islaman kedua tersangka akan semakin membuka keran kebencian pada Islam di Amerika Serikat, usai insiden 11 September 2001.

"Ini akan semakin membuka pintu pada industri Islamofobia, sebuah industri para pembenci yang kurang terdidik, untuk menyerang komunitas Muslim. Yang diperlukan sekarang adalah membalas kebencian dengan cinta, cobaan dengan kesabaran, dan ketakutan dengan kesolehan," ujar Rahim. (art)












"Pemindahan Abu Bakar Baasyir untuk Peroleh Simpati Amerika"

K. Yudha Wirakusuma - Okezone
Selasa, 15 Januari 2013 21:32 wib












JAKARTA – Terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir saat ini menghuni Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih Nusakambangan. Pengasuh pondok pesantren Ngruki ini dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Batu sekira pukul 15.30 Wib, sore tadi.

“Selepas Ashar tadi (Selasa, 15 Januari 2013), Abu Bakar Baasyir dipindahkan dari LP Batu ke LP Super Maksimum Security Pasir Putih Nusakambangan,” kata Juru Bicara Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Son Hadi, dalam pesan elektroniknya kepada Okezone, Selasa (15/1/2013).

Dia menambahkan bahwa pemindahan Abu Bakar Baasyir dari Lembaga Pemasyarakatan Batu tanpa alasan yang jelas.

“Pemindahan Ustad Abu ke LP super maksimum security Pasir Putih Nusakambangan merupakan makar jahat penguasa thaghut untuk memperoleh simpati dan dukungan Amerika dalam melanggengkan perang terhadap terorisme setelah beberapa hari sebelumnya terjadi pelanggaran HAM berat oleh Densus 88 yang membunuh tujuh muslim di Makassar dan Bima,” jelasnya.

Pemindahan mendadak ini, lanjut Son Hadi, merupakan bentuk intimidasi  yang dilakukan  oleh penguasa thaghut kepada Ustad. Abu Bakar Baasyir yang senantiasa memberikan nasehat dan tadzkiroh pada  penguasa  yang mengatur negeri ini dengan hukum thaghut.

“Seruan ustad Abu Bakar Ba’asyir pada penguasa untuk kembali pada syarit Allah adalah semata amanah dakwah yang beliau emban. Adapun penentangan serta permusuhan terhadap dakwah hanyalah mengundang bala dan bencana dari Allah dan pemindahan ustad Abu ke penjara super maksimun security adalah bentuk nyata penentangan dan permusuhan  terhadap dakwah tauhid yang beliau sampaikan,” tukasnya.

(ydh)

Info A1, Peringatan Bom Bali I di GWK Jadi Target


Kepolisian menerima informasi indikasi gerakan tertentu yang mengarah kepada sasaran terutama VVIP yang akan hadir dalam peringatan Bom Bali I.

Kepolisian Daerah (Polda) Bali menerapkan standar keamanan siaga satu menjelang peringatan 10 Tahun Bom Bali I yang akan digelar di Garuda Wisnu Kencana (GWK), Jimbaran, Bali, Jumat (12/10) lusa. Siaga satu dilakukan karena aparat kepolisian telah mencium adanya indikasi gerakan terorisme.

"Perlu kita pahami ancaman terorisme itu adalah A1 (ada indikasi ancaman). Meskipun sudah ada satuan tindak di lingkungan kita, tetapi kami minta intelijen harus berada di semua titik baik sebelum maupun sesudah kegiatan," kata Kapolda Bali, Inspektur Jenderal (Irjen) Budi Gunawan, saat memberikan pengarahan pada Apel Gelar Pasukan Kesiapan Operasi Pengamanan "Puri Agung VII 2012" di Markas Komando  Brimob, di Tohpati, Denpasar, hari ini.

Budi Gunawan mengatakan, pihaknya tidak ingin kecolongan dengan masuknya orang yang tidak memiliki kepentingan resmi dalam peringatan Bom Bali I yang akan diikuti sekitar 3.000 orang keluarga korban termasuk dipastikan akan dihadiri Perdana Menteri Australia, kemudian Julia Gillard, mantan Perdana Menteri Australia, jajaran pemerintah dan pimpinan oposisi negara tersebut.

Senada dengan Kapolda Bali, Wakapolda Brigadir Jenderal Polisi Ketut Untung Yoga Ana mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima informasi adanya indikasi gerakan tertentu yang mengarah kepada sasaran terutama VVIP (very very important person) yang akan hadir dalam peringatan itu.

"Sebelum dan menjelang kegiatan itu kita lakukan koordinasi baik dari fungsi pendeteksian maupun preentif dan preventif lain, dari informasi yang kita kumpulkan ada indkikasi gerakan tertentu," kata Ketut.

Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang menjadi tempat penyelenggaraan utama peringatan Bom Bali I mulai H-1 atau Kamis (11/10) mulai disterilkan aparat kepolisian. Polda Bali menyiagakan "sniper" atau penembak jitu untuk mengamankan peringatan ke-10 tahun Bom Bali I pada Jumat 12 Oktober 2012.
Selasa, 02/10/2012 03:31 WIB

BNPT: Solo Jadi Basis Teroris Karena Masih Banyak Mentor Spiritual

Sukma Indah Permana - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Jakarta Polisi telah menangkap sembilan pelaku teror terkait jaringan Solo. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut Solo menjadi basis para teroris karena masih banyak mentor spiritual di kota tersebut.

"Tapi yang jelas disitu masih banyak mentor-mentor spiritualnya yang ngajarin mereka begitu," ujar Kepala BNPT Ansyaad Mbai usai RDP dengan Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Senin (1/10/2012).

Ansyaad mengatakan mentor-mentor spritual tersebut telah mengajarkan sejumlah hal dengan menyebut negera Indonesia kafir dan thogut. Ansyaad tidak menyebut secara spesifik dimana mentor-mentor tersebut masih berada.

"Ya dimana-mana. Itu yang mereka tanamkan paham-paham radikal itu, menamakan negara ini thogut, negara sana kafir," imbuhnya.

Ansyaad menyebut anggota jaringan Al qaedah Indonesi berjumlah sekitar 50 orang. Organisasi tersebut memiliki basis di Poso.

"9 angkatan di Poso, 5 angkatan di Sulsel," paparnya.

Sebelumnya, polri telah melakukan penahanan dan penetapan status tersangka terhadap sembilan orang teroris terkait aksi teror di Solo dan pelatihan bersenjata di Poso, Sulawesi Tengah. Kesembilan tersangka tersebut yakni, Badri Hartono, Rudi Kurnia Putra, Kamidi, Barkah Nawah Saputra, Triyatno, Arif Pamungkas, Joko Priyanto alias Joko Jihat, Wendi alias Hasan dan Fajar Novianto.

Namun, tersangka Fajar Novianto (18) yang masih berstatus pelajar tidak dijerat dengan UU terorisme.


(sip/mpr)

Ajaran Wahabi mendorong orang menjadi teroris

Jumat, 28 September 2012 10:07:56
Reporter: Mohamad Taufik


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyebut ada kaitan antara aliran Wahabi dengan jaringan terorisme. Sebab, ajaran ini menyebutkan ziarah kubur, tahlilan, haul, dan istighosah itu musyrik dan bid'ah.

“Nah, di hati dan pikiran anak-anak muda, kalau begitu orang NU musyrik, kalau gitu orang tua saya tahlilan musyrik juga, halal darahnya, bisa dibunuh,” kata dia. Sebab itu, ajaran Wahabi sangat berbahaya.

Berikut penuturan Said Aqil kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com, Rabu (26/9), dalam perjalanan semobil menuju sebuah tasiun televisi.

Sejauh mana pengaruh asing membentuk radikalisme di Indonesia?

Kita awali dulu dari Timur Tengah. Dulu, begitu Anwar Sadat berkuasa di Mesir, tahanan kelompok Ikhwanul Muslimin dipenjara, semua dilepas. Mereka kebanyakan pintar, ahli. Setelah keluar dari tahanan, kebanyakan megajar di Arab Saudi. Di Arab mereka membentuk gerakan Sahwah Islamiyah atau kesadaran kebangkitan Islam. Sebenarnya pemerintah Arab Saudi sudah prihatin, khawatir mereka menjadi senjata makan tuan.

Tapi, kebetulan pada 1980-an, Uni Soviet masuk ke Afghanistan. Pemerintah Arab menjaring, menampung anak-anak, termasuk kelompok Ikhwanul Muslimin, berjihad ke Afghanistan, termasuk Usamah Bin Ladin. Bin Ladin ini keluarga kaya, pemborong Masjidil Haram. Singkat cerita, setelah Soviet lari, kemudian bubar, Arab Saudi memanggil mereka kembali. Yang pulang banyak, yang tidak juga banyak.

Lalu Bin Ladin membentuk Al-Qoidah. Menurut mazhab Wahabi, membikin organisasi bid’ah. Maka Bin Ladin diancam kalau tidak pulang dicabut kewaranegaraannya. Sampai tiga kali dipanggil, tidak mau pulang, maka dicabutlah kewarganegaraanya. Nah, sekarang jadi sambung dengan cerita teroris di Indonesia. Di sini ada DITII, di sana ada Al-Qaiudah. Tapi saya heran, mereka ini berjuang atas nama Islam, tapi tidak pernah ada gerakan Al-Qaidah pergi ke Palestina.

Walau mengebom itu salah, saya heran, padahal mengatasnamakan demi Islam, tapi tidak pernah ada Al-Qaidah pergi ke Israil mengebom atau apalah. Yang dibom, malah Pakistan, Indonesia, dan Yaman. Kenapa tidak pergi ke Israil kalau memang benar-benar ingin berjihad. Walau saya sebenarnya juga tidak setuju kalau sekonyong-konyong mengebom Israel, itu biadab juga. Tapi artinya, kalau benar-benar ingin berjuang kenapa tidak ke Israel.

Lalu hubunganya dengan Indonesia?

Kemudian beberapa organisasi di Indonesia mulai tumbuh. Mohon maaf, ketika beberapa lembaga atau yayasan pendidikan di Indonesia didanai oleh masyarakat Saudi beraliran Wahabi, Ingat, bukan pemerintah Arab Saudi. Dana dari masyarakat membiayai pesantren baru muncul, di antaranya; Asshofwah, Assunnah, Al Fitroh, Annida. Mereka ada di Kebon Nanas, Lenteng Agung, Jakarta, Sukabumi, Bogor, Jember, Surabaya, Cirebon, Lampung dan Mataram.

Mereka mendirikan yayasan Wahabi. Tapi sebentar, jangan salah tulis, saya tidak pernah mengatakan Wahabi teroris, banyak orang salah paham. Tapi doktrin, ajaran Wahabi bisa, dapat mendorong anak-anak muda menjadi teroris. Karena ketika mereka megatakan tahlilan musyrik, haul dan istighosah bidah, musyrik, dan ini-itu musyrik.

Nah, di hati dan pikiran anak-anak muda, kalau begitu orang NU musyrik, kalau begitu orang tua saya tahlilan musyrik juga, halal darahnya, bisa dibunuh. Kalau seperti itu, tinggal ada keberanian atau tidak, ada kesempatan dan kemampuan atau tidak, nekat dan tega atau tidak. Kalau ada kesempatan, ada keberanian, ada kemampuan, tinggal mengebom saja. Walau ajaran Wahabi sebenarnya mengutuk pengeboman, tidak metolerir, tapi ajaran mereka keras,

Contoh, di pesantren Assunnah, Kalisari Jonggrang, Cirebon Kota. Pemimpinnya Salim Bajri, sampai sekarang masih ada, punya santri namanya Syarifudin mengebom masjid Polresta Cirebon, punya santri namanya Ahmad Yusuf dari Losari, mengebom gereja kota di Solo. Ajarannya sih tidak pernah memerintahkan mengebom, tapi bisa mengakibatkan.

Anda setuju Wahabi pembentuk radikalisme?

Saya tidak pernah mengatakan Wahabi teroris, banyak orang salah paham. Tapi doktrin, ajaran Wahabi dapat mendorong anak-anak muda menjadi teroris. Karena ketika mereka megatakan tahlilan musyrik, haul dan istighosah bidah, musyrik, dan ini-itu musyrik. Jadi ajaran Wahabi itu bagi anak-anak muda berbahaya.

Bisa dibilang ada persaingan antara Wahabi dan Sunni?

Ya jelas dong. Jadi mereka punya sistem, uang, dana, pelatih. Tapi sekali lagi jangan salah paham. Saya hormat kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz karena saya alumnus sana. Tapi saya menentang Wahabi.

Jadi sebatas perbedaan pendapat?

Ya, yang saya tentang Wahabi, bukan raja Arab Saudi. Karena duta besar Arab Saudi bilang saya ini mencaci Raja Arab. Itu salah.

Berapa pesantren beraliran Wahabi ini?

Setahu saya ada 12 pesantren, di antaranya Asshofwah, Assunnah, Al Fitrah, Annida. Pesantren seperti ini (Wahabi) lahirnya baru sekitar 1980-an.
[fas]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

janji Jokowi (4) (ANTI GRATIFIKA$1): pilpres 2019

die hard of terrorism: final fate of ISiS (3): ISIS bukan ISLAM, menganut teologi PEMBUNUHAN

Allah di balik Sejarah: Penantian Baru BTP (hati nurani Pemilu 2024) #02